Happy reading dears *** Gawai di tangan seolah mengalihkan seruan untuk segera menghadap memenuhi Panggilan-Nya. Suara azan yang berkumandang seperti nyanyian, hanya perlu didengar tanpa bergegas segera melaksanakan seruan-Nya. Sedari Haidar masuk ke kamar mandi sampai dia keluar, Aliyah hanya sibuk dengan benda pipih persegi panjang di tangannya. Beberapa kali Haidar mencoba terbatuk-batuk agar Aliyah menyadari kehadirannya. Namun, Aliyah masih terlihat asik dengan mainan di tangannya, tak jelas apa yang sebenarnya ia kerjakan dengan benda mati tersebut. Sesekali senyumnya mengembang ketika melihat benda pipih itu. "Ehem. Saya mau ke musala," pamit Haidar. Tanpa menghiraukan jawaban Aliyah, dia membuka pintu kamar dan bergegas pergi. Aliyah, hanya melirik kepergian Haidar. Terlalu fokus membalas puluhan chat grup teman-temannya yang memberikan ucapan selamat. Dia abai bahwa statusnya kini sudah bukan remaja lagi. Ada tanggung jawab untuk melayani segala kebutuhan suaminya darip
Haidar merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kedua tangannya ia letakkan diatas kepala. Tatapannya tertuju pada plafon kamar. Memorinya kembali pada pertemuan dengan perempuan yang dicarinya selama ini. Mata itu masih menyiratkan begitu banyak kebencian padanya. Haruskah Haidar memintanya kembali bertemu untuk menjelaskan semua dan meminta maaf kepadanya? Dia membalikkan badan, memiringkannya ke arah kiri. Tampak Aliyah yang sedang melaksanakan salat asar. Haidar menatapnya dalam. Mengamati setiap gerak yang Aliyah lakukan. Kembali dia teringat kepada Hazimah. Saat itu sedang diadakan rapat akhir kepengurusan komisariat. Dia adalah salah satu peserta yang sering kali mengingatkan semua orang, jika sudah masuk waktu salat. Tak sedikit teman-temannya yang kagum atas kedisiplinan waktu yang Hazimah miliki. Seorang perempuan yang berani menegur Haidar untuk menghentikan segala aktifitas ketika azan berkumandang. Tak segan dia marah kepadanya karena sering abai dalam menjalankan kedisip
Derit suara pintu yang di buka olehnya membuat seisi rumah menengok ke arah suara. Dia tahu bundanya pasti cemas menantikan kepulangannya. Tak biasa Haidar langsung meneruskan salat magribnya ke salat isya tanpa pulang terlebih dahulu. Hati-hati Haidar masuk ke dalan rumah, salam yang dia ucapkan pun sangat lirih hampir tak terdengar oleh bundanya dan Aliyah. "Seko ngendi tho, Le (dari mana, Nak)? Nyapo kok ra pamit yen langsung isya'an, Bunda kuatir lho, Le (kenapa gak ngomong dulu kalau langsung salat isya, Bunda jadi khawatir kalau gini)." "Inggeh, Bunda, ngapunten. Tadi ada istigosahan di musala, jadi daripada kulo wangsul riyen mending langsungke mawon, kersane mboten telat (daripada aku pulang dulu nanti telat jadi langsung saja tadi)." Haidar merasa bersalah telah membuat bundanya khawatir. Dia segera bersalaman pada bundanya dan Aliyah, kemudian langsung masuk ke kamar. Aliyah mengekori langkah suaminya ke kamar. "Bunda dari tadi tanya sama aku, Mas. Mengapa, Mas, gak pami
Sang suami mengembuskan napas panjang ketika ALiyah bertanya demikian. Yakin, jika.lelkai yang baru saja menghalalkannya itu tidak akan menjelaskan apa pun, Aliyah memilih menunduk. "Kamu keramaslah!" kata Haidar singkat. Tak ada lagi penjelasan setelahnya padahal Aliyah butuh lelaki itu menerangkan apa maksud perintahnya. Orang membasahi rambut jelas namanya keramas. Namun, tujuan memerintahkannya seperti itu tidak dijelaskan. Tanpa bertanya lagi apa maksud suaminya, Aliyah segera melaksanakan perintah tersebut. Selesai mandi, Aliyah tak melihat suaminya di kamar. Haidar berangkat ke musala tanpa berpamitan padanya. Setelah melaksanakan salat, Aliyah masih berdiam di dalam kamarnya. Dia tak keluar sekedar membantu mertuanya untuk memasak sampai suaminya pulang dari musala. "Kamu, enggak bantuin Bunda di dapur?" "Gak, Mas. 'Kan sudah ada pembantu sama kakak ipar. Lagian aku gak bisa masak," jawabnya enteng. "Astagfirullah. Mengapa kamu tidak mau belajar kalau memang belum b
Happy Reading. *** Nasi goreng dengan pelengkap telur mata sapi dan acar mentimun tersaji di meja makan. Teh hangat serta susu menemani sajian utama sarapan kali ini. Haidar bergegas ke meja makan dengan sendirinya karena mencium bau nasi goreng yang sedap. Bunda serta kakaknya telah bersiap dan duduk di meja makan. Suami kakaknya sudah terlebih dahulu berangkat ke kantor, ijin cutinya, hanya dua hari saja untuk menghadiri pernikahan Haidar. Aliyah duduk terpaku memandang layar ponselnya, dia masih belum menyadari keberadaan Haidar yang berada tepat di sebelahnya. "Ehem. Bisa 'kan, kalau handphone itu kamu simpan dulu. Masih banyak waktu untuk bermain lagi," kata Haidar. Dia memang tidak menatap sang istri, tetapi perkataannya sudah jelas menunjukkan siapa orang yang dimaksud. Sani dan Ruby duduk berhadapan dengan keduanya cuma bisa saling melirik satu sama lainnya. "Jarke tho, Le ( Biarin lah, Nak)." Sania membuka piring di depan Haidar. Lalu, perempuan paruh baya itu menatap
Happy Reading ***** Sania kembali duduk dan membereskan semua makanan dan piring kotor di meja yang dipakai sarapan. Dia mulai menumpuk piring kotor, meletakkannya di wastafel cuci piring. Ruby pun mengikuti langkah bundanya, membantu mencuci piring. Walau banyak kekhawatiran tentang putra dan menantunya, tetapi Sania memilih tidak mencampuri urusan rumah tangga yang baru dibangun oleh Haidar. Perempuan paruh baya itu yakin, didikannya pada sang putra tidak salah saat memperlakukan wanita. Sementara itu di kamar, Haidar mendudukkan Aliyah di depan meja rias. Dia mulai mengamati istrinya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Penampilan yang jauh dari semua angan dan harapan lelaki tersebut tentang sosok perempuan yang akan mendampinginya. Ditatap begitu intens oleh lelaki yang beberapa saat lalu menghalalkannya, Aliyah mulai gelisah. Tangannya meremas-remas ujung baju. Entahlah, sejak semalam, perempuan itu merasa bahwa apa yang dirinya lakukan selalu salah di mata Haidar. "Dudu
"Ada ancaman bahwa seorang wanita yang tidak menutup auratnya, maka dia tidak akan mencium bau surga. Jangankan masuk ke dalamnya, mencium baunya saja tidak bisa. Apa kamu ingin seperti itu?"Aliyah seketika terlihat bergidik dengan ucapan suaminya."Lalu bagaimana kalau aku belum siap?" tanyanya kembali."Siap tidak siap kamu harus melakukannya. Kasihanilah kami, lelaki mahrammu!" Haidar kembali mengeraskan suara. Sedikit membulatkan mata mendnegar alasan yang disampaikan sng istri tadi."Mengapa aku harus kasihan padamu?" Aliyah mengerjapkan mata seolah tak percaya dengan ucapan suaminya itu.Haidar menghela napas panjang, ternyata Aliyah masih belum memahami sepenuhnya penjelasan tadi. Dalam hati, lelaki itu beristigfar supaya bisa tetap tenang tanpa emosi memberikan penjelasan."Ketahuilah, tugas menjaga aurat wanita itu bukan hanya terletak di tanganmu seorang, tapi juga menjadi tanggung jawabku sebagai suamimu." Haidar menjeda kalimatnya. Ia bingung dengan sikap Aliyah yang ters
Happy Reading*****Dua perempuan yang sejak tadi menguping pembicaraan sepasang pengantin baru tersebut membelalakkan mata. Mereka tidak lagi bisa menghindar ketika Haidar sudah membuka pintu. "Maaf, Dik. Kakak nggak maksud menguping pembicaraanmu sama Aliyah," jelas Ruby. Wajah bersalahnya tampak jelas terlihat. Harusnya, dia tidak menuruti permintaan sang Bunda untuk menguping dan mengintip apa yang dilakukan Haidar terhadap istrinya."Iya bener, Le. Bunda yang nyuruh kakakmu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Bunda cuma khawatir jika kamu melakukan hal-hal buruk pada Aliyah," tambah Sania. Rasa gugup itu menyerang perempuan paruh baya tersebut dengan hebat. Waswas juga jika Haidar akan marah dengan perbuatannya tersebut. "Insya Allah, aku enggak akan melakukan hal yang bisa membuat Bunda kecewa. Bukankah Aliyah adalah amanah yang sudah dititipkan ayahnya padaku?" Haidar menyipitkan mata. Menatap kedua perempuan yang begitu dia sayangi dan hormati. Walau kesal, tetapi lel
Happy Reading*****Zafran sendiri terlihat salah tingkah. Mencoba membuang muka supaya sang istri tidak curiga jika dia sudah mengetahui apa isi dari album foto tersebut. "Nggak lihat apa-apa, kok. Cuma penasaran sama ini aja, tadi jatuh pas kamu bawa kardus masuk." Zafran menunjukkan album foto yang sudah dia letakkan di lantai sebelum istrinya datang tadi."Aku tadi manggil-manggil, lho. Tapi, kamu malah berjalan menjauh. Apa buku itu milikmu?" tanya Zafran memastikan. "Oh!" sahut perempuan berkulit putih tersebut. "Iya, ini memang punyaku."Hazimah segera mengambil album foto itu. Wajahnya seketika berubah, tangannya bahkan bergetar hebat ketika mengambil benda mati yang tergeletak di lantai. Ada rasa takut dan gugup ketika mengambil benda tersebut. Perempuan itu begitu khawatir jika isi dari benda yang dia sembunyikan selama ini akan diketahui oleh suaminya.Zafran mencoba mengalihkan perhatian Hazimah. Dia tidak ingin terlarut dalam pikiran negatif tentang hubungan hubungan sa
Happy Reading*****Malam itu, Aliyah tidak membahas apa yang diharapkannya sejak tadi. Haidar sendiri memilih tidur dengan membelakangi sang istri setelah meminta perempuan yang dinikahinya itu untuk salat isya terlebih dahulu."Dasar suami nggak peka sama kebutuhan istri. Masak iya, aku yang minta duluan. Kaan, malu," gerutu Aliyah dalam hati.Kesal dengan sikap Haidar, perempuan itu memilih bermain ponsel hingga matanya tertutup sempurna. Melupakan semua keinginan romantis-romantisan bersama sang suami seperti layaknya pasangan pengantin baru lainnya.Merasa tak ada pergerakan dari sebelahnya, Haidar membuka mata dan mengubah posisi tidur hingga menghadap pada sang istri. Saat itulah, dia melihat Aliyah sudah memejamkan mata dengan ponsel yang masih menyala."Dasar, sudah ngantuk masih main HP. Gini jadinya," omel Haidar. Namun, tangannya bergerak mematikan layar ponsel Aliyah dan membenarkan selimut agar perempuan itu tertidur dengan nyenyak.Malam itu, keduanya lalui tanpa kegiat
Happy Reading*****Haidar cuma bisa tersenyum mendengar pertanyaan sang mertua. Sungguh, dia tidak pernah menyangka jika ayah Aliyah akan mengajukan pertanyaan seperti tadi. "Jangan terburu-buru, Mas. Biarkan mereka menikmati masa-masa berduaan dulu," sahut Sania.Kedua orang tua Aliyah tertawa lebar. Sambil manggut-mangut membenarkan apa yang dikatakan oleh besannya"Benar juga, Jeng. Pernikahan mereka terbilang dadakan. Mereka juga belum menikmati masa pacaran seperti anak-anak muda jaman sekarang," tambah ibunya Aliyah."Nah, itu yang saya maksudkan tadi," kata Sania. Melirik Haidar yang masih betah menunduk akibat perkataan besannya tadi.Selesai menikmati hidangan yang disediakan oleh tuan rumah, keluarga Haidar pamit pulang karena waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Berat hati, Aliyah meninggalkan keluarganya. Walau masih merindukan kasih sayang kedua orang tuanya, tetapi mengingat jika malam ini Haidar mungkin akan melakukan hal-hal menyenangkan sebagai pasangan suami
Happy Reading*****Seketika wajah Haidar rasanya begitu panas setelah mendengar pertanyaan sang istri. Beruntung, tidak satu orang pun yang mendengar selain dirinya. Saudara ipar serta yang lain sudah berjalan lebih dulu meninggalkan keduanya."Mas," panggil Aliyah, mengejar jawaban sang suami."Bukankah aku sudah menjelaskan konsep cantik. Jadi, kenapa kamu tanya lagi." Mulai melangkahkan kaki meninggalkan istrinya. Haidar mengembuskan napas dalam, menghadapi Aliyah memang perlu kesabaran yang begitu besar."Dasar nggak peka. Aku kan butuh pengakuan darinya. Bukan penjelasan panjang lebar seperti tadi. Apa susahnya, sih. Tinggal ngomong aku cantik atau jelek," gerutu Aliyah. Mulai melangkahkan kaki mengikuti sang suami."Kamu naik mobil sendiri saja, Le," perintah Sania ketika mereka semua sudah berkumpul di garasi."Lho, Bun. Njenengan nggak ikut di mobil ini?" tanya Haidar. Entahlah, lelaki itu masih risih jika harus berduaan dengan sang istri."Bunda sama kakakmu saja," sahut San
Happy Reading*****"Mas," panggil Aliyah seperti tak rela ditinggal sang suami."Kamu perlu waktu untuk berhias. Aku tunggu di bawah sama yang lain," kata Haidar nyaris tanpa ekspresi walau wajah Aliyah sudah memerah karena malu.Sesederhana itu perlakuan Haidar pada Aliyah. Namun, efeknya lebih dari sebuah pernyataan cinta kepadanya. Lengkungan bibir Aliyah semakin tertarik ke atas mengingat semua kejadian tadi.Bagaimana rasa kagum pada lelaki itu akan berkurang jika setiap harinya, ada saja yang diperbuat Haidar untuk menumbuhkan perasaan itu padanya. Aliyah bersyukur orang tuanya menjodohkan dengan lelaki seperti Haidar.Sementara di ruang keluarga, semuanya sedang menunggu kedatangan Aliyah. Haidar sudah menampakkan wajah tak bersahabat menunggu sang istri turun dari kamar. Ruby dan suami hanya senyum-senyum kecil melihat Haidar.Posisi duduk putra bungsu Sania itu berubah-ubah, kentara sekali jika hatinya tidak tenang."Sabar, Ain. Namanya juga perempuan. Wajar kalau dandannya
Happy Reading*****"Sudah ... sudah nggak usah ribut. Makin siang nanti berangkat ke rumah Pak De. Sampai sana, Pak De udah kerja," kata Sania. "Maaf, Bun," ucap Haidar.Kejadian hari itu memupuk rasa kagum Aliyah pada suaminya. Walau terkesan cuek, nyatanya Haidar tidak pernah kasar pada perempuan. Lelaki itu begitu menghormati kaum Hawa, terutama bundanya dan juga Ruby.*****Mematut lekat penampilannya di cermin menjadi kegemaran Aliyah saat ini. Tersenyum sendiri setelah memakai jilbab, menurutnya tidak buruk berpenampilan seperti itu setiap hari apalagi ketika keluar rumah. Ujung kalimat yang disampaikan Haidar kemarin begitu membius hati Aliyah. Padahal suaminya, hanya mengatakan dengan ekspresi datar. Tanpa embel-embel senyum sedikitpun. Itulah kekuatan cinta yang mampu membuat terbang seorang perempuan meski tanpa sayap. Menghilangkan logika karena rasa yang tercipta. Allah telah lebihkan perempuan dengan pendengarannya hingga ia mudah luluh. Luluh dengan kata-kata seorang
Happy Reading*****Aliyah tersenyum salah tingkah. Dia sendiri tidak begitu memahami perasaannya pada sang suami saat ini. Satu yang pasti, perempuan itu cuma merasakan nyaman dan kagum pada lelaki yang telah menghalalkannya itu. "Gimana, Nduk?" tanya ulang Sania."Aliyah belum bisa menjawab pastinya, Bun. Takut jika apa yang aku rasakan nggak sama dengan yang dirasakan Mas Haidar," jawab Aliyah yang mendadak bijak dalam pemilihan kata. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah sebijak ini dalam berkata. Apakah pengaruh Haidar sedemikian besar pada dirinya. Itulah pertanyaan yang muncul pada diri perempuan tersebut.Sania manggut-manggut, mulai memahami apa yang disampaikan sang menantu. Saat dirinya menyodorkan perjodohan pada Haidar, putranya itu memang masih menyimpan ras pada seseorang yang tidak pernah diketahui siapa olehnya. "Semoga kalian akan segera mendapatkan rasa cinta itu satu sama lain. Jadi, tetaplah berjuang menaklukkan hati suamimu." Sania beranjak dari duduk, menuju l
Happy Reading*****Dua perempuan yang sejak tadi menguping pembicaraan sepasang pengantin baru tersebut membelalakkan mata. Mereka tidak lagi bisa menghindar ketika Haidar sudah membuka pintu. "Maaf, Dik. Kakak nggak maksud menguping pembicaraanmu sama Aliyah," jelas Ruby. Wajah bersalahnya tampak jelas terlihat. Harusnya, dia tidak menuruti permintaan sang Bunda untuk menguping dan mengintip apa yang dilakukan Haidar terhadap istrinya."Iya bener, Le. Bunda yang nyuruh kakakmu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Bunda cuma khawatir jika kamu melakukan hal-hal buruk pada Aliyah," tambah Sania. Rasa gugup itu menyerang perempuan paruh baya tersebut dengan hebat. Waswas juga jika Haidar akan marah dengan perbuatannya tersebut. "Insya Allah, aku enggak akan melakukan hal yang bisa membuat Bunda kecewa. Bukankah Aliyah adalah amanah yang sudah dititipkan ayahnya padaku?" Haidar menyipitkan mata. Menatap kedua perempuan yang begitu dia sayangi dan hormati. Walau kesal, tetapi lel
"Ada ancaman bahwa seorang wanita yang tidak menutup auratnya, maka dia tidak akan mencium bau surga. Jangankan masuk ke dalamnya, mencium baunya saja tidak bisa. Apa kamu ingin seperti itu?"Aliyah seketika terlihat bergidik dengan ucapan suaminya."Lalu bagaimana kalau aku belum siap?" tanyanya kembali."Siap tidak siap kamu harus melakukannya. Kasihanilah kami, lelaki mahrammu!" Haidar kembali mengeraskan suara. Sedikit membulatkan mata mendnegar alasan yang disampaikan sng istri tadi."Mengapa aku harus kasihan padamu?" Aliyah mengerjapkan mata seolah tak percaya dengan ucapan suaminya itu.Haidar menghela napas panjang, ternyata Aliyah masih belum memahami sepenuhnya penjelasan tadi. Dalam hati, lelaki itu beristigfar supaya bisa tetap tenang tanpa emosi memberikan penjelasan."Ketahuilah, tugas menjaga aurat wanita itu bukan hanya terletak di tanganmu seorang, tapi juga menjadi tanggung jawabku sebagai suamimu." Haidar menjeda kalimatnya. Ia bingung dengan sikap Aliyah yang ters