Karena tersulut emosi, Rehan lantas melayangkan satu tamparan keras ke arah pipi kanan istrinya.Plak!Wajah cantik Rina terhempas ke arah kiri. Sementara ponsel yang tidak sembunyikan di belakang kanan tubuhnya tadi seketika terjatuh dan diambil oleh Rehan. Bahkan pria itu tidak peduli saat dia meringis kesakitan dan menatap nanar serta amara yang sudah tidak dapat terbendung kembali."Kamu keterlaluan, Mas." Rina membentak dengan air mata yang terus bercucuran. Baru kali ini dia mendapat kekerasan dari sang suami selama mereka menjalin kasih setahun belakangan.Dulu, pria itu sangat lembut dan tidak pernah sekali pun berkata kasar kepadanya. Tetapi apa yang dirasakan Rina saat ini? Pria itu baru saja menunjukkan taring dan juga membuka topengnya.Rehan mendekat seolah ingin menantang sang istri. "Keterlaluan apa memangnya? Aku tidak suka kamu mencampuri urusanku, Rin! Kamu tidak berhak melarangku dalam hal apa pun!" bentaknya yang tidak
Mengenakan rok pliske hitam dan juga kemeja berwarna coklat muda, Melisa menenteng beberapa berkas yang berada di tangan kanan sambil memegang tali tas selempangnya.Lembata gadis manis itu terarah segar lurus dengan penggunaan tinggi yang berada di hadapan. Tidak pernah sekalipun terpikirkan akan menyambangi tempat ini.Melisa pikir, pernikahannya akan langgeng sampai akhir hayat. Tidak menyangka jika pernikahan perjodohan itu hanya bertahan 2 tahun lamanya.Bibirnya kening tanpa suara. Tetapi, ada kesedihan yang berusaha mendobrak agar air matanya jatuh membasuh lara. Lemah!Satu kata yang selalu tersemat padanya. Serunya dia bersyukur karena telah diceraikan oleh laki-laki brengsek purnama Rehan dan sekarang diadopsi om tampan, yang membuat semuanya menjadi lebih indah. Namun, ia hanyalah wanita pada umumnya yang menangis saat perpisahan terjadi. Satu hal yang lumrah, bukan?Gadis itu lantas menatap ke arah samping kiri, saat sesosok laki-laki sedang berjalan ke arahnya. Yang dike
Sudah lama rasanya Jimmy tidak menegangkan otot-otot. Dan pada akhirnya, ada samsak hidup ia bisa digunakan untuk melakukan kekesalan yang sudah ledak ledak. Pria itu tidak terima jika Melissa diperlakukan selayaknya barang yang tidak berharga. Atau pun dianggap sebagai bola yang dilempar ke sana ke sini tanpa tujuan yang jelas.Bugh! Bugh!"Ampun! Ampun! Aku hanya menyarankan istriku supaya kamu tidak bosan! Karena yang aku tahu, kamu laki-laki yang pastinya cepat bosan dengan 1 wanita!" ujar Rehan semakin menyulut api yang tengah berkobar."Meski pun aku cepat bosan, tetapi aku tidak akan mungkin menyentuh istri kedua mu yang sangat murahan itu. Kalau saja rasa cintaku tidak dalam terhadap Melisa, mungkin aku juga tidak akan sudi memperjuangkannya!"Bugh! Bugh!Wajah Rehan sudah memar di sana-sini karena pukulan yang bertubi-tubi. Begitupun dengan beberapa anggota badan sangat sakit, karena tendangan Jimmy yang tidak main-main.
Melisa hanya terdiam tanpa suara. Sesat syiah mengedarkan pandangannya, meneliti setiap wajah Jimmy yang benar benarr rakus mencium dan melumat bibir.Mulutnya ingin berteriak dan mengumpat karena pria itu bertindak semaunya sendiri. Tetapi, nyatanya reaksi tubuh Melisa meminta lebih. Hidung mungil dengan ruam merah yang memenuhi daerah di sekitarnya juga tidak membuat Jimmy menu dahi perbuatan tersebut. Setelah pria itu puas melakukan aksinya dan sedikit sadar, barulah Melisa mendorong dada bidang menggunakan kedua telapak tangannya."Ma-maaf, Mel. Aku ...." Jimmy samar-samar menatap tak wanita itu yang tampak mengelap sudut bibir.Melihat tatapan Jimmy yang penuh domba, gadis itu seketika menjadi ling lung. Kejadian beberapa detik yang lalu membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Ada sesuatu dalam dirinya yang berusaha mendobrak supaya bibir Melisa menuntut lebih. Tetapi untuk menjaga image di depan Jimmy, ia harus tetap terdiam dan tidak bersuara.
Jimmy berteriak, dan sontak membuat semua orang terkejut pula. Pun dengan lampu yang langsung menyala terang. Genset rumah baru saja diaktifkan oleh security, Jimmy lantas berbalik badan kala panggilan Melisa menyerukan namanya."Om Jimmy, ini aku! Bukan Mbak Kunti!" Jimmy berbalik badan. Aduh, ia tengsin abis. Nampak kikuk menatap sang gadis muda yang begitu menggemaskan dalam balutan mukena. Meneguk ludah sesaat, Jimmy membawa langkahnya mendekat.Berkacak pinggang, lalu berkata, "lain kalau selesai beribadah, lepas mukenanya dan jangan pakai senter di bawah dagu! Kau hampir membuatku serangan jantung! Kalau jantungan, kau mau tanggung jawab, ha?" serunya tak suka.Jimmy berusaha mengenyahkan rasa tak enak dalam dada. Ia mendongakkan dagu, malu karena ketahuan lemah karena sosok kunti yang ditakutinya."Tapi, Om tidak jantungan kan?" goda Melisa sambil tertawa. Sejenak, ia membuang rasa kesal dalam dada sejak siang tadi. Tingkah lucu Jimmy kadang membuat amarahnya langsung saja terp
Jimmy selalu membatasi diri untuk tidak menyantap makanan manis terlalu banyak. Tetapi setelah hubungannya dengan Melisa membaik, pria itu tidak henti-hentinya menikmati kue yang selalu dibuat oleh Melisa.Gadis itu seolah-olah membuatnya tidak kuasa untuk melawan. Bahkan untuk menolak permintaan Melisa saja, ia tak kusa. Ah, belum menikah saja Jimmy sudah tunduk pada seorang wanita. Bagaimana kalau mereka sudah menikah nanti? Jimmy akan terus-terusan tidak berkutik atas permintaan Melisa yang pastinya akan nyeleneh."Ya, ya sudah. Aku ganti baju dulu kalo kita akan ke tempat gym," ujar Melisa yang ingin segera memutuskan pandangan pria itu. "Oke. Aku tunggu di depan," ujarnya. Jimmy tahu, Melisa pasti akan sangat lama berganti pakaian. Maka dari itu, ia memilih untuk menunggu di depan rumah saja sambil memanasi mobil.*Setelah 10 menit menunggu, pria itu kemudian terpaku pada arah pintu masuk. Anak matanya menangkap pemandangan yang be
Rehan memejam mana kala seorang security dan atasannya mendekat selepas pertengkarang terjadi. Ia yang baru saja tersulut emosi hanya bisa mendengkus sebal.“Kalian berdua ikut ke ruangan saya!” suruh Pak Hadi meminta dua orang karyawannya merapat ke ruangan.“Baik, Pak.” Menunduk lesu. Baik Roni mau pun Rehan saling mengisyaratkan permusuhan. Mereka tak banyak berbicara dan membawa langkahnya keluar ruangan, guna menuruti atasan mereka.“Duduk!” Suara tegas dan dingin membuat bulu kuduk mereka meremang. Meski Pak Hadi tak terlalu galak seperti CEO mereka, tetapi Pak Hadi memiliki ketegasan yang pastinya membuat karyawan biasa seperti Roni dan Rehan menciutkan nyali.“Tidak memahami peraturan di kantor ini?” tanya Pak Hadi dengan kedua telapak tangan yang saling bertaut. Pun dengan siku yang bertumpu di atas dua meja kaca.Dua orang yang sejatinya bersahabat, kini menyiratkan permusuhan satu sama lain kala pandangan Rehan dan Roni bertemu. Hanya sedetik, kemudian mereka focus menjawab
Sebuah mobil berwarna hitam metalik terlihat memasuki halaman mansion. Dan begitu mobil berhenti di depan teras, seorang pria berparas rupawan keluar dari sisi kemudi. Kenan lalu berjalan memutari mobil guna membukakan pintu bagi sang Nona, disusul dengan membukakan pintu untuk Jimmy."Hey, hey! Aku sedang cidera. Kenapa kamu tidak peduli padaku, Melisa?" tanya Jimmy dengan sedikit bejingkit. Ia mungkin terkenal karma karena telah membuat gadisnya malu dan marah. Kakinya benar-benar sakit, tidak seperti tadi yang hanya terasa perih saja."Urus saja sendiri! Sepertinya kakimu baik-baik saja! Hanya satu yang ada di di dekat pangkal pahamu, kan yang bengkak?" Melisa melirik sekilas. Gadis itu kemudian menghentak lantai cukup kuat sambil membawa langkah kaki kecilnya menuju ke dalam mansion."Melisa! Meliiisaaa! Ini milikku bagaimana? Masih ngilu kamu getok dua kali tadi! Hei, hei! Tanggung jawab! Melisa!" Jimmy berteriak, namun gadis itu enggan menoleh.
Bunyi klik pintu kamar hotel bergema di ruangan luas yang remang-remang diterangi lampu tidur. Melisa masih berdiri di dekat pintu, tas tangannya digenggam erat. Ia menatap punggung Jimmy yang sedang memeriksa kamar. Presiden Suite Room, sungguh megah. Kamar yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan, dengan pemandangan kota malam yang mempesona dari jendela besar di ujung ruangan. Tapi kemegahan itu tak mampu menghilangkan rasa canggung yang menyelimuti hatinya.Baru beberapa jam yang lalu, ia dan Jimmy masih berdiri di pelaminan, diiringi tepuk tangan dan ucapan selamat dari para tamu undangan. Pernikahan mereka di ballroom hotel yang sama, meriah dan penuh suk acita. Namun, kini, di ruangan pribadi ini, hanya ada mereka berdua, dikelilingi keheningan yang terasa berat.Melisa melangkah perlahan ke arah ranjang besar yang empuk, berhenti di ujungnya. Ia duduk di tepi, menatap Jimmy yang masih sibuk memeriksa fasilitas kamar. Kemewahan kamar presiden s
Lampu-lampu dansa berputar-putar, menciptakan efek cahaya yang magis di lantai dansa. Melisa dan Jimmy berdansa dengan anggun, irama musik mengalun lembut di antara mereka. Gaun biru muda elegan yang dikenakan Melisa membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan kecantikan dan keanggunannya. Jimmy, dengan jasnya yang rapi, memeluk Melisa dengan erat, menikmati setiap detik kebersamaan mereka.Di tengah alunan musik yang syahdu, Jimmy mendekatkan wajahnya ke telinga Melisa, berbisik lembut,"Kau suka?"Melisa tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia bersandar pada dada Jimmy, merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang."Suka," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. "Ini adalah pernikahan impianku. Sangat, sangat bagus. Kau… kau membuatku terharu."Jimmy tersenyum, mengusap lembut pipi Melisa. Ia melihat jejak air mata yang mulai membasahi pipinya."Hei, jangan menangis," ucap Jimmy, suaranya penuh kelembutan. Ia mendekatkan Melisa lebih erat ke dadanya, menc
Lampu-lampu kristal berkilauan, menerangi aula pernikahan yang megah. Suasana syahdu dan khidmat menyelimuti setiap sudut ruangan. Di pelaminan, berdirilah pasangan pengantin yang serasi: Melisa, dengan gaun pengantin putih yang elegan, dan Jimmy, bule bermata biru yang kini telah menjadi seorang mualaf. Senyum bahagia terpancar dari wajah mereka, mencerminkan kebahagiaan yang tengah mereka rasakan.Para tamu undangan memenuhi ruangan, semuanya tampak terpukau oleh keindahan dekorasi dan keanggunan pasangan pengantin. Jimmy, duda satu anak, tampak gagah dalam balutan jas berwarna gelap. Perubahannya begitu signifikan. Mata birunya yang khas kini berbinar dengan cahaya iman yang baru. Ia bukan sekadar mengikuti Melisa, tapi hijrahnya ke agama Islam adalah sebuah proses panjang yang dilalui dengan penuh kesadaran dan ketulusan. Selama empat bulan, ia tekun mempelajari ajaran Islam, hingga akhirnya mantap untuk memeluk agama tersebut.Prosesi akad nikah berjalan denga
Dengan wajah tanpa ekspresi, Jimmy memberikan perintah singkat, suaranya dingin dan tanpa emosi, "Bersihkan ini. Bawa dia pergi, jauh dari sini. Kubur dia." Anak buahnya, yang telah terbiasa dengan perintah-perintah kejam majikan mereka, mengerjakan tugas tanpa ragu. Mereka mendekati tubuh Rina yang tergeletak tak berdaya, mengangkatnya dengan kasar, seperti mengangkat karung berisi sampah. Tidak ada belas kasihan, tidak ada sedikitpun rasa simpati di wajah mereka. Hanya ada kepatuhan dan ketaatan buta.Mereka membawa tubuh Rina, menuju tempat yang jauh dan terpencil, tempat di mana rahasia gelap dapat terkubur dalam-dalam. Tanpa upacara, tanpa doa, mereka menggali lubang, lalu melemparkan tubuh Rina ke dalamnya. Tanah menutupi tubuhnya, menghilangkan jejak keberadaan Rina dari dunia ini. Hanya kesunyian dan tanah yang menjadi saksi bisu atas penguburan rahasia ini. Sebuah akhir yang sunyi dan tanpa ampun, menandai berakhirnya hidup seorang wanita muda ya
Rina menatap Jimmy dengan pandangan penuh amarah dan keputusasaan. Kecamuk yang luar biasa memenuhi hatinya. Ia melirik ke bawah, memandang jurang yang menganga di bawah kakinya. Tinggi gedung itu membuatnya menyadari betapa rapuhnya nyawanya."Jika aku mati," gumamnya dalam hati, suaranya hampir tak terdengar, "maka mereka akan berbahagia. Sialan!" Rasa takut yang luar biasa menguasainya. Ia menyadari betapa bodohnya ancamannya tadi. Ia tidak ingin mati, tapi ia juga merasa tidak punya tempat lagi di dunia ini.Dengan hati-hati, ia mencoba menjaga keseimbangannya. Tangannya gemetar, kaki-kaki kecilnya terasa lemah. Ia berusaha keras agar tidak jatuh, agar tidak mengakhiri hidupnya di tempat itu. Ketakutan yang luar biasa menguasainya.Jimmy, yang berdiri hanya dua meter darinya, semakin memperkeruh suasana. "Ayo terjun! Buktikan ucapanmu tadi! Kau merasa dirimu tak berguna karena tertular HIV, kan? Maka kenapa kau tunda? Silakan pergi! Jangan ditunda! Atau, ma
Mata Melisa menyipit, tajam seperti pisau. Udara di antara mereka berdua menegang, beratnya terasa mencekik. Rina, yang selama ini hanya berbisik-bisik provokatif, terdiam. Bibirnya masih bergerak-gerak, seakan-akan masih ingin melontarkan kata-kata beracun, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Kini, Melisa tak bodoh lagi. Dia bisa melihatnya, niat jahat yang terpancar dari sorot mata Rina yang penuh dendam.Jari telunjuk Melisa menusuk dada Rina, gerakannya tegas dan penuh amarah yang terpendam. Bukan amarah yang meledak-ledak, melainkan amarah yang terkontrol, dingin dan mematikan. "Dulu," suara Melisa terdengar pelan, tapi setiap kata menusuk hati, "sudah kubiarkan kau mendekati suamiku. Kubiarkan kau bermanis-manis dengan Jimmy. Setelah aku bahagia, setelah aku dan Jimmy membangun kehidupan kami, kau berani mengusiknya lagi?"Saat Rina terdiam dengan ketakutannya, Melisa menarik napas dalam-dalam, menahan gejolak emosi yang hampir meluap. Ia menatap Rina dengan pand
Detik-detik menuju hari pernikahan Jimmy dan Melisa terasa begitu dekat. Sembilan puluh lima persen persiapan telah rampung, meninggalkan aroma harum antisipasi di udara. Ballroom megah di jantung ibu kota, tempat janji suci akan diucapkan, kini dipenuhi kesibukan. Jimmy, gagah dalam balutan jasnya, dan Melisa, menawan dalam gaun pengantinnya yang berkilauan, memimpin gladi resik bersama tim WO yang cekatan. Langkah kaki mereka beriringan, menelusuri alur acara, dari prosesi masuk hingga sesi pelepasan balon—setiap detail diperiksa, setiap gerakan dirapikan. Senyum tegang namun bahagia terukir di wajah mereka, mencerminkan debaran jantung yang berdetak kencang. Di sekeliling mereka, para WO berkoordinasi, memastikan tata cahaya, tata suara, dan dekorasi sempurna. Udara bergema dengan bisikan instruksi dan tawa ringan, menciptakan simfoni persiapan yang dramatis namun penuh kegembiraan. Gladi resik ini bukan sekadar latihan, melainkan sebuah ritual penyempurnaan, sebu
Teriakan itu langsung menggema, nyaring banget. "Copet! Copet!" Suaranya nyelip di tengah hiruk-pikuk keramaian yang ada di sekitar. Melisa yang lagi duduk di sebuah foodcourt, langsung menoleh ke samping, mencari sumber suara itu. "Ada apa, Om?" tanyanya, ngeliat Jimmy yang kelihatannya nggak terlalu panik, malah cuma angkat bahu dengan ekspresi acuh. "Copet katanya," jawab Jimmy sambil tetap melangkah, seolah nggak ada yang spesial. "Copetnya yang mana?" tanya Melisa, penasaran, sambil matanya mencari-cari orang yang dimaksud. "Sepertinya baju ijo, yang mamu tunjuk tadi," jawab Jimmy lagi dengan santai. "Apa iya?" Melisa mulai nggak yakin, tapi tetap waspada. Pikirannya mungkin masih ragu apakah benar itu copet atau hanya salah paham. "Iya. Gelagatnya kan udah mencurigakan," seloroh Jimmy dengan nada nggak terlalu serius, malah kayak bercanda. Tapi itu justru bikin Melisa semakin cepat bergerak, nggak mau ketinggalan kalau benar ada yang mencurigakan. Melisa langsun
Jimmy dan Melisa tiba di sebuah gallery berlian yang mewah. Pintu kaca besar terbuka dengan lembut, menyambut mereka dengan nuansa elegan. Dalam ruangan yang penuh kilauan berlian, mereka merasa seolah-olah melangkah ke dunia lain, penuh kemewahan dan keindahan."Wow, tempat ini luar biasa," kata Melisa, matanya berkilau melihat koleksi berlian yang terpajang di etalase.Maklum jika kelihatannya sedikit norak, ya karena Melisa memang tidak pernah diajak ke tempat tempat seperti ini. Apalagi mereka bertiga kali ini diarahkan menuju ruang VIP yang tentunya membuat Melisa cukup melongo dengan fasilitas yang didapatkan.Seketika, Jimmy tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu kamu suka barang barang indah. Hari ini aku ingin memastikan kita mendapatkan yang terbaik."Dan kini, Melisa menoleh ke arah Jimmy, terkejut. "Apa maksudmu?"Tersenyum lembut, Jimmy tidak langsung menjawab. Mereka berjalan lebih dalam, menuju sebuah etalase di sudut ruangan VIP. Di sana, terletak sebuah cincin pernikaha