Sudah lama rasanya Jimmy tidak menegangkan otot-otot. Dan pada akhirnya, ada samsak hidup ia bisa digunakan untuk melakukan kekesalan yang sudah ledak ledak. Pria itu tidak terima jika Melissa diperlakukan selayaknya barang yang tidak berharga. Atau pun dianggap sebagai bola yang dilempar ke sana ke sini tanpa tujuan yang jelas.
Bugh! Bugh!"Ampun! Ampun! Aku hanya menyarankan istriku supaya kamu tidak bosan! Karena yang aku tahu, kamu laki-laki yang pastinya cepat bosan dengan 1 wanita!" ujar Rehan semakin menyulut api yang tengah berkobar."Meski pun aku cepat bosan, tetapi aku tidak akan mungkin menyentuh istri kedua mu yang sangat murahan itu. Kalau saja rasa cintaku tidak dalam terhadap Melisa, mungkin aku juga tidak akan sudi memperjuangkannya!"Bugh! Bugh!Wajah Rehan sudah memar di sana-sini karena pukulan yang bertubi-tubi. Begitupun dengan beberapa anggota badan sangat sakit, karena tendangan Jimmy yang tidak main-main.Melisa hanya terdiam tanpa suara. Sesat syiah mengedarkan pandangannya, meneliti setiap wajah Jimmy yang benar benarr rakus mencium dan melumat bibir.Mulutnya ingin berteriak dan mengumpat karena pria itu bertindak semaunya sendiri. Tetapi, nyatanya reaksi tubuh Melisa meminta lebih. Hidung mungil dengan ruam merah yang memenuhi daerah di sekitarnya juga tidak membuat Jimmy menu dahi perbuatan tersebut. Setelah pria itu puas melakukan aksinya dan sedikit sadar, barulah Melisa mendorong dada bidang menggunakan kedua telapak tangannya."Ma-maaf, Mel. Aku ...." Jimmy samar-samar menatap tak wanita itu yang tampak mengelap sudut bibir.Melihat tatapan Jimmy yang penuh domba, gadis itu seketika menjadi ling lung. Kejadian beberapa detik yang lalu membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Ada sesuatu dalam dirinya yang berusaha mendobrak supaya bibir Melisa menuntut lebih. Tetapi untuk menjaga image di depan Jimmy, ia harus tetap terdiam dan tidak bersuara.
Jimmy berteriak, dan sontak membuat semua orang terkejut pula. Pun dengan lampu yang langsung menyala terang. Genset rumah baru saja diaktifkan oleh security, Jimmy lantas berbalik badan kala panggilan Melisa menyerukan namanya."Om Jimmy, ini aku! Bukan Mbak Kunti!" Jimmy berbalik badan. Aduh, ia tengsin abis. Nampak kikuk menatap sang gadis muda yang begitu menggemaskan dalam balutan mukena. Meneguk ludah sesaat, Jimmy membawa langkahnya mendekat.Berkacak pinggang, lalu berkata, "lain kalau selesai beribadah, lepas mukenanya dan jangan pakai senter di bawah dagu! Kau hampir membuatku serangan jantung! Kalau jantungan, kau mau tanggung jawab, ha?" serunya tak suka.Jimmy berusaha mengenyahkan rasa tak enak dalam dada. Ia mendongakkan dagu, malu karena ketahuan lemah karena sosok kunti yang ditakutinya."Tapi, Om tidak jantungan kan?" goda Melisa sambil tertawa. Sejenak, ia membuang rasa kesal dalam dada sejak siang tadi. Tingkah lucu Jimmy kadang membuat amarahnya langsung saja terp
Jimmy selalu membatasi diri untuk tidak menyantap makanan manis terlalu banyak. Tetapi setelah hubungannya dengan Melisa membaik, pria itu tidak henti-hentinya menikmati kue yang selalu dibuat oleh Melisa.Gadis itu seolah-olah membuatnya tidak kuasa untuk melawan. Bahkan untuk menolak permintaan Melisa saja, ia tak kusa. Ah, belum menikah saja Jimmy sudah tunduk pada seorang wanita. Bagaimana kalau mereka sudah menikah nanti? Jimmy akan terus-terusan tidak berkutik atas permintaan Melisa yang pastinya akan nyeleneh."Ya, ya sudah. Aku ganti baju dulu kalo kita akan ke tempat gym," ujar Melisa yang ingin segera memutuskan pandangan pria itu. "Oke. Aku tunggu di depan," ujarnya. Jimmy tahu, Melisa pasti akan sangat lama berganti pakaian. Maka dari itu, ia memilih untuk menunggu di depan rumah saja sambil memanasi mobil.*Setelah 10 menit menunggu, pria itu kemudian terpaku pada arah pintu masuk. Anak matanya menangkap pemandangan yang be
Rehan memejam mana kala seorang security dan atasannya mendekat selepas pertengkarang terjadi. Ia yang baru saja tersulut emosi hanya bisa mendengkus sebal.“Kalian berdua ikut ke ruangan saya!” suruh Pak Hadi meminta dua orang karyawannya merapat ke ruangan.“Baik, Pak.” Menunduk lesu. Baik Roni mau pun Rehan saling mengisyaratkan permusuhan. Mereka tak banyak berbicara dan membawa langkahnya keluar ruangan, guna menuruti atasan mereka.“Duduk!” Suara tegas dan dingin membuat bulu kuduk mereka meremang. Meski Pak Hadi tak terlalu galak seperti CEO mereka, tetapi Pak Hadi memiliki ketegasan yang pastinya membuat karyawan biasa seperti Roni dan Rehan menciutkan nyali.“Tidak memahami peraturan di kantor ini?” tanya Pak Hadi dengan kedua telapak tangan yang saling bertaut. Pun dengan siku yang bertumpu di atas dua meja kaca.Dua orang yang sejatinya bersahabat, kini menyiratkan permusuhan satu sama lain kala pandangan Rehan dan Roni bertemu. Hanya sedetik, kemudian mereka focus menjawab
Sebuah mobil berwarna hitam metalik terlihat memasuki halaman mansion. Dan begitu mobil berhenti di depan teras, seorang pria berparas rupawan keluar dari sisi kemudi. Kenan lalu berjalan memutari mobil guna membukakan pintu bagi sang Nona, disusul dengan membukakan pintu untuk Jimmy."Hey, hey! Aku sedang cidera. Kenapa kamu tidak peduli padaku, Melisa?" tanya Jimmy dengan sedikit bejingkit. Ia mungkin terkenal karma karena telah membuat gadisnya malu dan marah. Kakinya benar-benar sakit, tidak seperti tadi yang hanya terasa perih saja."Urus saja sendiri! Sepertinya kakimu baik-baik saja! Hanya satu yang ada di di dekat pangkal pahamu, kan yang bengkak?" Melisa melirik sekilas. Gadis itu kemudian menghentak lantai cukup kuat sambil membawa langkah kaki kecilnya menuju ke dalam mansion."Melisa! Meliiisaaa! Ini milikku bagaimana? Masih ngilu kamu getok dua kali tadi! Hei, hei! Tanggung jawab! Melisa!" Jimmy berteriak, namun gadis itu enggan menoleh.
Jimmy kembali ke dalam rumah. Anak mata birunya kemudian memindai seluruh ruangan. Tidak terdapat Melisa di sana, sehingga rasa usil pun kian menjadi. Ia akan membuat drama lagi kali ini."Bi! Bibi!" Jimmy memanggil salah satu assistant rumah tangganya untuk mendekat. Sesampainya di sofa ruang tamu, wanita berusia paruh baya tersebut lantas sedikit menunduk dan menatap dengan pertanyaan 'apa' di sana."Ambilin perban!" bisiknya sambil melirik kearah pintu kamar tamu yang masih menutup sempurna. Jimmy tidak mau acara pura-pura nya nanti diketahui oleh sang gadis incaran."Hah, perban? Untuk apa, Tuan Muda?" Kebiasaan, Bibi memang selalu menggunakan mata tadi berbicara dengan Jimmy."Ssst! Jangan banyak bicara! Pokoknya cepat ambilkan!" suruhnya. Jimmy sedikit menggeretakkan rahang, supaya pembantunya segera menuruti apa yang dia mau.Sebelum wanita itu beralih dari ruang tamu sana, ia mengimbuhi. "Jangan lupa plasternya sekalian!" suruh Jimmy."Baik, Tuan Muda." Asisten rumah tangga te
Armosfer di kamar tersebut seketika memanas. Buru-buru Melisa melepas genggaman pada batang kelapa yang ada di pangkal paha.“Eits, mau ke mana kamu, ha? Tanggung jawab!” Jimmy menegakkan tubuh. Pria itu paling tidak suka jika Melisa menggodanya.Ah, bukan menggoda. Dasarnya si Jimmy saja yang tergoda sekaligus tergila-gila pada gadisnya.“Om, jangan! Suer, aku nggak sengaja pegang!” jawab Melisa susah payah menelan salivanya.“Kau selalu saja cari perkara! Kalau sudah begini, siapa juga yang repot, ha?”Melisa kini diam, tak menanggapi ucapan Jimmy yang datar dan menakutkan. Pergelangan tangannya masih dipegangi oleh pria ini, jantung oun turut berdebar dan seakan mau lepas dari tempatnya.“Melisa!”“Mmmm, i-iya, Om. Janji, aku nggak lagi begitu.” Melisa menghembuskan napas sekilas.“Temani aku tidur!”“Tidak mau!” tolaknya dengan nada tegas.“Aku tak akan mengapa-apakanmu, percayalah.” Jika
Pagi ini, Rehan seperti biasa bertandang ke rumah istrinya. Uang sudah tidak punya, membuat ia kebingungan mencari pinjaman kemana. Karena ia terus-terusan bermain slot judi online, maka itu dia ingin menemui Rina guna meminta pinjaman. Kali saja beruntung, ya kan? Apa salahnya mencoba."Rin, Mas sampe nih!" ucapnya di depan rumah mertua. Itu memang tidak memiliki urat malu sedikit pun. Meski sudah mengusir istri kedua nya dengan kejam, tetapi masih tidak tahu malu Rehan menghampiri wanita tersebut."Percaya diri sekali dia datang kesini dan menyebut mu sebagai suamiku," seloroh Rina yang terpaksa harus menemui suaminya di teras rumah. Ibunya memang tidak mempersilakan pria itu masuk, hanya memberitahukan sekilas kala di dapur tadi.Pria yang sejatinya baru menikahi Rina beberapa bulan ini sudah menggores kan luka cukup dalam pada hati Bu Sari, ibunya Rina.Maka dengan raut wajah cemberut, wanita tua seusia Mama Tami tersebut hanya mempersilakan menantunya untuk duduk di kursi teras.
Teriakan itu langsung menggema, nyaring banget. "Copet! Copet!" Suaranya nyelip di tengah hiruk-pikuk keramaian yang ada di sekitar. Melisa yang lagi duduk di sebuah foodcourt, langsung menoleh ke samping, mencari sumber suara itu. "Ada apa, Om?" tanyanya, ngeliat Jimmy yang kelihatannya nggak terlalu panik, malah cuma angkat bahu dengan ekspresi acuh."Copet katanya," jawab Jimmy sambil tetap melangkah, seolah nggak ada yang spesial."Copetnya yang mana?" tanya Melisa, penasaran, sambil matanya mencari-cari orang yang dimaksud."Sepertinya baju ijo, yang mamu tunjuk tadi," jawab Jimmy lagi dengan santai."Apa iya?" Melisa mulai nggak yakin, tapi tetap waspada. Pikirannya mungkin masih ragu apakah benar itu copet atau hanya salah paham."Iya. Gelagatnya kan udah mencurigakan," seloroh Jimmy dengan nada nggak terlalu serius, malah kayak bercanda. Tapi itu justru bikin Melisa semakin cepat bergerak, nggak mau ketinggalan kalau benar ada yang mencurigakan.Melisa langsung berlari ke ar
Jimmy dan Melisa tiba di sebuah gallery berlian yang mewah. Pintu kaca besar terbuka dengan lembut, menyambut mereka dengan nuansa elegan. Dalam ruangan yang penuh kilauan berlian, mereka merasa seolah-olah melangkah ke dunia lain, penuh kemewahan dan keindahan."Wow, tempat ini luar biasa," kata Melisa, matanya berkilau melihat koleksi berlian yang terpajang di etalase.Maklum jika kelihatannya sedikit norak, ya karena Melisa memang tidak pernah diajak ke tempat tempat seperti ini. Apalagi mereka bertiga kali ini diarahkan menuju ruang VIP yang tentunya membuat Melisa cukup melongo dengan fasilitas yang didapatkan.Seketika, Jimmy tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu kamu suka barang barang indah. Hari ini aku ingin memastikan kita mendapatkan yang terbaik."Dan kini, Melisa menoleh ke arah Jimmy, terkejut. "Apa maksudmu?"Tersenyum lembut, Jimmy tidak langsung menjawab. Mereka berjalan lebih dalam, menuju sebuah etalase di sudut ruangan VIP. Di sana, terletak sebuah cincin pernikaha
Suasana foto prewedding antara Jimmy dan Melisa berlangsung dengan nuansa yang cukup dramatis, meskipun tak terlepas dari sedikit ketegangan. Jimmy, yang dikenal sebagai sosok pria yang kaku dan tidak terlalu luwes dalam berpose, tampak canggung mengikuti arahan fotografer. Hal ini jelas terlihat ketika sang fotografer meminta Jimmy untuk sedikit bergeser."Ehm, Tuan Anderson. Bisakah Anda sedikit geser ke kanan?" kata sang fotografer dengan suara lembut namun tegas, berusaha menjaga kesan profesionalisme di tengah ketegangan yang mulai terasa.Jimmy yang terkesan bingung dengan permintaan tersebut, segera mengatur langkahnya, namun ekspresinya tetap terlihat tegang. "Begini?" tanyanya, suaranya mengandung sedikit kebingungan, sambil mengubah posisinya, berusaha mengikuti instruksi yang diberikan.Fotografer itu mengamati sejenak, mencoba menangkap setiap detail dalam frame. "Iya, tapi senyum Anda juga kurang tulus," ujarnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap penuh
"Alhamdulillah, Om udah bener-bener tulus sama aku. Jadi, kita menikah, kan?" Melisa memeluk Jimmy dengan penuh kebahagiaan. Dengan senyum lebar, ia menatap dalam-dalam mata biru Jimmy, merasakan kedamaian yang datang bersama janji itu. Pada akhirnya, semua yang ia harapkan tercapai: mereka berdua, bersama, menuju masa depan yang penuh harapan. Jimmy tersenyum lembut, matanya menyiratkan rasa syukur dan cinta yang mendalam. "Hum, kita akan menikah," jawabnya, suaranya dipenuhi keyakinan. "Dan sesuai janjiku, aku telah merancang semuanya. Kita akan fitting baju, sekaligus foto prewedding. Mau?" Melisa mengangguk cepat, wajahnya berseri-seri. "Mau! Apa anak kita ikut?" "Tentu," jawab Jimmy dengan tegas. "Andrew sudah menunggu. Go!" Kebahagiaan meluap di hati Jimmy. Sejak ia memutuskan untuk memeluk Islam dan memulai perjalanan spiritual bersama anaknya, Andrew, serta Melisa, hidupnya berubah total. Tidak hanya hatinya yang merasa damai, tetapi juga keluarganya. Kini, setelah semua k
Jimmy Anderson, seorang CEO sukses yang dikenal karismatik dan penuh ambisi, tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berubah drastis dalam waktu yang begitu singkat. Sejak kecil, ia dibesarkan dalam keluarga yang tidak terlalu mementingkan agama. Ayahnya seorang agnostik, sementara ibunya lebih mengutamakan pendidikan dan kesuksesan duniawi daripada kehidupan spiritual. Namun, di balik kesuksesan karirnya, ada rasa hampa yang tak terjelaskan. Meski hidupnya tampak sempurna—dengan perusahaan besar yang dipimpinnya, rumah mewah, dan kendaraan yang selalu ia inginkan—ia merasakan adanya kekosongan dalam dirinya.Semua itu berubah ketika ia bertemu dengan Hasan, seorang pengusaha muslim yang ia kenal dalam salah satu pertemuan bisnis. Hasan bukan hanya sukses dalam dunia usaha, tetapi juga terlihat tenang dan penuh kedamaian. Kepribadian Hasan yang hangat dan penuh keyakinan menarik perhatian Jimmy. Mereka sering berbicara tentang berbagai hal, dan Hasan selalu menyelipkan pesan-
"Oooom!" Jeritan Melisa menggema, suara primal yang melepaskan gelombang kenikmatan yang dahsyat. Bukan sekadar desahan, melainkan letusan emosi mentah yang mengguncang seluruh tubuhnya. Ia merasakan semburan hangat yang membanjiri rahimnya, sensasi yang begitu intens hingga membuatnya kehilangan kendali, tubuhnya ambruk lemas, tak berdaya. Jimmy masih menindihnya, berat tubuhnya seakan menjadi simbol dari kekuatan gairah yang baru saja mereka alami bersama. Mereka menyatu, dua tubuh yang terjalin dalam ikatan yang erat, namun juga rapuh."Kamu suka, Baby?" Jimmy membisikkan pertanyaan itu, suaranya berat, bergetar karena sisa sisa gairah yang masih membara. Bukan pertanyaan biasa, melainkan sebuah pernyataan yang ingin dikonfirmasi. Ia ingin memastikan bahwa Melisa merasakan hal yang sama, bahwa mereka telah berbagi sesuatu yang luar biasa dan tak terlupakan."Sakit, Om!" Melisa merintih, suaranya teredam oleh desahan napas yang masih tersengal-sengal. Ras
Gelombang dahsyat menerjang mereka, menghantam benteng pertahanan yang selama ini mereka bangun. Bukan sekadar gairah, melainkan badai emosi yang menggulung segalanya; ketakutan, keraguan, hasrat, dan cinta—semuanya bercampur menjadi satu pusaran dahsyat yang menyeret mereka ke dalam pusaran keinginan yang tak tertahankan.Tubuh-tubuh mereka bergetar, terhempas oleh gelombang yang tak terbendung, seakan dunia di sekitar mereka lenyap, hanya menyisikan mereka berdua dalam pusaran gairah yang menggelora. "Aaaah. Ommm."Dalam dekapan Jimmy yang hangat dan kuat, Melisa melepaskan jeritan yang tertahan, suara penuh gairah dan kepuasan yang melepaskan segala tekanan dan keraguan. Itu bukanlah jeritan kesakitan, melainkan ekspresi dari gelombang emosi yang melanda dirinya; kegembiraan, kepuasan, dan juga sedikit rasa takut yang masih tersisa. Lengannya melilit erat leher Jimmy, jari-jarinya menancap kuat di punggung tegap pria bule itu, menandai kepemilikan, menunjukkan
"Jadi... kita kemarin malam... apa yang sebenarnya terjadi, Om?" Melisa menatap Jimmy dengan ragu, kebingungannya jelas terlihat. Dia merasakan ada sesuatu yang tak beres, tapi tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi."Kemarin malam, kamu mabuk, Melisa," jawab Jimmy, suaranya penuh penyesalan. "Kamu yang meminta untuk keluar bersama, untuk berbicara. Semua itu tidak direncanakan, dan aku merasa kita salah dalam banyak hal.""Om, jangan bercanda! Itu nggak lucu!" Melisa merasa perasaan campur aduk, bingung dan marah. "Apa yang terjadi dengan aku? Kenapa aku tidak ingat?""Aku tahu, kamu bingung dan marah. Itu salah kita berdua, tapi kita perlu menghadapi ini dengan kepala dingin. Coba lihat rekamannya." Jimmy menunjuk ke arah layar CCTV yang terpasang di sudut ruangan."Aku ... aku harus tahu ini semua." Suara Melisa bergetar, sedikit gemetar karena ketakutan dan kebingungannya yang semakin dalam.Sinar pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi wajah Melisa yang masih dip
Keringat mengucur deras di seluruh tubuh Jimmy, merasakan ketegangan yang menguasai dirinya. Nafasnya terengah-engah, seperti ada beban berat yang terus menekan dadanya. Suasana yang mencekam tadi seolah tidak pernah berhenti membebani pikirannya. "I'm so sorry, Melisa."Setelah keringatnya berkurang, dan dirasa pori pori telah menutup, dia bergegas menuju kamar mandi, mencari sedikit ketenangan, meskipun tahu bahwa tak ada yang bisa benar-benar menenangkan perasaannya sekarang.Pintu kamar mandi ditutup dengan tergesa-gesa, dan Jimmy membiarkan air mengalir deras di tubuhnya, mencoba untuk menghilangkan rasa sesak yang terus mengganggu. Suara tetesan air di lantai terasa kontras dengan kekacauan yang masih menggema di dalam dirinya.Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan tubuhnya terlarut dalam aliran air. Namun, meski air menyegarkan tubuhnya, pikirannya tak bisa lepas dari situasi yang baru saja terjadi. Semua yang dia saksikan, semua yang dia dengar, terus berputar putar di kep