“Halo? Reksi? Reks? Kamu bisa mendengar suaraku?” tanya Laureta.Saluran telepon pun terputus. Laureta mencoba menghubungi Reksi lagi, tapi tidak bisa karena Reksi sedang dalam panggilan telepon. Mungkin telepon mereka saling bertabrakan karena sama-sama menelepon di waktu bersamaan.Laureta menunggu supaya Reksi yang meneleponnya kembali. Setelah ia tunggu beberapa saat, Reksi mengiriminya pesan singkat.“Ta, tadi tiba-tiba tidak ada sinyal. Jadi, bagaimana? Kamu tidak akan ke studio lagi? Ya sudah, tidak apa-apa. Aku mau berangkat dulu ya sekarang. Dadah.”Laureta balas mengetik, “Iya, Reks. Maaf ya. Aku ada urusan dulu dengan mertuaku. Aku akan menceritakannya besok. Sampai bertemu ya, Reks. Terima kasih sudah menggantikanku selama ini.”Ada sedikit rasa tidak enak hati saat mengetik pesan singkat pada Reksiana. Selama ini, Laureta selalu meminta pertolongan sahabatnya itu. Ia terpaksa melakukannya karena tidak tahu harus meminta pertolongan siapa lagi.Usai menelepon, Laureta pun
Cahaya matahari bersinar cerah, membuat suasana hati Kian semakin ceria. Rasanya, ia tidak pernah sebahagia ini dalam hidupnya. Kian terus menerus mengingat saat Laureta mengungkapkan perasaannya.“Aku jatuh cinta padamu.”Kata-kata itu terus menerus terngiang-ngiang di kepalanya hingga Kian tak bisa berhenti tersenyum. Laureta benar-benar wanita yang sangat manis. Ternyata wanita yang berbadan kekar bisa semanis itu, Kian jadi semakin menyayanginya.Sayangnya, Kian terlalu gengsi untuk mengakui perasaannya yang sebenarnya pada wanita itu. Ia berpikir jika ia menyatakannya sekarang, ia jadi tampak seperti pria yang lemah, terlalu mudah luluh pada wanita.Sebenarnya, memang begitu kenyataannya. Ia memang telah luluh di hadapan Laureta. Wanita itu berhasil membuat seorang Kian yang memiliki harga diri yang tinggi menjadi pria yang ceria dan senang bercanda.Semua yang ia lakukan untuk Laureta semata-mata sebagai tanda perhatiannya yang khusus untuk Laureta. Andai saja wanita itu bisa me
Kian tidak mendongak sedikit pun, matanya masih terus menatap layar ponsel, menanti Laureta membalas lagi pesannya.“Tunggu sebentar. Kamu ke sana saja lebih dulu. Nanti aku menyusul,” ucap Kian.“Baik, Pak.”Clara pun keluar dari ruangan itu sambil menutup pintu. Kian masih menunggu. Ia ingin tahu apa Laureta akan membalas pesannya dengan stiker lucu lagi atau tidak.Kian menggerak-gerakkan jemarinya dengan tidak sabar. Ia mendongak dan menyadari jika ia telah membuang-buang waktu. Ia harus segera ke aquarium untuk melihat para putri duyung beraksi.Langkahnya lebar-lebar saat melewati ruang kantornya, lalu ia pun bergegas menuju ke aquarium yang letaknya berada di bagian tengah restoran. Ia naik tangga ke atas untuk bertemu dengan Tania dan Erika.Kedua wanita itu sudah mengenakan pakaian putri duyung yang seksi, tapi masih tergolong sopan. Mereka mengenakan pakaian ketat tangan panjang yang sewarna kulit untuk menutupi belahan dada mereka.Bagian roknya berupa ekor ikan yang sangat
Selama ini, Kian tidak pernah membeli motor untuk dirinya sendiri karena memang ia jarang sekali mengendarai benda itu. Saking lamanya, Kian sepertinya sudah lupa seperti apa caranya mengendarai motor. Ia selalu pergi ke mana-mana dengan mobilnya.Saat tiba di dealer motor, Kian melihat-lihat berbagai macam jenis motor. Sang sales menjelaskan setiap keunggulan motor dengan bahasanya yang terkesan dilebih-lebihkan. Kian bingung harus memilih yang mana karena sebenarnya ia tidak yakin jika Laureta suka motor yang mana.Ia tahu jika motor Laureta itu adalah sejenis motor manual yang sudah tampak ketinggalan zaman. Setengah badannya baret terkena gesekan aspal. Kian masih merasa bersalah jika mengingat hal itu.Kali ini, ia akan membelikan Laureta motor dengan edisi terbaru. Supaya kaki Laureta tidak pegal, ia akan membeli motor matic yang tampaknya keren, tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Tubuh Laureta cukup besar dan tinggi untuk ukuran wanita Indones
Kian meminta pelayan untuk menyiapkan makan malam untuk Clara. Wanita itu ingin makan daging steak wagyu. Hal itu bukanlah sesuatu yang sulit. Selama ini, Kian makan di rumah sudah seperti makan di restoran. Apa saja tersedia di rumah ini.Tidak perlu menunggu lama, steak itu langsung disajikan lengkap beserta kentang goreng wedges berbumbu dan salad. Wajah Clara benar-benar sumringah saat menerima makanan itu.Kian sibuk melihat ponselnya, mencoba memantau keberadaan Laureta. Ia sudah mengiriminya pesan singkat, tapi Laureta tidak membalasnya. Ia berusaha berpikir positif, mungkin Laureta sedang berada di jalan dan tidak sempat menjawab pesannya.Meski Kian menemani Clara makan di sana, tapi ia tidak sedikit pun tertarik untuk ikut makan. Hatinya cemas menanti Laureta pulang ke rumah.Akhirnya, Clara selesai makan. “Pak, saya sungguh berterima kasih atas jamuan makan malamnya yang spesial ini. Makanannya enak sekali. Terima kasih, Pak.”
“Apakah kamu bertemu dengan ayahmu?” tanya ibunya Kian pada Laureta.“Hmmm, ya kami sempat bertemu sejenak, tapi kemudian dia harus pergi lagi,” jawab Laureta yang tidak terkesan terlalu berbohong. Ia dan ayahnya memang hanya bertemu sebentar sekali, setelah itu ayahnya mengusirnya pergi.“Kasian sekali kamu, Laureta. Kamu pasti sangat merindukan ayahmu, ya kan. Apalagi ibumu sudah tiada,” ucap ibunya Kian dengan wajah sedih. “Kamu boleh memelukku kalau kamu butuh pelukan seorang ibu.”Laureta terkekeh. “Tidak apa-apa, Ma. Aku baik-baik saja. Meski aku jauh dari orang tuaku, tapi aku bersyukur karena aku punya Kian yang sangat baik padaku.”Ibunya Kian tersenyum. “Kamu pasti sangat mencintainya.”Laureta terkekeh malu-malu. “Iya, Ma.”“Kamu tahu, aku sangat bersyukur karena akhirnya Kian bisa menemukan seorang istri yang baik sepertimu. Selama ini, dia selalu sendirian. Semua adik-adiknya sudah menikah, hanya tinggal dia seorang. Aku pikir, dia hanya akan melajang selamanya.“Dia terl
Apa pun lagu yang Erwin putar, tidak akan mampu meluluhkan hati Laureta. Meski harus ia akui kalau Erwin ternyata mau berusaha juga untuk mendapatkan hati Laureta. Sayang sekali, tidak ada jalan kembali. Laureta hanya akan mencintai Kian.Hanya butuh waktu sebentar saja hingga mobil keluar dari pintu tol dan berbelok ke tempat yang Laureta cukup yakini akan Erwin datangi. Ya tentu saja. Erwin berhenti di depan sebuah café tempat pertama kali mereka berkencan.Waktu itu, Erwin mengajaknya makan ke café itu. Lalu mereka berciuman di taman yang ada di belakang café tersebut yang menghadap ke pemandangan kota Bandung yang cantik.Jika mengingat hal itu, Laureta bukannya senang, tapi malah jijik. Ia malu sekali karena pernah membiarkan Erwin mencium bibirnya. Seharusnya bibirnya ini hanya untuk Kian seorang.Namun, tak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi. Setidaknya, Laureta termasuk cukup berpengalaman kalau soal berciuman. Ia ja
“Aku tahu, aku memang sudah gila. Aku gila karenamu, Ta. Aku masih mencintaimu seperti aku telah kehilangan akal sehatku. Aku memikirkan berbagai cara untuk mendapatkanmu kembali, tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain mengambil tindakan ekstrim. Ya, hanya ini yang bisa kulakukan, Ta. Aku masih mencintaimu dan aku bahkan semakin mencintaimu setiap harinya.”Erwin mengusap air mata yang tiba-tiba membasahi matanya. Matanya tampak merah sekali.“Tata, aku mencintaimu.”Laureta membuang wajahnya sambil meringis. Mengapa setelah ia memutuskan untuk menikahi Kian, Erwin baru menyatakan kembali cintanya. Pria itu menawarkan semesta, tapi semua itu tidak bisa Laureta miliki.Bukannya bahagia mendengar pernyataan cinta Erwin, Laureta justru kasihan padanya dan makin tidak menyukai pria itu.“Tata, katakan sesuatu. Aku mohon. Katakan kalau kamu sebenarnya tidak pernah mencintai Om Kian. Kamu hanya mencintaiku, ya kan, Ta. Ka
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian