Hari libur digunakan Alca untuk beristirahat. Kapan lagi bisa menikmati waktu. Dia memilih menghabiskan waktu di kamar. Saat merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, tiba-tiba Alca memikirkan buku diary milik Dima.“Aku penasaran, apa dia juga suka marah pada Dima?” Rasa penasaran itu akhirnya mengantarkan Alca untuk membaca buku diary Dima lagi. Tentu saja dia penasaran sekali.Dengan cepat Alca mengambil buku diary tersebut. Dia membaca sambil tiduran.Alca melanjutkan halaman kemarin. Kemarin dia membaca sampai di senyuman Ale. Jadi kini dia ingin tahu apa lagi yang dapat dibacanya.Halaman berikutnya berisi tentang Ale yang suka sekali marah karena hal kecil. Ale akan memilih berenang untuk mendinginkan pikirannya itu.“Lucu juga.” Alca merasa jika Ale menggemaskan sekali. Cara untuk menenangkan diri beda dengan yang lain.Tertulis jika biasanya Dima membiarkan hal itu. Nanti Ale akan kembali lagi sendiri. Karena setelah berenang, hati Ale akan dingin dan kemarahannya mereda.“S
Mendapati pertanyaan itu, Alca langsung tersadar. Dia langsung memundurkan tubuhnya.Ale merasa terkejut ketika Alca menjauhkan tubuh darinya. Padahal dia hanya bertanya saja.“Kamu sedang membalasku?” Alca melemparkan sindiran itu pada Ale.Ale hanya bisa menautkan alisnya. Dia masih bingung kenapa Alca mengatakan itu.“Membalas apa maksud Kak Alca?” tanya Ale.“Mengagetkan aku. Beberapa kali aku mengagetkan aku, jadi kamu membalasnya.” Alca memberikan penjelasan atas apa yang diucapkannya.Ale akhirnya tahu apa yang dimaksud Alca. Namun, dia tidak berniat sama sekali melakukan pembalasan seperti yang dituduhkan Alca.“Siapa yang berniat membalas. Aku tidak berniat sama sekali.” Ale pun mencoba menjelaskan. “Kak Alca saja yang terlalu berlebihan karena menuduh aku yang tidak-tidak. Aku tadi melihat Kak Alca melihat ke dasar kolam. Jadi aku penasaran saja.” Tadi saat Ale selesai mandi di kamar mandi belakang, dia melihat Alca yang melonggok ke dasar kolam. Hal itu membuatnya begitu pe
Ale dan Alca jadi malu pasca ciuman itu. Karena yang mulai dulu Alca, tentu saja dia yang paling malu ketika melihat Ale. Namun, Alca berusaha untuk tetap tenang. Dia yang biasanya jarang makan di rumah, tiba-tiba mau makan di rumah. Berada dalam satu meja dengan Ale. Agar tidak terlihat menghindar dari Ale.‘Setelah menciumku, dia tenang sekali.’ Dibanding Alca, Ale jauh lebih tenang. Tak tampak guratan malu sama sekali di wajahnya.“Siapa yang masak?” tanya Alca tanpa menatap.“Aku,” jawab Ale. Tadi setelah berenang Ale memang menyempatkan masak. Dia pikir Ale tidak akan makan, ketika dia yang masak, tapi ternyata Ale duduk manis menunggu makanan selesai disajikan.“Oh ....” Ale membalik piringnya. Bersiap untuk makan.Ale hanya melirik saja. Dia merasa heran karena Alca mau makan masakannya. Padahal biasanya pria itu tidak mau makan sama sekali ketika dirinya yang memasak.Alca segera mengambil makanan masakan Ale. Hanya masakan biasa. Tumis brokoli dengan campuran udang. Ada juga
Ale terus memandangi wajah Dima. Suaminya itu masih di hatinya. “Aku takut, Dim. Takut jika hati ini terbuka oleh orang lain. Apalagi orang itu tidak seperti dirimu. Aku takut ketika kamu yang menjadi acuanku memandang laki-laki, aku berharap laki-laki itu sepertimu.”Saat Alca menciumnya tadi sore, nyaris hati Ale luluh. Jantungnya berdegup kencang ketika mendapati ciuman Alca. Dia merasakan degupan itu mirip ketika Dima menciumnya untuk pertama kali. Namun, Ale segera menepisnya.Saat bertemu Alca di meja makan, Ale berusaha untuk tetap tenang. Dia merasa jika perasaan tadi sore hanyalah perasaan terkejut saja. Bukan perasaan jatuh cinta.Tepat saat tuduhan Alca layangkan padanya baru saja. Akhirnya Ale sadar jika memang perasaannya tadi sore hanya keterkejutan saja. Karena memang di hatinya hanya ada Dima. Tidak ada orang lain.“Kamu adalah tempat ternyaman aku.” Ale memeluk erat foto Dima.Di kamar yang berbeda, Alca kembali membuka buku diary Dima. Dia ini tahu seperti apa Ale.
“Sebenarnya Kak Alca mau membawaku ke mana?” Ale terus bertanya mau ke mana Alca membawanya. Dia menatap pria yang sedang fokus menatap jalanan di depannya itu. “Kamu akan tahu nanti.” Sayangnya, Alca tidak mengatakan apa pun. Dia memilih menyimpan rapat ke mana dia akan membawa Ale. Tentu saja jawaban Alca itu membuat Ale memilih untuk diam saja. Terserah Alca mau membawanya ke mana. Karena malas terus bertanya, tetapi tidak mendapati jawaban dari Alca. Ale memilih memerhatikan jalanan di depannya. Saat pandangannya menyapu jalanan, dia menyadari jika jalanan itu tidak asing. Jalanan itu adalah jalanan ke kampus Dima. “Kenapa kita lewat sini?” Ale menatap Alca yang masih sibuk dengan jalanan. “Kita akan ke suatu tempat.” Alca menjawab tanpa menatap Ale sama sekali. Ale hanya menekuk bibirnya. Alca tidak mau sama sekali memberitahunya ke mana mereka pergi. Dia memilih diam untuk menunggu saja di mana mobil akan berhenti. Akhirnya mobil berhenti juga. Ale membulatkan matanya ke
“Iya tetap makan.” Ale dengan polosnya menjawab. Alca semakin dibuat tercengang. Tentu saja dia bertanya-tanya. Kenapa harus Ale mengatakan seperti tadi jika pada ujungnya tetap makan di sana juga. Seperti kata-kata Ale sia-sia saja diucapkan. “Ayo.” Ale mengajak Alca untuk segera masuk. Dengan segera Ale mengayunkan langkahnya. Alca dengan pasrah mengikuti Ale di belakangnya. Ale kembali terhenti ketika nyaris masuk warung makan tersebut. Gerakkan tiba-tiba Ale itu membuat Alca hampir saja menabraknya. Beruntung Alca dapat mengendalikan tubuhnya dengan baik. Jadi dia tidak sampai menabrak Ale. Ale melihat warung ketoprak langganannya. Ada terselip rasa rindu pada Dima. Hanya dengan Dima, dia sering pergi ke tempat ini. Namun, kini dia pergi dengan orang lain. “Ke—“ Baru kalimat itu nyaris keluar dari mulut Alca. Namun, segera buru-buru diurungkan ketika mendengar embusan napas berat dari Ale. Alca memerhatikan Ale yang sedang menatap ke arah warung ketoprak. ‘Pasti dia sedang
“Rasanya tidak enak.” Ale menjelaskan apa yang menjadi alasannya menangis. Alca membulatkan matanya. Dia pikir Ale menangis karena teringat dengan Dima. “Lalu mau bagaimana? Aku pesankan lagi?” Alca jelas bingung. Tidak tahu harus melakukan apa lagi. Tanpa menunggu jawaban Ale, Alca langsung menghampiri penjual ketoprak. Kebetulan sekali bapak yang jualan ada. “Pak tolong buatkan satu lagi.” Alca meminta penjual ketoprak untuk membuatkan lagi ketoprak. “Baik, Mas.” Alca segera kembali ke meja di mana Ale berada. Istrinya itu masih menangis. Dia hanya memandangi makanannya. “Tenanglah, sudah dibuatkan lagi. Tadi ada bapaknya. Jadi kamu akan makan ketoprak buatan dari bapak penjualnya langsung.” Alc mencoba menenangkan Ale. Ale masih menangis. Dia benar-benar merasa begitu sedih sekali karena rasanya tak sesuai dengan bayangannya. Walaupun sejak awal dia sudah tahu, tetap saja dia ingin menangis. Akhirnya ketoprak yang diminta Alc datang juga. Ale melihat yang menyerahkan bapak
B“Aku tidak mau melihatmu menangis.” Alca sejak tadi melihat Ale menangis dua kali. Jadi dia tidak mau melihat untuk ketiga kalinya. Ale mengingat jika tadi dua kali menangis. Mungkin itulah alasan Alca tidak mau melihatnya menangis lagi. “Maaf, Kak.” Ale merasa bersalah membuat Alca melihatnya terus menangis. “Kenapa harus meminta maaf?” tanya Alca. “Karena membuat Kak Alca melihat aku menangis terus.” Ragu-ragu Ale menjelaskan alasan pada Alca. Alca hanya mengembuskan napasnya. Niatnya bukan tidak suka melihat Ale menangis, tapi justru karena tidak tega melihat Ale. Namun, Alca malas jika harus menjelaskan. “Sudah pakai sabuk pengamanmu!” Alca malas jika harus berdebat lagi. Nanti yang ada pikiran Ale ke mana-mana. Ale segera menarik sabuk pengaman. Melingkarkan di tubuhnya. Tak mau melawan apa yang Alca katakan. Mendapati Alca yang sudah memakai sabuk pengamannya. Alca segera melajukan mobilnya. Membawa Ale pulang. Di dalam mobil hanya ada keheningan. Alca fokus pada jala
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker