Malam itu, Salvatore tidak meminum obatnya. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini dia ingin tetap sadar.Malam ini, dia akan pergi. Suan sudah menyiapkan segalanya. Pesawat pribadi, pasukan, rencana pelarian—semua telah diatur dengan sempurna.Salvatore berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit. Jantungnya berdebar kencang. Bukan karena ketakutan, tapi karena antisipasi.Akhirnya, dia bisa keluar dari tempat terkutuk ini. Akhirnya, dia bisa bebas. Dia sudah muak dengan Alessio.Namun, di saat Salvatore mulai merasa sedikit tenang, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.Cklek.Seseorang masuk. Salvatore menoleh dengan cepat.Dan di sana, berdiri seseorang yang paling tidak ingin dia lihat.Alessio.Matanya terlihat aneh.Gelap.Gila.Obsesi yang telah lama dia pendam terlihat jelas di sorot matanya.Salvatore menyipitkan mata, waspada. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dingin.Alessio melangkah mendekat, tatapannya tidak berkedip. Lalu, dengan suara yang tenang tapi ber
Alessio terdiam, matanya membelalak. Pria yang berdiri di hadapannya, menodongkan pistol tepat di antara kedua matanya, bukanlah Suan. Itu Antonio.Antonio yang selama ini terkenal menjadi kaki tangan Salvatore. Antonio yang selalu setia kepada Salvatore—bahkan lebih dari siapapun.Alessio tidak menyangka Antonio akan sampai seperti ini hanya untuk Salvatore. Hal ini membuat Alessio semakin sakit di dalam hatinya.Tubuh Alessio mendadak gemetar. Dia terguncang."Kau ...." Suaranya tercekat, napasnya memburu. "Antonio?!"Antonio tidak menjawab. Tatapan matanya tajam dan dingin. Seperti seekor serigala yang siap mencabik-cabik mangsanya.Dia menyamar dengan mengubah warna kulitnya dan kumis yang sengaja dipanjangkan. Antonio benar-benar totalitas dengan semua rencana menyelamatkan Salvatore yang dia pikirkan sendiri.Namun, Alessio langsung diliputi kemarahan. Darahnya mendidih.Rasa sakit akibat tendangan Salvatore di perutnya tidak seberapa dibandingkan dengan luka yang kini mengoyak
Angin malam berhembus kencang di dermaga tempat kapal pesawat milik Il Leone d'Ombra bersiap lepas landas. Lampu-lampu kecil berpendar di sepanjang landasan, menciptakan bayangan panjang dari setiap orang yang berdiri di sana.Di antara mereka, Valeria berdiri tegak, wajahnya penuh tekad. "Aku ikut."Firgo, yang sedang mengatur pasukan untuk misi ini, menghela napas panjang, menekan emosinya yang hampir meledak. Dia menoleh ke arah Valeria dengan wajah bersungut-sungut."Valeria, ini bukan perjalanan biasa," katanya dengan suara rendah namun tegas. "Ini misi penyelamatan yang bisa berakhir dengan baku tembak. Kau sedang hamil! Bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu?"Namun, Valeria tidak goyah. Matanya yang tajam menatap langsung ke arah Firgo."Aku tidak peduli. Aku harus menemui Salvatore."Firgo menggertakkan giginya. Dia benar-benar kesal.Membawa wanita hamil dalam misi penuh risiko bukanlah ide yang masuk akal. Apalagi Valeria bukan seorang prajurit. Dia hanya seorang wanita yan
Asap hitam mengepul ke langit, membentuk gumpalan pekat yang menandakan kehancuran total vila. Valeria berdiri terpaku, dadanya naik turun dengan napas yang tidak beraturan. Salvatore… pikirnya. Jantungnya berdebar semakin kencang, mencengkeram hatinya dengan ketakutan dan harapan yang bercampur menjadi satu.Firgo mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada pasukan Il Leone d'Ombra untuk terus maju. Mereka menyusup perlahan ke dalam hutan yang mengelilingi vila, berhati-hati di antara rerimbunan pohon dan semak-semak. Aroma asap yang menyengat menusuk hidung mereka, bercampur dengan bau kayu yang terbakar.Valeria menguatkan hatinya dan melangkah bersama mereka, meski tubuhnya dipenuhi kegelisahan yang tak tertahankan. Bagaimana jika Salvatore terluka? Bagaimana jika dia…? Dia menggelengkan kepala, menepis pikiran buruk itu. Tidak. Dia tidak boleh berpikir seperti itu. Dia harus percaya bahwa Salvatore masih hidup.Saat langkahnya semakin mendekati area vila yang kini nyaris rata de
Antonio berusaha mendorong kursi roda Salvatore dengan cepat, matanya menyapu sekeliling mencari celah untuk kabur. Namun, baru beberapa langkah mereka melangkah keluar dari vila yang sudah hancur sebagian akibat ledakan, belasan hingga puluhan anak buah Alessio muncul dari berbagai sudut. Mereka mengepung Antonio dan Salvatore, membentuk lingkaran yang rapat dengan senjata tajam di tangan.Sial, Antonio benar-benar tak menyangka Alessio sudah mengantisipasi kemungkinan ini. Seharusnya dia memperhitungkan hal ini sejak awal. Namun, sekarang bukan waktunya untuk menyesal. Dia harus fokus melindungi Salvatore.Salvatore yang masih lemah di kursi roda melihat sekeliling dengan napas tertahan. Tangannya mencengkeram pegangan kursi, rasa frustrasi dan kemarahan bercampur jadi satu. Dia tahu dirinya adalah beban saat ini, dan itu membuatnya semakin muak."Antonio ..., kita terkepung," gumamnya, suaranya serak.Antonio berdiri tegak di depan Salvatore, tubuhnya sedikit membungkuk dalam posis
Firgo dan pasukannya tiba dengan cepat, langsung mengarahkan senjata mereka ke arah Alessio dan anak buahnya yang semakin banyak berdatangan dari segala penjuru. Situasi berubah dalam hitungan detik—senjata diacungkan, napas tertahan, dan ketegangan melingkupi udara yang terasa semakin berat.Di tengah medan yang kacau ini, seseorang dari anak buah Alessio telah menawan Salvatore, menekannya ke tanah dengan pistol diarahkan ke kepalanya. Salvatore yang sudah babak belur tidak bisa banyak melawan, tetapi matanya masih menyala dengan amarah dan ketidakrelaan.Tak jauh darinya, Antonio yang juga tersungkur di tanah, masih dalam kondisi terluka, hanya bisa menatap situasi dengan rahang mengatup rapat. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya—Alessio, yang seharusnya sudah mati setelah tembakan di dadanya, masih berdiri tegak dengan darah segar yang merembes dari luka tembaknya. Sepertinya dia memaksakan diri untuk terus bergerak, tekadnya untuk memiliki Salvatore lebih kuat dari ras
Morgan keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa, langkahnya cepat menghantam aspal saat ia berjalan menuju pintu markas. Wajahnya penuh dengan ketegangan, napasnya memburu karena perasaan cemas yang tak bisa ia kendalikan.Sejak tadi malam, ia melihat Valeria keluar rumah, dan firasat buruk langsung mencengkeram hatinya. Kini, dia di sini, dan yang ada di pikirannya hanya satu hal—Valeria.Begitu dia masuk ke dalam markas, matanya langsung mencari sosok Valeria, tetapi yang ia lihat hanyalah Dante yang tengah berdiri di dekat meja dengan ekspresi serius. Morgan mendekatinya, suaranya berat dan penuh tekanan saat bertanya, "di mana Valeria?"Dante menatapnya sebentar, lalu menghela napas. "Nyonya Valeria tidak ada di sini.""Tidak ada di sini? Apa maksudmu?""Dia sudah pergi dengan pasukan beberapa jam yang lalu," lanjut Dante yang sudah menduga jika Morgan mencari Valeria.Morgan terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. Namun, ketika pemahamannya datang, dadanya langsung teras
Di dalam pesawat pribadi yang terbang di atas Samudra Pasifik, suasana terasa tegang. Lampu-lampu kabin berpendar samar, menciptakan bayangan-bayangan panjang di wajah-wajah yang kelelahan dan terluka.Di salah satu kursi, Valeria terbaring lemah dengan napas tersengal. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahinya, dan matanya sesekali terpejam menahan rasa sakit. Wanita itu sudah setengah kehilangan kesadarannya. Darah masih merembes dari perban darurat yang melilit perutnya, bukti dari luka yang Alessio tinggalkan.Salvatore duduk di sampingnya, menggenggam erat tangannya yang juga berlumuran darah. Jari-jarinya sedikit gemetar, bukan karena rasa takut, melainkan karena sesuatu yang mengusik pikirannya.Dia masih belum sepenuhnya memahami kenapa melihat Valeria seperti ini membuat hatinya terasa seakan diremas. Sebuah perasaan yang familiar, namun asing pada saat yang bersamaan.Antonio, yang duduk tak jauh dari mereka, tampak lelah dengan luka di lengannya yang terus mengalirk
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv