Tatapan mata Haidar kembali pada rinai hujan di luar sana.
Bimbang hati untuk melangkah ke jenjang selanjutnya. Disilangkan kaki kanannya di atas paha sebelah kiri khas duduk seorang lelaki. Kedua tangan diletakkannya di atas meja dengan siku sebagai penopangnya. Jari-jarinya mulai bergerak lincah diatas layar gawai, mencari nama seseorang yang bisa menghibur hatinya yang mulai tak tentu arah.
Pangilan pertama tak juga diangkat oleh sang pemilik kontak. Beberapa kali Haidar mencoba melakukan panggilan dengan nama kontak yang sama. Namun, sang pemilik belum berkenan menerima panggilan dari Haidar. Lelah melakukan panggilan akhirnya dia mengirimkan pesan melalui aplikasi chatting.
"Sob, posisi?" tulis Haidar.
Sembari menunggu balasan, Haidar memesan coffelatte kembali. Dia berharap, sang sahabat mau menemani menikmati secangkir kopi bersamanya. Namun, sampai lima belas menit kemudian sahabatnya itu tak kunjung mengirim balasan chat darinya.
Sesibuk itukah sahabatnya hingga untuk membalas pesan saja ia tak bisa. Beberapa menit kemudian, hujan mulai reda seiring langkah Haidar yang bersiap untuk kembali ke rumahnya. Hari sudah semakin sore, dia tak ingin membuat khawatir bundanya karena telat pulang kerja.
Cukup sudah, getis hatinya pada sang gadis. Perginya dia telah membawa serta kasih yang dirintis. Biarkanlah hanya Haidar yang tahu rasanya patah sebelum tumbuh.
***
Rujak soto di dalam mangkuknya telah habis tak bersisa. Cita rasa yang dihadirkan sajian yang dia makan memang paling juara di sekitaran perkantoran ini. Jika jam makan siang sudah dapat dipastikan seluruh meja kursi dipenuhi pengunjung.
Dua orang sahabat itu masih asik menikmati santapan mereka masing-masing tanpa ada yang mau memulai pembicaraan. Haidar sengaja meminta sahabat satu-satunya yang dia miliki untuk menemani makan siangnya kali ini. Sampai saat ini, hati lelaki berseragam khas PNS itu masih diliputi gemuruh tak berkesudahan. Setiap hari, selesai bekerja Haidar tak pernah langsung pulang, dia berusaha menghindari pertemuan dengan bundanya. Haidar masih belum bisa menerima keputusan sepihak yang dilakukan sang Bunda. "Tu, muka, kenapa? Nggak enak banget dilihat. Patah hati?" tanya sahabat Haidar. Senyum mengejek tampak ia perlihatkan. "Enggak," jawab Haidar singkat. Tangannya sibuk mengaduk-ngaduk es jeruk. Sesekali terdengar helaan napas panjang. "Lha, terus? Ngapain telepon aku dari kemarin? Kamu nggak tahu aku lagi sibuk banget. Kalo cuma buat lihat muka kusutmu, mending aku balik ke warung saja. Ngawasin renovasi biar cepet selesai." Sepertinya dia sudah jenuh melihat Haidar dengan segala ekrpresi kegalauannya. "Aku disuruh nikahin cewek," putus Haidar kemudian. Membuat lelaki berkaos oblong warna biru itu menyemburkan minuman yang ada di mulutnya. Terdengar tawa yang keras dari lelaki di hadapannya. Paras Haidar semakin kusut tak karuan, dia sudah bisa memprediksi reaksi lawan bicaranya. Namun, dia masih bergeming, membiarkan sahabat karibnya itu tertawa sampai puas. Selesai dengan tawanya, lelaki pemilik alis tebal itu berkata, "Mau dikawinin, tapi mukanya malah kusut gitu. Gimana sih? Cantik gak ceweknya? Kenalin ke aku!" Menaik-turunkan alisnya. "Kenalan aja sendiri. Kamu sahabatku bukan? Ejek aja terus sampai puas!" Haidar menumpahkan kekesalan pada sahabatnya itu. "Wow, ada yang marah," godanya, "ceritakan lebih banyak! Biar aku tahu apa masalahmu. Nikah itu kan ibadah, Sob. Lagian selama ini, kamu juga gak pernah aku lihat deket sama cewek mana pun." "Bukan aku gak mau dekat sama cewek, tapi ada hati yang masih ingin aku perjuangkan." Kembali Haidar mengembuskan napas panjang, tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja berusaha menyalurkan kegelisahan hatinya. "Siapa? Cewek yang sudah mengalahkanmu di semua bidang yang kamu kuasai? Memang kamu sudah ketemu sama dia?" "Berisik. Suatu saat, Allah pasti mempertemukan kami kembali." Tatapan matanya kosong seolah dia sendiri tak yakin atas perkataannya. Mungkinkah hal itu akan terjadi? Kenyataan yang ada, tak sekali pun dia pernah bertemu dengan gadis yang telah merajai hatinya itu. Gelak tawa terdengar kembali. "Gila kamu! Emang kamu sudah tahu keberadaannya? Jika kalian bertemu, tetapi dia sudah punya suami, gimana?" Mendengar ucapan sahabatnya itu Haidar melempar tisu. "Aku bicara fakta, Sob. Masak iya kamu mau menunggu yang tak pasti." "Aku menolak pun, Bunda masih tetep kukuh meneruskan perjodohan ini. Pusing, Sob," akunya pada sang sahabat. "Kenapa mesti pusing? Kamu, hanya perlu meminta bimbingan Rabbmu. Salatlah! Semoga kamu menemukan jawaban dari kebimbanganmu." Bagi Haidar, Zafran Abrisam bukanlah sekedar sahabat, tetapi dia sudah seperti saudara laki-laki yang tak pernah bisa Haidar miliki. Solusi yang diberikan pada tiap masalah selalu mendekatkan pada Rabbnya karena itulah Haidar betah bersahabat dengan Zafran. Pertemanan mereka terjadi sejak keduanya duduk di bangku sekolah menengah atas. Setelah lulus mereka sempat berpisah, Zafran mengikuti orang tuanya yang pindah tugas. Padahal mereka telah sepakat akan kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan fakultas yang sama pula. Jaraklah yang telah memisah persahabatan, meskipun komunikasi tetap terjalin. Namun, tetap jauhnya masa tempuh menjadi penghalang. Dua bulan lalu, Zafran membeli sebuah tanah dan bangunan dengan bantuan Haidar. Rencananya bangunan itu akan dia renovasi untuk dijadikan rumah makan. Maka, sejak merenovasi itulah dua sahabat itu bisa kembali bertemu."Rindu itu hanya soal rasa yang bisa hilang seiring waktu, begitu juga cinta. Jadi, masalahmu itu hanya maslaah waktu saja, Sob. Kalau sudah dapat surganya dunia, pasti bakalan lupa cewek itu," ucap temanku itu tiba-tiba."Rindu itu hanya soal rasa yang bisa hilang seiring waktu, begitu juga cinta. Jadi, masalahmu itu hanya maslaah waktu saja, Sob. Kalau sudah dapat surganya dunia, pasti bakalan lupa cewek itu." Menarik garis bibirnya ke atas. "Pikiranmu! Dasar mesum!" ejek Haidar. "Aku ngomong apa adanya. Nanti kamu ...." Belum selesai perkataan Zafran, lagu bidadari surga terdengar dari ponsel. Secepatnya dia menggulirkan ikon hijau logo telepon. Haidar tahu jika panggilan itu dari istri lelaki berambut ikal. Dia membiarkan Zafran berbincang dengan sang istri. Sementara dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Beberapa menit kemudian, Zafran sudah menyelesaikan panggilan teleponnya. "Sorry, Sob. Aku harus balik ke rumah hari ini. Sampai seminggu ke depan, kita gak bisa ketemu. Kalau ada apa-apa kabari secepatnya! Jangan kayak cewek! Galau terus kerjaanmu. Aku tinggal dulu! Asalamualaikum," salamnya. Zafran pun bersalaman dan memeluk sahabatnya itu. Ditepuknya punggung Haidar sambil berkata, "Te
Happy reading 💕💕💕 *** Sebuah cincin putih polos kini telah melingkar di jari manisnya sebelah kiri. Kini, ia tak mungkin sebebas dulu, meskipun hatinya menolak. Namun, Haidat tetap berusaha memenuhi janjinya pada sang Bunda, menjaga nama baik keluarga. Cuaca panas di luar tak sepanas hatinya kini. Di ruang kerja, dia mulai melamunkan sosok Hazimah. penampilannya secara fisik jelas sangat berbeda dengan Aliyah Fadwah. Ghazala Hazimah adalah sosok perempuan yang sangat mengagumkan bagi Haidar. Dia adalah perempuan cerdas berwawasan luas dan jangan lupakan jika gadis itu adalah perempuan paling mandiri yang selama ini dikenal Haidar. Instingnya kuat saat mengambil keputusan. Itu sebabnya saat kuliah dulu, banyak organisasi intra dan ekstra di kampus yang ingin menjadikannya anggota. Haidar tahu begitu banyak lelaki yang terpikat dengan pesona seorang Hazimah. Hingga untuk menarik perhatiannya dia selalu bersikap sinis dan jutek pada gadis itu. Seolah dengan sikapnya, dia bisa me
Waktu seakan berjalan lambat, selambat hatinya yang masih terus melamunkan Hazimah. Sengaja dia mencari tempat duduk di bagian belakang, jauh dari pemimpin rapat. Haidar masih ingin mengenang kebersamaannya dengan sang gadis. Jika kepala desa nanti menanyakan hasil rapat kali ini, maka dia tinggal menyodorkan hasil rekaman dari ponselnya. Terkesan licik memang cara Haidar, tetapi itulah yang mampu dia pikirkan saat ini. Fokusnya masih terbagi dengan kenangan bersama Hazimah. Sebelum rapat dimulai, banyak kawan sejawatnya memberikan ucapan selamat. Berita pertunangannya memang cepat sekali menyebar. Seandainya bisa, dia ingin menyembunyikan kabar pertunangan itu sampai nanti hari pernikahan tiba. Dua jam telah berlalu, rapat pun sudah selesai. Haidar beranjak dari duduknya setelah membereskan semua barang-barang yang ada di meja, berniat meninggalkan ruangan. Sebelum menyentuh gagang pintu, ada seseorang yang memanggilnya. "Tunggu, Mas. Bisa kita bicara sebentar?" Haidar membalikka
Tepat di hari ini, Haidar Izadin Narain akan mengikat seorang gadis bernama Aliyah fadwah dengan akad yang dia ucapkan. Musala di samping rumahnya sebagai panggungnya dan setelah salat subuh sebagai waktunya. Bukan tanpa alasan Haidar mengajukan waktu itu karena setelah salat subuh adalah waktu yang diberkahi oleh Allah. Waktu yang digunakan untuk mengawali hari. Waktu ketika begitu banyak orang berzikir dan bertasbih, di mana udara masih terasa kesejukannya dan bising kehidupan dunia belum dimulai. Kesemuanya menjadi pengantar dan pelebur penantian bagi bundanya untuk memiliki seorang menantu. Allah adalah pemilik skenario mutlak jodoh seseorang. Kita sebagai manusia hanya pelaksana dan penjemput jodoh itu. Menguatkan keyakinan bahwa jodoh tak akan pernah tertukar, dijemput dengan cara bagaimanapun pada akhirnya akan tetap bermuara pada satu nama. Nama yang telah Allah tuliskan jauh sebelum kelahiran kita di dunia. Haidar masih duduk bertafakur di musala, tangan kanannya terus men
Ronce melati panjang dengan beberapa mawar merah telah terpasang di sisi sebelah kanan, di atas hijab yang dikenakan. Sebelah kiri dipasangkan ronce lebih pendek dengan bunga kantil di bagian bawahnya. Cunduk mentul menari-nari indah saat Aliyah menggerakkan kepalanya. Meskipun memakai hijab, hiasan pengantin adat Jawa masih terpasang lengkap pada tubuhnya. Kalung susun tiga juga terpasang indah pada leher. Gelang paes sebagai simbol keabadian cinta sepasang suami istri melingkar cantik di kedua pergelangan tangannya. Tak beda jauh dengan yang Aliyah kenakan, Haidar pun mengenakan pakaian pengantin khas Jawa senada dengan Aliyah. Satu jam lagi acara resepsi akan dilaksanakan. Tak banyak yang diundang dalam resepsi pernikahan mereka, sekitar 500 orang saja. Undangan diperuntukkan bagi keluarga besar Haidar dan Aliyah, teman sejawat mempelai laki-laki, sahabat sang pengantin perempuan dan beberepa kenalan orang tua mereka berdua. Raut kebahagian terpancar jelas di antara keluarga mere
Kesyukuran hidup sering kali bergantung pada sudut pandang kita pada sesuatu. Semua akan sangat berbeda saat dilihat dengan cara yang berbeda. Hidup itu tentang sudut pandang, lalu kita ambil makna dari tiap tempuhannya agar kesyukuran bisa hadir. Saat itu terjadi hati yang terasa hampa akan kembali terisi. Beberapa menit yang lalu, Haidar melihat sosok Hazimah di resepsi pernikahannya. Walau pada umumnya laki-laki bersifat tegar dan kuat secara fisik. Namun, jika menyangkut masalah hati dia juga rapuh dan bisa tersakiti. Kebenaran yang akhirnya terungkap membuat Haidar seolah tak berpijak di bumi. Tubuhnya ringkih, seringkih hatinya yang menemukan sebuah kenyataan. Berapa banyak lagi rahasia dalam hidupnya yang belum terungkap? Sahabat yang selalu menguatkannya, dia sendirilah yang kini menghancurkannya. Garis kehidupan terus mempermainkan hati Haidar. Arah pandangnya mengikuti langkah wanita yang masih bersemayam di hatinya itu. Hingga di titik tangannya bergelanyut manja pada seo
"Iya, santai saja. Memang sudah seharusnya, Sob," jawab Haidar. Dia pun berusaha menutupi rasa kecewanya dengan berbicara pada Aliyah. "Dia sahabatku, namanya Zafran Abrisam." Mengarahkan pandangan pada Zafran. "Perempuan yang mendoakanmu tadi istrinya." Meskipun Aliyah tak mengenal mereka, tetapi dia tetap menganggukkan kepala tanda mengerti apa yang suaminya jelaskan. Samar Aliyah merasakan perubahan dalam diri Haidar. Entah apa yang terjadi di masa lalu antara suami dengan istri sahabatnya itu. Jelas dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh keduanya. Hazimah dan Zafran pun berlalu dari panggung pelaminan. Mereka berdua kemudian menikmati hidangan yang telah tersaji. Dari kejauhan Haidar masih mengikuti semua kegiatan yang dilakukan Hazimah. Kebahagian jelas terpancar dari gelak tawa kedua pasangan itu. Perlakuan manis Zafran pun semakin menusuk-nusuk luka hatinya. Haidar meninggalkan pelaminan kembali tanpa pamit pada siapa pun. Setengah berlari dia masuk ke dalam rumah
Happy reading dears *** Gawai di tangan seolah mengalihkan seruan untuk segera menghadap memenuhi Panggilan-Nya. Suara azan yang berkumandang seperti nyanyian, hanya perlu didengar tanpa bergegas segera melaksanakan seruan-Nya. Sedari Haidar masuk ke kamar mandi sampai dia keluar, Aliyah hanya sibuk dengan benda pipih persegi panjang di tangannya. Beberapa kali Haidar mencoba terbatuk-batuk agar Aliyah menyadari kehadirannya. Namun, Aliyah masih terlihat asik dengan mainan di tangannya, tak jelas apa yang sebenarnya ia kerjakan dengan benda mati tersebut. Sesekali senyumnya mengembang ketika melihat benda pipih itu. "Ehem. Saya mau ke musala," pamit Haidar. Tanpa menghiraukan jawaban Aliyah, dia membuka pintu kamar dan bergegas pergi. Aliyah, hanya melirik kepergian Haidar. Terlalu fokus membalas puluhan chat grup teman-temannya yang memberikan ucapan selamat. Dia abai bahwa statusnya kini sudah bukan remaja lagi. Ada tanggung jawab untuk melayani segala kebutuhan suaminya darip
Happy Reading*****Zafran sendiri terlihat salah tingkah. Mencoba membuang muka supaya sang istri tidak curiga jika dia sudah mengetahui apa isi dari album foto tersebut. "Nggak lihat apa-apa, kok. Cuma penasaran sama ini aja, tadi jatuh pas kamu bawa kardus masuk." Zafran menunjukkan album foto yang sudah dia letakkan di lantai sebelum istrinya datang tadi."Aku tadi manggil-manggil, lho. Tapi, kamu malah berjalan menjauh. Apa buku itu milikmu?" tanya Zafran memastikan. "Oh!" sahut perempuan berkulit putih tersebut. "Iya, ini memang punyaku."Hazimah segera mengambil album foto itu. Wajahnya seketika berubah, tangannya bahkan bergetar hebat ketika mengambil benda mati yang tergeletak di lantai. Ada rasa takut dan gugup ketika mengambil benda tersebut. Perempuan itu begitu khawatir jika isi dari benda yang dia sembunyikan selama ini akan diketahui oleh suaminya.Zafran mencoba mengalihkan perhatian Hazimah. Dia tidak ingin terlarut dalam pikiran negatif tentang hubungan hubungan sa
Happy Reading*****Malam itu, Aliyah tidak membahas apa yang diharapkannya sejak tadi. Haidar sendiri memilih tidur dengan membelakangi sang istri setelah meminta perempuan yang dinikahinya itu untuk salat isya terlebih dahulu."Dasar suami nggak peka sama kebutuhan istri. Masak iya, aku yang minta duluan. Kaan, malu," gerutu Aliyah dalam hati.Kesal dengan sikap Haidar, perempuan itu memilih bermain ponsel hingga matanya tertutup sempurna. Melupakan semua keinginan romantis-romantisan bersama sang suami seperti layaknya pasangan pengantin baru lainnya.Merasa tak ada pergerakan dari sebelahnya, Haidar membuka mata dan mengubah posisi tidur hingga menghadap pada sang istri. Saat itulah, dia melihat Aliyah sudah memejamkan mata dengan ponsel yang masih menyala."Dasar, sudah ngantuk masih main HP. Gini jadinya," omel Haidar. Namun, tangannya bergerak mematikan layar ponsel Aliyah dan membenarkan selimut agar perempuan itu tertidur dengan nyenyak.Malam itu, keduanya lalui tanpa kegiat
Happy Reading*****Haidar cuma bisa tersenyum mendengar pertanyaan sang mertua. Sungguh, dia tidak pernah menyangka jika ayah Aliyah akan mengajukan pertanyaan seperti tadi. "Jangan terburu-buru, Mas. Biarkan mereka menikmati masa-masa berduaan dulu," sahut Sania.Kedua orang tua Aliyah tertawa lebar. Sambil manggut-mangut membenarkan apa yang dikatakan oleh besannya"Benar juga, Jeng. Pernikahan mereka terbilang dadakan. Mereka juga belum menikmati masa pacaran seperti anak-anak muda jaman sekarang," tambah ibunya Aliyah."Nah, itu yang saya maksudkan tadi," kata Sania. Melirik Haidar yang masih betah menunduk akibat perkataan besannya tadi.Selesai menikmati hidangan yang disediakan oleh tuan rumah, keluarga Haidar pamit pulang karena waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Berat hati, Aliyah meninggalkan keluarganya. Walau masih merindukan kasih sayang kedua orang tuanya, tetapi mengingat jika malam ini Haidar mungkin akan melakukan hal-hal menyenangkan sebagai pasangan suami
Happy Reading*****Seketika wajah Haidar rasanya begitu panas setelah mendengar pertanyaan sang istri. Beruntung, tidak satu orang pun yang mendengar selain dirinya. Saudara ipar serta yang lain sudah berjalan lebih dulu meninggalkan keduanya."Mas," panggil Aliyah, mengejar jawaban sang suami."Bukankah aku sudah menjelaskan konsep cantik. Jadi, kenapa kamu tanya lagi." Mulai melangkahkan kaki meninggalkan istrinya. Haidar mengembuskan napas dalam, menghadapi Aliyah memang perlu kesabaran yang begitu besar."Dasar nggak peka. Aku kan butuh pengakuan darinya. Bukan penjelasan panjang lebar seperti tadi. Apa susahnya, sih. Tinggal ngomong aku cantik atau jelek," gerutu Aliyah. Mulai melangkahkan kaki mengikuti sang suami."Kamu naik mobil sendiri saja, Le," perintah Sania ketika mereka semua sudah berkumpul di garasi."Lho, Bun. Njenengan nggak ikut di mobil ini?" tanya Haidar. Entahlah, lelaki itu masih risih jika harus berduaan dengan sang istri."Bunda sama kakakmu saja," sahut San
Happy Reading*****"Mas," panggil Aliyah seperti tak rela ditinggal sang suami."Kamu perlu waktu untuk berhias. Aku tunggu di bawah sama yang lain," kata Haidar nyaris tanpa ekspresi walau wajah Aliyah sudah memerah karena malu.Sesederhana itu perlakuan Haidar pada Aliyah. Namun, efeknya lebih dari sebuah pernyataan cinta kepadanya. Lengkungan bibir Aliyah semakin tertarik ke atas mengingat semua kejadian tadi.Bagaimana rasa kagum pada lelaki itu akan berkurang jika setiap harinya, ada saja yang diperbuat Haidar untuk menumbuhkan perasaan itu padanya. Aliyah bersyukur orang tuanya menjodohkan dengan lelaki seperti Haidar.Sementara di ruang keluarga, semuanya sedang menunggu kedatangan Aliyah. Haidar sudah menampakkan wajah tak bersahabat menunggu sang istri turun dari kamar. Ruby dan suami hanya senyum-senyum kecil melihat Haidar.Posisi duduk putra bungsu Sania itu berubah-ubah, kentara sekali jika hatinya tidak tenang."Sabar, Ain. Namanya juga perempuan. Wajar kalau dandannya
Happy Reading*****"Sudah ... sudah nggak usah ribut. Makin siang nanti berangkat ke rumah Pak De. Sampai sana, Pak De udah kerja," kata Sania. "Maaf, Bun," ucap Haidar.Kejadian hari itu memupuk rasa kagum Aliyah pada suaminya. Walau terkesan cuek, nyatanya Haidar tidak pernah kasar pada perempuan. Lelaki itu begitu menghormati kaum Hawa, terutama bundanya dan juga Ruby.*****Mematut lekat penampilannya di cermin menjadi kegemaran Aliyah saat ini. Tersenyum sendiri setelah memakai jilbab, menurutnya tidak buruk berpenampilan seperti itu setiap hari apalagi ketika keluar rumah. Ujung kalimat yang disampaikan Haidar kemarin begitu membius hati Aliyah. Padahal suaminya, hanya mengatakan dengan ekspresi datar. Tanpa embel-embel senyum sedikitpun. Itulah kekuatan cinta yang mampu membuat terbang seorang perempuan meski tanpa sayap. Menghilangkan logika karena rasa yang tercipta. Allah telah lebihkan perempuan dengan pendengarannya hingga ia mudah luluh. Luluh dengan kata-kata seorang
Happy Reading*****Aliyah tersenyum salah tingkah. Dia sendiri tidak begitu memahami perasaannya pada sang suami saat ini. Satu yang pasti, perempuan itu cuma merasakan nyaman dan kagum pada lelaki yang telah menghalalkannya itu. "Gimana, Nduk?" tanya ulang Sania."Aliyah belum bisa menjawab pastinya, Bun. Takut jika apa yang aku rasakan nggak sama dengan yang dirasakan Mas Haidar," jawab Aliyah yang mendadak bijak dalam pemilihan kata. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah sebijak ini dalam berkata. Apakah pengaruh Haidar sedemikian besar pada dirinya. Itulah pertanyaan yang muncul pada diri perempuan tersebut.Sania manggut-manggut, mulai memahami apa yang disampaikan sang menantu. Saat dirinya menyodorkan perjodohan pada Haidar, putranya itu memang masih menyimpan ras pada seseorang yang tidak pernah diketahui siapa olehnya. "Semoga kalian akan segera mendapatkan rasa cinta itu satu sama lain. Jadi, tetaplah berjuang menaklukkan hati suamimu." Sania beranjak dari duduk, menuju l
Happy Reading*****Dua perempuan yang sejak tadi menguping pembicaraan sepasang pengantin baru tersebut membelalakkan mata. Mereka tidak lagi bisa menghindar ketika Haidar sudah membuka pintu. "Maaf, Dik. Kakak nggak maksud menguping pembicaraanmu sama Aliyah," jelas Ruby. Wajah bersalahnya tampak jelas terlihat. Harusnya, dia tidak menuruti permintaan sang Bunda untuk menguping dan mengintip apa yang dilakukan Haidar terhadap istrinya."Iya bener, Le. Bunda yang nyuruh kakakmu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Bunda cuma khawatir jika kamu melakukan hal-hal buruk pada Aliyah," tambah Sania. Rasa gugup itu menyerang perempuan paruh baya tersebut dengan hebat. Waswas juga jika Haidar akan marah dengan perbuatannya tersebut. "Insya Allah, aku enggak akan melakukan hal yang bisa membuat Bunda kecewa. Bukankah Aliyah adalah amanah yang sudah dititipkan ayahnya padaku?" Haidar menyipitkan mata. Menatap kedua perempuan yang begitu dia sayangi dan hormati. Walau kesal, tetapi lel
"Ada ancaman bahwa seorang wanita yang tidak menutup auratnya, maka dia tidak akan mencium bau surga. Jangankan masuk ke dalamnya, mencium baunya saja tidak bisa. Apa kamu ingin seperti itu?"Aliyah seketika terlihat bergidik dengan ucapan suaminya."Lalu bagaimana kalau aku belum siap?" tanyanya kembali."Siap tidak siap kamu harus melakukannya. Kasihanilah kami, lelaki mahrammu!" Haidar kembali mengeraskan suara. Sedikit membulatkan mata mendnegar alasan yang disampaikan sng istri tadi."Mengapa aku harus kasihan padamu?" Aliyah mengerjapkan mata seolah tak percaya dengan ucapan suaminya itu.Haidar menghela napas panjang, ternyata Aliyah masih belum memahami sepenuhnya penjelasan tadi. Dalam hati, lelaki itu beristigfar supaya bisa tetap tenang tanpa emosi memberikan penjelasan."Ketahuilah, tugas menjaga aurat wanita itu bukan hanya terletak di tanganmu seorang, tapi juga menjadi tanggung jawabku sebagai suamimu." Haidar menjeda kalimatnya. Ia bingung dengan sikap Aliyah yang ters