Pesan Untuk Pasangan :Selama ia masih bisa kita sentuh dengan jari jemari, selama ia masih nyata dalam penglihatan, selama ia masih bisa kita dekap dengan kedua tangan. Cintailah pasanganmu. Karena jika sudah sampai waktunya ajal sebagai pemisah, kau akan melepasnya dengan bahagia.*Maryam Anggraini.Adalah nama yang Mas Radit berikan pada janin yang sudah terlahir ke dunia ini. Jika memang ternyata benar ia kelak terlahir sebagai seorang wanita. Alhamdulillah hari ini hari ketujuh kelahirannya. Syukuran akiqah ala kadar pun kugelar di rumah. Mengundang sejumlah teman, kerabat juga tetangga. Diawali dengan tahlilan yang diniatkan untuk almarhum Mas Radit, lalu dilanjutkan dengan zikir penyambut bayi. Seterusnya berbagai ritual bayi baru lahir dilaksanakan, termasuk pemotongan rambut dan pemberian nama.Kusambut para tamu yang berdatangan sembari terus memomong Maryam. Lega rasanya sudah sampai sejauh ini membesarkan bayi Maryam, meski tanpa kehadiran Mas Radit di sisi. Diantara k
Indra pendengaranku hampir tak ingin mempercayai apa yang kudengar kini.Kenapa nama itu lagi? Apa dia juga lelaki yang seminggu lalu ditemui Bik Ina di Rumah Sakit Ciawi? Kenapa sekarang bisa ada di sini?Berbagai pertanyaan, melintas lalu di dalam jiwa. Kemana aku harus mencari jawabannya?Kusambut uluran tangan lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Raditya Alfarisy. Mataku kian membidik wajahnya dengan jarak dekat. Kupastikan tiap inci pahatan yang Allah lukiskan di wajah itu.Dengan teliti keselidiki ukuran hidung, lebar bola mata, bentuk bibir hingga lebar rahang."Hai."Aku tersentak saat dia menggerak-gerakkan tangannya di hadapan wajah."Maaf. Tadinya saya melihat anda sebagai kembaran suami saya. Ternyata bukan."Dia tampak mendelik, lalu tersenyum."Tentu banyak sekali kesamaan indra yang diciptakan Allah pada manusia. Mungkin saya dan almarhum suamimu salah satu contoh. Tapi bisa dipastikan, saya bukan kembarannya."Dia tersenyum. Senyuman yang berhasil melempar angank
Pagi yang cerah, sinar mentari kekuningan terasa begitu menyejukkan selepas hujan terus mengguyur Kota Metropolitan ini. Kurapatkan jaket seraya mendorong kereta bayi keluar pagar. Di sampingku, Akbar tampak semangat dengan sepedanya. Hari ini kami berencana jalan-jalan di sekitar perumahan, dan mungkin akan berhenti sebentar di taman. Ada tempat bermain dan beberapa kursi untuk beristirahat di sana."Ma, Akbar duluan."Putra sulungku pamit terlebih dahulu."Hati-hati, Nak. Tunggu Mama di taman, ya.""Oke Mama."Selepas kepergian Akbar, kulanjutkan perjalanan sambil mendorong kereta Maryam. Rumah pertama yang kami lewati adalah rumah Dokter Radit. Dari luar kuperhatikan, keadaan sepi. Pintu rumah bahkan tertutup rapat.Ah, aman. Setidaknya tidak perlu menyapa siapapun. Kupercepat langkah hingga melewati rumah mewah tersebut.Baru sekitar sepuluh meter berjalan, seseorang dari belakang meneriakkan namaku. Kubalikkan tubuh.Hah, Dokter Radit?Dia berjalan cepat menghampiriku dan Maryam
"Akbar nanti pulang jam berapa, Nak?"Dokter Radit bertanya pada anakku. Entah kenapa hati ini merasa sungkan, pasti dokter Radit berniat untuk menjemput Akbar."Jam dua, Om.""Tungguin Om ya. Nanti Om yang antar pulang."Nah kan?"Jangan Dok--?"Tatapan Dokter Radit membuat ucapanku terpotong."Nggak papa Al, lagian kamu 'kan nggak bawa mobil. Jadi kamu juga biar skalian saya yang antar nanti."Hah?Kedua alisku terangkat. Tak mengerti."Saya bisa pulang naik taksi, Dok. Akbar juga bisa saya yang jemput. Dokter jangan repot-repot. Sudah dikasih tumpangan pagi ini saja, kami sudah sangat berterima kasih.""Yah, Mama, Akbar nggak mau naik taksi, Akbar mau dijemput sama Om Radit aja. Boleh 'kan Om?""Tentu boleh, kan tadi Om Radit yang nawari.""Yeyy!"Aku menghela napas melihat tingkah Akbar hari ini. Tidak biasanya dia dekat dengan orang lain, apalagi jika itu lelaki. Tapi, kenapa dengan dokter Radit, Akbar bersikap lain?"Kalau Mama Akbar mau naik taksi, yaudah nggak papa. Berarti Om
Dokter Radit sudah sampai di lantai bawah, sedang aku masih berdiri di lantai dua. Pemandangan yang kurasakan kini, membuat dada seakan luluh lantah. Setahun yang lalu, kejadian seperti ini pernah terjadi. Bedanya saat itu, suamiku masih hidup. Ia sendiri yang mengangkat Akbar saat mendapati bocah itu demam hingga kejang. Dan kini, aku kembali harus menyaksikan seorang lelaki menggendong anakku yang tengah sakit. Dan lagi yang paling membuat hati ini perih, saat kutahu, bahwa Akbar memanggil lelaki tersebut dengan sebutan ayah.Ya Allah ..."Al, buruan."Panggilan Dokter Radit mengembalikan semua kelebatan memori. Aku usahakan agar kaki ini mampu untuk kembali berjalan. Sampai di teras. Ia yang sudah menunggu memintaku masuk terlebih dahulu."Kamu masuk duluan, biar saya tidurkan Akbar di atas pangkuan," perintahnya yang tak pelak kuikuti jua.Saat lelaki itu menidurkan Akbar di atas pangkuan. Sejenak jantung ini seperti tersentak kuat. Aku merapatkan geraham, menahan sedemikian ra
Kami baru saja sampai di rumah, setelah dua hari menemani Akbar dirawat di rumah sakit. Selepas kejadian pengusiranku pada Dokter Radit hari itu, kami tak pernah lagi bernicara. Jika visit ke ruangan, dia hanya akan berbicara dengan Akbar. Sesekali mata kami saling memandang. Namun, selebihnya terbuang ke dua arah yang berbeda. Biarlah, toh bukankah ini yang kuinginkan?Begitu kami sampai di rumah, kegiatan kembali seperti semula. Menyiapkan makan malam hingga membersihkan rumah yang sudah dua hari tak berpenghuni. Lelah, akhirnya kupilih merebahkan sejenak diri di atas ranjang. Mataku buka tutup melihat putri satu-satunya yang kini terlihat semakin berisi. Matanya masih terpejam. Cantik sekali, hidungnya menuruni karakter hidung Mas Radit, mata seperti mataku, bentuk bibir persis seperti milik suamiku, sedang bentuk muka seperti mukaku. "Kamu pasti akan jatuh cinta Mas, jika kamu melihat bayi kita." Kuberbisik pada angin yang berembus. Namun bisikan itu justru membuat sesuatu ke
Segera kuangkat langkah sebelum Dokter Radit berhasil mengajakku kembali berbicara. Aku sudah berusaha memberinya kesempatan, tapi apa? Dokter Resty seperti punya antene dimana-mana. Lebih baik aku menghindari calon suami wanita itu, daripada membuat keributan di rumah sakit ini.Kupercepat langkah. Sampai di ruangan rawatan, meski belum saatnya operan, diri ini tak jua duduk. Lekas memeriksa segala persiapan pergantian shift baik itu status pasien, obat-obatan hingga jumlah pasien sendiri.Dokter Radit yang pada akhirnya sampai juga di ruangan, tak bisa menghentikan aktivitasku.Kulihat dengan tak bersemangat dia membalikkan badannya. Entah apa yang ingin ia sampaikan, tapi demi apapun aku tidak boleh lagi memberinya kesempatan bicara.Huhft.Selepas kepergian Dokter Radit, kucoba mendudukkan diri di meja perawat, membiarkan angan kembali dilempar saat tadi sempat duduk di kantin bersama dengan lelaki itu."Kenapa kamu bersikap begitu dingin, Al? Saya tidak suka."Apa maksud ucapann
Kematian adalah rahasia Allah, kapanpun waktu itu sampai, tidak ada satupun yang akan jadi penghalang. Hari ini aku tahu, mengapa manusia selama hidupnya disuruh berbuat kebaikan dan menjauhi semua keburukan. Karena saat malaikat pencabut nyawa sudah menghampiri, tidak ada satupun yang akan menolong kecuali amalan. Lelaki yang tak pernah ada dalam bayangan akan bertemu, kini menghembuskan napas terakhirnya bersamaku. Sekali lagi, apakah ini yang dikatakan takdir Allah tidak pernah meleset?Kuangkat kaki menjauh dari kerumunan tim medis yang berusaha mengembalikan detak jantung papa Dokter Radit. Di sudut ruangan, ibunda dokter menangis seorang diri. Kudekati ia untuk memberi semangat.Wanita itu merebahkan kepalanya pada pundakku. Kilas kepergian Mas Radit kembali berkelindan dalam jiwa. Aku tahu wanita ini amat sangat takut, sama seperti yang kualami dulu ketika detak jantung Mas Radit tiba-tiba saja datar. Terlihat Dokter dan perawat menghentikan kegiatannya. Lalu tak lama berjal