“Aku lelah, aku ingin pergi dari sini,” ucap Richard yang langsung menjauh dari altar ketika mereka selesai mengucapkan janji pernikahan.
“Tidakkah akan lebih sopan jika kita menemui para tamu terlebih dahulu sebelum kamu beristirahat?” bujuk Kimberly. Richard tiba-tiba tersentak, matanya menatap nyalang istrinya, merasa jika wanita itu telah melewati batas karena saran sok bijaksananya.
“Sayangnya aku tidak punya sopan santun, jadi aku tidak perlu melakukan apa yang kamu katakan.”
“Apakah kamu marah padaku karena bukan Emma yang menjadi istrimu?” suara Kimberly bergetar menunjukkan kepercayaan dirinya yang runtuh.
“Kalau iya, memangnya kamu bisa berbuat apa? apakah kamu bisa membatalkan pernikahan kita, lalu menyeret adikmu ke hadapanku untuk menjadi istriku?”
“Bu-bukan begitu,” jawab Kimberly gagap karena semakin terintimidasi oleh sikap Richard. “Aku rasa, kamu salah melampiaskan kemarahanmu padaku. Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini dan tidak bermaksud merebut posisi Emma, hanya saja papa menyuruhku untuk ...”
“Jangan banyak alasan! kenyataannya kamu merebut posisinya bukan?” Richard memotong perkataan Kimberly. “Apa yang kamu dapatkan dengan menggantikan posisi Emma? Jangan pikir aku akan menyerahkan kekayaanmu padamu,” geram Richard tanpa peduli dengan perasaan dan pendapat Kimberly.
Mulut Kimberly seketika bungkam, ingin sekali dia menyanggah perkataan suaminya, tetapi semakin dia membela diri, semakin banyak pula kata-kata menyakitkan yang Richard tujukan padanya.
Dia yakin, Richard tidak akan menerima penjelasannya karena kemarahan pria itu. Apapun yang dia katakan hanya akan menjadi sia-sia belaka, lebih baik dia menunggu kemarahan Richard surut untuk bicara. Daripada menghabiskan tenaga untuk hal yang tidak perlu, lebih baik dia mengalah untuk menenangkan suasana.
Kimberly yang merasa tertekan kembali meremas tangannya, menahan segala emosi yang bergejolak dalam dirinya.
Melihat istrinya bungkam, Richard kemudian menekan tombol kursi rodanya dan menjauh dari hadapan Kimberly.
“Richard, tunggu!” cegat Kimberly menghalangi jalan suaminya.
“Menyingkirlah dari jalanku!”
“Jika kamu marah padaku dan tidak ingin aku ada di sini, aku yang akan pergi dari pesta ini, tetapi aku mohon temuilah para tamu karena mereka adalah tamu keluargamu. Bersikaplah sopan! paling tidak jadilah tuan rumah yang baik.”
Mata Richard seketika memicing tajam menatap Kimberly. “Siapa kamu sehingga berhak mengatur apa yang harus aku lakukan?”
“Aku sudah menjadi istrimu yang sah saat ini. Sebagai seorang istri, aku mempunyai hak untuk memberimu saran.”
“Dan aku punya hak untuk menolak saranmu. Minggir!” geram Richard yang dengan sengaja menabrakkan kursi rodanya ke kaki Kimberly, berusaha menyingkirkan wanita itu dari jalannya, hingga membuat istrinya hampir terjatuh.
Johana yang melihat apa yang Richard lakukan terhadap Kimberly, segera menyusul kepergian putra tirinya itu. Saat mereka berada di lorong yang sepi, Johana memanggil nama Richard. “Kita harus bicara?”
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan,” balas Richard masih terus mendorong kursi rodanya untuk menjauh dari Johana.
“Mulai hari ini kamu akan tinggal di Woodstock.”
Richard seketika menghentikan kursi rodanya dan berbalik menatap Johana dengan tatapan membunuh. “Apa maksudmu mengirimku ke Woodstock?”
“Udara disana cukup sejuk dan suasananya lebih tenang, sangat cocok untuk masa penyembuhanmu,” balas Johana yang terdengar memuakkan di telinga Richard.
“Jangan harap kamu bisa menyingkirkan aku dengan mengirimku ke tempat terpencil itu! Aku memang cacat, tetapi aku tidak akan menyerah padamu.”
“Jangan menolaknya! Aku sudah membicarakannya dengan papamu dan dia pun setuju.”
“Kamu tidak bisa mengaturku, Johana!”
Perdebatan mereka terhenti ketika Kimberly datang menyusul suaminya. Johana yang melihat kedatangan menantunya, menatap wanita itu dan berkata, “bawalah suamimu ke Woodstock! Aku telah menyiapkan semua yang kalian butuhkan di sana.”
“A-aku ...? ke Woodstock ...?” ulang Kimberly terkejut karena merasa jika tempat itu terlalu jauh. Bagaimana dia bisa bertahan hidup hanya berdua dengan Richard di tempat sejauh itu?
“Tentu saja kamu, memangnya siapa lagi? Kini Richard telah menjadi tanggung jawabmu. Rawatlah dia!”
Setelah mengatakannya, Johana kemudian pergi menjauh dan kembali ke pesta untuk menemui para tamu, memposisikan dirinya sebagai tuan rumah yang baik.
Sepeninggalan Johana, suasana di antara Richard dan Kimberly pun mendadak penuh ketegangan.
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Kimberly khawatir.
“Jangan sok perhatian padaku! Memangnya aku punya alasan untuk tidak baik-baik saja?” balas Richard dingin yang menganggap pertanyaan Kimberly sekedar basa-basi belaka.
“Woodstock adalah tempat yang sangat jauh, kamu pasti belum terbiasa. Apakah kamu butuh bantuanku untuk membujuk papa dan mamamu agar kita tetap bisa tinggal di sini?”
“Jangan ikut campur dengan kehidupan pribadiku, aku tidak butuh bantuan darimu, apalagi kamu harus mengemis pada papa dan mamaku.”
“Bukan itu maksudku,” suara Kimberly kembali bergetar karena niat baiknya ternyata ditanggapi sinis oleh Richard.
“Dengar Kimberly! Meski kita sudah menikah, aku harap kamu tahu batasanmu. Aku tidak menganggapmu benar-benar sebagai istriku. Pernikahan kita hanyalah sebuah kesepakatan dan jika salah satu dari kita menginginkan berakhir, maka semuanya akan berakhir.”
Mata Kimberly seketika menatap nanar suaminya, pandangannya berkabut karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Meski mereka tidak saling mencintai, Kimberly berharap paling tidak Richard bisa menghormati pernikahan mereka sebagai ikatan yang sakral.
“Maaf jika aku membuatmu marah, seharusnya hari ini adalah hari bahagiamu.” Kimberly meminta maaf, berharap hal itu bisa melembutkan hati Richard.
“Hari bahagia? Jangan membuatku tertawa dengan leluconmu, Kimberly! Ini adalah hari paling menyedihkan bagiku karena aku harus menikahimu. Jika saja aku tidak cacat, aku bisa memilih wanita yang aku mau, kini aku harus menghabiskan sisa hidupku dengan wanita sepertimu.”
“Wanita sepertiku? Wanita seperti apa yang kamu maksud?” suara Kimberly terdengar bergetar karena rasa sakit yang merayap di hatinya.
“Aku tidak perlu menjelaskannya padamu, aku yakin kamu tidak ada bedanya dengan Johana. Jika kamu ingin tahu seperti apa dirimu, bercerminlah pada Johana! Rasa benciku padamu, sama seperti aku membenci wanita itu,” ucap Richard yang kemudian meninggalkan Kimberly begitu saja.
Kimberly berdiri membeku menatap kepergiaan Richard, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Dia memukul dadanya yang terasa sakit, perlakuan Richard padanya membuat dadanya sesak dan terasa nyeri.
Malam harinya, Richard dan Kimberly akhirnya menempuh perjalanan ke Woodstock. Pria itu mungkin bisa membantah Johana, tetapi dia tidak bisa membantah papanya. Oleh karena itu, mereka terpaksa berangkat ke Woodstock diantar oleh sopir pribadi keluarga Jackson.
Sepanjang perjalanan, keduanya tidak saling bicara, mereka duduk saling berjauhan dengan pikiran masing-masing, sama-sama menatap keluar jendela dan membangun dinding tebal tak tersentuh.
Perjalanan mereka ternyata cukup panjang dan lama, Kimberly sempat tertidur di tengah perjalanan. Dirinya terbangun ketika udara mendadak terasa sangat dingin dan mobil pun berguncang ke kanan dan ke kiri. Dia mengeratkan baju hangatnya dan menegakkan tubuhnya.
“Ada apa dengan jalannya?” tanya Kimberly pada sopir yang mengemudikan mobil yang dia naiki.
“Kita sudah masuk ke Woodstock, sebentar lagi kita akan sampai. Maaf jika jalannya tidak membuat Anda nyaman karena berbatu dan tidak rata,” jelas supir yang mengendarai mobil yang membawa mereka.
Sesampainya di rumah properti Jackson, Kimberly menarik koper besar yang berisi barang-barang miliknya dan milik Richard. Mereka menuju kamar utama dengan ruangan luas yang cukup hangat karena ada penghangat listrik yang bisa melindungi mereka dari udara dingin yang menyerang.
Baru saja Kimberly berniat untuk memasukkan kopernya ke kamar, Richard mendorong koper tersebut dan mengeluarkannya kembali. “Kamu pikir aku sudi tidur denganmu! Cari kamar lain! ini adalah kamarku dan aku ingin tidur sendiri.”
Belum sempat merespon perkataan suaminya, Richard sudah masuk ke kamar dan menutup pintu dengan membantingnya keras di hadapan Kimberly.
Lelah dengan perjalanan panjang mereka, membuat Kimberly enggan bertengkar lagi. Dia pun mengalah dan memilih mencari kamar yang lain. Dia menarik kopernya menjauh dari kamar utama dan masuk ke sebuah kamar yang terasa dingin.
Dia menyalakan lampu dan terkejut melihat kamar yang kotor dan berdebu, tampak jika sudah lama itu tidak dipakai dan tidak dibersihkan. Tidak ada penghangat ruangan di sana dan saat Kimberly mencoba ranjangnya, yang ada hanya ranjang keras yang dia yakin akan membuat punggungnya sakit.
“Persetan dengan keadaan kamar ini, yang penting aku bisa tidur.”
Kimberly kemudian menggelar kain tipis dengan sembarangan di atas ranjang yang tak bersprei sebagai alas, lalu meringkuk di atasnya untuk mengurangi rasa dingin.
“Kamu pasti bisa bertahan, Kimberly! Kamu wanita yang kuat,” gumamnya mensugesti dirinya sendiri agar kuat menghadapi penderitaan dan kehancuran seperti yang Richard katakan padanya.
Menjelang pagi, Kimberly tidak mampu lagi menahan rasa dingin yang menyerang. Dia juga tidak bisa tidur nyenyak karena ranjang yang keras yang membuat punggungnya sakit. Sebelum matahari terbit, dia terpaksa bangun karena sudah tidak betah berada di atas ranjang.Bingung ingin melakukan apa, Kimberly mengambil pakaian hangat dan memutuskan untuk keluar dari rumah menikmati pagi pertamanya di Woodstock. Dia berjalan tanpa arah mengelilingi area peternakan yang berada tidak jauh dari rumah utama yang dirinya dan Richard tinggali.Langkahnya terhenti di depan kandang, saat melihat hewan ternak yang ada di dalamnya. Ada sapi, domba, kuda dan puluhan ayam dengan suara yang berisik yang anehnya dia sukai. Semua suara itu seakan membawa pergi kegalauan dirinya.Kimberly memejamkan mata dan menikmati semua suara itu, hingga dirinya terkejut saat mendengar suara seorang wanita dari belakang punggungnya.“Anda sudah bangun?”Kimberly menoleh dan melihat seorang wanita tua sedang tersenyum ramah
“Ada apa dengan tangan Anda?” seru Timmy khawatir melihat tangan Kimberly yang memerah.“Aku tidak sengaja menumpahkan masakanku saat mengantarkannya ke kamar Richard.” Kimberly tidak bicara jujur jika Richard dengan sengaja menumpahkan makanan yang dia buat.“Air dingin bisa meredakan rasa panas dan nyeri yang Anda rasakan,” Timmy memberi saran.Wanita tua itu langsung mendekati Kimberly, membawanya ke wastafel, membasuh tangan Kimberly dengan air dingin yang mengalir.“Aku bisa mengobati sendiri lukaku, tolong bersihkan saja kamar suamiku karena aku menumpahkan makanan di lantai kamarnya.”Tanpa menyanggah, Timmy mengangguk patuh lalu pergi untuk membersihkan kamar Richard.Setelah kepergian Timmy, air mata Kimberly seketika menetes membasahi pipinya tanpa bisa ditahan. Dengan cepat dia mengusap air mata itu agar tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. “Apakah Richard sangat membenciku sehingga dia memperlakukan aku seperti ini? jika aku memiliki pilihan, aku pun tidak menginginka
Timmy mendatangi Kimberly dengan raut wajah cemas. Dia semakin tidak mengerti dengan pernikahan yang majikannya jalani, namun dia tidak mempunyai hak untuk mencampuri urusan mereka. “Ada apa dengan wajahmu? Apakah kamu sakit?” tanya Kimberly ketika melihat Timmy mendekat dengan wajah pucat. “Tuan Richard sama sekali tidak mau makan, saya khawatir dengan kesehatannya,” jawab Timmy. “Sampai sekarang Richard belum mau makan juga? Sudah hampir seminggu aku memberinya waktu untuk merenung karena dia harus tinggal di Woodstock. Aku kira kemarahannya akan redam dengan sendirinya, namun tetap saja dia bersikap keras kepala. Ini tidak bisa dibiarkan, aku akan bicara dengannya,” ujar Kimberly yang kemudian pergi ke kamar pria itu untuk bicara dengan suaminya. Dia tidak peduli Richard akan semakin marah dengan kedatangannya, yang penting pria itu mau makan demi kesehatannya. Ketika Kimberly membuka pintu kamar, suasana di dalamnya diliputi kegelapan karena tirai jendela kamar yang masih tert
Richard terbengong melihat kepergian Kimberly, dia tidak menyangka jika wanita itu punya keberanian untuk menyentuhnya. Dengan kasar dia mengusap bibirnya bekas bibir Kimberly yang menyentuhnya di sana, sialnya rasa bibir wanita itu terasa melekat dan tak mau hilang, rasa manis dan lembabnya terus menempel meski dia sudah mengusapnya berulang kali. “Ternyata dia punya keberanian menentangku,” gumam Richard dengan seringai sinis mengingat wajah Kimberly. Di luar rumah, Kimberly memegang dada dan menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya karena sesak yang dirasakan. Ingatan akan tindakan gilanya pada Richard terasa sangat memalukan, tetapi dia tidak mungkin diam saja menerima perlakuan suaminya yang begitu keras kepala. Jika terjadi sesuatu pada pria itu, dirinya dan keluarganya pasti akan mendapat masalah. Dia tidak ingin menyulitkan orang tua yang sudah membesarkannya. Oleh karena itu dia harus melakukan segala cara untuk bisa membuat Richard sehat kembali. “Hai K
Richard memutuskan tatapannya dan masuk ke rumah tanpa menunggu jawaban istrinya.Kimberly yang sadar akan tatapan marah Richard langsung mengejar pria itu tanpa mempedulikan Axton. “Richard tunggu!” serunya.Tahu jika Kimberly mengejarnya, Richard memilih berpura-pura tidak mendengar dan terus mendorong kursi rodanya menjauh.Dengan langkah panjang, Kimberly berlari dan menutup jalan Richard sambil merentangkan kedua tangan di depan pria itu. “Kita harus bicara, aku tidak ingin kamu salah paham dengan apa yang kamu lihat.”“Untuk apa aku salah paham, bahkan aku tidak peduli jika kamu pergi dan bersenang-senang dengan pria itu. Paling tidak urus suamimu terlebih dahulu sebelum kamu pergi dengan pria lain,” sindir Richard.Terasa desiran dan rasa senang yang merayap di hati Kimberly, ketika untuk pertama kali Richard menyebut dirinya sebagai suaminya. “Su-suami ..?” gumam Kimberly lirih.Richard berdehem menormalkan suara, menyadari dirinya telah salah memilih kata. Dia pun kembali men
Tidak mungkin melarikan diri dari kewajibannya, Kimberly terpaksa pulang kembali ke rumah. Dia terkejut ketika Richard duduk di ruang depan dengan wajah yang terlihat kurang istirahat. Ingin sekali menegurnya dan menyuruh pria itu istirahat, namun energinya sudah habis untuk bertengkar.“Dari mana saja dirimu?” Richard menegur duluan.“Mencari udara segar,” jawab Kimberly singkat.“Lain kali, beritahu aku kemana kamu pergi sehingga aku tidak salah paham lagi padamu.”Kimberly menghela nafas panjang, berusaha untuk bersabar menghadapi sikap suaminya. Dia menatap Richard dan berkata, “aku sedang tidak ingin bertengkar karena aku lelah sekali. Lain kali aku akan memberitahuku jika aku akan pergi, sekarang bisakah aku ke kamar?”“Apakah kamu sudah makan? Kamu pergi tanpa sarapan terlebih dahulu,” tanya Richard yang membuat raut wajah Kimberly berubah keheranan. Sejak kapan suaminya itu peduli dengannya?“Aku belum makan,” jawab Kimberly dengan hati-hati dan penuh kecurigaan. Dia merasa ad
Kimberly berbaring di samping Richard dengan jantung berdetak kencang, hingga suara jantungnya bisa dia dengar dengan jelas. Dia mengira, tidur di ranjang yang empuk dan ruangan yang hangat akan membuat tidurnya nyenyak, namun sebaliknya. Dirinya malah terus merasa gelisah karena Richard berbaring di sampingnya. “Ada apa denganmu? Apakah ranjangnya kurang nyaman?” tanya Richard ketika melihat ekspresi tidur Kimberly terlihat tidak nyenyak. Kimberly yang belum tidur, seketika membuka mata dan menatap suaminya. “Aku merasa canggung tidur bersamamu,” ucapnya jujur. “Jangan bilang ini pertama kalinya kamu tidur dengan pria,” singgung Richard. Wajah Kimberly langsung memerah, dia langsung membantah karena malu jika dikatakan gadis culun dan polos, padahal apa yang Richard katakan memang benar, ini adalah kali pertama dia tidur seranjang dengan seorang pria. “Aku tidak sepolos yang kamu kira, ini bukan pertama kalinya aku tidur dengan seorang pria.” “Lalu kenapa kamu merasa canggung?”
Cerita Richard tentang gadis 10 tahun yang menjadi cinta pertamanya, begitu menyita hati dan pikiran Kimberly. Hal tersebut membuat Kimberly pada malam harinya bermimpi bertemu dengan seorang gadis kecil dengan rambut panjang kepang dua, yang tersampir di bahu kanan dan kiri. Gadis itu memakai rok putih tipis yang terkibar saat terkena tiupan angin, seperti sedang menari mengikuti kemana arah angin bertiup. Gadis itu muncul dari tengah hamparan bunga di bukit yang dirinya datangi bersama Richard. Situasinya menjadi menakutkan ketika gadis itu menatap dirinya dengan tatapan kosong, membuat bulu kuduk berdiri. Jantungnya berdetak kencang saat gadis itu bergerak mendekat ke arahnya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan sulit bernafas, ingin rasanya lari menghindari gadis itu, namun kakinya seolah tertanam di tanah di tempatnya berpijak. Dia berusaha menjerit minta tolong, namun suaranya hanya berhenti di tenggorokan tanpa bisa keluar dari mulut. Gadis kecil itu berhenti tepat di depan K
Sebuah rumah klasik elegan dengan halaman yang luas disulap menjadi taman yang indah penuh dengan bunga segar dilengkapi kelambu putih sehingga menciptakan suasana romantis.Karpet putih dengan rangkaian bunga harum tergelar menuju sebuah altar dengan dekorasi yang mengagumkan. Kanan kiri karpet tersebut berjajar rapi kursi kayu yang siap menampung para tamu undangan dalam pesta pernikahan Jackson.Saat matahari merangkak meninggi, satu persatu kursi tersebut mulai terisi yang didominasi oleh keluarga besar Jackson.Pernikahan Allie dan Arlo digelar dua minggu setelah lamaran mereka. Meski dengan persiapan yang singkat namun pesta yang digelar tidak mengecewakan. Keduanya sepakat hanya mengundang tamu terbatas demi menjaga kesakralan upacara pernikahan.Acara tersebut digelar di rumah yang akan menjadi tempat tinggal Arlo dan keluarga kecilnya bersama Allie, rumah yang didesain oleh Arlo sendiri sesuai dengan impian yang pernah Allie ceritakan padanya.Tak lama setelah kursi penuh par
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Arlo berlari mendapatkan Allie ketika wanita itu keluar bersama Britne untuk menemui keluarga Jackson yang masih berkumpul di ruang makan. Ketegangan masih tampak jelas di raut wajah mereka.Allie menatap Arlo dengan tatapan bersalah membuat jantung pria itu berdetak kencang dan rasa gelisah mencengkram hatinya, mengira jika Allie menolak lamarannya.“Apakah kamu ingin bicara berdua saja denganku sebelum kita bertemu keluargaku? Aku tidak ingin kamu terbeban dengan lamaran yang aku ajukan,” lanjut Arlo ingin menenangkan wanita yang dia cintai.“Maafkan aku karena merusak lamaranmu,” balas Allie dengan nada tercekat.“Aku yang seharusnya meminta maaf karena terlalu terburu-buru melamarmu dan membuatmu syok. Aku bisa mengerti jika kamu belum bisa memberikan jawaban, sekarang yang terpenting kamu baik-baik saja.”Britne yang mencuri dengar perkataan Arlo, menepuk pundak sepupunya itu. “Jangan terlalu cepat menyimpulkan, beri Allie waktu untuk bicara!”
“Apakah kamu merasa gugup?” tanya Arlo menggenggam tangan Allie yang terkait dan terlihat gemetar.Keduanya berada di dalam mobil yang berhenti di depan teras kediaman Jackson, sedangkan Barnes tidur di bahu Arlo.“Sedikit,” jawab Allie pelan. “Ada siapa saja di sana?” lanjutnya sambil menatap rumah besar dan megah milik keluarga Jackson.“Semuanya ada di sana, Britne pun ada di sana.”“Bisakah kamu memberi waktu sebentar, aku masih terlalu gugup,” pinta Allie.“Aku akan menemanimu di sini,” balas Arlo tak ingin meninggalkan wanita yang dicintainya, tanpa ragu memeluk dan mengusap punggung Allie.Setelah keberanian Allie terkumpul, dia mengajak Arlo untuk masuk. “Aku sudah siap,” ujarnya.Arlo menggandeng tangan wanita yang dicintainya dengan posesif dan membawanya ke ruang tengah rumah itu, dimana keluarga besarnya sering berkumpul di sana.“Selamat malam,” sapa Arlo membuat semua orang di ruangan itu menoleh dan menatap kedatangan mereka.Keadaan seketika menjadi sunyi, semua mata t
“Tidak perlu khawatir, aku bisa mengajarimu bagaimana menjadi wanita Jackson,” suara Kimberly mengagetkan Allie.Dia menoleh dan mendapatkan wanita itu berjalan mendekatinya dengan Barnes ada di gendongannya.“Apakah Barnes merepotkanmu, Nyonya Kimberly?” ucap Allie sambil mengambil putranya dari gendongan Kimberly.“Dia anak yang cerdas dan menggemaskan, wajahnya sangat mirip dengan Arlo saat masih seumurannya, Barnes sama sekali tidak merepotkanku,” kata Kimberly.“Terima kasih telah menjaganya.”“Kamu tidak perlu berterima kasih karena dia juga cucuku. Aku berharap malam ini kamu dan Barnes akan menginap di kediaman Jackson sehingga aku punya banyak waktu untuk mengenal cucuku,” balas Kimberly tersenyum mendengar ocehan Barnes.Tubuh Allie menegang mendengar harapan Kimberly akan dirinya dan Barnes. Rasanya terlalu cepat untuk masuk ke dalam keluarga billionaire tersebut.“Aku akan bicara dengan Arlo terlebih dahulu,” Allie mencari alasan untuk menghindar dan berniat untuk melarang
Allie membuka mata dengan senyum cerah mengingat percintaan panasnya bersama Arlo semalam serta hubungan mereka yang membaik. Dia mencari keberadaan pria itu dan menemukannya sedang duduk di pinggir ranjang membelakanginya.Pria itu masih belum berpakaian hingga memperlihatkan punggungnya yang menawan membuat matanya tak berkedip dan tatapannya tak bisa lepas dari sana.Sadar jika Arlo sedang menerima panggilan dari ponselnya, membuat Allie sengaja tidak mengganggunya. Dia menggeser tubuhnya mendekati Arlo lalu mengusap punggung pria itu.“Siapa yang menelepon sepagi ini?” tanyanya saat melihat Arlo mengakhiri panggilan.Pria itu menoleh dan memperlihatkan wajah tegang yang tidak bisa disembunyikan membuat Allie merasa cemas. “Apakah semua baik-baik saja?”“Mamamu masuk rumah sakit,” ujarnya.“Ada apa dengan mamaku? terakhir kali aku bicara dengannya, dia baik-baik saja.”“Dia mengalami kekerasan dari papa tirimu, aku meminta bantuan papa untuk menangani kasus mamamu.”“Aku harus kemb
Allie merasa senang telah mengizinkan Arlo menghabiskan waktu bersama putranya. Wajah pria itu terus berbinar penuh kebahagiaan, hal itu membuat Allie bertekad bulat untuk menjadi wanita yang pantas untuk Arlo, wanita dewasa dan elegan yang tidak gegabah menyimpulkan sesuatu yang dia lihat dan dengar.Malam harinya Allie mengunci diri di kamar mandi cukup lama, menatap dirinya di cermin dengan pakaian menantang. Lingerie transparan dipakainya, hingga tubuhnya terlihat sangat menggoda dengan aset-aset yang tak bisa disembunyikan.“Apakah aku terlihat seperti wanita jalang?” gumamnya pada diri sendiri.“Persetan dengan hal itu, aku ingin menyenangkan Arlo malam ini,” Allie berusaha menghapus keraguan yang menyelimuti.“Sayang, apakah kamu baik-baik saja?” suara Arlo dari luar mengagetkan.“Aku baik-baik saja,” jawab Allie cepat.“Kamu sudah terlalu lama di kamar mandi, itu bisa membuatmu sakit,” Arlo mengingatkan.“Sebentar lagi aku akan keluar.”“Apakah kamu tidak nyaman aku berada di
Allie menghentikan kegiatan memasak ketika ada yang mengetuk pintu rumah. Dia membersihkan tangan dengan serbet lalu pergi untuk membuka pintu bagi tamunya.Keningnya berkerut heran ketika melihat seorang wanita cantik setengah baya dengan kacamata hitam dan pakaian elegan berdiri di depannya.“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Allie sopan.Wanita itu membuka kacamata dan tersenyum ramah. “Apakah kamu bernama Allie?” wanita itu ganti bertanya.“Benar Nyonya, apakah aku mengenalmu?” Allie semakin heran dengan identitas tamunya.Wanita itu kemudian mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. “Namaku Kimberly Jackson, istri dari Richard Jackson, mama Arlo. Senang bertemu denganmu, Allie. Sudah lama aku ingin melihat wajahmu.”Wajah Allie seketika memucat mengetahui siapa yang berdiri di depannya, tubuhnya menegang merasa terancam oleh kedatangan wanita itu. Dia teringat bagaimana papa Arlo mengusir dan menyuruhnya pergi menjauh dari putranya.“Arlo sedang berada di rumah Britne, kamu bis
“Aku mengambil resiko besar dengan kembali membiarkanmu menyentuhku lagi,” ujar Allie sambil mengusap dagu Arlo yang ditumbuhi rambut-rambut kecil kasar, menelusuri dengan jari lentiknya.Mata Arlo terpejam menikmati sentuhan yang mengalirkan sengatan listrik kecil, lalu mengerang merespon. Saat pria itu membuka mata, Allie bisa melihat tatapan yang menggelap penuh gairah.“Fokuslah padaku saja! Abaikan semua hal yang menjadi penghalang hubungan kita,” pinta Arlo dengan tatapan penuh komitmen akan hubungan kita.“Berjanjilah kamu tidak akan mengambil Barnes dariku!”“Aku berjanji. Tak sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk memisahkanmu dengan putra kita. Dia akan tetap bersamamu, bersama kita.”“Kita …?” gumam Allie lirih.Arlo merendahkan kepala lalu mendekatkan bibir di telinga Allie. “Ya, kita. Kita akan menjadi keluarga yang utuh. Jangan sampai karena keegoisan, Barnes kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan.”Bisikan Arlo seperti mantra yang meluluhkan hati. Desah
Saat matahari sudah tinggi, Allie terbangun dari tidurnya dan terkejut karena dia bangun terlalu siang. Hal ini karena dirinya baru saja tidur beberapa menit sebelum matahari terbit.Dia segera membersihkan diri dan pergi ke kamar Barnes untuk memeriksa keadaan putranya. Lagi-lagi dia dikejutkan dengan keberadaan Arlo yang ada disana. Ada warna gelap di kantung mata pria itu, membuatnya sadar jika Arlo tidak tidur semalaman.“Apakah kamu tidak tidur?” tanya Allie.“Aku tidak bisa tidur, hujan dan petirnya baru berhenti dini hari dan mungkin juga karena aku terlalu senang bisa menghabiskan malam bersama putraku. Tapi jangan khawatir, semalam Barnes bisa tidur dengan nyenyak dan aku tidak mengganggunya,” jawab Arlo tidak ingin Allie salah paham padanya.“Bersihkan dirimu! aku akan membuat sarapan. Setelah kamu makan, kamu bisa tidur lalu pulang ke New City,” tegas Allie masih memasang dinding tebal terhadap Arlo.Selesai sarapan, Allie mengizinkan Arlo untuk tidur di kamarnya. Dia tidak