Bab 74 When I am falling in love with youRobert menghentikan mobilnya lobby Hotel Horizon, dan tanpa basa – basi dia menyeret Bening masuk ke dalam restorant dan mendudukkan perempuan itu dengan sikap lebih lembut di salah satu tempat duduk yang berada di pojok.Seorang waitress datang. Kemudian menyapa ramah lalu memberikan menu pada keduanya.“Silahkan lihat dulu menunya Pak, Bu. Saya akan kembali sebentar lagi.”Robert mengangguk. Dia lantas melihat menu, sedangkan Bening meletakkan menu itu di atas meja. Dia sama sekali tidak tertarik untuk memesan makanan. Matanya berkeliling melihat situasi restoran yang cukup ramai pengunjung.“Apa kamu sudah memutuskan mau makan apa?” tanya Robert, suaranya ramah dan lembut. Sangat berbeda sekali dengan tadi.“Aku tidak lapar,” cetus Bening tanpa melihat wajah Robert.“Ayolah. Temani aku makan. Sudah lama aku makan sendiri, dan itu tidak enak,” pinta Robert. Nadanya setengah menuntut.“Robert, aku tahu ini tidak sopan, tapi aku belum lapar, d
Bab 75 No one can hurt you, dear Kama duduk dengan gusar di kantornya. "Apa informasi yang kamu terima itu valid?" "Iya, Pak. Nama Robert aslinya Andi, dia berasal dari Kalimantan, dan berprofesi sebagai gigolo." Adit mengambil napas. "Beberapa kali informan kita melihatnya menemui Ibu Tita di Coffee Shop.” Dia memperlihatkan foto – foto dari detektif yang bekerja untuk Kama. Kama memejamkan mata sejenak. Jadi benar dugaannya, perempuan pemilik scraft hijau itu adalah kakaknya. "Terus, informasi penting apalagi yang kamu terima?" Adit hati - hati mengucapkannya. "Robert membawa Ibu Bening masuk ke Hotel Horizon tadi sore, dan belum keluar sampai sekarang." BRAK Kama memukul meja. Matanya berkilat merah. "Bodoh!! Kenapa tidak dari tadi mengatakannya. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Bening?" Kecemasan tergambar jelas dalam suaranya. "Jangan diam di situ, cari tahu di mana Bening dan Robert berada sekarang!" Walau dalam hati Kama tahu, permintaannya musykil. Pegawai hotel t
Bab 76 My precious baby Di rumah Bening, benar – benar chaos. Iswati menangis meraung – raung mencari Evan. “Kembalikan cucuku! Kembalikan cucuku!” teriaknya histeris berulang kali sambil memukul dada. Gatot memeluk istrinya dan berusaha menenangkannya. “Istighfar Ma, istighfar. Elang, Kama dan beberapa pemuda di sini sedang mencari Evan. Kita berdoa saja semoga Allah melindungi cucu kita. “Huhuhu…. Ini salahku, Pa. Aku tidak bisa menjaganya dengan baik.” Gatot menarik napas panjang, dia kemudian melihat ke Bening yang sangat terguncang di ruang tengah, ditemani oleh Andini dan Atun. Anak itu sama sekali tidak bicara, dan hanya tangisnya yang terdengar. “Bagaimana kejadiannya Mba Atun. Bagaimana Evan bisa diculik orang?” tanya Andini pada Atun, Dia baru datang. “Saya tidak tahu persis, Mba. Tadi saya sedang membuat sarapan di dapur. Seperti biasa Bapak dan Ibu jalan – jalan pagi bersama Evan. Kemudian mereka katanya mampir beli bubur ayam buat Evan di depan minimart. Sewaktu Ibu
Bab 77 Beyond all reason Mata Ibra menyisir taman bermain, suasana ramai. Berkali – kali dia melihat Evan makan roti di rerumputan, di mana dia meninggalkan bayi itu sendirian. Hati Ibra berdenyut saat langkahnya menjauh. “Sial! Bagaimana jika Bos Gendut membunuhnya. Aku tidak mau bocah sial itu menghantui sepanjang hidupku!” Dia bergegas kembali mengambil Evan. “Jangan menangis!” kata Ibra. Hari itu dia menyamar sebagai perempuan, dengan memakai gamis dan cadar yang dia curi dari tetangga Ceking. *** Lamat – lamat Herni mendengar suara derit pintu dibuka. Kemudian ia mendengar suara langkah kaki masuk. “Jeng, apa itu kakakmu?” tanya Herni menggoyang – goyangkan tubuh anak perempuannya. Ia lalu melihat jam dinding yang tergantung di tembok, Jam 10 malam. “Gak tahu, Bu. Biarkan saja. Ajeng mengantuk.” Gadis itu merapatkan selimutnya. Cuaca malam itu sangat dingin, dan masuk lewat celah – celah ventikasi. “Bu, bangun. Aku membawa Evan anakku.” “Apaaa!!”Sontak Herni dan Ajeng b
Bab 78 A day in October Bening kaku melihat Evan diturunkan dari atas pohon. Dia dipeluk oleh mamanya. Rupanya, tubuh bayi itu dimasukkan dalam sebuah tas kain tebal. Sebagian bawahnya dilubangi untuk tempat kaki Evan. Kemudian tas itu digantung di atas dahan kokoh ketapang. “Evan masih hidup!” kata Kama gembira, saat mengeluarkan Evan dari dalam tas. Bayi bertubuh montok itu hanya sedikit lemas, dan sedang tidur. Napas bocah itu turun naik dengan lembut. Serta merta, Bening memeluknya sambil berurai air mata. “Evan, owh Evan anak Mama. Kamu sehat – sehat kan , Nak?” Dengan panik, dia memeriksa tubuh anaknya. Evan membuka matanya dan melihat banyak orang sekelilingnya. Bayi itu kelihatan bingung, lalu menangis. “Cucuku, cucuku kembali. Alhamdulillah Ya, Allah!” teriak Iswati dan Gatot. Mereka berdua sujud syukur. “Kita sebaiknya bawa Evan ke rumah sakit,” usul Elang. “Aku setuju, kita tidak tahu, seharian ini Evan bersama siapa,” Kama menambahkan. Bening mengangguk. Dia peluk a
Bab 79 Nobody“Katakan dengan jujur, apa Ibra pengidap AIDS?” tanya Ceking pada Ajeng dengan muka merah padam. Tangannya mencengkeram tubuh gadis itu kuat – kuat.Ajeng mengangguk pelan.“Bangs*t!” Ceking menghempaskan tubuh Ajeng ke samping dan memukul tembok Puskesmas hingga tangannya berdarah. Ketakutan akan tertular penyakit AIDS mulai merengkuh tubuhnya.Pria itu lalu melihat Ibra yang masih belum sadar di ranjang. Dia lalu mendekati Ibra dan mau mencekiknya. “Kamu jahat sekali Bra! Aku menyesal kenapa aku tak membunuhmu dulu saat di kau memukulku!”Untungnya, Ibra diletakkan di ruang terpisah dari pasien lain. Sehingga tidak ada orang yang melihat tindakan Ceking.“Maafkan Ibra, Nak,” kata Herni menghiba. Perempuan itu sampai sujud di kaki Ceking. “Dia sudah kena karmanya sekarang.”Ceking mendengus.Ajeng mendekati Ceking. “Maaf, Bang, marah tidak akan menyelesaikan masalah. Lebih baik Abang Ceking dan Abang Gendut tes AIDS sekarang. Semoga saja hasilnya negatif.” Dalam situasi
Bab 80 Yes, I am stupid Herni terkesiap saat melihat kedua anaknya tertindih motor. Rasa lelah dan frustrasi membuatnya berulang kali ikut jatuh terjerembab saat berusaha mengangkat motor di atas tubuh anaknya. Ajeng berusaha menoleh ke samping, tangannya menyentuh dada Ibra dan ia lega mengetahui kakaknya masih bernapas. “Haus… haus…” “Bu… Bu… Mas Ibra sadar!” teriak Ajeng kaget saat melihat Ibra membuka bola mata dan meminta air. Entah ini suatu keajaiban, Ibra yang koma tersadar kembali setelah kepalanya terbentur batu. Herni terperanjat, sedetik kemudian wanita itu penuh semangat dan berhasil mengangkat motor yang menindih kedua anaknya. Selanjutnya, ia buru – buru mengambil sebotol air dan meminumkannya perlahan pada Ibra. “Alhamdulillah! Kamu sudah sadar!” Herni mengusap kepala Ibra. “Bu, coba periksa kepala Mas Ibra, sepertinya tadi kepalanya membentur batu,” tanya Ajeng cemas. Tangan Herni memeriksa kepala Ibra. “Tidak ada, hanya benjolan sedikit di belakang kepalanya
Bab 81 Riding the wind “Tinggal sedikit lagi aku akan mati.” Setan dan iblis di kepala Ibra saling bersorak menyemangati pria itu supaya lekas terjun ke sumur tua. Sayangnya… Ajeng mengetahuinya. Gadis melemparkan kayu dan ubi di tangan dan menjauhkan Ibra dari bibir sumur. Sedangkan Herni berdiri seperti patung, kakinya seperti terjebak ditanah melihat Ibra hendak bunuh diri. “Jangan bodoh Mas, apa Mas Ibra tidak kasihan sama Ibu?” tangis Ajeng, memeluk kuat “Lepaskan aku! Lapaskan aku! Biarkan aku mati! Aku lelaki tak berguna! Aku sangat menjijikkan.” teriak Ibra putus asa. Pantatnya telah penuh kotoran. Herni tercekat, air matanya deras meluncur. Lengkap sudah penderitaannya. Miskin, tidak punya pendapatan dan anak kesayangannya berniat bunuh diri. Wanita itu berjalan dengan lunglai mendekati kedua anaknya. Kemudian berjongkok memandang Ibra. “Kalau kamu mau mati, matilah saja, Nak. Ibu ikhlas melepasmu, daripada kamu menyusahkan Ibu dan adikmu.” Kata Herni sendu. Ia meng