Happy reading
πππ *** Sebuah cincin putih polos kini telah melingkar di jari manisnya sebelah kiri. Kini, ia tak mungkin sebebas dulu, meskipun hatinya menolak. Namun, Haidat tetap berusaha memenuhi janjinya pada sang Bunda, menjaga nama baik keluarga. Cuaca panas di luar tak sepanas hatinya kini. Di ruang kerja, dia mulai melamunkan sosok Hazimah. penampilannya secara fisik jelas sangat berbeda dengan Aliyah Fadwah. Ghazala Hazimah adalah sosok perempuan yang sangat mengagumkan bagi Haidar. Dia adalah perempuan cerdas berwawasan luas dan jangan lupakan jika gadis itu adalah perempuan paling mandiri yang selama ini dikenal Haidar. Instingnya kuat saat mengambil keputusan. Itu sebabnya saat kuliah dulu, banyak organisasi intra dan ekstra di kampus yang ingin menjadikannya anggota. Haidar tahu begitu banyak lelaki yang terpikat dengan pesona seorang Hazimah. Hingga untuk menarik perhatiannya dia selalu bersikap sinis dan jutek pada gadis itu. Seolah dengan sikapnya, dia bisa mendapat perhatian Hazimah. Ketika melihat sosok wanita pilihan bundanya semalam, terus terang hatinya menentang. Bagi Haidar wanita secantik apa pun jika dia tak berhijab, maka kecantikan itu akan menghilang seketika. Sebenarnya, Aliyah tak kalah cantik di banding Hazimah, tetapi ketaatan akan perintah Tuhan-Nya lah yang membuat Hazimah lebih unggul. Ah, jika seperti ini aku semakin merindukan sosokmu. Di mana sebenarnya kamu berada? Mengapa setiap kali reuni alumni di kampus kamu tak pernah hadir. Aku rindu ... rindu sekali. Jika seperti ini terus-menerus aku bisa gila karenamu. Benar kata seorang dokter bahwa rindu itu adalah suatu penyakit obsesi yang serupa melankolia. Bahkan seorang filsuf sekelas Phytagoras mengatakan, rindu adalah harapan dan cinta yang sangat untuk mencapai sesuatu. Di mana ia muncul dalam hati, bergerak dan berkembang biak yang dapat mengumpulkan semua rasa yang sangat. Setiap kali rindu itu menguat, maka orang yang ditimpanya akan semakin bergejolak serta tergerak untuk mencari dan mencapai apa yang diinginkannya hingga gejolak tersebut membuat pemiliknya merasa bersedih dan khawatir. Jika tidak bisa mencapai apa yang diinginkan tersebut darahnya bisa mendidih dan menjadi hitam dan saat keadaannya sudah seperti itu, maka bisa rusak cara berpikirnya dan menjadi gila. Selama ini, Haidar sudah berupaya semampunya untuk mencari keberadaan Hazimah. Namun sayang, gadis itu sama sekali tak terdeteksi keberadaannya. Rindu yang dimilikinya pun semakin bertambah tanpa Haidar tahu cara menguranginya. Zafran sebagai seorang sahabat sudah sering mengingatka. Rindu yang dia miliki harus dipasangkan kendali kuat agar tak menjebak dalam semua kegiatan hidupnya. Nyatanya perkataan Zafran, hanya angin lalu bagi Haidar. "Ehem ...." Dehaman dari sang kepala desa membuyarkan semua lamunannya tentang Hazimah. Tanpa Haidar sadari, atasannya itu sudah sejak tadi berdiri di hadapannya bahkan ketukan pintu tak membuat kesadarannya kembali. "I-ya, Pak," jawab Haidar gugup. Segera dia berdiri untuk menghormati atasannya itu. Takut-takut jika dia mendapat teguran atas tindakannya yang kedapatan melamun di jam kerja. "Kerja dulu, Mas! Nanti, pulang kantor puas-puasin melamunnya." Senyum tersungging di bibir sang atasan. Kalimatnya sarat dengan sindiran kepada Haidar. Bukannya Haidar tak menyadari kesalahan itu. Namun, dipergoki secara langsung seperti ini membuatnya sangat malu. "Siap, Pak." Wajahnya seketika memerah. "Wonten nopo, Pak (Ada apa, Pak)?" tanya Haidar. "Beda, ya? Orang yang habis bertunangan sama yang belum." Masih menyindir Haidar. "Tolong kamu wakili saya di kecamatan! Ada pertemuan antar kepala desa di sana. Saya masih harus melanjutkan rapat dengan para ketua RW dan kepala dusun. Bisa, 'kan, Mas Haidar?" Kali ini nada perkataannya terlihat lebih serius. Beruntung Haidar tak mendapat teguran dan pertanyaan yang aneh dari kepala desa. "Inggeh, Pak. Jam berapa?" "Setelah makan siang, Mas. Sekitar jam satu. Masih ada waktu satu setengah jam lagi, tapi kalo dipakai melamun lagi, ya, telat rapatnya nanti." Berjalan meninggalkan Haidar sambil tertawa terbahak-bahak. Haidar mengumpat dalam hatinya, merutuki semua kebodohan yang dia lakukan. Jelas sekali jika orang di sekelilingnya menyangka dia memikirkan wanita tunangannya itu, padahal kenyataanya dirinya melamunkan wanita lain. Mengapa mereka selalu menyimpulkan apa yang tampak di luar tanpa tahu hal sebenarnya.Waktu seakan berjalan lambat, selambat hatinya yang masih terus melamunkan Hazimah. Sengaja dia mencari tempat duduk di bagian belakang, jauh dari pemimpin rapat. Haidar masih ingin mengenang kebersamaannya dengan sang gadis. Jika kepala desa nanti menanyakan hasil rapat kali ini, maka dia tinggal menyodorkan hasil rekaman dari ponselnya. Terkesan licik memang cara Haidar, tetapi itulah yang mampu dia pikirkan saat ini. Fokusnya masih terbagi dengan kenangan bersama Hazimah. Sebelum rapat dimulai, banyak kawan sejawatnya memberikan ucapan selamat. Berita pertunangannya memang cepat sekali menyebar. Seandainya bisa, dia ingin menyembunyikan kabar pertunangan itu sampai nanti hari pernikahan tiba. Dua jam telah berlalu, rapat pun sudah selesai. Haidar beranjak dari duduknya setelah membereskan semua barang-barang yang ada di meja, berniat meninggalkan ruangan. Sebelum menyentuh gagang pintu, ada seseorang yang memanggilnya. "Tunggu, Mas. Bisa kita bicara sebentar?" Haidar membalikka
Tepat di hari ini, Haidar Izadin Narain akan mengikat seorang gadis bernama Aliyah fadwah dengan akad yang dia ucapkan. Musala di samping rumahnya sebagai panggungnya dan setelah salat subuh sebagai waktunya. Bukan tanpa alasan Haidar mengajukan waktu itu karena setelah salat subuh adalah waktu yang diberkahi oleh Allah. Waktu yang digunakan untuk mengawali hari. Waktu ketika begitu banyak orang berzikir dan bertasbih, di mana udara masih terasa kesejukannya dan bising kehidupan dunia belum dimulai. Kesemuanya menjadi pengantar dan pelebur penantian bagi bundanya untuk memiliki seorang menantu. Allah adalah pemilik skenario mutlak jodoh seseorang. Kita sebagai manusia hanya pelaksana dan penjemput jodoh itu. Menguatkan keyakinan bahwa jodoh tak akan pernah tertukar, dijemput dengan cara bagaimanapun pada akhirnya akan tetap bermuara pada satu nama. Nama yang telah Allah tuliskan jauh sebelum kelahiran kita di dunia. Haidar masih duduk bertafakur di musala, tangan kanannya terus men
Ronce melati panjang dengan beberapa mawar merah telah terpasang di sisi sebelah kanan, di atas hijab yang dikenakan. Sebelah kiri dipasangkan ronce lebih pendek dengan bunga kantil di bagian bawahnya. Cunduk mentul menari-nari indah saat Aliyah menggerakkan kepalanya. Meskipun memakai hijab, hiasan pengantin adat Jawa masih terpasang lengkap pada tubuhnya. Kalung susun tiga juga terpasang indah pada leher. Gelang paes sebagai simbol keabadian cinta sepasang suami istri melingkar cantik di kedua pergelangan tangannya. Tak beda jauh dengan yang Aliyah kenakan, Haidar pun mengenakan pakaian pengantin khas Jawa senada dengan Aliyah. Satu jam lagi acara resepsi akan dilaksanakan. Tak banyak yang diundang dalam resepsi pernikahan mereka, sekitar 500 orang saja. Undangan diperuntukkan bagi keluarga besar Haidar dan Aliyah, teman sejawat mempelai laki-laki, sahabat sang pengantin perempuan dan beberepa kenalan orang tua mereka berdua. Raut kebahagian terpancar jelas di antara keluarga mere
Kesyukuran hidup sering kali bergantung pada sudut pandang kita pada sesuatu. Semua akan sangat berbeda saat dilihat dengan cara yang berbeda. Hidup itu tentang sudut pandang, lalu kita ambil makna dari tiap tempuhannya agar kesyukuran bisa hadir. Saat itu terjadi hati yang terasa hampa akan kembali terisi. Beberapa menit yang lalu, Haidar melihat sosok Hazimah di resepsi pernikahannya. Walau pada umumnya laki-laki bersifat tegar dan kuat secara fisik. Namun, jika menyangkut masalah hati dia juga rapuh dan bisa tersakiti. Kebenaran yang akhirnya terungkap membuat Haidar seolah tak berpijak di bumi. Tubuhnya ringkih, seringkih hatinya yang menemukan sebuah kenyataan. Berapa banyak lagi rahasia dalam hidupnya yang belum terungkap? Sahabat yang selalu menguatkannya, dia sendirilah yang kini menghancurkannya. Garis kehidupan terus mempermainkan hati Haidar. Arah pandangnya mengikuti langkah wanita yang masih bersemayam di hatinya itu. Hingga di titik tangannya bergelanyut manja pada seo
"Iya, santai saja. Memang sudah seharusnya, Sob," jawab Haidar. Dia pun berusaha menutupi rasa kecewanya dengan berbicara pada Aliyah. "Dia sahabatku, namanya Zafran Abrisam." Mengarahkan pandangan pada Zafran. "Perempuan yang mendoakanmu tadi istrinya." Meskipun Aliyah tak mengenal mereka, tetapi dia tetap menganggukkan kepala tanda mengerti apa yang suaminya jelaskan. Samar Aliyah merasakan perubahan dalam diri Haidar. Entah apa yang terjadi di masa lalu antara suami dengan istri sahabatnya itu. Jelas dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh keduanya. Hazimah dan Zafran pun berlalu dari panggung pelaminan. Mereka berdua kemudian menikmati hidangan yang telah tersaji. Dari kejauhan Haidar masih mengikuti semua kegiatan yang dilakukan Hazimah. Kebahagian jelas terpancar dari gelak tawa kedua pasangan itu. Perlakuan manis Zafran pun semakin menusuk-nusuk luka hatinya. Haidar meninggalkan pelaminan kembali tanpa pamit pada siapa pun. Setengah berlari dia masuk ke dalam rumah
Happy reading dears *** Gawai di tangan seolah mengalihkan seruan untuk segera menghadap memenuhi Panggilan-Nya. Suara azan yang berkumandang seperti nyanyian, hanya perlu didengar tanpa bergegas segera melaksanakan seruan-Nya. Sedari Haidar masuk ke kamar mandi sampai dia keluar, Aliyah hanya sibuk dengan benda pipih persegi panjang di tangannya. Beberapa kali Haidar mencoba terbatuk-batuk agar Aliyah menyadari kehadirannya. Namun, Aliyah masih terlihat asik dengan mainan di tangannya, tak jelas apa yang sebenarnya ia kerjakan dengan benda mati tersebut. Sesekali senyumnya mengembang ketika melihat benda pipih itu. "Ehem. Saya mau ke musala," pamit Haidar. Tanpa menghiraukan jawaban Aliyah, dia membuka pintu kamar dan bergegas pergi. Aliyah, hanya melirik kepergian Haidar. Terlalu fokus membalas puluhan chat grup teman-temannya yang memberikan ucapan selamat. Dia abai bahwa statusnya kini sudah bukan remaja lagi. Ada tanggung jawab untuk melayani segala kebutuhan suaminya darip
Haidar merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kedua tangannya ia letakkan diatas kepala. Tatapannya tertuju pada plafon kamar. Memorinya kembali pada pertemuan dengan perempuan yang dicarinya selama ini. Mata itu masih menyiratkan begitu banyak kebencian padanya. Haruskah Haidar memintanya kembali bertemu untuk menjelaskan semua dan meminta maaf kepadanya? Dia membalikkan badan, memiringkannya ke arah kiri. Tampak Aliyah yang sedang melaksanakan salat asar. Haidar menatapnya dalam. Mengamati setiap gerak yang Aliyah lakukan. Kembali dia teringat kepada Hazimah. Saat itu sedang diadakan rapat akhir kepengurusan komisariat. Dia adalah salah satu peserta yang sering kali mengingatkan semua orang, jika sudah masuk waktu salat. Tak sedikit teman-temannya yang kagum atas kedisiplinan waktu yang Hazimah miliki. Seorang perempuan yang berani menegur Haidar untuk menghentikan segala aktifitas ketika azan berkumandang. Tak segan dia marah kepadanya karena sering abai dalam menjalankan kedisip
Derit suara pintu yang di buka olehnya membuat seisi rumah menengok ke arah suara. Dia tahu bundanya pasti cemas menantikan kepulangannya. Tak biasa Haidar langsung meneruskan salat magribnya ke salat isya tanpa pulang terlebih dahulu. Hati-hati Haidar masuk ke dalan rumah, salam yang dia ucapkan pun sangat lirih hampir tak terdengar oleh bundanya dan Aliyah. "Seko ngendi tho, Le (dari mana, Nak)? Nyapo kok ra pamit yen langsung isya'an, Bunda kuatir lho, Le (kenapa gak ngomong dulu kalau langsung salat isya, Bunda jadi khawatir kalau gini)." "Inggeh, Bunda, ngapunten. Tadi ada istigosahan di musala, jadi daripada kulo wangsul riyen mending langsungke mawon, kersane mboten telat (daripada aku pulang dulu nanti telat jadi langsung saja tadi)." Haidar merasa bersalah telah membuat bundanya khawatir. Dia segera bersalaman pada bundanya dan Aliyah, kemudian langsung masuk ke kamar. Aliyah mengekori langkah suaminya ke kamar. "Bunda dari tadi tanya sama aku, Mas. Mengapa, Mas, gak pami
Happy Reading*****Zafran sendiri terlihat salah tingkah. Mencoba membuang muka supaya sang istri tidak curiga jika dia sudah mengetahui apa isi dari album foto tersebut. "Nggak lihat apa-apa, kok. Cuma penasaran sama ini aja, tadi jatuh pas kamu bawa kardus masuk." Zafran menunjukkan album foto yang sudah dia letakkan di lantai sebelum istrinya datang tadi."Aku tadi manggil-manggil, lho. Tapi, kamu malah berjalan menjauh. Apa buku itu milikmu?" tanya Zafran memastikan. "Oh!" sahut perempuan berkulit putih tersebut. "Iya, ini memang punyaku."Hazimah segera mengambil album foto itu. Wajahnya seketika berubah, tangannya bahkan bergetar hebat ketika mengambil benda mati yang tergeletak di lantai. Ada rasa takut dan gugup ketika mengambil benda tersebut. Perempuan itu begitu khawatir jika isi dari benda yang dia sembunyikan selama ini akan diketahui oleh suaminya.Zafran mencoba mengalihkan perhatian Hazimah. Dia tidak ingin terlarut dalam pikiran negatif tentang hubungan hubungan sa
Happy Reading*****Malam itu, Aliyah tidak membahas apa yang diharapkannya sejak tadi. Haidar sendiri memilih tidur dengan membelakangi sang istri setelah meminta perempuan yang dinikahinya itu untuk salat isya terlebih dahulu."Dasar suami nggak peka sama kebutuhan istri. Masak iya, aku yang minta duluan. Kaan, malu," gerutu Aliyah dalam hati.Kesal dengan sikap Haidar, perempuan itu memilih bermain ponsel hingga matanya tertutup sempurna. Melupakan semua keinginan romantis-romantisan bersama sang suami seperti layaknya pasangan pengantin baru lainnya.Merasa tak ada pergerakan dari sebelahnya, Haidar membuka mata dan mengubah posisi tidur hingga menghadap pada sang istri. Saat itulah, dia melihat Aliyah sudah memejamkan mata dengan ponsel yang masih menyala."Dasar, sudah ngantuk masih main HP. Gini jadinya," omel Haidar. Namun, tangannya bergerak mematikan layar ponsel Aliyah dan membenarkan selimut agar perempuan itu tertidur dengan nyenyak.Malam itu, keduanya lalui tanpa kegiat
Happy Reading*****Haidar cuma bisa tersenyum mendengar pertanyaan sang mertua. Sungguh, dia tidak pernah menyangka jika ayah Aliyah akan mengajukan pertanyaan seperti tadi. "Jangan terburu-buru, Mas. Biarkan mereka menikmati masa-masa berduaan dulu," sahut Sania.Kedua orang tua Aliyah tertawa lebar. Sambil manggut-mangut membenarkan apa yang dikatakan oleh besannya"Benar juga, Jeng. Pernikahan mereka terbilang dadakan. Mereka juga belum menikmati masa pacaran seperti anak-anak muda jaman sekarang," tambah ibunya Aliyah."Nah, itu yang saya maksudkan tadi," kata Sania. Melirik Haidar yang masih betah menunduk akibat perkataan besannya tadi.Selesai menikmati hidangan yang disediakan oleh tuan rumah, keluarga Haidar pamit pulang karena waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Berat hati, Aliyah meninggalkan keluarganya. Walau masih merindukan kasih sayang kedua orang tuanya, tetapi mengingat jika malam ini Haidar mungkin akan melakukan hal-hal menyenangkan sebagai pasangan suami
Happy Reading*****Seketika wajah Haidar rasanya begitu panas setelah mendengar pertanyaan sang istri. Beruntung, tidak satu orang pun yang mendengar selain dirinya. Saudara ipar serta yang lain sudah berjalan lebih dulu meninggalkan keduanya."Mas," panggil Aliyah, mengejar jawaban sang suami."Bukankah aku sudah menjelaskan konsep cantik. Jadi, kenapa kamu tanya lagi." Mulai melangkahkan kaki meninggalkan istrinya. Haidar mengembuskan napas dalam, menghadapi Aliyah memang perlu kesabaran yang begitu besar."Dasar nggak peka. Aku kan butuh pengakuan darinya. Bukan penjelasan panjang lebar seperti tadi. Apa susahnya, sih. Tinggal ngomong aku cantik atau jelek," gerutu Aliyah. Mulai melangkahkan kaki mengikuti sang suami."Kamu naik mobil sendiri saja, Le," perintah Sania ketika mereka semua sudah berkumpul di garasi."Lho, Bun. Njenengan nggak ikut di mobil ini?" tanya Haidar. Entahlah, lelaki itu masih risih jika harus berduaan dengan sang istri."Bunda sama kakakmu saja," sahut San
Happy Reading*****"Mas," panggil Aliyah seperti tak rela ditinggal sang suami."Kamu perlu waktu untuk berhias. Aku tunggu di bawah sama yang lain," kata Haidar nyaris tanpa ekspresi walau wajah Aliyah sudah memerah karena malu.Sesederhana itu perlakuan Haidar pada Aliyah. Namun, efeknya lebih dari sebuah pernyataan cinta kepadanya. Lengkungan bibir Aliyah semakin tertarik ke atas mengingat semua kejadian tadi.Bagaimana rasa kagum pada lelaki itu akan berkurang jika setiap harinya, ada saja yang diperbuat Haidar untuk menumbuhkan perasaan itu padanya. Aliyah bersyukur orang tuanya menjodohkan dengan lelaki seperti Haidar.Sementara di ruang keluarga, semuanya sedang menunggu kedatangan Aliyah. Haidar sudah menampakkan wajah tak bersahabat menunggu sang istri turun dari kamar. Ruby dan suami hanya senyum-senyum kecil melihat Haidar.Posisi duduk putra bungsu Sania itu berubah-ubah, kentara sekali jika hatinya tidak tenang."Sabar, Ain. Namanya juga perempuan. Wajar kalau dandannya
Happy Reading*****"Sudah ... sudah nggak usah ribut. Makin siang nanti berangkat ke rumah Pak De. Sampai sana, Pak De udah kerja," kata Sania. "Maaf, Bun," ucap Haidar.Kejadian hari itu memupuk rasa kagum Aliyah pada suaminya. Walau terkesan cuek, nyatanya Haidar tidak pernah kasar pada perempuan. Lelaki itu begitu menghormati kaum Hawa, terutama bundanya dan juga Ruby.*****Mematut lekat penampilannya di cermin menjadi kegemaran Aliyah saat ini. Tersenyum sendiri setelah memakai jilbab, menurutnya tidak buruk berpenampilan seperti itu setiap hari apalagi ketika keluar rumah. Ujung kalimat yang disampaikan Haidar kemarin begitu membius hati Aliyah. Padahal suaminya, hanya mengatakan dengan ekspresi datar. Tanpa embel-embel senyum sedikitpun. Itulah kekuatan cinta yang mampu membuat terbang seorang perempuan meski tanpa sayap. Menghilangkan logika karena rasa yang tercipta. Allah telah lebihkan perempuan dengan pendengarannya hingga ia mudah luluh. Luluh dengan kata-kata seorang
Happy Reading*****Aliyah tersenyum salah tingkah. Dia sendiri tidak begitu memahami perasaannya pada sang suami saat ini. Satu yang pasti, perempuan itu cuma merasakan nyaman dan kagum pada lelaki yang telah menghalalkannya itu. "Gimana, Nduk?" tanya ulang Sania."Aliyah belum bisa menjawab pastinya, Bun. Takut jika apa yang aku rasakan nggak sama dengan yang dirasakan Mas Haidar," jawab Aliyah yang mendadak bijak dalam pemilihan kata. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah sebijak ini dalam berkata. Apakah pengaruh Haidar sedemikian besar pada dirinya. Itulah pertanyaan yang muncul pada diri perempuan tersebut.Sania manggut-manggut, mulai memahami apa yang disampaikan sang menantu. Saat dirinya menyodorkan perjodohan pada Haidar, putranya itu memang masih menyimpan ras pada seseorang yang tidak pernah diketahui siapa olehnya. "Semoga kalian akan segera mendapatkan rasa cinta itu satu sama lain. Jadi, tetaplah berjuang menaklukkan hati suamimu." Sania beranjak dari duduk, menuju l
Happy Reading*****Dua perempuan yang sejak tadi menguping pembicaraan sepasang pengantin baru tersebut membelalakkan mata. Mereka tidak lagi bisa menghindar ketika Haidar sudah membuka pintu. "Maaf, Dik. Kakak nggak maksud menguping pembicaraanmu sama Aliyah," jelas Ruby. Wajah bersalahnya tampak jelas terlihat. Harusnya, dia tidak menuruti permintaan sang Bunda untuk menguping dan mengintip apa yang dilakukan Haidar terhadap istrinya."Iya bener, Le. Bunda yang nyuruh kakakmu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Bunda cuma khawatir jika kamu melakukan hal-hal buruk pada Aliyah," tambah Sania. Rasa gugup itu menyerang perempuan paruh baya tersebut dengan hebat. Waswas juga jika Haidar akan marah dengan perbuatannya tersebut. "Insya Allah, aku enggak akan melakukan hal yang bisa membuat Bunda kecewa. Bukankah Aliyah adalah amanah yang sudah dititipkan ayahnya padaku?" Haidar menyipitkan mata. Menatap kedua perempuan yang begitu dia sayangi dan hormati. Walau kesal, tetapi lel
"Ada ancaman bahwa seorang wanita yang tidak menutup auratnya, maka dia tidak akan mencium bau surga. Jangankan masuk ke dalamnya, mencium baunya saja tidak bisa. Apa kamu ingin seperti itu?"Aliyah seketika terlihat bergidik dengan ucapan suaminya."Lalu bagaimana kalau aku belum siap?" tanyanya kembali."Siap tidak siap kamu harus melakukannya. Kasihanilah kami, lelaki mahrammu!" Haidar kembali mengeraskan suara. Sedikit membulatkan mata mendnegar alasan yang disampaikan sng istri tadi."Mengapa aku harus kasihan padamu?" Aliyah mengerjapkan mata seolah tak percaya dengan ucapan suaminya itu.Haidar menghela napas panjang, ternyata Aliyah masih belum memahami sepenuhnya penjelasan tadi. Dalam hati, lelaki itu beristigfar supaya bisa tetap tenang tanpa emosi memberikan penjelasan."Ketahuilah, tugas menjaga aurat wanita itu bukan hanya terletak di tanganmu seorang, tapi juga menjadi tanggung jawabku sebagai suamimu." Haidar menjeda kalimatnya. Ia bingung dengan sikap Aliyah yang ters