"Ugh!" Salvatore merintih kesakitan di atas ranjangnya.Malam ini, langit mengamuk. Hujan deras mengguyur vila dengan derasnya, menciptakan suara gemuruh yang menggema di seluruh penjuru.Petir menyambar tajam, menerangi kegelapan sesaat sebelum kembali ditelan malam. Angin kencang berdesir, menghantam jendela dengan suara mencekam.Di dalam kamar yang remang-remang, Salvatore meraung kesakitan. Keringat dingin membasahi tubuhnya.Tangannya mencengkeram seprai dengan erat, jari-jarinya menggenggam kain seolah mencoba bertahan dari rasa sakit yang melumpuhkan. Kepalanya seakan dihantam palu berulang kali, denyut yang menyiksa itu membuatnya ingin berteriak lebih keras, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.Tubuhnya bergetar hebat. Dia mencoba bangkit, tapi kedua kakinya yang lumpuh tak memberinya kesempatan untuk melarikan diri dari penderitaan ini.Dia hanya bisa terbaring, merasakan rasa sakit itu menyerang tanpa ampun. Napasnya tersengal-sengal, matanya berkabut, dan pikirannya dip
Valeria kembali ke markas—lagi. Rutinitas ini dimulai tanpa ia sadari. Awalnya hanya sesekali, tetapi kini hampir setiap hari. Dia bosan di rumah, dan lebih dari itu, dia merindukan Salvatore.Di sini, di ruangan milik pria itu, dia bisa merasa sedikit lebih dekat dengannya. Seperti biasa, Valeria duduk di kursi besar Salvatore, tangannya bermain di atas meja kayu yang kokoh.Tak ada yang benar-benar berubah di ruangan ini. Bau khas yang biasa memenuhi tempat ini masih sama—aroma kayu, wangi tembakau samar yang tertinggal, serta kesan kuat yang ditinggalkan pemiliknya.Hari ini, dia tak melakukan apa-apa selain menatap jendela besar di sampingnya.Hujan semalam membuat kota tampak lebih dingin. Langit masih kelabu, dan suasana di luar terasa tenang. Namun, bagi Valeria, keheningan ini justru membuatnya ingin mencari sesuatu untuk diisi.Pintu diketuk pelan, lalu terbuka. Dante masuk dengan sebuah nampan di tangannya, membawa secangkir teh hangat."Teh, Nyonya Valeria."Valeria menole
Pagi itu, suasana di ruang makan terasa berbeda dari biasanya. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, menerangi meja makan panjang yang dipenuhi hidangan sarapan.Salvatore duduk di ujung meja, wajahnya seperti biasa—dingin dan sulit ditebak. Tangannya perlahan mengaduk kopi hitam di cangkir porselen, sementara matanya tetap tertuju pada meja tanpa banyak bicara.Di seberangnya, Amara tampak lebih tenang dari biasanya. Tidak ada tingkah centilnya, tidak ada suara manjanya yang biasa. Kali ini, dia hanya duduk dengan sopan, menatap piringnya sebelum sesekali melirik ke arah Salvatore.Namun, ada satu hal lain yang jelas terlihat—sesekali, tatapan Amara melayang ke arah Alessio yang duduk di sampingnya. Tatapan penuh ketakutan.Alessio sendiri tampak biasa saja. Pria itu menikmati sarapannya tanpa banyak bicara, seperti seseorang yang sama sekali tidak peduli dengan suasana tegang di ruangan itu.Amara menarik napas pelan sebelum akhirnya berbicara. "Bagaimana keadaanmu, Salvatore
Siang itu, langit mendung menggantung di atas vila megah tempat Salvatore dikurung. Udara terasa lembab setelah hujan turun beberapa saat yang lalu, dan suara dedaunan kelapa bergemerisik diterpa angin.Salvatore duduk di halaman belakang, mencari tempat tersembunyi di balik pohon kelapa yang rimbun. Ia tahu, setiap sudut vila ini dipantau oleh kamera pengawas, tetapi di sinilah satu-satunya titik buta.Sambil menghela napas dalam, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi roda. Rasa sakit masih bersarang di tubuhnya, terutama di kakinya yang belum sepenuhnya pulih.Dari kejauhan, Jackson berdiri dengan posisi siaga, memperhatikan keadaan sekitar. Salvatore menatapnya sebentar sebelum memberikan perintah singkat."Panggil Suan. Aku mau minum obat."Jackson mengangguk cepat dan segera pergi.Tak butuh waktu lama, Suan datang dengan langkah hati-hati. Ia membawa obat di tangannya, tetapi ekspresinya tidak hanya sekadar seorang perawat yang datang untuk merawat pasien.Saat duduk di
Hujan turun deras ketika Valeria melaju kencang menuju markas Il Leone d’Ombra. Setiap tetesan air yang menghantam kaca mobilnya terasa seperti peringatan akan badai besar yang akan datang. Pesan dari Dante terus terngiang di pikirannya."Ada pergerakan aneh di markas. Bawahan setia Antonio mulai mengeluarkan surat perintah untuk bergerak."Valeria mengeraskan rahangnya. "Alessio ..., ini pasti berhubungan dengannya," desisnya penuh kecurigaan.Dia tidak bodoh. Sejak awal, dia tahu Alessio bukan sekadar ancaman biasa. Pria itu terlalu licik dan terlalu berbahaya.Sejak dia tahu mungkin Alessio ada hubungannya dengan hilangnya Salvatore, Valeria berniat mencari pria itu. Jika semua jalan ke arah Salvatore tidak ditemukan, maka setidaknya dia harus mencari Alessio, Antonio atau bahkan Amara, karena mereka mungkin memiliki sebuah petunjuk. Mereka bertiga menghilang hampir secara bersamaan dengan hilangnya Salvatore.Itu sebabnya akhir-akhir ini Valeria ikut memantau pergerakan Alessio de
Valeria duduk di kursi ruang kerja Salvatore, jantungnya berdebar tak karuan. Di tangannya, gulungan kertas yang diberikan Firgo terasa lebih berat daripada yang seharusnya. Seakan di dalamnya tersembunyi rahasia yang dapat mengubah segalanya.Tangan Valeria sedikit gemetar saat dia membuka lembar pertama.Tulisan tangan Antonio memenuhi halaman pertama, garis-garis tinta yang kuat dan tegas mencerminkan keteguhan pria itu.Mata Valeria mulai menelusuri tulisan-tulisan itu dengan penuh perhatian.—Hari pernikahan Salvatore.Antonio menulis bagaimana dia mengawal mereka dari kejauhan. Dia tidak pernah mempercayai keadaan sepenuhnya, terutama karena Alessio masih berkeliaran.Lalu, datanglah kejadian yang menghancurkan segalanya—kecelakaan itu.Salvatore tertabrak truk dengan kekuatan luar biasa.Jari-jari Valeria mencengkeram kertas lebih erat, bayangan hari itu kembali memenuhi pikirannya.Antonio mengejar sopir truk itu tanpa ragu. Dia tidak tinggal diam. Dia menangkap pria itu dan m
Malam itu, Salvatore tidak meminum obatnya. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini dia ingin tetap sadar.Malam ini, dia akan pergi. Suan sudah menyiapkan segalanya. Pesawat pribadi, pasukan, rencana pelarian—semua telah diatur dengan sempurna.Salvatore berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit. Jantungnya berdebar kencang. Bukan karena ketakutan, tapi karena antisipasi.Akhirnya, dia bisa keluar dari tempat terkutuk ini. Akhirnya, dia bisa bebas. Dia sudah muak dengan Alessio.Namun, di saat Salvatore mulai merasa sedikit tenang, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.Cklek.Seseorang masuk. Salvatore menoleh dengan cepat.Dan di sana, berdiri seseorang yang paling tidak ingin dia lihat.Alessio.Matanya terlihat aneh.Gelap.Gila.Obsesi yang telah lama dia pendam terlihat jelas di sorot matanya.Salvatore menyipitkan mata, waspada. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dingin.Alessio melangkah mendekat, tatapannya tidak berkedip. Lalu, dengan suara yang tenang tapi ber
Alessio terdiam, matanya membelalak. Pria yang berdiri di hadapannya, menodongkan pistol tepat di antara kedua matanya, bukanlah Suan. Itu Antonio.Antonio yang selama ini terkenal menjadi kaki tangan Salvatore. Antonio yang selalu setia kepada Salvatore—bahkan lebih dari siapapun.Alessio tidak menyangka Antonio akan sampai seperti ini hanya untuk Salvatore. Hal ini membuat Alessio semakin sakit di dalam hatinya.Tubuh Alessio mendadak gemetar. Dia terguncang."Kau ...." Suaranya tercekat, napasnya memburu. "Antonio?!"Antonio tidak menjawab. Tatapan matanya tajam dan dingin. Seperti seekor serigala yang siap mencabik-cabik mangsanya.Dia menyamar dengan mengubah warna kulitnya dan kumis yang sengaja dipanjangkan. Antonio benar-benar totalitas dengan semua rencana menyelamatkan Salvatore yang dia pikirkan sendiri.Namun, Alessio langsung diliputi kemarahan. Darahnya mendidih.Rasa sakit akibat tendangan Salvatore di perutnya tidak seberapa dibandingkan dengan luka yang kini mengoyak
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv