Kian meminta pelayan untuk menyiapkan makan malam untuk Clara. Wanita itu ingin makan daging steak wagyu. Hal itu bukanlah sesuatu yang sulit. Selama ini, Kian makan di rumah sudah seperti makan di restoran. Apa saja tersedia di rumah ini.
Tidak perlu menunggu lama, steak itu langsung disajikan lengkap beserta kentang goreng wedges berbumbu dan salad. Wajah Clara benar-benar sumringah saat menerima makanan itu.
Kian sibuk melihat ponselnya, mencoba memantau keberadaan Laureta. Ia sudah mengiriminya pesan singkat, tapi Laureta tidak membalasnya. Ia berusaha berpikir positif, mungkin Laureta sedang berada di jalan dan tidak sempat menjawab pesannya.
Meski Kian menemani Clara makan di sana, tapi ia tidak sedikit pun tertarik untuk ikut makan. Hatinya cemas menanti Laureta pulang ke rumah.
Akhirnya, Clara selesai makan. “Pak, saya sungguh berterima kasih atas jamuan makan malamnya yang spesial ini. Makanannya enak sekali. Terima kasih, Pak.”
<“Apakah kamu bertemu dengan ayahmu?” tanya ibunya Kian pada Laureta.“Hmmm, ya kami sempat bertemu sejenak, tapi kemudian dia harus pergi lagi,” jawab Laureta yang tidak terkesan terlalu berbohong. Ia dan ayahnya memang hanya bertemu sebentar sekali, setelah itu ayahnya mengusirnya pergi.“Kasian sekali kamu, Laureta. Kamu pasti sangat merindukan ayahmu, ya kan. Apalagi ibumu sudah tiada,” ucap ibunya Kian dengan wajah sedih. “Kamu boleh memelukku kalau kamu butuh pelukan seorang ibu.”Laureta terkekeh. “Tidak apa-apa, Ma. Aku baik-baik saja. Meski aku jauh dari orang tuaku, tapi aku bersyukur karena aku punya Kian yang sangat baik padaku.”Ibunya Kian tersenyum. “Kamu pasti sangat mencintainya.”Laureta terkekeh malu-malu. “Iya, Ma.”“Kamu tahu, aku sangat bersyukur karena akhirnya Kian bisa menemukan seorang istri yang baik sepertimu. Selama ini, dia selalu sendirian. Semua adik-adiknya sudah menikah, hanya tinggal dia seorang. Aku pikir, dia hanya akan melajang selamanya.“Dia terl
Apa pun lagu yang Erwin putar, tidak akan mampu meluluhkan hati Laureta. Meski harus ia akui kalau Erwin ternyata mau berusaha juga untuk mendapatkan hati Laureta. Sayang sekali, tidak ada jalan kembali. Laureta hanya akan mencintai Kian.Hanya butuh waktu sebentar saja hingga mobil keluar dari pintu tol dan berbelok ke tempat yang Laureta cukup yakini akan Erwin datangi. Ya tentu saja. Erwin berhenti di depan sebuah café tempat pertama kali mereka berkencan.Waktu itu, Erwin mengajaknya makan ke café itu. Lalu mereka berciuman di taman yang ada di belakang café tersebut yang menghadap ke pemandangan kota Bandung yang cantik.Jika mengingat hal itu, Laureta bukannya senang, tapi malah jijik. Ia malu sekali karena pernah membiarkan Erwin mencium bibirnya. Seharusnya bibirnya ini hanya untuk Kian seorang.Namun, tak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi. Setidaknya, Laureta termasuk cukup berpengalaman kalau soal berciuman. Ia ja
“Aku tahu, aku memang sudah gila. Aku gila karenamu, Ta. Aku masih mencintaimu seperti aku telah kehilangan akal sehatku. Aku memikirkan berbagai cara untuk mendapatkanmu kembali, tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain mengambil tindakan ekstrim. Ya, hanya ini yang bisa kulakukan, Ta. Aku masih mencintaimu dan aku bahkan semakin mencintaimu setiap harinya.”Erwin mengusap air mata yang tiba-tiba membasahi matanya. Matanya tampak merah sekali.“Tata, aku mencintaimu.”Laureta membuang wajahnya sambil meringis. Mengapa setelah ia memutuskan untuk menikahi Kian, Erwin baru menyatakan kembali cintanya. Pria itu menawarkan semesta, tapi semua itu tidak bisa Laureta miliki.Bukannya bahagia mendengar pernyataan cinta Erwin, Laureta justru kasihan padanya dan makin tidak menyukai pria itu.“Tata, katakan sesuatu. Aku mohon. Katakan kalau kamu sebenarnya tidak pernah mencintai Om Kian. Kamu hanya mencintaiku, ya kan, Ta. Ka
Satu hari sebelumnya.“Reks, bisakah kita bertemu?”“Untuk apa kamu ingin menemuiku? Aku rasa ini bukan ide yang bagus,” ucap Reksi sambil menautkan alisnya bingung.Ia menatap ponselnya seolah tak percaya dengan yang baru saja ia dengar. Dalam kurun waktu yang cukup lama, Erwin tidak pernah menghubunginya. Lantas, untuk apa pria itu tiba-tiba mencarinya?“Aku tahu, tapi aku bingung harus bicara dengan siapa lagi,” ucap Erwin yang suaranya terdengar parau. “Setidaknya, kita pernah berteman.”Reksi menghela napas. “Sampai sekarang pun aku masih temanmu, Erwin. Sebenarnya, apa pun yang terjadi antara kamu dan Tata memang tidak ada sangkut pautnya denganku. Hanya saja, aku tidak menyangka kalau kamu akan menghubungiku.”“Iya, Reks. Jadi, apa aku boleh menjemputmu?”Reksi mengangguk. “Baiklah. Datang saja ke studio. Aku baru selesai senam.”Hanya perlu menunggu sepuluh menit saja, Erwin sudah datang. Pria itu membawakan Reksi segelas minuman kopi dingin.“Terima kasih, Erwin,” kata Reksi
Reksi merasa seperti ada yang bergetar di dalam dadanya. Meskipun pria itu hanyalah Erwin, tapi ia senang kalau ada orang yang mengajaknya pergi makan.“Kamu sendiri memang sudah tahu jawabannya, Erwin. Tata pasti akan menolakmu.” Reksi mengangguk perlahan sambil tersenyum.Entah bagaimana, Erwin tampak seperti yang sudah bersiap-siap untuk hari esok bahwa ia pasti akan menerima penolakan. Reksi tidak tahu sudah berapa banyak Erwin berusaha untuk mendapatkan Laureta kembali.Lagi-lagi, Reksi merasa cemburu karena selama ini, tidak pernah ada pria yang berusaha untuk mendapatkan hatinya. Waktu awal ia berpacaran dengan Theo pun, ia yang menyatakan cintanya terlebih dahulu. Dan ketika mereka putus, Theo dulu yang memutuskan hubungan mereka.Seperti itulah rasanya jika mencintai seseorang secara sebelah pihak. Sang kekasih tidak membalas cintanya. Sungguh sangat menyakitkan. Mungkin seperti itu pula yang Erwin rasakan saat ini.Mungkin saja. Nyatanya, kejadiannya sangat berbeda dengan ya
Laureta menghampiri Reksi yang sedang berdiri di depan toko jam tangan. Sahabatnya itu mengenakan blouse berwarna biru tua yang tampak pas sekali di tubuhnya yang langsing. Tidak biasanya, sahabatnya itu mengenakan lipstik dan bedak yang membuat wajahnya tampak sangat cantik.“Reksi!” panggil Laureta.Sahabatnya itu menoleh, lalu melihat Laureta dengan wajah tegang, seperti yang terkejut. Reksi pasti tidak menyangka jika akan bertemu dengan dirinya, pikir Laureta.Senyum Laureta mengembang. “Reks, sedang apa kamu di sini? Tumben kamu dandan. Cantik sekali kamu mengenakan baju ini.”Reksi memaksakan senyumannya. “Iya.” Hanya itu jawabannya.“Aku tadi meneleponmu beberapa kali, tapi kamu tidak menjawabnya,” ungkap Laureta sambil cemberut.“Oh iya, maaf. Tadi aku sedang senam kan, menggantikanmu. Jadi, aku tidak sempat menelepon balik. Memangnya ada apa kamu meneleponku?”“Hmmm, tahu kalau aku akan bertemu denganmu di sini, aku akan menjemputmu dan kita bisa pergi bersama.” Laureta menek
Seseorang mengangkat tangan Laureta, tapi ia tidak bisa melawan. Tubuh Laureta terasa lemas tak berdaya. Ingin membuka mata saja, rasanya berat sekali. Orang itu menekankan jarinya ke sebuah benda“Ponselnya sudah penuh baterainya?” tanya seorang pria.“Belum. Yang penting bisa menyala dulu saja,” jawab seorang wanita. “Ini sudah berhasil terbuka. Wah ada banyak telepon masuk dari Boss The Prince. Mungkin itu atasannya. Coba aku lihat lagi. Uhm, ya sudah aku telepon orang ini saja.”Laureta berhasil membuka matanya sedikit, yang terlihat hanya bayang-bayang kabut putih yang memenuhi penglihatannya. Ia ingin bersuara, tapi tenggorokannya terasa kering.“Yah, tidak diangkat teleponnya. Coba aku telepon nomor yang lain.”“Eh, jangan yang itu. Namanya Mantan. Telepon yang lain saja,” kata si pria.Laureta ingin kejang-kejang rasanya jika sampai orang itu menelepon Erwin. Seharusnya mereka menelepon Kian, tapi Laureta juga takut jika sampai Kian datang ke sini dan menyalahkannya karena hal
Reksi menghela napas, lalu membuang wajahnya. Ia melipat tangannya di dada sambil kesal. “Untuk apa aku mengaku? Apa pentingnya untukmu? Kamu kan hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu bebas melakukan apa saja yang kamu mau. Ya silakan saja. Aku tidak pernah protes. Lalu, kenapa sekarang kamu protes kalau aku bersama dengan Erwin?”“Kamu …!” Laureta seperti yang kehabisan kata-kata.“Apa? Kamu kan wanita yang sudah bersuami. Kenapa kamu masih memikirkan tentang mantanmu? Apa jangan-jangan kamu masih ada rasa padanya?”“Tidak! Itu tidak benar!” bantah Laureta.“Kalau begitu, kenapa kamu harus kesal?”Laureta sungguh bingung harus menjawab Reksi apa. Ia sendiri tidak mengerti untuk apa ia sekesal itu melihat Reksi bersama Erwin.“Kamu sendiri bingung kan? Ah, itu sudah jelas kalau kamu sebenarnya masih mencintai Erwin. Kamu bangga karena kamu bisa menikahi omnya, lalu Erwin pun masih mengejar-ngejarmu. Kamu merasa seperti yang berada di atas angin. Aku salut padamu, Ta. Kamu mema
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian