"Akbar nanti pulang jam berapa, Nak?"Dokter Radit bertanya pada anakku. Entah kenapa hati ini merasa sungkan, pasti dokter Radit berniat untuk menjemput Akbar."Jam dua, Om.""Tungguin Om ya. Nanti Om yang antar pulang."Nah kan?"Jangan Dok--?"Tatapan Dokter Radit membuat ucapanku terpotong."Nggak papa Al, lagian kamu 'kan nggak bawa mobil. Jadi kamu juga biar skalian saya yang antar nanti."Hah?Kedua alisku terangkat. Tak mengerti."Saya bisa pulang naik taksi, Dok. Akbar juga bisa saya yang jemput. Dokter jangan repot-repot. Sudah dikasih tumpangan pagi ini saja, kami sudah sangat berterima kasih.""Yah, Mama, Akbar nggak mau naik taksi, Akbar mau dijemput sama Om Radit aja. Boleh 'kan Om?""Tentu boleh, kan tadi Om Radit yang nawari.""Yeyy!"Aku menghela napas melihat tingkah Akbar hari ini. Tidak biasanya dia dekat dengan orang lain, apalagi jika itu lelaki. Tapi, kenapa dengan dokter Radit, Akbar bersikap lain?"Kalau Mama Akbar mau naik taksi, yaudah nggak papa. Berarti Om
Dokter Radit sudah sampai di lantai bawah, sedang aku masih berdiri di lantai dua. Pemandangan yang kurasakan kini, membuat dada seakan luluh lantah. Setahun yang lalu, kejadian seperti ini pernah terjadi. Bedanya saat itu, suamiku masih hidup. Ia sendiri yang mengangkat Akbar saat mendapati bocah itu demam hingga kejang. Dan kini, aku kembali harus menyaksikan seorang lelaki menggendong anakku yang tengah sakit. Dan lagi yang paling membuat hati ini perih, saat kutahu, bahwa Akbar memanggil lelaki tersebut dengan sebutan ayah.Ya Allah ..."Al, buruan."Panggilan Dokter Radit mengembalikan semua kelebatan memori. Aku usahakan agar kaki ini mampu untuk kembali berjalan. Sampai di teras. Ia yang sudah menunggu memintaku masuk terlebih dahulu."Kamu masuk duluan, biar saya tidurkan Akbar di atas pangkuan," perintahnya yang tak pelak kuikuti jua.Saat lelaki itu menidurkan Akbar di atas pangkuan. Sejenak jantung ini seperti tersentak kuat. Aku merapatkan geraham, menahan sedemikian ra
Kami baru saja sampai di rumah, setelah dua hari menemani Akbar dirawat di rumah sakit. Selepas kejadian pengusiranku pada Dokter Radit hari itu, kami tak pernah lagi bernicara. Jika visit ke ruangan, dia hanya akan berbicara dengan Akbar. Sesekali mata kami saling memandang. Namun, selebihnya terbuang ke dua arah yang berbeda. Biarlah, toh bukankah ini yang kuinginkan?Begitu kami sampai di rumah, kegiatan kembali seperti semula. Menyiapkan makan malam hingga membersihkan rumah yang sudah dua hari tak berpenghuni. Lelah, akhirnya kupilih merebahkan sejenak diri di atas ranjang. Mataku buka tutup melihat putri satu-satunya yang kini terlihat semakin berisi. Matanya masih terpejam. Cantik sekali, hidungnya menuruni karakter hidung Mas Radit, mata seperti mataku, bentuk bibir persis seperti milik suamiku, sedang bentuk muka seperti mukaku. "Kamu pasti akan jatuh cinta Mas, jika kamu melihat bayi kita." Kuberbisik pada angin yang berembus. Namun bisikan itu justru membuat sesuatu ke
Segera kuangkat langkah sebelum Dokter Radit berhasil mengajakku kembali berbicara. Aku sudah berusaha memberinya kesempatan, tapi apa? Dokter Resty seperti punya antene dimana-mana. Lebih baik aku menghindari calon suami wanita itu, daripada membuat keributan di rumah sakit ini.Kupercepat langkah. Sampai di ruangan rawatan, meski belum saatnya operan, diri ini tak jua duduk. Lekas memeriksa segala persiapan pergantian shift baik itu status pasien, obat-obatan hingga jumlah pasien sendiri.Dokter Radit yang pada akhirnya sampai juga di ruangan, tak bisa menghentikan aktivitasku.Kulihat dengan tak bersemangat dia membalikkan badannya. Entah apa yang ingin ia sampaikan, tapi demi apapun aku tidak boleh lagi memberinya kesempatan bicara.Huhft.Selepas kepergian Dokter Radit, kucoba mendudukkan diri di meja perawat, membiarkan angan kembali dilempar saat tadi sempat duduk di kantin bersama dengan lelaki itu."Kenapa kamu bersikap begitu dingin, Al? Saya tidak suka."Apa maksud ucapann
Kematian adalah rahasia Allah, kapanpun waktu itu sampai, tidak ada satupun yang akan jadi penghalang. Hari ini aku tahu, mengapa manusia selama hidupnya disuruh berbuat kebaikan dan menjauhi semua keburukan. Karena saat malaikat pencabut nyawa sudah menghampiri, tidak ada satupun yang akan menolong kecuali amalan. Lelaki yang tak pernah ada dalam bayangan akan bertemu, kini menghembuskan napas terakhirnya bersamaku. Sekali lagi, apakah ini yang dikatakan takdir Allah tidak pernah meleset?Kuangkat kaki menjauh dari kerumunan tim medis yang berusaha mengembalikan detak jantung papa Dokter Radit. Di sudut ruangan, ibunda dokter menangis seorang diri. Kudekati ia untuk memberi semangat.Wanita itu merebahkan kepalanya pada pundakku. Kilas kepergian Mas Radit kembali berkelindan dalam jiwa. Aku tahu wanita ini amat sangat takut, sama seperti yang kualami dulu ketika detak jantung Mas Radit tiba-tiba saja datar. Terlihat Dokter dan perawat menghentikan kegiatannya. Lalu tak lama berjal
"Mas Adit, ini adalah surat pertama dan terakhir yang akan saya kirimkan untukmu. Saya tidak ingin meminta padamu untuk mengunjungi kami, hanya saja hendak mengabarkan bahwa benih yang kau titip secara hina dan kau suruh gugurkan, telah kupelihara. Hingga kini usianya sudah memasuki dua tahun. Tidak sepertimu, pengecut. Dia tumbuh menjadi lelaki bijaksana yang begitu mencintaiku. Dengar Mas Adit, aku akan pergi sejauh mungkin darimu, hingga suatu saat jika kau sudah menyesali perbuatanmu dan hendak mencariku. Kau akan kebingungan. Sama sepertiku yang kebingungan menyambung hidup akibat ulahmu. Perlu kau tahu Mas Adit, kesalahanmu tidak pernah akan aku maafkan. Kecuali satu, jika kau bisa menemukanku dan tidur di sebelahku di alam kubur!"*Isi surat mama mertua masih terus melintas lalu di dalam benak. Bisa kubayangkan bagaimana penderitaan ibunda suamiku saat beliau masih muda. Pantaslah jika dia sangat mencintai Mas Radit, anak yang diusahakan kehidupannya, sedang disekiling past
[Bisa ketemu sebentar?]Mataku mendelik tak percaya, Dokter Resty minta bertemu. Sesaat rasa khawatir meliputi dada, takut jika ia punya niat buruk. Astaghfirullah.[Ada apa, Dok?][Ini sehubungan dengan pemberhentianmu di rumah sakit.]Sesuatu menyentak jantungku. [Dimana, Dok?][Cafe Bambu.]Seketika kepala berpikir keras, akankah ada kebaikan dan manfaat jika aku bertemu dengannya? Atau malah akan melaratkan diri. Huh.[Gimana, bisa nggak?]Dia kembali mengirimkanku pesan.[Baik, Dok]Sebenarnya hampir 100 persen hati menolak datang, tapi rasa penasaran menuntun langkah ini untuk memenuhi ajakannya.Kutitip Maryam pada Bik Ina, lalu bergegas melajukan mobil menuju tempat yang disebutkan tadi oleh Dokter Resty. Sebelum pergi, aku memberitahu pada Bik Ina tujuan kepergianku ini. Entah kenapa, hati merasa takut.Lima belas menit mengemudi, sampailah aku di Cefe Bambu. Kuparkirkan mobil lalu menarik langkah memasuki tempat tersebut.Setelah menelisik seluruh ruangan, tampaklah wani
Dua orang perawat memasuki bilik tempatku dirawat sementara di UGD ini. Kedatangan mereka sejenak menjadi penahan akan jawaban yang harus kuberi pada Dokter Radit.Dia menggeser tubuhnya ke belakang, sedang dua perawat tadi mulai mendekatiku."Bagaimana Mbak, bisa duduk di kursi roda atau kita naikkan ke atas brangkar?"Lekas kujawab."Di atas kursi roda saja, Sus."Mereka segera membantuku bangun dan kemudian menaiki kursi roda. Tak lupa salah satu diantara perawat perempuan itu memperbaiki jilbabku yang entah seperti apa sudah kondisinya.Sampai di ruangan, suasana khas kamar VIP mulai terasa. Dua perawat kembali melajukan kursi roda hingga ke dekat ranjang. Di belakang, Dokter Radit tampak membuntuti."Sudah beres ya Mbak, kalau ada apa-apa bisa langsung pencet tombol panggilan," ucap salah satu diantara perawat tersebut.Aku mengangguk paham. Setelah membereskan cairan infus, mereka pamit. Sedang di ambang pintu, Dokter Radit masih berdiri menatap ke dalam sini.Walau kelihatan ra
"Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l
[Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t
"Yah, aku rindu sama Ayah Radit."Ucapan Akbar membuat mulut ini terhenti dari membacakan sirah nabi. Kututup buku serta merespon apa yang sedang dirasakan anak sambungku itu."Kalau Akbar rindu sama Almarhum Ayah, berarti Akbar harus ngirim doa. Minimal Alfatihah. Biar Ayah merasa bahagia karena sudah meninggalkan anak yang shaleh di dunia ini."Akbar mengangguk lalu mengangkat kedua tangan. Pelan lafaz surat Al-Fatihah mengalun dari bibirnya."Yah, apa ayah Radit bisa melihatku di sana?"Lagi-lagi aku dibuat bergetar dengan pertanyaan Akbar. Sekian lama menikahi ibunya, baru malam ini dia bercerita tentang almarhum sang ayah. Ternyata benar seperti kata Alya, Akbar adalah bocah yang sangat pintar memanage perasaan."Tentu bisa Sayang, makanya Akbar harus jadi anak baik, rajin shalat dan mengaji serta sayang sama Mama dan Dedek Maryam.""Aku udah ngelakuin semuanya, Yah.""Kalau gitu, pasti Ayah Radit sangat bangga pada Akbar.""Benar, Yah?""Iya, Sayang.""Akbar mau ngomong sama Mam
"Mas, ada flek ini." Alya berlari dari dalam kamar mandi sambil menunjuk sesuatu. Jantungku berdegup kuat menatap apa yang ada di tangan Alya. Fleknya lumayan banyak. Apakah ini efek dari berturut-turut bercocok tanam? Astaghfirullah! "Mas sih, lasak. Alya 'kan sudah ingatin." Dia merengut sambil merebahkan kepalanya di atas pundakku. Entah bagaimana jika istriku ini sedang menaruh kesal. Sebab yang aku tahu, saat kesal, Alya selalu menempel di tubuh ini. "Maaf ya, Mas janji nggak akan melakukannya lagi," ucapku terbata sambil mengelus pipinya Masih dengan rasa khawatir yang memenuhi rongga dada. Alya terlonjak dan menatapku seketika. Kenapa? Apa aku salah bicara? "Benar, Mas nggak akan melakukannya lagi? Sampai sembilan bulan?" Mataku berkedip cepat, melakukan apa? Sejenak kepala dengan cepat berpikir. Ketika sudah paham yang Alya maksud, jiwa ini malah bergidik ngeri. Tidak melakukan selama sembilan bulan? Hmm, lumayan lama. "Maksud Mas, nggak akan lasak lagi jika kita sed
POV Radit***Oooeekkk!Oooeekkk!Sudah beberapa kali aku keluar masuk kamar mandi. Tiba-tiba perut ini terasa mulas, dan ingin mengeluarkan isinya. Tapi hingga berkali-kali kumuntahkan, tak ada satupun yang keluar dari lambung.Alya mengurut punggungku sambil membaluri dengan minyak telon. Eh, bau minyak itu malah membuatku kembali mual."Mas ...."Istriku menyentuh lengan ini saat diri sudah kembali rebah di atas ranjang. Jam baru menunjukkan pukul lima subuh."Iya, Yank."Aku memandanginya sambil mengelus pipi. Seharusnya dimana-mana kalau istri sedang hamil, dia akan muntah-muntah di pagi hari. Lalu seperti suami siaga lain, aku ada di sisinya untuk menyemangati dan mengurangi segala keluhan. Tapi yang terjadi pada kami? Alya malah yang harus melayaniku."Kayaknya Mas mengalami morning sickness deh."Dua bola mataku membelalak mendengar ucapannya."Masak iya kamu yang hamil Mas yang morning sickness?"Kedua sudut bibirnya kembali tertarik menjauh. Lalu dia memelukku."'Kan emang a
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mata belum juga mau terpejam. Kulangkahkan kaki perlahan menuju kamar Akbar, rasa menuntun diri untuk kembali melihatnya. Pelan, aku membuka pintu. Tampak di mata, suamiku sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Di tangannya sebuah buku biografi Buya Hamka menemani.Tak berani masuk, aku menutup pintu dan memilih kembali ke kamar. Entah untuk pukul berapa, mata ini akhirnya terpejam juga.*Sebelum subuh, diri ini sudah lebih dahulu terjaga. Dapur masih sepi, bahkan kamar ART saja masih tertutup rapat. Kusiapkan sarapan istimewa untuk Mas Radit, hari ini dia harus mau berbicara. Akan kuberi perhatian lebih, dimulai dari segala persiapannya kerja, lanjut sarapan.Tepat saat azan berkumandang, aku menyerahkan sisa pekerjaan pada ART dan bergegas ke kamar Akbar. Pelan aku membuka pintu kamar anakku itu. Sesuai rencana, Mas Radit masih berbalut selimut. Aku mendekati ranjang lalu duduk di sisi suamiku tertidur.Pelan, kukecup keningnya sam
Tanpa mengulur waktu, lekas aku menelpon Mas Radit. Jantung sudah tidak bisa kugambarkan lagi dentumannya. Panggilan pertamaku direject.Tak putus asa, aku kembali menelpon. Direject lagi.Ya Allah ...Kucoba ketiga kali, tetap direject. Tak lagi menelpon, kini aku mengetik sebuah pesan.[Tolong angkat telponnya, Mas. Alya bisa jelaskan semua ini.]Tak ada balasan. Kini ponselnya malah tidak lagi aktif. Semua terlambat. Andai dari semalam aku jujur, tentu tak akan seperti ini kejadiannya.Tubuhku terduduk lemah di atas ranjang. Sejenak, anganku terlempar pada kejadian enam tahun silam. Seperti ada yang menghunus jantung ini. Sakitnya terasa hingga ke sekujur tubuh. Ya Allah, tolong beri kesempatan bagi hamba untuk menjelaskan semuanya pada Mas Radit.*Akbar turun di depan gerbang sekolah. Meski tak ingin melakukan kegiatan apapun tersebab hati masih dipenuhi kekhawatiran, tapi aktifitas tidak boleh berhenti. Akbar harus tetap ke sekolah. Masalah yang sedang kuhadapi dengan Mas Radit
Mata kami bertemu sejenak hingga aku lepas kontrol dan berlari menuju pintu. Kugedor-gedor pintu kamar sambil berteriak minta tolong."Tolong! Buka pintunya!"Seperti kesurupan, aku berlari mencari celah agar bisa keluar. Tapi gerakanku tak mendapat cegahan. Sedang biasa, jika seorang lelaki hendak memperkosa, pasti dia akan langsung menyerang. Kenapa Mas Tama justru tidak begitu?Lelah berlari, akhirnya aku memilih berhenti, duduk kembali di atas ranjang dengan terengah-engah.Kumenoleh menatap Mas Tama yang ... sudah selesai berpakaian."Udah lari-larinya? Kamu lucu, Al."Dia terkekeh-kekeh menahan tawa. Sedang di sini, aku masih dengan emosi yang tak terkendali."Kenapa saya ada di sini? Mas Tama udah apain saya?"Dia menoleh, membuat degup jantung ini kian menyentak."Saat kamu keluar dari rumah Nina, saya ngikuti. Terus kamu dibawa oleh seorang wanita yang saya nggak kenal siapa. Dan di tengah jalan, mobilmu diberhentikan. Dia keluar untuk kemudian menaiki taksi."Dua bola matak
Selepas kepergian Mas Radit, meski tak bergairah aku tetap harus menjalani semua aktivitas seperti biasa. Mengurus dua anak serta membantu di rumah ibu mertua sebisa mungkin. Juga tak lupa mengawasi rumah almarhum Mas Radit yang kini ditempati oleh Ina beserta seorang sanak keluarganya. Hingga malam tiba, aku sangat terkejut dengan mampirnya sebuah nomor yang tak lain adalah nomor ponsel Nina, sahabat karibku semasa kuliah dahulu.[Assalamualaikum, Al.][Waalaikum salam.][Apa kabar, Al?][Alhamdulillah sehat, Nin. Kamu sekeluarga gimana?][Alhamdulillah, kami semua sehat. Al, besok malam ada kegiatan apa?][Kegiatan? Kalau malam sih nggak pernah ada kegiatan.][Datang ke acara syukuran kecil-kecilan di rumahku ya, Al. Acaranya habis isya, ajak suami dan anak-anakmu juga. Biar bisa saling kenal.][Suamiku lagi tugas luar kota, Nin.][Yah, padahal pengen sekali ketemu sama kamu, Al. Kemarin di acara reuni kampus juga kamu nggak datang.]Suara Nina di ujung telpon terdengar pilu. Seben