"Mas Adit, ini adalah surat pertama dan terakhir yang akan saya kirimkan untukmu. Saya tidak ingin meminta padamu untuk mengunjungi kami, hanya saja hendak mengabarkan bahwa benih yang kau titip secara hina dan kau suruh gugurkan, telah kupelihara. Hingga kini usianya sudah memasuki dua tahun. Tidak sepertimu, pengecut. Dia tumbuh menjadi lelaki bijaksana yang begitu mencintaiku. Dengar Mas Adit, aku akan pergi sejauh mungkin darimu, hingga suatu saat jika kau sudah menyesali perbuatanmu dan hendak mencariku. Kau akan kebingungan. Sama sepertiku yang kebingungan menyambung hidup akibat ulahmu. Perlu kau tahu Mas Adit, kesalahanmu tidak pernah akan aku maafkan. Kecuali satu, jika kau bisa menemukanku dan tidur di sebelahku di alam kubur!"*Isi surat mama mertua masih terus melintas lalu di dalam benak. Bisa kubayangkan bagaimana penderitaan ibunda suamiku saat beliau masih muda. Pantaslah jika dia sangat mencintai Mas Radit, anak yang diusahakan kehidupannya, sedang disekiling past
[Bisa ketemu sebentar?]Mataku mendelik tak percaya, Dokter Resty minta bertemu. Sesaat rasa khawatir meliputi dada, takut jika ia punya niat buruk. Astaghfirullah.[Ada apa, Dok?][Ini sehubungan dengan pemberhentianmu di rumah sakit.]Sesuatu menyentak jantungku. [Dimana, Dok?][Cafe Bambu.]Seketika kepala berpikir keras, akankah ada kebaikan dan manfaat jika aku bertemu dengannya? Atau malah akan melaratkan diri. Huh.[Gimana, bisa nggak?]Dia kembali mengirimkanku pesan.[Baik, Dok]Sebenarnya hampir 100 persen hati menolak datang, tapi rasa penasaran menuntun langkah ini untuk memenuhi ajakannya.Kutitip Maryam pada Bik Ina, lalu bergegas melajukan mobil menuju tempat yang disebutkan tadi oleh Dokter Resty. Sebelum pergi, aku memberitahu pada Bik Ina tujuan kepergianku ini. Entah kenapa, hati merasa takut.Lima belas menit mengemudi, sampailah aku di Cefe Bambu. Kuparkirkan mobil lalu menarik langkah memasuki tempat tersebut.Setelah menelisik seluruh ruangan, tampaklah wani
Dua orang perawat memasuki bilik tempatku dirawat sementara di UGD ini. Kedatangan mereka sejenak menjadi penahan akan jawaban yang harus kuberi pada Dokter Radit.Dia menggeser tubuhnya ke belakang, sedang dua perawat tadi mulai mendekatiku."Bagaimana Mbak, bisa duduk di kursi roda atau kita naikkan ke atas brangkar?"Lekas kujawab."Di atas kursi roda saja, Sus."Mereka segera membantuku bangun dan kemudian menaiki kursi roda. Tak lupa salah satu diantara perawat perempuan itu memperbaiki jilbabku yang entah seperti apa sudah kondisinya.Sampai di ruangan, suasana khas kamar VIP mulai terasa. Dua perawat kembali melajukan kursi roda hingga ke dekat ranjang. Di belakang, Dokter Radit tampak membuntuti."Sudah beres ya Mbak, kalau ada apa-apa bisa langsung pencet tombol panggilan," ucap salah satu diantara perawat tersebut.Aku mengangguk paham. Setelah membereskan cairan infus, mereka pamit. Sedang di ambang pintu, Dokter Radit masih berdiri menatap ke dalam sini.Walau kelihatan ra
"Sebentar ya, Al," ucap Dokter Radit setelah melihat sekilas pada layar ponselnya.Lelaki itu mundur perlahan lalu sosoknya menghilang di balik pintu. Kuhela napas sejenak. Padahal yang kutahu, tadi dia seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi karena telpon yang mesuk ke ponselnya, semua jadi urung ia katakan.Lagi-lagi, hati ini kembali merasa kesal. Tapi kenapa?Sesaat suasana kamar jadi kembali hening. Kucoba meyakinkan diri, bahwa siapapun yang mendekatinya, bukan menjadi urusanku. Segala pertolongan yang dilakukan Dokter Radit, harus kuanggap sebagai bentuk kebaikan sesama saudara. Tidak lebih. Dan inilah yang terbaik, setidaknya jiwa ini tidak harus memikirkan sesuatu yang bukan menjadi milik diri.Mencoba meredakan gemuruh di dada, kuedarkan pandangan ke depan, menatap Akbar yang tampak tertidur nyenyak. Entah kenapa seolah kembali melihatnya dalam pelukan Dokter Radit. Ya Allah ...Lima belas menit berlalu, lelaki itu tidak jua kembali ke ruangan ini. Mataku masih belum bisa
Kaki kini sudah menginjak tanah pemakaman umum di Jakarta Barat. Sepanjang perjalanan, embusan angin terasa begitu menyejukkan. Tiap langkah menuju tempat terakhir peristirahatan Mas Radit, ada banyak rindu yang terurai.Meski sebulan sekali kami datang berkunjung, tapi tetap saja rindu itu seakan seabad sudah terkumpul. Kutengadahkan kedua tangan, memanjatkan sekian banyak doa untuk kelapangan Mas Radit di alam kubur.Setelah selesai membacakan doa, kini Akbar yang memimpin bacaan beberapa surat pendek. Setelahnya baru sama-sama kami membuka mushaf untuk kemudian melantunkan surat Yasin.Kugerakkan tangan menyirami gundukan tanah almarhum suamiku dengan air bunga. Pelan diri ini berbisik, bisa atau tidak ia mendengar, aku hanya ingin bercerita padanya ..."Bagaimana keadaanmu, Mas? Kami datang, kami rindu padamu."Kuhela napas panjang, menyimpan sekian banyak buliran bening yang sudah mendesak hendak keluar. Jemari terangkat untuk mengelus batu nisan miliknya. Bayangan ketika aku m
Entah dari mana keberanian ini datang, kuangkat pakaian yang sudah berlumuran cairan berwarna merah itu dengan tangan hingga terlihatlah selembar kertas yang bertuliskan kata ajimat."Belum terlambat untuk membatalkan. Jika kau nekat, bersiaplah akan prahara yang menerpa pernikahanmu!"Deg.Kutarik napas panjang mengusir segala rasa tak mengenakkan yang tiba-tiba menerpa jiwa. Apa ini semua kerjaannya mantan istri Dokter Radit? Jika ia, sungguh keterlaluan!"Mempelai pria sudah sampai."Samar suara itu terdengar di luar kamar. Aku bergerak bangkit menuju jendela kamar. Kusingkirkan sejenak perkara kado tak berperikemanusiaan itu. Siapapun di balik semua ini, In Syaa Allah kupastikan tidak akan menggagalkan pernikahanku dengan Dokter Radit hari ini. Kini mata terfokus pada beberapa orang yang tampak keluar dari pagar rumah Dokter Radit. Ada Dokter Ahda, Dokter Fahri, Mas Wira, Pak Toni juga Kang Bayu. Setahuku mereka semua adalah orang rumah sakit. Mereka kini memasuki pagar rumahku.
[Selamat menempuh hidup baru, semoga samawa.]Satu-satu kubaca pesan yang dikirimkan oleh sahabat seangkatan digrup WhatsApp IDAI cabang Jakarta. Ada puluhan pesan lain yang belum semuanya kubaca mengingat jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Saatnya pulang ke rumah istri kedua. Alya.Walau rumah kami bersebelahan, tapi aku pulang layaknya suami lain di seluruh dunia. Tentu dengan membawa sesuatu sebagai buah tangan. Alhamdulillah, empat porsi Burrito, makanan asal Meksiko kini sudah ada di tangan. Entah kenapa rasa deg-degan yang membarengi, melebihi rasa yang pernah dulu kualami, saat akan menghadapi malam pertama bersama Rani.Kubuka pintu kamar, lalu berjalan menuju kamar Mama. "Radit mau pulang ke rumah Alya, Ma."Ibunda yang sangat kucintai itu tersenyum menyambut permintaanku."Yasudah, Mama kira sudah daritadi kamu pulang, ternyata masih di sini. Yowes cepat pulang sana, pasti dia udah lelah nungguin kamu."Kuciumi punggung tangan wanita itu, lalu dengan
POV AlyaMataku terbuka perlahan, meski samar, namun kedua netra ini bisa memandangi seluruh kamar yang sudah tak lagi dalam keadaan gelap. Kugerakkan kepala melirik ke samping. Seingat tadi aku dan dirinya baru saja merebahkan diri di atas ranjang saat listrik padam. Tapi, kemana dia sekarang? Apa sudah berada di rumah sakit.Berbagai pertanyaan melintas lalu di dalam benak. Tersingkirkan sejenak saat terdengar deru mobil keluar dari halaman rumah Mas Radit. Lekas kugerakkan tubuh menghampiri jendela kamar. Memastikan apakah benar itu Mas Radit yang baru saja pergi?Kududukkan diri di atas kursi rias. Ternyata dia baru saja pergi, padahal seharusnya 'kan tadi jam setengah sebelas. Apa dia juga tertidur?Tak mau berlama-lama dengan rasa penasaran. Kugerakkan kembali tubuh ingin rebah di atas ranjang, namun gerakan tangan ini berhasil menjatuhkan sesuatu yang tadinya ada di atas meja.Selembar kertas yang terlipat. Dari Mas Raditkah?"Mas ijin ke rumah sakit ya, Yang. Sudah tiga kali
"Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l
[Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t
"Yah, aku rindu sama Ayah Radit."Ucapan Akbar membuat mulut ini terhenti dari membacakan sirah nabi. Kututup buku serta merespon apa yang sedang dirasakan anak sambungku itu."Kalau Akbar rindu sama Almarhum Ayah, berarti Akbar harus ngirim doa. Minimal Alfatihah. Biar Ayah merasa bahagia karena sudah meninggalkan anak yang shaleh di dunia ini."Akbar mengangguk lalu mengangkat kedua tangan. Pelan lafaz surat Al-Fatihah mengalun dari bibirnya."Yah, apa ayah Radit bisa melihatku di sana?"Lagi-lagi aku dibuat bergetar dengan pertanyaan Akbar. Sekian lama menikahi ibunya, baru malam ini dia bercerita tentang almarhum sang ayah. Ternyata benar seperti kata Alya, Akbar adalah bocah yang sangat pintar memanage perasaan."Tentu bisa Sayang, makanya Akbar harus jadi anak baik, rajin shalat dan mengaji serta sayang sama Mama dan Dedek Maryam.""Aku udah ngelakuin semuanya, Yah.""Kalau gitu, pasti Ayah Radit sangat bangga pada Akbar.""Benar, Yah?""Iya, Sayang.""Akbar mau ngomong sama Mam
"Mas, ada flek ini." Alya berlari dari dalam kamar mandi sambil menunjuk sesuatu. Jantungku berdegup kuat menatap apa yang ada di tangan Alya. Fleknya lumayan banyak. Apakah ini efek dari berturut-turut bercocok tanam? Astaghfirullah! "Mas sih, lasak. Alya 'kan sudah ingatin." Dia merengut sambil merebahkan kepalanya di atas pundakku. Entah bagaimana jika istriku ini sedang menaruh kesal. Sebab yang aku tahu, saat kesal, Alya selalu menempel di tubuh ini. "Maaf ya, Mas janji nggak akan melakukannya lagi," ucapku terbata sambil mengelus pipinya Masih dengan rasa khawatir yang memenuhi rongga dada. Alya terlonjak dan menatapku seketika. Kenapa? Apa aku salah bicara? "Benar, Mas nggak akan melakukannya lagi? Sampai sembilan bulan?" Mataku berkedip cepat, melakukan apa? Sejenak kepala dengan cepat berpikir. Ketika sudah paham yang Alya maksud, jiwa ini malah bergidik ngeri. Tidak melakukan selama sembilan bulan? Hmm, lumayan lama. "Maksud Mas, nggak akan lasak lagi jika kita sed
POV Radit***Oooeekkk!Oooeekkk!Sudah beberapa kali aku keluar masuk kamar mandi. Tiba-tiba perut ini terasa mulas, dan ingin mengeluarkan isinya. Tapi hingga berkali-kali kumuntahkan, tak ada satupun yang keluar dari lambung.Alya mengurut punggungku sambil membaluri dengan minyak telon. Eh, bau minyak itu malah membuatku kembali mual."Mas ...."Istriku menyentuh lengan ini saat diri sudah kembali rebah di atas ranjang. Jam baru menunjukkan pukul lima subuh."Iya, Yank."Aku memandanginya sambil mengelus pipi. Seharusnya dimana-mana kalau istri sedang hamil, dia akan muntah-muntah di pagi hari. Lalu seperti suami siaga lain, aku ada di sisinya untuk menyemangati dan mengurangi segala keluhan. Tapi yang terjadi pada kami? Alya malah yang harus melayaniku."Kayaknya Mas mengalami morning sickness deh."Dua bola mataku membelalak mendengar ucapannya."Masak iya kamu yang hamil Mas yang morning sickness?"Kedua sudut bibirnya kembali tertarik menjauh. Lalu dia memelukku."'Kan emang a
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mata belum juga mau terpejam. Kulangkahkan kaki perlahan menuju kamar Akbar, rasa menuntun diri untuk kembali melihatnya. Pelan, aku membuka pintu. Tampak di mata, suamiku sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Di tangannya sebuah buku biografi Buya Hamka menemani.Tak berani masuk, aku menutup pintu dan memilih kembali ke kamar. Entah untuk pukul berapa, mata ini akhirnya terpejam juga.*Sebelum subuh, diri ini sudah lebih dahulu terjaga. Dapur masih sepi, bahkan kamar ART saja masih tertutup rapat. Kusiapkan sarapan istimewa untuk Mas Radit, hari ini dia harus mau berbicara. Akan kuberi perhatian lebih, dimulai dari segala persiapannya kerja, lanjut sarapan.Tepat saat azan berkumandang, aku menyerahkan sisa pekerjaan pada ART dan bergegas ke kamar Akbar. Pelan aku membuka pintu kamar anakku itu. Sesuai rencana, Mas Radit masih berbalut selimut. Aku mendekati ranjang lalu duduk di sisi suamiku tertidur.Pelan, kukecup keningnya sam
Tanpa mengulur waktu, lekas aku menelpon Mas Radit. Jantung sudah tidak bisa kugambarkan lagi dentumannya. Panggilan pertamaku direject.Tak putus asa, aku kembali menelpon. Direject lagi.Ya Allah ...Kucoba ketiga kali, tetap direject. Tak lagi menelpon, kini aku mengetik sebuah pesan.[Tolong angkat telponnya, Mas. Alya bisa jelaskan semua ini.]Tak ada balasan. Kini ponselnya malah tidak lagi aktif. Semua terlambat. Andai dari semalam aku jujur, tentu tak akan seperti ini kejadiannya.Tubuhku terduduk lemah di atas ranjang. Sejenak, anganku terlempar pada kejadian enam tahun silam. Seperti ada yang menghunus jantung ini. Sakitnya terasa hingga ke sekujur tubuh. Ya Allah, tolong beri kesempatan bagi hamba untuk menjelaskan semuanya pada Mas Radit.*Akbar turun di depan gerbang sekolah. Meski tak ingin melakukan kegiatan apapun tersebab hati masih dipenuhi kekhawatiran, tapi aktifitas tidak boleh berhenti. Akbar harus tetap ke sekolah. Masalah yang sedang kuhadapi dengan Mas Radit
Mata kami bertemu sejenak hingga aku lepas kontrol dan berlari menuju pintu. Kugedor-gedor pintu kamar sambil berteriak minta tolong."Tolong! Buka pintunya!"Seperti kesurupan, aku berlari mencari celah agar bisa keluar. Tapi gerakanku tak mendapat cegahan. Sedang biasa, jika seorang lelaki hendak memperkosa, pasti dia akan langsung menyerang. Kenapa Mas Tama justru tidak begitu?Lelah berlari, akhirnya aku memilih berhenti, duduk kembali di atas ranjang dengan terengah-engah.Kumenoleh menatap Mas Tama yang ... sudah selesai berpakaian."Udah lari-larinya? Kamu lucu, Al."Dia terkekeh-kekeh menahan tawa. Sedang di sini, aku masih dengan emosi yang tak terkendali."Kenapa saya ada di sini? Mas Tama udah apain saya?"Dia menoleh, membuat degup jantung ini kian menyentak."Saat kamu keluar dari rumah Nina, saya ngikuti. Terus kamu dibawa oleh seorang wanita yang saya nggak kenal siapa. Dan di tengah jalan, mobilmu diberhentikan. Dia keluar untuk kemudian menaiki taksi."Dua bola matak
Selepas kepergian Mas Radit, meski tak bergairah aku tetap harus menjalani semua aktivitas seperti biasa. Mengurus dua anak serta membantu di rumah ibu mertua sebisa mungkin. Juga tak lupa mengawasi rumah almarhum Mas Radit yang kini ditempati oleh Ina beserta seorang sanak keluarganya. Hingga malam tiba, aku sangat terkejut dengan mampirnya sebuah nomor yang tak lain adalah nomor ponsel Nina, sahabat karibku semasa kuliah dahulu.[Assalamualaikum, Al.][Waalaikum salam.][Apa kabar, Al?][Alhamdulillah sehat, Nin. Kamu sekeluarga gimana?][Alhamdulillah, kami semua sehat. Al, besok malam ada kegiatan apa?][Kegiatan? Kalau malam sih nggak pernah ada kegiatan.][Datang ke acara syukuran kecil-kecilan di rumahku ya, Al. Acaranya habis isya, ajak suami dan anak-anakmu juga. Biar bisa saling kenal.][Suamiku lagi tugas luar kota, Nin.][Yah, padahal pengen sekali ketemu sama kamu, Al. Kemarin di acara reuni kampus juga kamu nggak datang.]Suara Nina di ujung telpon terdengar pilu. Seben