Tolong dibantu itu aduh. Hehehe .... My Readers, jangan lupa komen yang banyak ya. Share juga cerita ini kalau kalian suka. Terima kasih.
Kian terkesiap mendengar ucapan Laureta. Ia ingin tertawa, tapi ia pun heran. Sungguh ia tidak ingat akan hal itu.“Apa aku yang sudah mengambilnya?” tanya Kian.Laureta mengangguk. “Tolong kembalikan. Dari tadi kakiku terasa dingin.”Senyum Kian pun akhirnya mengembang dan tawanya pecah. Ia tertawa begitu lepas hingga perutnya terasa sakit sekali. Ia sampai harus berpegangan pada pintu mobil.“Benda itu tidak akan menghangatkan kakimu, Laura.”Wanita itu pun cemberut. “Pokoknya kembalikan sekarang juga!” teriaknya.“Wow, wow, wow. Tidak perlu berteriak.” Kian masih terkekeh. “Aku akan mengembalikannya.”Laureta mengulurkan tangannya. “Kembalikan sekarang!”“Di sini? Kamu ingin agar aku mengembalikan benda itu di sini, sekarang? Bagaimana jika ada orang lain yang melihatnya? Apa kamu tidak akan malu?”Mau tak mau, Kian jadi melihat ke arah sana. Gaun itu memang mengepas bentuk tubuh Laureta, tapi tidak terlalu ketat di bagian roknya. Ia jadi ingin meraba bagian itu untuk memastikan ji
“Aku masih mencintaimu.”Laureta menggelengkan kepalanya saat Erwin mengutarakan perasaannya yang mana sungguh tidak ingin ia dengar saat ini. Erwin telah menyakitinya, menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping. Ia tidak akan lupa seperti apa saat Erwin mengusirnya dari kamar hotel waktu ia memergokinya berselingkuh dengan Valentina.Harga diri Laureta bagai diinjak-injak. Lalu Valentina dengan seenaknya mendorongnya hingga ia terjatuh. Tak sedikit pun Erwin menyalahkan wanita binal itu. Valentina seolah memiliki Erwin dan Laureta datang untuk merusak hubungan mereka.Bagaimana Laureta bisa percaya jika Erwin dan Valentina tidak ada hubungan apa-apa, hanya sebatas teman. Hal itu tidak masuk akal. Laureta bahkan berharap jika Erwin sungguh-sungguh bersama Valentina, supaya hatinya tenang menjadi istri dari pamannya Erwin.“Aku masih mencintaimu, Ta,” ulang Erwin. “Apa kamu mendengarku?”“Ya, aku mendengarmu bicara,” ujar Laureta sambil mengangguk perlahan.“Tatap mataku, Ta.” Erwin
Kian sedang memeluk Laureta dalam dekapannya. Baru saja ia melakukan pelepasan setelah mandi bersama dan bercinta habis-habisan. Ia menghirup aroma sampo di rambut Laureta yang masih basah. Lengannya membelai kulit halus Laureta, menyusurinya dari tangan, turun ke perutnya yang six pack, lalu naik ke atas, ke bulatan empuk yang menggunung.Laureta mendesah sambil menggigit bibirnya. Wanita itu tampak sangat seksi dan menggairahkan. Kian mulai menyukai kegiatan bercinta dengan Laureta. Meski Laureta tidak berpengalaman soal bercinta, tapi ternyata ia hanya perlu diberi sedikit arahan saja dan ia pun langsung menjadi wanita yang liar.Awalnya, Kian pikir, ia hanya melakukan hal ini demi supaya Laureta bisa hamil saja, hanya itu. Namun, nyatanya Kian terlalu menikmati semua ini. Jika Laureta sampai hamil, lalu mual-mual, mungkin Kian harus menghentikan kegiatan ini untuk sementara.Bukankah lebih baik ia nikmati saja dulu menjadi pengantin baru, setelah itu baru ia pikirkan tentang membu
Kian bertanya, “Kenapa? Bukankah rumah ini sangat nyaman?”“Tidak!” seru Laureta. “Aku terkurung di kamar ini dan tidak tahu harus berbuat apa!”Kian jadi merasa bersalah karena telah pergi tadi pagi tanpa mengatakan apa-apa pada Laureta. Wanita itu pasti bingung jadinya. Namun, tetap saja ia kesal dengan kata-kata Laureta.Lalu Laureta duduk dan menatap Kian lurus-lurus. “Kamu kan kaya raya, banyak uangnya. Bisa tidak, kamu beli lagi saja rumah baru? Lalu kita pindah ke sana.”“Untuk apa?” tanya Kian sambil menautkan alisnya, heran.“Aku tidak suka tinggal di sini!” rengek Laureta. “Kamu kan bisa membeli rumah yang dekat dengan The Prince. Jadi, kamu tidak usah jauh-jauh pergi ke sana. Sepertinya ada perumahan elit di dekat sana. Bagaimana? Ide bagus bukan?”Kian menyipitkan matanya curiga. “Apa itu karena Elisa?”Laureta terdiam sejenak sambil menurunkan pandangannya. “Anggap saja begitu.”“Kamu serius? Apa yang sudah dia lakukan padamu? Apa kamu bertemu dengannya lagi hari ini? Apa
Malam itu, Laureta sudah tertidur pulas. Suara dengkurnya terdengar pelan di sebelah Kian. Lalu Kian memiringkan badannya supaya ia bisa melihat wajah Laureta dengan jelas.Wanita itu tampak cantik meski sedang tertidur. Kian mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Laureta, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin mengganggu tidur Laureta.Semakin ia perhatikan, Laureta jadi terlihat semakin manis. Ia teringat saat tadi siang wanita itu datang ke The Prince sambil mengenakan kaus dan celana jeans. Sungguh hal itu di luar perkiraannya. Bagaimana bisa Laureta membantah perintahnya? Tak ada satu pun orang yang berani melakukannya.Lalu ingatan saat Laureta melemparinya dengan uang hingga terkena matanya saat mereka baru pertama kali bertemu, Kian tidak akan pernah lupa akan hal itu. Laureta memang bukan jenis wanita yang bisa ia atur seenaknya.Mungkin ia harus memperlakukan Laureta dengan lebih manis lagi supaya wanita itu mau rela saat bercinta dengannya, turut menikmati setiap
Laureta dan Kian masuk ke dalam ruang periksa dokter. Wajah Kian tampak tidak bersahabat. Ia diam saja, lalu duduk di kursi tepat di hadapan sang dokter. Sementara, Laureta diminta untuk langsung berbaring di ranjang periksa.Laureta gugup setengah mati. Ia belum pernah diperiksa kandungannya. Ia tidak tahu, apa yang akan dokter itu lakukan padanya, jadi ia hanya bisa berdoa sambil berharap semuanya baik-baik saja.Dokternya berusia sekitar awal lima puluh tahun. Rambutnya tampak tipis, tapi kumisnya lumayan lebat. Dari caranya memandang, sepertinya dokter itu sangat berpengalaman. Semoga saja dokter itu bisa diandalkan, doa Laureta dalam hati. itu melihat catatan medis yang baru ditulis sedikit oleh sang perawat di bagian depan. Di sana terdapat catatan tanggal terakhir menstruasi dan siklus haidnya yang tiga puluh hari.“Sudah berapa lama nikahnya?” tanya dokter itu pada Kian.“Baru satu minggu, Dok,” jawab Kian.“Oke. Sebentar, saya periksa dulu rahimnya ya.”Laureta langsung tega
Laureta mundur beberapa langkah. Pikiran rasionalnya memperingatkannya untuk tidak mendekati bahaya. Baginya, Erwin hanya akan menjadi bencana dalam kehidupannya.Erwin menatapnya sambil memiringkan kepalanya. “Ayo! Mau naik tidak?”Laureta menggelengkan kepalanya. “Tidak mau! Aku tidak mau ikut denganmu!”Sepertinya Erwin kesal karena ia kemudian memutar bola matanya. Jendela mobil sebelah kiri tertutup. Erwin pasti sudah menyerah. Ia akan menunggu sampai Erwin pergi dan kemudian menyeberang jalan untuk naik angkot ke arah yang berbeda.Namun, ternyata Erwin turun dari mobil dan menghampirinya. Laureta terkesiap dan seketika jantungnya berdebar kencang. Ia merasa dirinya lemah sekali. Seharusnya ia berlari saja supaya Erwin tidak bisa mengejarnya. Sayangnya, semua itu sudah terlambat.Erwin sudah berada di hadapannya. “Kamu sedang menunggu Pak Karsa? Dia tidak akan datang karena dia sedang mengantar nenekku arisan.”“Hah? Arisan?” Laureta mendengus kesal. Kalau Erwin tidak memberitah
Laureta mengerjapkan matanya beberapa kali, berharap jika ia tidak pernah tertarik lagi pada pria itu. Namun, mengapa rasanya sulit sekali.“Ada apa?” tanya Erwin. “Kenapa kamu tidak mau pulang? Apa kamu tidak bahagia tinggal di rumah itu? Baru juga kamu menikah berapa hari.”Aduh gawat. Seharusnya Laureta tidak berkata seperti itu. Ia jadi terkesan seperti yang tidak bahagia.“Bukan begitu. Aku hanya belum bisa melanjutkan kegiatanku secara normal. Kian masih belum mengizinkanku mengajar zumba. Jadi, kalau aku pulang ke rumah, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rumah itu begitu besar, tapi aku masih belum merasa seperti rumah sendiri.”Erwin mengangguk. “Aku mengerti. Jadi, bagaimana? Apa kamu mau aku antar ke studio senam? Atau mau ke tempat fitnes?”Laureta merasa penawaran Erwin bagai air segar di tengah gurun pasir. Namun, apakah ia boleh menerima kebaikan Erwin seperti ini?“Kian pasti akan mencariku dan nantinya dia akan menyalahkanku,” kata Laureta sambil menunduk.“Ak
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian