"Li, kamu udah selesai apa belum urusannya. Kalau udah selesai mampir dulu ke salon Safira, perawatan lah disana. Ajak juga Nur, minta pak Supri mengantarkan, dia udah tahu tempatnya. Uangnya akan aku transfer ke rekening kamu." Begitulah pesan masuk ke WhatsApp Lia dari sang suami.Lia menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk, namun lebih didominasi oleh kebahagiaan. Senyum lebar terlihat di wajahnya dan Nur berteriak antusias karena terlalu senang. Tak lama kemudian, ada notifikasi masuk dari m-banking menunjukkan uang masuk sebesar lima belas juta rupiah. Shaka dan Kayla, yang menyaksikan kegembiraan Lia dan Nur, tampak bingung."Eheem...!!" Pak Supri berdehem, menarik perhatian Lia dan Nur."Maaf, Pak, kita cari tempat makan dulu ya. Setelah itu antar kami ke salon Safira, Pak Supri sudah tahu tempatnya kan?" tanya Lia mengambil alih situasi.Pak Supri mengangguk, "Ya, saya tahu tempatnya, Bu. Mari kita berangkat sekarang."Pak Supri melajukan mobil menuju sebuah restoran ter
*Berjalanlah, jangan berlari. Karena hidup adalah tentang perjalanan, bukan pelarian.*_____"Dasar pelakor! Wanita murahan kayak elo wajib diberi pelajaran," ucap wanita modis itu.Nur beranjak berdiri dan tak terima kakaknya di perlakukan seperti itu."Punya mata enggak elo, enak aja ngatain saudara gue pelakor. Emang elo kenal siapa kita?!" bentak Nur berusaha melepaskan kan jambakan wanita berambut pirang itu. "Diam elo anak ingusan! Saudara elo udah ngerebut Heri dari gue!! Dan sampai kapan pun gue enggak bakal ikhlas, kalau elo enggak mau ninggalin Heri, siap-siap kalian akan ku buat menderita," ancam wanita itu dengan tatapan tajam.Nur dan Lia terkejut saat mendengar pengakuan wanita yang tak mereka ketahui namanya. Lia meringis kesakitan karena jambakan itu terasa sangat kuat seakan-akan rambutnya ingin lepas dari kulit kepala."Merebut Mas Heri?" Apa maksud elo?" Nur tak paham. Karena yang ia tahu istri Heri yang sebelumnya sudah almarhum.Wanita modis itu tertawa sinis. "J
Lia sampai menahan napas, pertanyaan itu terasa tercekat di tenggorokan. Bibirnya membuka tutup untuk berbicara, tetapi kata-kata yang ingin keluar tidak kunjung terucap. Hatinya berdebar kencang, dan ia merasakan gelombang emosi yang campur aduk dalam dirinya. Ia mengumpulkan keberanian, berusaha mengatasi rasa penasarannya."Kenapa?" tanya Heri karena wanita di depannya tak kunjung bicara."Em, anu..... Pelan-pelan, lukanya perih," jawab Lia. Entah kenapa bibirnya justru meleset dari pertanyaan yang sebenarnya akan dia ajukan. Heri terkekeh pelan lalu menyahut, "Kenapa baru bilang, nih udah selesai."Heri menutup kotak obat lalu melangkah keluar untuk mengembalikan pada tempatnya. Lia menatap punggung sang suami dengan dada yang berdesir. Ia nampak berpikir, "Kalau seandainya Bang Heri udah cinta sama aku, dia pasti akan membuktikannya tanpa ku minta. Bukankah cinta itu perlu bukti bukan hanya ucapan manis doang, bukankah cinta itu memiliki perasaan mendalam yang mencakup rasa kasi
*Cinta bukanlah tentang bertahan berapa lama, tetapi tentang seberapa jelas dan ke arah mana.*________"Masya Allah, bukannya ini kartu debit gold yang unlimited itu. Iya, pasti betul kalau yang biasa pasti sama kayak punyaku kan. Uang lima belas juta yang kemarin aja masih utuh tapi ini udah di kasih lagi." Lia sangat terharu di perlakukan seperti itu, ia semakin yakin Heri adalah suami yang tepat untuknya."Mbak Lia." Pintu kamar yang tak dikunci membuat Nur membukanya dengan leluasa, apalagi ia tahu kalau Heri sudah pergi."Oh udah bangun, ku kira masih molor aja." Karena tak mendapat respon dari sang kakak, Nur segera mendekatinya. Lia masih larut dengan rasa harunya sehingga tak menyadari kedatangan sang adik.Lia masih memegang kartu debit membuat Nur langsung merebutnya sehingga ia sadar dari lamunannya."Nur, apa-apaan sih.""Mbak, ya Allah keren banget. Ini isinya duit apa dolar," pekik Nur mombolak balikkan kartu di tangannya."Nur balikin!" Lia merebut kembali kartu milikn
*Hargai kedua orang tuamu, mereka berhasil lulus dari sekolah tanpa bantuan Google.*______"Mbak....!!!" jerit Nur. Gadis itu segera menarik tangan sang kakak untuk menghindar.Wuuusss....!!Hah! Hah! Hah!!Nafas Nur dan Lia tersengal-sengal, wajah keduanya memucat. Mobil itu berlalu sangat kencang, beruntung tidak menabrak tukang somay atau menghantam sesuatu."Bu Lia, Mbak Nur kalian tidak apa-apa?" tanya Pak Supri. Ia berlari menghampiri majikannya dengan wajah yang cemas.Lia masih syok dan keadaan keduanya masih terduduk di tanah. Pak Supri membantu keduanya untuk bangkit."Enggak apa-apa, Alhamdulillah kami selamat. Emang dasar ya orang enggak bisa nyetir pakai acara bawa mobil segala, kalau nyelakain orang kan bahaya!" rutuk Nur."Sepertinya itu mobil Bu Sandra, Bu. Apa jangan-jangan dia memang sengaja untuk mencelakai kalian dan masih dendam dengan masalah yang kemarin," duga pak Supri."Hah!" Lia dan Nur terkejut mereka menatap Pak Supri meminta keyakinan."Sandar yang ngaku
Llll*Jadilah pemaaf, yakni memaafkan diri sendiri lalu memberikan pemaafan yang besar pada orang lain.*______Heri menatap mata Lia dalam-dalam, menyadari betapa dalamnya kekhawatiran yang mengisi hatinya. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara dengan suara lembut namun penuh keyakinan. "Li, aku memang akan selalu menghormati dan mengenang almarhumah Ratna karena dia bagian dari masa laluku. Tapi sekarang, kamu adalah masa depanku. Hatiku sepenuhnya milikmu."Lia menatap Heri dengan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya, namun kali ini bukan karena kesedihan. "Kamu benar-benar tulus, Bang?" tanyanya dengan suara yang bergetar.Heri mengangguk, memegang tangan Lia dengan erat. "Iya, Li. Kamu adalah wanita yang aku cintai sekarang, dan aku akan selalu berada di sisimu, melalui suka dan duka. Aku berjanji."Lia tersenyum lega, air matanya akhirnya jatuh namun kali ini disertai senyuman bahagia. "Terima kasih, Bang. Aku benar-benar merasa beruntung memilikimu."Heri menyeka
Dua hari telah berlalu, tepatnya hari Jumat Heri memutuskan untuk bekerja setengah hari saja. Sebab, kedua orang tuanya akan pulang kampung bersama Nur. Pagi ini Lia berbelanja banyak membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang Nur dan Ibu mertuanya, meski mereka melarang tetapi Lia tetap memaksa.Lia memutuskan mengajak sang adik berbelanja oleh-oleh di mall untuk dibawa pulang kampung. Di antara rak-rak yang penuh dengan barang, mereka mencari berbagai macam produk yang bisa dibawa pulang untuk keluarga dan tetangganya.Lia melihat berbagai pilihan dan berkata, "Nur, aku ingin mencari sesuatu yang spesial untuk Mamak dan Bapak. Mereka pasti suka kalau dikasih oleh-oleh yang unik."Nur mengangguk setuju. "Iya, Mbak. Gimana kalau beli kerajinan tangan yang mereka belum pernah lihat?""Oke," balas Lia.Mereka menuju ke toko oleh-oleh yang menjual barang-barang kerajinan tangan. Lia memilih beberapa buah tangan berupa kain tenun dan aksesoris. Dia juga menambahkan beberapa souvenir kecil sepe
Lia berusaha untuk tetap tenang dan tidak menghiraukan tatapan tajam Sandra. Ia tahu bahwa Sandra memiliki kebencian yang mendalam terhadapnya, namun Lia memutuskan untuk fokus pada Kayla dan tidak membiarkan masalah ini mengganggu suasana hari itu. Dengan senyuman lembut, Lia membimbing Kayla menuju kelas, berusaha menciptakan suasana positif untuk anaknya meskipun ada ketegangan di sekelilingnya.Beruntung, para guru segera datang dan meminta anak-anak untuk segera masuk, Lia menunggu Kayla dengan cara menjauh dari keberadaan Sandra. Memang harus begitu kan lebih baik menjauh daripada terjadi keributan.Beberapa guru mengumpulkan kelas paud, TK kecil dan TK besar menjadi satu. Anak-anak itu melaksanakan kegiatan MPLS bersama, dan kegiatan belajar mengajar akan aktif di adakan satu minggu kemudian.Dari kejauhan Sandra mengajak Lely untuk mencari keberadaan Lia. Namun Lely menolak sebab putranya tak mau di tinggal. "Ih, anak elo tuh payah ya. Lihatlah anak gue aja udah berani sendir
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah