"Assalamu'alaikum... " Terdengar suara salam dari depan rumah. Masih pukul tujuh pagi, siapa yang bertamu sepagi ini? Mungkin tetangga sebelah ada perlu. Aku yang baru selesai bersiap-siap segera menuju pintu depan. Buru-buru kubuka pintu dan..... Aku tertegun beberapa saat setelah melihat siapa yang datang. "Assalamu'alaikum," Kompak mereka mengucap salam. "Wa'alaikum salam," jawabku. "Hai Kak Shilla," sapa gadis berumur 12 tahun melambaikan tangannya. "Hai Safira," Aku berjalan mendekati ketiga tamu yang entah untuk apa tujuannya datang kesini. Aku tak berniat mengajak masuk, kupersilahkan saja mereka duduk di kursi teras. "Maaf, mungkin kami datang terlalu pagi." Ujar Tante Utari dengan wajah yang dihiasi senyuman. Ya.... tamu hari ini adalah keluarga kecil Papa. Tuan Haidar beserta istri dan anaknya. "Tidak papa. Akan kuambilkan minum," kataku lalu beranjak masuk. Mengambil tiga botol minuman dan setoples kue kering bikinan budhe Siti. "Sila
Pagi ini serasa Dejavu, kembali aku mendapatkan kejutan seperti kemarin pagi. Baru saja aku menuruni tangga teras rumah dan pria itu sudah berdiri di depan pagar. Kemarin pagi Papa datang dan berakhir keributan sampai membuat beberapa tetangga datang. Dan pagi ini, pria itu kembali muncul, entah apalagi yang akan terjadi setelah ini. Tapi, aku tak heran, melihat kemunculannya di sini. Seperti yang aku tahu dia laki-laki keras kepala dan sangat egois sudah pasti tidak akan menyerah begitu saja. Dan itu membuatku semakin yakin dia gak memiliki hati nurani. Jika benar dia sudah menyadari kesalahannya, harusnya merasa bersalah dan menuruti keinginanku untuk menjauh. Bukan malah terus muncul dan menyiksaku dengan membuatku teringat peristiwa itu. Itu sudah menunjukkan betapa egoisnya seorang Elgar Khalandra Romanov. Astaghfirullah..... Kuhela nafas panjang, menguatkan hati dan mulai melangkah maju. Jika bukan karena ada barang datang dan Reza tak ada di tempat, aku pasti suda
Setelah selesai mengecek jumlah barang aku membawa Raka ke sebuah restoran cepat saji tak jauh dari apotik. Tak enak juga membiarkannya pulang begitu saja apalagi dia juga membawakan titipan Nathan. "Maaf, di sini pinggiran kota jadi, tak ada kafe atau resto mahal seperti di Jakarta." Merasa tak enak juga mengajaknya makan di restoran yang menunya kebanyakan favorit anak-anak. "Nggak papa. Asyik juga makan sambil menikmati pemandangan keluarga kecil yang bahagia. Berasa dikasih kode." Raka mengedipkan sebelah matanya. Kode? Kode apa maksudnya? Oh... aku memicingkan mataku. Sontak Raka tertawa renyah. "Astaga......" Aku menggelengkan kepalaku. Raka memang sedikit konyol. Raka adalah saudara sepupu Nathan tapi sifatnya berbeda dengan Nathan. Pria ini lebih ramah dan humoris ketimbang Nathan. "Duduklah, biarkan aku pesankan." Aku berjalan menuju meja pemesanan. "Dua paket ayam goreng," pesanku pada Mbak-mbak di bagian order lalu mengambil uang dari dalam tas. "Pakai
Pov Elgar Aku hanya bisa memandang punggung rapuh itu berjalan menjauh dan menghilang di tikungan jalan. Dadaku terasa sesak melihat sorot kebencian dimata Shilla. Aku tidak pernah membayangkan Shilla akan berubah begitu dingin. Dia juga sangat angkuh. Sama sekali tidak seperti Shilla yang aku kenal dulu. Meski pendiam tapi Shilla sangat hangat dan ramah. Begitu besar rasa kecewa dan marahnya padaku sampai merubah wanita baik hati menjadi sosok dingin yang tak tersentuh. Berita kematian Mommy pun tak membuatnya iba dan bersimpati. Justru dia terkesan cuek dan tak peduli. Bahkan dia tanpa ragu menginjak-injak pemberian Mommy. Benarkah itu murni karena kebenciannya padaku? Ataukah ada hal lain? Dari sikapnya seolah Shilla juga membenci Mommy. Tidak, itu tidak mungkin. Shilla dan Mommy sangat dekat. Dan setahuku Shilla tak tahu tentang alasan perpisahan orang tuanya. "Mister..." Putra menepuk lengan kiriku. Aku tersentak, reflek mengangkat satu alisku. Dengan dagunya
Setelah berbicara dengan Budhe aku bergegas menyusul Shilla. Kupikir istriku itu kan ke apotik miliknya. Namun ternyata dari foto yang Gerald kirim istriku sedang bersama pria di sebuh restoran. "Nona di dalam bersama seorang pria."Putra mengatakan jari telunjuknya ke sebuah Restoran cepat saji. "Sedang apa mereka?" tanyaku dengan pandangan tak lepas dari kedua mahluk yang berjenis kelamin berbeda itu. "Dari laporan Gerald, pria itu sedang berusaha menggoda Nona Shilla. Sepertinya dia menaruh hati pada Nona Shilla." Tanganku mengepal, menahan amarah yang sedang bergemuruh dalam dadaku. Hampir saja kupukul kaca jendela mobil untuk melampiaskan rasa panas yang menjalar di dada ini. "Mister tenang saja, dari pantauan Gerald Nona Shilla seperti enggan menanggapi pria itu. Nona bahkan tidak meladeni ataupun tertawa dengan lelucon yang pria itu buat." Sedikit lega, setidaknya Shilla masih sadar dengan statusnya yang masih istriku. "Maaf Mister, apakah tidak sebaiknya ki
"Sejak kecil Shilla memang keras kepala," kata Budhe Siti setelah aku menyesap jahe madu yang dibawakannya beberapa menit yang lalu. Dari depan rumah Shilla aku dibawa ke rumah seorang ustadz yang cukup di segani di sini. Pria yaang nampak religius itu sangat baik dan ramah, tak segan meminjami pakaian ganti dan mengizinkan aku untuk menginap di rumahnya meski kami baru bertemu. "Apapun yang Shilla inginkan pasti akan dikejarnya sampai dapat. Hatinya sangat teguh namun hangat, perhatian dan baik ke semua orang." Sambung wanita dengan penutup kepala itu. Tak ada yang salah dari penuturan Budhe Siti tentang Shilla. Sejauh aku mengenalnya, Shilla memang seperti itu. Baik, pengertian dan ramah meski pendiam. "Budhe juga bingung, kenapa dia berubah angkuh dan sulit memaafkan seperti itu. Padahal kami tidak pernah mengajarinya menyimpan dendam. ... Mungkin, Shilla butuh waktu untuk menerima semua yang sudah dialaminya sebagai takdir dari yang maha kuasa." Kusimak setiap kata yan
"Semakin hari kondisi Shilla makin aneh. Tidak mau bicara juga tidak mau makan dan minum. Kerjanya hanya melamun saja, seperti orang depresi," tutur Budhe Siti dengan pandangan menerawang ke depan. Kuhirup dalam-dalam udara yang terasa semakin menyusut. Sesal itu rasanya berjejalan di dalam dadaku menindih jantung dan ulu hati membuat aku sulit bernafas. Ruang tamu yang cukup luas ini mendadak terasa pengap. "Atas saran Pak ustadz kami membawa Shilla ke pondok pesantren untuk meminta bimbingan Mbah Yai agar Shilla bisa menerima semua ketetapan Gusti Alloh atas hidupnya." Sambung Budhe Siti sambil menyusut air mata di sudut matanya. "Astaghfirullah......." Tak kuasa menahan sesal, air mataku pun tak kuasa lagi kubendung. Berulangkali aku mengusap kasar lelehan bening yang entah kenapa bisa kutahan. Bodoh.... bodoh....bodoh....., rutukku dalam hati ketika kalimat-kalimat kasar yang pernah aku ucapkan kembali terngiang di telingku. Ya Alloh betapa kejamnya aku padanya. Kemara
Di sebuah pondok pesantren di pinggiran kota surabaya kini aku tinggal. Di tempat ini hatiku merasa lebih tentram, jiwaku pun lebih damai. Udara yang segar dan suasana yang sepi jauh dari kebisingan kota membuat bisa berpikir lebih jernih. Merenungi semua peristiwa dalam hidupku dan mengambil hikmahnya. Di sini aku juga melakukan penebusan dosa dengan pertaubatan nasuhah. "Bebaskan Veronica dan kembalikan pekerjaan dan karirnya," perintahku pada Putra seminggu yang lalu saat pria itu datang untuk meminta tanda tanganku. "Untuk Olivia, bawa dia mansion. Biarkan dia tinggal di sana sampai akhir hayatnya." Suatu saat aku pasti akan menemuinya untuk meminta maaf. Dia bersalah padaku tapi aku membalasnya terlalu kejam. Kini aku sadar arti dari ucapan Shilla, 'Balaslah setimpal tapi akan lebih baik tidak membalas.' Saat sakit hati, orang cenderung lepas kendali dan tidak bisa mengontrol emosi sehingga membalas lebih sakit dari yang dirasakan. Hari demi hari berlalu dengan mendek
Terdengar dering ponsel dari dalam rumah. Elgar yang sedang menyirami tanaman di teras langsung bergegas masuk. Dering panggilan itu sudah di stel khusus untuk satu nomor saja. Sampai didalam segera diraihnya benda pipih yang ada di atas meja ruang tamu. Sebuah senyum merekah dari bibir tegas pria berwajah bule itu saat terlihat kontak dengan nama My Wife nampak dilayar ponselnya. "Halo, assalamu'alaikum," sapanya dengan wajah berbinar dan langsung dijawab oleh lawan bicaranya. [Kamu sedang apa?] Suara dari seberang sana. Elgar pun mengerutkan dahinya. Tidak biasa sang istri tiba-tiba menelpon dan menanyakan kegiatannya. Shilla tipe wanita yang percaya dan memberi kebebasan pada pasangannya. Bukan pencemburu yang selalu meminta pasangannya untuk melaporkan setiap yang dilakukan. "Aku sedang menyiram bunga saat mendengar ponsel berdering." [Sambil bernyanyi dan tertawa sendiri?] "Ya?" Elgar belum bisa mengerti maksud Shilla. "Maksudnya?" [Ya maksud kamu apa, seny
Sudah satu bulan sepasang suami istri itu menepi di pinggiran kota. Hidup sebagai orang biasa. Pagi hari Shilla dan Elgar berolahraga lari berkeliling jalanan yang masih sepi dan asri. Melewati sawah dan sungai yang airnya terlihat jernih. Perjalanan mereka berakhir di pasar tradisional yang banyak menjajakan jajanan dan makanan tradisional. Elgar yang sebelumnya tidak pernah memakan makanan tradisional sangat senang. "Bukan sehat yang ada gula darahmu naik," tegur Shilla saat sang suami mulai lepas kendali. Sudah satu kantong plastik penuh dengan jajanan pasar di tangan kiri Elgar namun pria blasteran itu masih sibuk memilih makanan lain lagi. "Anggap saja kita berbagi rejeki dengan ibu-ibu penjual di sini," bisik Elgar lalu kembali sibuk dengan deretan jajanan yang dominan berasa manis yang ada di depannya. Jika untuk berbagi Shilla sama sekali tidak keberatan. Sayangnya itu hanyalah alasan Elgar saja. Setiap. sampai di rumah dia memang akan memanggil. beberapa anak kecil
Setelah mendapatkan rumah sakit yang tepat Elgar dan Shilla memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Sejenak melipir ke pinggiran kota untuk menenangkan diri. Di sana Shilla dan Elgar disambut oleh Budhe Siti dan Rizal. Dua orang itu sangat bersyukur melihat Shilla kembali bersama Elgar. Rasa syukur Budhe Siti ucapkan karena Shilla sudah bisa memaafkan Elgar. "Alhamdulillah... Nak, akhirnya kamu bisa membuka hatimu, mengikhlaskan semua yang telah terjadi." Ucap Budhe Situ setelah adegan penyambutan yang diwarna dengan tangis haru. "Shilla ingin seperti Mama, bisa memaafkan meski sakit." "Iya sayang, kamu memang seperti mamamu, punya hati yang lembut dan penuh kasih." Budhe Siti memeluk satu-satunya keponakan yang dimilikinya itu erat. Elgar yang menyaksikan ikut terharu. Pria itu berjalan mendekat lalu berjongkok di depan dua wanita yang duduk di sofa ruang tamu. "Budhe sebagai saksinya, saya janji tidak akan mengulangi kesalahan saya. Saya akan menjaga dan mencintai Shilla
Meski bersedia memberi kesempatan kedua namun Shilla masih enggan untuk tidur satu kamar dengan Elgar. Wanita cantik dengan rambut panjang sepunggung itu memilih tidur kamar tamu yang ada di lantai bawah rumah mewah peninggalan papa mertuanya. Berbagai alasan Elgar utarakan untuk memaksa istrinya itu tidur di kamar utama namun seperti yang Elgar tahu, istrinya itu sangat keras kepala. "Aku bilang nggak. Kalau kamu maksa aku akan pulang ke Surabaya." Kekeh Shilla sambil mendelik. "Kurasa ikut tinggal di Surabaya lebih baik dari pada tinggal di ibu kota yang udara sangat panas dan banyak polusi." Balas Elgar bersemangat. "Ck...." Tak menyahut Shilla berlalu menuju teras samping. Menyirami bunga-bunga lebih menyenangkan dari pada berdebat dengan Elgar. "Shilla aku lapar. Pengen makan buah." Shilla menoleh, matanya memicing. Pria yang tadi ditinggalkannya di ruang tengah kini sudah duduk kursi panjang dekat pintu penghubung teras samping dan ruang tengah. "Kau punya ka
"Sepertinya kita terlalu lunak dengan wanita itu." Sebuah senyum sinis terlihat di bibir Putra. Pagi ini saat di baru sampai di depan pintu kamar inap bosnya, dua anak buahnya langsung memberi laporan. "Ingat, jangan biarkan dia masuk. Kita tidak tahu apa tujuannya mendekati Tuan." "Benar. Mr. Elgar punya banyak musuh baik dalam. urusan bisnis juga pribadi." Sahut Johan. "Ck, Tuan Elgar." Gerald membetulkan ucapan rekannya. "Perbaiki panggilanmu, jangan membuat Tuan Elgar marah." Ya, sejak kesalahpahaman tentang panggilan Olivia oleh security di mansion kini Elgar meminta semua anak buahnya dan karyawannya untukmu memanggilnya Tuan dan memanggil Shilla dengan panggilan Nyonya. "Biasakan lidahmu dengan bahasa Indonesia. Atau Tuan Elgar akan mengirimmu kembali ke Jerman." "Saya mengerti," ujar Johan mengangguk paham. Dan Putra pun menepuk pundak anak buahnya itu. "Berjaga dengan baik. Saya akan masuk melihat keadaan Tuan." Sebelum masuk Putra mengetuk pintu kamar. Baru setelah
Setelah menjalani perawatan selama hampir satu bulan, hari ini Elgar aka menjalani operasi transplantasi ginjal. Tentu saja setelah Dokter menyatakan kondisinya siap untuk menjalani operasi. Malam ini operasi akan dilakukan, ruang operasi sudah siap juga dengan dokternya. Di ruang rawat inap VVIP Elgar sedang bersia dengan ditemani Shilla dan Putra DM juga Bik Saroh yang sudah seminggu ini ikut bergantian menjaga Elgar. Sebelum dibawa ke ruang operasi Elgar meminta waktu untuk berdua dengan Shilla. "Tolong jangan maafkan aku, aku mohon do'akan agar aku tetap hidup untuk menebus dosa-dosaku padamu." Permintaan Elgar membuat Shilla mengerutkan dahi, bingung. Bagi Shilla permintaan Elgar sangat tidak masuk akal. "Kau takut mati?" tanya Shilla penasaran. "Iya, aku takut mati. Aku takut karena belum menebus semua kesalahan dan dosaku. Dan yang paling kutakutkan kita tidak akan bisa berjodoh di akhirat karena kamu menikah lagi." Sontak saja Shilla melebarkan matanya, kaget dan
"Nanti saya akan kembali lagi, sekarang silahkan beristirahat." Dokter Arinda mengurai senyum termanisnya lalu berjalan menuju pintu. Elgar dan Shilla kompak menghembuskan nafas kasar. Dalam hati ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar pada dokter yang menurutnya sangat tidak sopan. "Bagaimana bisa seorang dokter kepo dengan masalah pribadi pasiennya?" gerutu Shilla tanpa sadar. Wajahnya yang bisanya berekspresi datar kini terlihat kesal. Matanya melotot dan bibirnya mengerucut. Untuk apa dia menjaga Elgar jika sudah ada dokter yang begitu memperhatikan pria itu. Bukankah Shilla harusnya senang? Sekarang Shilla bisa pulang ke Surabaya dengan tenang. Tak perlu merasa bersalah apalagi merasa tak tega. Elgar tak hanya mendapatkan dokter yang tepat tapi mungkin bisa mendapatkan calon istri yang baru sebagai pengganti Shilla. Ya, semua sudah benar dan tepat. Tapi entahlah..... hati Shilla bukannya senang. Ada rasa kesal dan marah mengingat setiap perhatian yang dokter Arinda
Sudah dua minggu Shilla menemani dan merawat Elgar selama menjalani pengobatan di rumah sakit. Meski Maaf itu belum sepenuhnya terucap namun Shilla tak pernah meninggalkan pria yang masih sah menjadi suaminya itu. Bibirnya boleh berkata benci dan tak cinta lagi namun hatinya tak pernah bohong. Rasa peduli dan iba membuat wanita yang memiliki paras cantik khas pribumi itu berhenti peduli. Entah benar karena iba atau ada rasa lain yang tak ingin diakuinya. Setiap hari Shilla berada di sisi Elgar, menjaga, menyuapi makan, mengantar saat ingin ke kamar mandi dan sudah dua hari Shilla juga yang mengelap tubuh Elgar dengan air bersih. Semua itu Shilla lakukan dengan telaten meski kadang bibir tipis itu mengeluarkan kalimat gerutunya. "Badanku terasa lebih segar," ucap Elgar dengan senyum mengembang setelah Shilla membersihkan tubuhnya dengan waslap dan air bersih. Hatinya sangat bahagia karena bukan lagi perawat laki-laki yang membantunya membersihkan diri tapi sang istri yang me
Karena sudah memasuki waktu dhuhur aku putuskan untuk melaksanakan sholat dhuhur lebih dukungan sebelum makan siang. Aku memilih kamar tami di lantai atas sedangkan Elgar susah menaiki yanga menuju kamarnya yang ada di lantai dua rumah mewah ini. Di dinding ruang tengah masih terpasang foto Almarhum Papa Leonard dan Mommy Rosa. Dalam foto itu Mommy Rosa tersenyum tipis sedangkan Papa Leonard wajahnya datar. Bahkan dalam foto pun Papa Leonard tak mau berpura-pura bahagia. Tanpa sadar aku menghela nafas, serumit itu cinta mereka. Mungkin raga bisa mengalah namun hati tak mau berubah. Raga mungkin bersanding dengan orang lain namun perasaan cinta tak pernah berpaling. Pasti sangat sakit jadi Mommy Rosa, begitupun Papa Leonard. Dan lebih menderita lagi Mama, yang sudah mengalah namun tetap disalahkan. "Nyonya, silahkan." Aku tersentak saat seorang pelayan menyerahkan mukena yang tadi sempat aku minta. "Ah.... Terima kasih," ucapku berusaha menarik kedua sudut bibirku namun