“Emma kabur dari rumah, dia tidak ada di kamarnya,” seru Doris sambil berlari ke ruang tengah di mana Kimberly ada di sana.
Mendengar hal tersebut, Kimberly terbelalak tidak percaya. Dia langsung berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekati mamanya. “Itu tidak mungkin, hari ini adalah hari pernikahannya.”
Doris kemudian mengulurkan sepucuk surat yang ada di dalam genggamannya dan memberikannya pada putrinya. Dengan nada bergetar dia berkata, “Emma pergi karena tidak ingin menikah dengan Richard.”
“Bukankah Emma sangat tergila-lagi pada Richard? Tidak mungkin dia melarikan dari pernikahan yang diimpikannya.”
“Emma pergi karena tidak ingin menikah dengan pria cacat seperti Richard, menurutnya tidak ada masa depan menikah dengan pria yang hanya bisa duduk di kursi roda. Dia tidak ingin mengorbankan diri dan mengubur impiannya karena hal itu.”
Kimberly terdiam memikirkan perkataan mamanya. Tidak ada seorang pun yang ingin menjadi cacat, Richard pun tidak mau. Namun kecelakaan mengerikan itu membuat pria itu harus duduk di kursi roda, bukankah sebagai calon istri seharusnya Emma setia mendampingi dan memberi Richard semangat? Bukan malah meninggalkannya begitu saja.
“Jika Emma benar kabur, bagaimana kita akan menjelaskan masalah ini pada keluarga Jackson?” tanya Kimberly.
“Mama tidak tahu harus berbuat apa,” jawab Doris pasrah.
“Mungkin surat Emma bisa memberiku petunjuk dimana dia sekarang.”
Kimberly segera membuka surat yang dia terima dari mamanya, tetapi belum sempat dia membacanya, seseorang merebut surat itu. Dengan terkejut, dia menoleh untuk mengetahui siapa yang melakukannya, tampak papanya dengan wajah garang dan dingin mengambil dan membaca surat yang Emma tinggalkan.
Ketika selesai membaca surat tersebut, rahangnya mengeras. Dia meremas surat itu kuat-kuat hingga punggung tangannya memutih. Wajah Doris dan Kimberly seketika memucat melihat ekspresi Valentino Tuner, kepala rumah tangga di keluarga Tuner.
Tidak ingin membuat papanya marah, Kimberly pun berkata, “aku akan mencari Emma, siapa tahu dia bersembunyi di rumah temannya. Aku akan segera membawanya pulang.”
“Tidak perlu, anak itu memang belum dewasa. Dia hanya bisa bersenang-senang dengan teman-temannya dan bertindak semaunya. Biarkan saja dia pergi, aku akan memblokir keuangannya. Aku yakin anak itu tidak akan bisa hidup tanpa uang dariku,” cegah Valentino dengan nada dingin, membuat keadaan semakin tegang.
“Lalu bagaimana dengan pernikahan Emma dan Richard? Kita tidak mungkin membatalkannya, kehormatan keluarga Tuner sedang dipertaruhkan,” Doris menimpali keputusan suaminya.
Tak langsung merespon perkataan istrinya, mata Valentino beralih menatap Kimberly. Gadis kecil yang dulu dia rawat dengan baik, kini telah tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik dan pintar. Selama ini dia selalu memperlakukan Kimberly sama seperti dia memperlakukan Emma, putri kandungnya sendiri, sekarang sudah saatnya wanita itu membalas semua kebaikannya.
“Apakah kamu ingat apa yang telah kami berikan padamu selama ini?” Valentino mulai mengungkit jasanya pada Kimberly.
“Tentu saja aku mengingatnya. Tanpa keluarga ini, aku pasti sudah mati di jalanan. Kalau pun berhasil hidup, aku hanyalah gelandangan tanpa tujuan.”
“Papa menyekolahkanmu agar kamu bisa menjadi bagian dari keluarga Tuner dan bergaul dengan orang-orang berkelas.”
“Ya, aku tahu. Aku berterima kasih untuk semua yang sudah Papa berikan padaku.”
“Sekarang sudah saatnya kamu ikut menjaga kehormatan keluarga, menjaga nama baik Tuner, nama yang kamu sandang saat ini.”
Kimbery meremas tangannya gugup. Hatinya mengatakan ada sesuatu yang akan terjadi yang akan mengubah hidupnya dan dia takut akan sesuatu itu. “Apa yang harus aku lakukan untuk menjaga kehormatan keluarga ini?”
“Kamu akan menggantikan Emma dan menikah dengan Richard,” jawab Valentino seperti pisau yang menusuk ulu hatinya.
Kimberly kini meremas pakaian yang dia kenakan, mulutnya terkatup rapat, menahan diri agar tidak memberontak atau menolak permintaan papanya. Dia tidak berani melakukan hal itu meski sangat menginginkannya karena mengingat betapa besar jasa keluarga Tuner bagi hidupnya.
“Apakah aku memiliki pilihan?” ucap Kimberly lirih dengan suara bergetar penuh keraguan, hanya itu usaha terakhir yang mampu dia lakukan untuk mengubah keputusan papanya.
“Kamu sudah tahu jawabannya sehingga papa tidak perlu memperjelasnya lagi. Tidak ada yang harus kamu pilih, sekarang siapkan dirimu karena waktunya tidak banyak. Papa akan bicara dengan orang tua Richard dan menjelaskan apa yang terjadi.”
Kimberly menggigit bibirnya dan tertunduk lesu, dia sadar jika nasibnya telah ditentukan.
*
Richard meremas sandaran kursi rodanya ketika mendengar jika Emma melarikan diri dari pernikahan yang harus mereka jalani. Kimberly akan menjadi istrinya, menggantikan posisi adiknya.
Mendengar hal tersebut, harga diri Richard terasa terinjak-injak. Seorang wanita dari keluarga Tuner berani menolaknya karena keadaan dirinya saat ini. Meski dari awal dia sama sekali tidak tertarik pada Emma karena mereka dipertemukan dalam perjodohan, tetapi ketika wanita itu meninggalkannya begitu saja, kemarahan dalam dirinya pun tersulut.
Seharusnya dia yang membuang wanita itu, bukan malah dirinya yang terbuang. Jika saja dirinya tidak duduk di kursi roda, dia yakin wanita itu akan mengemis-ngemis cinta darinya.
“Kehormatan keluarga kita telah tercoreng, lebih baik kita batalkan saja pernikahan ini. Berani-beraninya gadis ingusan itu menolak putraku,” ujar Issac penuh kemarahan.
“Jangan mengambil keputusan saat dirimu sedang marah, tenangkan dirimu terlebih dahulu dan pikirkan untung ruginya. Kita tidak mungkin membatalkan pernikahan ini, tamu undangan sudah mulai berdatangan, Richard juga sudah bersiap. Keluarga kita akan malu jika acara besar ini kita batalkan,” Johana memberi saran pada suaminya.
Issac kemudian terduduk sambil memegangi kepalanya, wajahnya tampak tertekan. “Baiklah, kita tunggu kedatangan keluarga Tuner. Sekali lagi mereka menghancurkan acara pernikahan putraku, aku akan membuat perhitungan dengan mereka.”
“Aku setuju dengan keputusanmu, kalau begitu kamu bisa menemui para tamu, aku akan memberitahukan Richard dan membawanya ke altar,” pinta Johana yang kemudian pergi meninggalkan suaminya untuk menemui putra tirinya. Johana memang bukan ibu kandung Richard, dia adalah istri kedua Issac setelah istri pertamanya meninggal.
Richard yang tahu jika Johana mendekati kamarnya, menantinya dengan tatapan dingin. “Benarkah wanita Tuner itu kabur?” tanyanya saat Johana membuka pintu dan masuk ke kamar.
“Kimberly yang akan menikah denganmu, jadi jangan cengeng dan lekaslah bersiap. Aku akan mengantarmu ke altar.”
“Aku tidak butuh bantuanmu, aku bisa pergi ke sana sendiri.”
Pria itu kemudian menekan tombol di kursi rodanya dan pergi meninggalkan Johana begitu saja, memperlihatkan jika selama ini hubungan mereka tidak pernah akur.
Richard menanti kedatangan calon istrinya dengan raut wajah dingin dan tidak bersahabat. Tatapannya seakan bisa membekukan semua yang dilihatnya. Dia sangat marah karena merasa dipermalukan oleh putri kedua dari keluarga Tuner, keluarga yang tidak ada apa-apanya jika tidak mendapat dukungan dari papanya.
Setelah beberapa lama menanti, alunan musik berganti menjadi alunan yang merdu. Pintu besar terbuka dan seorang wanita dengan gaun pengantin yang sangat indah berdiri di sana. Richard sempat tertegun melihat kecantikan wanita tersebut, matanya tak berkedip menatap wajah polos yang memikat baginya.
Mengira jika kepolosan itu hanyalah sandiwara yang dimainkan Kimberly seperti yang sering kali Emma lakukan, Richard pun kembali mengeraskan rahangnya dan menatap dingin ke arah calon istrinya.
Tatapan dingin itulah yang Kimberly tangkap dari calon suaminya, membuatnya merasa gugup dan cemas. Dia meremas jarinya dan menyembunyikannya di balik bunga yang dia pegang. Dari dulu dia menganggap Richard adalah pria yang dingin dan tak tersentuh, dia sama sekali tidak berharap memiliki suami seperti itu.
Impiannya adalah memiliki suami yang mencintainya, yang bisa memperlakukannya dengan hangat dan lembut dan membuatnya nyaman, tetapi impian tersebut kini telah sirna.
Dengan langkah kaki yang berat, dia mulai berjalan perlahan mendekati altar. Semua mata tertuju padanya dan hal itu membuatnya semakin gugup karena seumur hidup, dia tidak pernah menjadi bahan perhatian orang. Kulitnya memucat dan ekspresi sedih tergambar jelas di wajahnya.
Kecemasan semakin melanda ketika tatapannya terkunci dengan tatapan dingin Richard, tatapan itu seolah membunuhnya. Jika saja dia bisa melarikan diri seperti yang Emma lakukan, mungkin dia bisa selamat, namun rasa hutang budi pada keluarga Tuner menahan dirinya untuk pergi.
Ketika Kimberly sudah berdiri di hadapan Richard, ketegangan mulai terasa kental.
“Jadi kamu dengan sukarela menggantikan posisi adikmu?” singgung Richard.
“Ini yang terbaik untuk keluarga kita,” balas Kimberly lirih.
Seringai sinis terkembang di bibir Richard. “Aku yakin kamu punya tujuan lain sehingga mau menikah denganku. Apakah kamu menginginkan harta dan kekayaanku?”
“Aku tidak pernah menginginkan apa yang kamu katakan, aku melakukannya demi kehormatan keluarga.”
“Jangan bicara tentang kehormatan di depanku, aku muak mendengarnya.”
Richard mendekat ke arah Kimberly seraya menatapnya dengan nyalang.
“Dengarkan baik-baik perkataanku, pernikahan ini bukan awal dari kebahagiaanmu, tetapi awal dari penderitaan dan kehancuranmu. Camkan itu!”
“Aku lelah, aku ingin pergi dari sini,” ucap Richard yang langsung menjauh dari altar ketika mereka selesai mengucapkan janji pernikahan. “Tidakkah akan lebih sopan jika kita menemui para tamu terlebih dahulu sebelum kamu beristirahat?” bujuk Kimberly. Richard tiba-tiba tersentak, matanya menatap nyalang istrinya, merasa jika wanita itu telah melewati batas karena saran sok bijaksananya. “Sayangnya aku tidak punya sopan santun, jadi aku tidak perlu melakukan apa yang kamu katakan.” “Apakah kamu marah padaku karena bukan Emma yang menjadi istrimu?” suara Kimberly bergetar menunjukkan kepercayaan dirinya yang runtuh. “Kalau iya, memangnya kamu bisa berbuat apa? apakah kamu bisa membatalkan pernikahan kita, lalu menyeret adikmu ke hadapanku untuk menjadi istriku?” “Bu-bukan begitu,” jawab Kimberly gagap karena semakin terintimidasi oleh sikap Richard. “Aku rasa, kamu salah melampiaskan kemarahanmu padaku. Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini dan tidak bermaksud merebut
Menjelang pagi, Kimberly tidak mampu lagi menahan rasa dingin yang menyerang. Dia juga tidak bisa tidur nyenyak karena ranjang yang keras yang membuat punggungnya sakit. Sebelum matahari terbit, dia terpaksa bangun karena sudah tidak betah berada di atas ranjang.Bingung ingin melakukan apa, Kimberly mengambil pakaian hangat dan memutuskan untuk keluar dari rumah menikmati pagi pertamanya di Woodstock. Dia berjalan tanpa arah mengelilingi area peternakan yang berada tidak jauh dari rumah utama yang dirinya dan Richard tinggali.Langkahnya terhenti di depan kandang, saat melihat hewan ternak yang ada di dalamnya. Ada sapi, domba, kuda dan puluhan ayam dengan suara yang berisik yang anehnya dia sukai. Semua suara itu seakan membawa pergi kegalauan dirinya.Kimberly memejamkan mata dan menikmati semua suara itu, hingga dirinya terkejut saat mendengar suara seorang wanita dari belakang punggungnya.“Anda sudah bangun?”Kimberly menoleh dan melihat seorang wanita tua sedang tersenyum ramah
“Ada apa dengan tangan Anda?” seru Timmy khawatir melihat tangan Kimberly yang memerah.“Aku tidak sengaja menumpahkan masakanku saat mengantarkannya ke kamar Richard.” Kimberly tidak bicara jujur jika Richard dengan sengaja menumpahkan makanan yang dia buat.“Air dingin bisa meredakan rasa panas dan nyeri yang Anda rasakan,” Timmy memberi saran.Wanita tua itu langsung mendekati Kimberly, membawanya ke wastafel, membasuh tangan Kimberly dengan air dingin yang mengalir.“Aku bisa mengobati sendiri lukaku, tolong bersihkan saja kamar suamiku karena aku menumpahkan makanan di lantai kamarnya.”Tanpa menyanggah, Timmy mengangguk patuh lalu pergi untuk membersihkan kamar Richard.Setelah kepergian Timmy, air mata Kimberly seketika menetes membasahi pipinya tanpa bisa ditahan. Dengan cepat dia mengusap air mata itu agar tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. “Apakah Richard sangat membenciku sehingga dia memperlakukan aku seperti ini? jika aku memiliki pilihan, aku pun tidak menginginka
Timmy mendatangi Kimberly dengan raut wajah cemas. Dia semakin tidak mengerti dengan pernikahan yang majikannya jalani, namun dia tidak mempunyai hak untuk mencampuri urusan mereka. “Ada apa dengan wajahmu? Apakah kamu sakit?” tanya Kimberly ketika melihat Timmy mendekat dengan wajah pucat. “Tuan Richard sama sekali tidak mau makan, saya khawatir dengan kesehatannya,” jawab Timmy. “Sampai sekarang Richard belum mau makan juga? Sudah hampir seminggu aku memberinya waktu untuk merenung karena dia harus tinggal di Woodstock. Aku kira kemarahannya akan redam dengan sendirinya, namun tetap saja dia bersikap keras kepala. Ini tidak bisa dibiarkan, aku akan bicara dengannya,” ujar Kimberly yang kemudian pergi ke kamar pria itu untuk bicara dengan suaminya. Dia tidak peduli Richard akan semakin marah dengan kedatangannya, yang penting pria itu mau makan demi kesehatannya. Ketika Kimberly membuka pintu kamar, suasana di dalamnya diliputi kegelapan karena tirai jendela kamar yang masih tert
Richard terbengong melihat kepergian Kimberly, dia tidak menyangka jika wanita itu punya keberanian untuk menyentuhnya. Dengan kasar dia mengusap bibirnya bekas bibir Kimberly yang menyentuhnya di sana, sialnya rasa bibir wanita itu terasa melekat dan tak mau hilang, rasa manis dan lembabnya terus menempel meski dia sudah mengusapnya berulang kali. “Ternyata dia punya keberanian menentangku,” gumam Richard dengan seringai sinis mengingat wajah Kimberly. Di luar rumah, Kimberly memegang dada dan menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya karena sesak yang dirasakan. Ingatan akan tindakan gilanya pada Richard terasa sangat memalukan, tetapi dia tidak mungkin diam saja menerima perlakuan suaminya yang begitu keras kepala. Jika terjadi sesuatu pada pria itu, dirinya dan keluarganya pasti akan mendapat masalah. Dia tidak ingin menyulitkan orang tua yang sudah membesarkannya. Oleh karena itu dia harus melakukan segala cara untuk bisa membuat Richard sehat kembali. “Hai K
Richard memutuskan tatapannya dan masuk ke rumah tanpa menunggu jawaban istrinya.Kimberly yang sadar akan tatapan marah Richard langsung mengejar pria itu tanpa mempedulikan Axton. “Richard tunggu!” serunya.Tahu jika Kimberly mengejarnya, Richard memilih berpura-pura tidak mendengar dan terus mendorong kursi rodanya menjauh.Dengan langkah panjang, Kimberly berlari dan menutup jalan Richard sambil merentangkan kedua tangan di depan pria itu. “Kita harus bicara, aku tidak ingin kamu salah paham dengan apa yang kamu lihat.”“Untuk apa aku salah paham, bahkan aku tidak peduli jika kamu pergi dan bersenang-senang dengan pria itu. Paling tidak urus suamimu terlebih dahulu sebelum kamu pergi dengan pria lain,” sindir Richard.Terasa desiran dan rasa senang yang merayap di hati Kimberly, ketika untuk pertama kali Richard menyebut dirinya sebagai suaminya. “Su-suami ..?” gumam Kimberly lirih.Richard berdehem menormalkan suara, menyadari dirinya telah salah memilih kata. Dia pun kembali men
Tidak mungkin melarikan diri dari kewajibannya, Kimberly terpaksa pulang kembali ke rumah. Dia terkejut ketika Richard duduk di ruang depan dengan wajah yang terlihat kurang istirahat. Ingin sekali menegurnya dan menyuruh pria itu istirahat, namun energinya sudah habis untuk bertengkar.“Dari mana saja dirimu?” Richard menegur duluan.“Mencari udara segar,” jawab Kimberly singkat.“Lain kali, beritahu aku kemana kamu pergi sehingga aku tidak salah paham lagi padamu.”Kimberly menghela nafas panjang, berusaha untuk bersabar menghadapi sikap suaminya. Dia menatap Richard dan berkata, “aku sedang tidak ingin bertengkar karena aku lelah sekali. Lain kali aku akan memberitahuku jika aku akan pergi, sekarang bisakah aku ke kamar?”“Apakah kamu sudah makan? Kamu pergi tanpa sarapan terlebih dahulu,” tanya Richard yang membuat raut wajah Kimberly berubah keheranan. Sejak kapan suaminya itu peduli dengannya?“Aku belum makan,” jawab Kimberly dengan hati-hati dan penuh kecurigaan. Dia merasa ad
Kimberly berbaring di samping Richard dengan jantung berdetak kencang, hingga suara jantungnya bisa dia dengar dengan jelas. Dia mengira, tidur di ranjang yang empuk dan ruangan yang hangat akan membuat tidurnya nyenyak, namun sebaliknya. Dirinya malah terus merasa gelisah karena Richard berbaring di sampingnya. “Ada apa denganmu? Apakah ranjangnya kurang nyaman?” tanya Richard ketika melihat ekspresi tidur Kimberly terlihat tidak nyenyak. Kimberly yang belum tidur, seketika membuka mata dan menatap suaminya. “Aku merasa canggung tidur bersamamu,” ucapnya jujur. “Jangan bilang ini pertama kalinya kamu tidur dengan pria,” singgung Richard. Wajah Kimberly langsung memerah, dia langsung membantah karena malu jika dikatakan gadis culun dan polos, padahal apa yang Richard katakan memang benar, ini adalah kali pertama dia tidur seranjang dengan seorang pria. “Aku tidak sepolos yang kamu kira, ini bukan pertama kalinya aku tidur dengan seorang pria.” “Lalu kenapa kamu merasa canggung?”
Sebuah rumah klasik elegan dengan halaman yang luas disulap menjadi taman yang indah penuh dengan bunga segar dilengkapi kelambu putih sehingga menciptakan suasana romantis.Karpet putih dengan rangkaian bunga harum tergelar menuju sebuah altar dengan dekorasi yang mengagumkan. Kanan kiri karpet tersebut berjajar rapi kursi kayu yang siap menampung para tamu undangan dalam pesta pernikahan Jackson.Saat matahari merangkak meninggi, satu persatu kursi tersebut mulai terisi yang didominasi oleh keluarga besar Jackson.Pernikahan Allie dan Arlo digelar dua minggu setelah lamaran mereka. Meski dengan persiapan yang singkat namun pesta yang digelar tidak mengecewakan. Keduanya sepakat hanya mengundang tamu terbatas demi menjaga kesakralan upacara pernikahan.Acara tersebut digelar di rumah yang akan menjadi tempat tinggal Arlo dan keluarga kecilnya bersama Allie, rumah yang didesain oleh Arlo sendiri sesuai dengan impian yang pernah Allie ceritakan padanya.Tak lama setelah kursi penuh par
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Arlo berlari mendapatkan Allie ketika wanita itu keluar bersama Britne untuk menemui keluarga Jackson yang masih berkumpul di ruang makan. Ketegangan masih tampak jelas di raut wajah mereka.Allie menatap Arlo dengan tatapan bersalah membuat jantung pria itu berdetak kencang dan rasa gelisah mencengkram hatinya, mengira jika Allie menolak lamarannya.“Apakah kamu ingin bicara berdua saja denganku sebelum kita bertemu keluargaku? Aku tidak ingin kamu terbeban dengan lamaran yang aku ajukan,” lanjut Arlo ingin menenangkan wanita yang dia cintai.“Maafkan aku karena merusak lamaranmu,” balas Allie dengan nada tercekat.“Aku yang seharusnya meminta maaf karena terlalu terburu-buru melamarmu dan membuatmu syok. Aku bisa mengerti jika kamu belum bisa memberikan jawaban, sekarang yang terpenting kamu baik-baik saja.”Britne yang mencuri dengar perkataan Arlo, menepuk pundak sepupunya itu. “Jangan terlalu cepat menyimpulkan, beri Allie waktu untuk bicara!”
“Apakah kamu merasa gugup?” tanya Arlo menggenggam tangan Allie yang terkait dan terlihat gemetar.Keduanya berada di dalam mobil yang berhenti di depan teras kediaman Jackson, sedangkan Barnes tidur di bahu Arlo.“Sedikit,” jawab Allie pelan. “Ada siapa saja di sana?” lanjutnya sambil menatap rumah besar dan megah milik keluarga Jackson.“Semuanya ada di sana, Britne pun ada di sana.”“Bisakah kamu memberi waktu sebentar, aku masih terlalu gugup,” pinta Allie.“Aku akan menemanimu di sini,” balas Arlo tak ingin meninggalkan wanita yang dicintainya, tanpa ragu memeluk dan mengusap punggung Allie.Setelah keberanian Allie terkumpul, dia mengajak Arlo untuk masuk. “Aku sudah siap,” ujarnya.Arlo menggandeng tangan wanita yang dicintainya dengan posesif dan membawanya ke ruang tengah rumah itu, dimana keluarga besarnya sering berkumpul di sana.“Selamat malam,” sapa Arlo membuat semua orang di ruangan itu menoleh dan menatap kedatangan mereka.Keadaan seketika menjadi sunyi, semua mata t
“Tidak perlu khawatir, aku bisa mengajarimu bagaimana menjadi wanita Jackson,” suara Kimberly mengagetkan Allie.Dia menoleh dan mendapatkan wanita itu berjalan mendekatinya dengan Barnes ada di gendongannya.“Apakah Barnes merepotkanmu, Nyonya Kimberly?” ucap Allie sambil mengambil putranya dari gendongan Kimberly.“Dia anak yang cerdas dan menggemaskan, wajahnya sangat mirip dengan Arlo saat masih seumurannya, Barnes sama sekali tidak merepotkanku,” kata Kimberly.“Terima kasih telah menjaganya.”“Kamu tidak perlu berterima kasih karena dia juga cucuku. Aku berharap malam ini kamu dan Barnes akan menginap di kediaman Jackson sehingga aku punya banyak waktu untuk mengenal cucuku,” balas Kimberly tersenyum mendengar ocehan Barnes.Tubuh Allie menegang mendengar harapan Kimberly akan dirinya dan Barnes. Rasanya terlalu cepat untuk masuk ke dalam keluarga billionaire tersebut.“Aku akan bicara dengan Arlo terlebih dahulu,” Allie mencari alasan untuk menghindar dan berniat untuk melarang
Allie membuka mata dengan senyum cerah mengingat percintaan panasnya bersama Arlo semalam serta hubungan mereka yang membaik. Dia mencari keberadaan pria itu dan menemukannya sedang duduk di pinggir ranjang membelakanginya.Pria itu masih belum berpakaian hingga memperlihatkan punggungnya yang menawan membuat matanya tak berkedip dan tatapannya tak bisa lepas dari sana.Sadar jika Arlo sedang menerima panggilan dari ponselnya, membuat Allie sengaja tidak mengganggunya. Dia menggeser tubuhnya mendekati Arlo lalu mengusap punggung pria itu.“Siapa yang menelepon sepagi ini?” tanyanya saat melihat Arlo mengakhiri panggilan.Pria itu menoleh dan memperlihatkan wajah tegang yang tidak bisa disembunyikan membuat Allie merasa cemas. “Apakah semua baik-baik saja?”“Mamamu masuk rumah sakit,” ujarnya.“Ada apa dengan mamaku? terakhir kali aku bicara dengannya, dia baik-baik saja.”“Dia mengalami kekerasan dari papa tirimu, aku meminta bantuan papa untuk menangani kasus mamamu.”“Aku harus kemb
Allie merasa senang telah mengizinkan Arlo menghabiskan waktu bersama putranya. Wajah pria itu terus berbinar penuh kebahagiaan, hal itu membuat Allie bertekad bulat untuk menjadi wanita yang pantas untuk Arlo, wanita dewasa dan elegan yang tidak gegabah menyimpulkan sesuatu yang dia lihat dan dengar.Malam harinya Allie mengunci diri di kamar mandi cukup lama, menatap dirinya di cermin dengan pakaian menantang. Lingerie transparan dipakainya, hingga tubuhnya terlihat sangat menggoda dengan aset-aset yang tak bisa disembunyikan.“Apakah aku terlihat seperti wanita jalang?” gumamnya pada diri sendiri.“Persetan dengan hal itu, aku ingin menyenangkan Arlo malam ini,” Allie berusaha menghapus keraguan yang menyelimuti.“Sayang, apakah kamu baik-baik saja?” suara Arlo dari luar mengagetkan.“Aku baik-baik saja,” jawab Allie cepat.“Kamu sudah terlalu lama di kamar mandi, itu bisa membuatmu sakit,” Arlo mengingatkan.“Sebentar lagi aku akan keluar.”“Apakah kamu tidak nyaman aku berada di
Allie menghentikan kegiatan memasak ketika ada yang mengetuk pintu rumah. Dia membersihkan tangan dengan serbet lalu pergi untuk membuka pintu bagi tamunya.Keningnya berkerut heran ketika melihat seorang wanita cantik setengah baya dengan kacamata hitam dan pakaian elegan berdiri di depannya.“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Allie sopan.Wanita itu membuka kacamata dan tersenyum ramah. “Apakah kamu bernama Allie?” wanita itu ganti bertanya.“Benar Nyonya, apakah aku mengenalmu?” Allie semakin heran dengan identitas tamunya.Wanita itu kemudian mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. “Namaku Kimberly Jackson, istri dari Richard Jackson, mama Arlo. Senang bertemu denganmu, Allie. Sudah lama aku ingin melihat wajahmu.”Wajah Allie seketika memucat mengetahui siapa yang berdiri di depannya, tubuhnya menegang merasa terancam oleh kedatangan wanita itu. Dia teringat bagaimana papa Arlo mengusir dan menyuruhnya pergi menjauh dari putranya.“Arlo sedang berada di rumah Britne, kamu bis
“Aku mengambil resiko besar dengan kembali membiarkanmu menyentuhku lagi,” ujar Allie sambil mengusap dagu Arlo yang ditumbuhi rambut-rambut kecil kasar, menelusuri dengan jari lentiknya.Mata Arlo terpejam menikmati sentuhan yang mengalirkan sengatan listrik kecil, lalu mengerang merespon. Saat pria itu membuka mata, Allie bisa melihat tatapan yang menggelap penuh gairah.“Fokuslah padaku saja! Abaikan semua hal yang menjadi penghalang hubungan kita,” pinta Arlo dengan tatapan penuh komitmen akan hubungan kita.“Berjanjilah kamu tidak akan mengambil Barnes dariku!”“Aku berjanji. Tak sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk memisahkanmu dengan putra kita. Dia akan tetap bersamamu, bersama kita.”“Kita …?” gumam Allie lirih.Arlo merendahkan kepala lalu mendekatkan bibir di telinga Allie. “Ya, kita. Kita akan menjadi keluarga yang utuh. Jangan sampai karena keegoisan, Barnes kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan.”Bisikan Arlo seperti mantra yang meluluhkan hati. Desah
Saat matahari sudah tinggi, Allie terbangun dari tidurnya dan terkejut karena dia bangun terlalu siang. Hal ini karena dirinya baru saja tidur beberapa menit sebelum matahari terbit.Dia segera membersihkan diri dan pergi ke kamar Barnes untuk memeriksa keadaan putranya. Lagi-lagi dia dikejutkan dengan keberadaan Arlo yang ada disana. Ada warna gelap di kantung mata pria itu, membuatnya sadar jika Arlo tidak tidur semalaman.“Apakah kamu tidak tidur?” tanya Allie.“Aku tidak bisa tidur, hujan dan petirnya baru berhenti dini hari dan mungkin juga karena aku terlalu senang bisa menghabiskan malam bersama putraku. Tapi jangan khawatir, semalam Barnes bisa tidur dengan nyenyak dan aku tidak mengganggunya,” jawab Arlo tidak ingin Allie salah paham padanya.“Bersihkan dirimu! aku akan membuat sarapan. Setelah kamu makan, kamu bisa tidur lalu pulang ke New City,” tegas Allie masih memasang dinding tebal terhadap Arlo.Selesai sarapan, Allie mengizinkan Arlo untuk tidur di kamarnya. Dia tidak