Tatapan Samantha terlihat kosong setelah melihat Dante memasuki restoran bersama seorang wanita. Seolah ia baru saja memergoki pria itu berselingkuh. Namun bukan karena hal itu ia bereaksi demikian, tetapi karena ketidaktahuannya harus bereaksi seperti apa agar tidak membuat Jennifer Adams curiga. “Apa mungkin kamu mengenal wanita yang bersama kakakku tadi?” Jennifer menatap Samantha yang diam membisu. Gadis itu seperti sedang teralihkan. “Hey, apa kamu mendengarku?” Samantha terkesiap saat Jennifer menepuk bahunya dengan lembut. “Ya? Aku tidak mengenalnya,” sahutnya sedikit terbata. Jennifer bergumam panjang. Sejujurnya wanita itu juga bingung. Haruskah mereka melanjutkan langkah mereka hingga ke restoran atau malah berbalik mencari restoran lain? Jennifer tidak tahu siapa wanita yang bersama kakaknya tadi. Jika saja ia sedikit akrab dengan pria itu, tentu Jennifer tidak akan segan mengajak Samantha mendatangi mereka dan menanyainya secara langsung. Namun masalahnya, hey, dia itu
Kedua mata Samantha membulat sempurna saat Dante langsung mencium bibirnya ketika ia baru saja kembali dari kamar kecil. Samantha berusaha melepaskan ciuman tersebut, namun Dante tidak membiarkan hal itu terjadi dengan menekan kuat tengkuk gadis itu. ‘Apa yang dilakukan pria ini?! Mengapa dia tiba-tiba menciumku di depan semua orang?!’ Samantha menjerit dalam hati. Entah hal sialan apa yang terjadi saat ia pergi ke kamar kecil. Samantha hanya bisa mengumpat habis-habis di dalam hatinya tanpa bisa mengutarakan perasaannya tersebut. “Dante …,” bisik Samantha saat pria itu melepaskan ciumannya untuk sesaat. Namun alih-alih menjawab, Dante malah kembali menyambar bibir Samantha kemudian melumatnya dengan cukup intens. Samantha hendak berontak, tetapi ia digagalkan oleh surat perjanjian yang pernah ditandatanganinya beberapa waktu lalu. Jelas sekali di sana disebutkan bahwa Samantha harus bersedia melakukan kontak fisik hingga berciuman jika terjadi situasi mendesak. Pasalnya, situasi m
“Dante … Dante … Apa kamu bisa mendengarku?” Seorang gadis dengan gaun berwarna merah berusaha membangunkan Dante yang saat ini duduk telungkup di meja. Dante tidak menggubris gadis itu. Kesadarannya hampir menghilang sebab terlalu banyak meminum alkohol. Tiga puluh menit yang lalu Dante datang ke bar ini untuk menjernihkan kembali pikirannya yang kacau karena Samantha. Tepat setelah mengantar gadis itu kembali ke hotel usai makan siang, pikiran Dante hanya dipenuhi tentang ciumannya bersama Samantha. Dante tidak bisa berkonsentrasi hingga membuatnya merasa sangat kesal. Rasa manis pada bibir Samantha serta aroma tubuhnya yang begitu memabukkan terus mendominasi pikirannya. Dante merasa sangat tersudutkan. “Dante, sadarlah.” Gadis dengan gaun merah masih berusaha membangunkan pria itu. Ia terus mengguncang tubuh Dante hingga pria itu memberikan respon. “Clara …?” ucap Dante setelah berhasil mengangkat kepalanya dan mendapati Clara duduk di sampingnya. “Aku tidak sengaja melihatmu
Beberapa hari kemudian …. Samantha menarik napas cukup dalam sambil menatap pintu ballroom dengan perasaan berkecamuk. Gadis itu berdiri dengan balutan gaun pengantin super mewah sementara kedua tangannya memegang buket bunga mawar dan anemone bermahkota putih. Seharusnya Samantha merasa bahagia sebab ini adalah hari pernikahannya. Namun tidak ada alasan bagi gadis itu untuk merasakan perasaan tersebut sebab pernikahan mereka terjadi karena sebuah kesepakatan. Saat pintu ballroom dibuka, Samantha tahu persis apa yang telah menghadangnya di depan sana. Mulanya gadis itu merasa ragu untuk melangkah. Namun saat matanya menangkap keberadaan Dante yang berdiri di ujung lorong, Samantha sadar bahwa ia tidak punya pilihan. Perlahan kedua kaki gadis itu mulai melangkah. Hampir semua pasang mata yang hadir di pesta pernikahan hari ini tertuju ke arahnya. Ya, hampir, sebab Nyonya Adams sama sekali tak memalingkan tubuhnya untuk menatap wanita pilihan putranya untuk dinikahi. Entah ia yang m
Samantha melangkah dengan sedikit pincang menuju salah satu kamar hotel tempat pesta pernikahannya bersama Dante digelar. Samantha tidak tahu apa yang pria itu pikirkan karena memilih menginap di hotel malam ini. Gadis itu tidak bisa berpikir dengan benar sebab rasa lelah yang sudah tidak terbendung. Sementara di belakangnya, Dante melangkah sambil berbincang bersama dengan Jasper. Entah apa yang kedua pria itu bicarakan di sepanjang jalan. Samantha sama sekali tidak tertarik. “Kalau begitu sampai jumpa besok pagi, Dante.” Samantha mendengar suara Jasper yang berpamitan kepada Dante lalu menoleh saat Jasper menyebutkan namanya. “Selamat malam, Nyonya Samantha Adams,” ucap Jasper dengan ramah. Samantha tersenyum kaku. Mendengar Jasper memanggilnya demikian lantas membuat gadis itu merasa aneh. Samantha hanyalah istri kontrak Dante dan Jasper tahu persis hal itu. Lalu haruskah Jasper memanggilnya ‘Nyonya Samantha Adams’? ‘Sungguh konyol!’ Samantha mengerang dalam hati. “Uhm, ya. S
Samantha mengembuskan napas lega setelah mengetahui jika gaun pengantin dan aksesori lainnya telah dibawa oleh salah satu staff yang dikirim Jennifer Adams. Sebelumnya gadis itu sungguh mengira jika semua barang mahal tersebut menghilang entah dicuri oleh siapa. Beruntung Dante datang di waktu yang tepat sehingga bisa menjelaskan pada gadis itu. Saat ini Samantha tidur di atas kasur yang sama dengan suaminya—Dante. Gadis itu tertidur dengan sangat nyenyak tanpa memedulikan Dante yang tidak bisa tidur di sampingnya. Entahlah. Dante sama sekali tidak bisa menutup matanya. Yang dilakukan pria itu hanyalah mengunci pandangan ke wajah Samantha yang saat ini tertidur lelap. “Cih, dia pikir dengan meletakkan selimut di sini akan berguna? Aku bisa menyingkirkannya, dasar gadis konyol.” Namun demikian Dante tidak benar-benar menyingkirkan selimut yang menjadi pembatas tersebut. Pria itu langsung memalingkan tubuhnya memunggungi Samantha dan mencoba tidur. Saat Dante baru saja memejamkan ma
Satu-satunya hal yang tidak termasuk dalam daftar kegiatan setelah pernikahan yang dipikirkan oleh Samantha adalah bulan madu. Ya! Bulan madu! Samantha pikir setelah pesta pernikahan tidak ada lagi hal merepotkan yang harus dilakukan. Ia sungguh mengira tugasnya sudah selesai dan bisa bersantai. Ternyata mereka masih harus melakukan hal semacam ini demi kelancaran untuk mengelabui semua orang. Saat ini Samantha duduk berseberangan dengan Dante di sebuah pesawat jet pribadi milik keluarga Adams. Samantha tahu keluarga mereka memang kaya raya. Namun gadis itu masih saja tercengang dengan semua hal mewah dan menakjubkan ini. Samantha masih belum bertanya ke mana mereka akan pergi berbulan madu. Gadis itu hanya tidak berminat. Meski hal tersebut bisa dianggap sebagai liburan di tengah semua ketegangan, Samantha benar-benar enggan bertanya. “Apa yang kamu pikirkan?” Suara Dante membuyarkan lamunan Samantha. “Uhm, tidak ada. Aku hanya berpikir di mana pesawat jet ini akan mendarat.” D
Surga. Satu-satunya istilah paling pantas menurut Samantha untuk menggambarkan pulau pribadi yang mereka datangi sekarang. Semuanya sempurna. Anginnya, udaranya, cuacanya, dan pemandangannya. Saat ini Samantha tengah duduk di balkon vila dengan mata terpejam. Merasakan angin yang hangat membelai wajahnya dan menerbangkan beberapa helai rambutnya. Gadis itu tidak bisa berhenti tersenyum, hatinya benar-benar gembira. Sepersekian detik kemudian Samantha membuka matanya dengan perlahan. Lengkungan senyumnya kian melebar. “Ini sempurna,” gumam gadis itu. Hanya keindangan yang terbentang di depan matanya. Laut biru, beberapa kapal, burung yang berterbangan, dan jauh dari hiruk pikuk kota. Pulau ini benar-benar sempurna. Samantha bergegas mengambil ponselnya kemudian membuka kamera. Gadis itu tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengabadikan pemandangan indah dengan langit berwarna jingga itu. Ini adalah sunset paling indah yang pernah dilihatnya seumur hidup. “Ternyata aku tidak haru
Malam harinya, Dante dan Samantha datang ke kediaman keluarga Adams untuk memenuhi undangan makan malam Margareth. Meski sebenarnya Dante merasa tidak berminat—Dante masih curiga pada sikap ibunya yang berubah secara mendadak. Namun pria itu tidak bisa menolak keinginan Samantha yang tampak antusias ingin datang. "Ayolah, Honey. Jangan pasang wajah seperti itu. Tersenyumlah.” Samantha merengek ketika melihat ekspresi Dante yang terlihat kaku. Dante menghela napas pelan, kemudian berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski jelas sekali Dante tampak terpaksa, tetapi Samantha tidak ingin berargumen. Setidaknya Dante masih bersedia datang dan saat ini pria itu sedang tersenyum. Orang pertama yang menyambut kedatangan mereka tentu saja Jennifer Adams. Wanita berambut pirang itu terlihat antusias dengan menghamburkan diri memeluk Samantha. “Rasanya sepi tidak ada kalian di rumah ini. Bagaimana kehidupan pernikahan di kediaman sendiri? Pasti sangat menyenangkan, bukan? Kal
Setelah sepakat untuk memulai kembali hubungan mereka, satu minggu kemudian Dante lantas mengajak Samantha untuk keluar dari kediaman keluarga Adams. Keduanya pindah ke griya tawang yang Dante beli beberapa bulan lalu. Tidak ada yang ingin Dante lakukan selain ingin terus bersama dan menghabiskan waktunya dengan istrinya yang cantik itu. Sebenarnya Dante ingin langsung mengajak Samantha pindah ke griya tawang setelah ia membelinya. Namun ada beberapa ketidakyakinan tersirat di dalam hatinya kala itu. Tetapi kali ini Dante sangat yakin untuk melakukannya dan ia bersumpah tidak akan melepaskan Samantha dari hidupnya. Saat ini Dante masih terlelap di atas tempat tidur mereka yang berukuran king size itu. Dan ketika sinar mentari yang memaksa masuk di celah jendela tak sengaja mengenai kelopak matanya, Dante menggeliat sebentar lalu membuka mata. Ditengoknya ke samping kiri dan ia tidak menemukan Samantha di sana. “Honey …,” seru Dante dengan suara parau. “Hey, di mana kamu?” Karena ti
Dante memutuskan untuk mengantar Samantha pulang ke kediamannya alih-alih mengajak gadis itu ke kediaman keluarga Adams. Satu alasan yang Dante pikirkan adalah karena ingin Samantha menenangkan diri dan beristirahat dengan nyaman tanpa ada yang menganggu. Hingga saat ini gadis itu masih tampak syok dan begitu sedih karena insiden penculikan yang didalangi oleh sahabatnya sendiri.Samantha tak banyak berbicara. Dante juga tak banyak melontarkan pertanyaan pada gadis itu. Sekarang keduanya sedang berpelukan di atas ranjang dengan berbalutkan keheningan.“Aku tidak mengerti mengapa Jere melakukan hal semacam itu. Untuk apa dia menculikku?” Samantha keheranan. Keheningan yang semula membalut ruangan tersebut langsung pecah ketika pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu.Dante meneguk saliva dengan sedikit payah. Sejujurnya Dante sudah mengetahui jika keluarga Sinclair telah jatuh bangkrut. Dan alasan Jeremiah menculik Samantha adalah karena pria itu memerlukan banyak uang.Dant
Dante tiba di Panti Asuhan Mida empat jam setelah menerima informasi lokasi dari Jeremiah. Seperti yang pria itu inginkan, Dante datang seorang diri dengan membawa dua buah tas berukuran besar. Dante berjalan sambil mengamati area sekitar, kewaspadaan memenuhi diri pria itu.“Cih! Dasar berengsek. Dia pasti memilih tempat ini setelah menyurvei berkali-kali,” geram Dante.Lokasi yang dipilih Jeremiah sangat jauh dari keramaian. Dante bahkan harus menyetir selama berjam-jam agar tiba di tempat ini. Panti asuhan ini seperti bangunan terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan, tidak akan ada yang datang menolong meski seseorang berteriak dengan lantang di tempat ini.Dante terus berjalan hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan tempat Samantha disandera. Dengan kemarahan yang berkobar di dalam dirinya, Dante menendang pintu di depannya itu dan bergegas masuk ke dalam.“Samantha!” teriak pria itu ketika melihat wanita pujaannya tepat di depan mata.Tepat di depannya, Samantha duduk
Keesokan malamnya, Dante kembali mampir ke area kediaman Samantha seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang aneh kali ini, kediaman gadis itu tampak gelap gulita. Dante sudah berada di sana selama sepuluh menit dan tak ada tanda-tanda keberadaan Samantha di sana. “Apa mungkin dia belum pulang?” gumam Dante curiga. Dante ingat Jennifer memberi tahunya bahwa hari ini Samantha pulang lebih awal. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, ke mana perginya gadis itu? Setelah bergulat dengan beberapa macam dugaan, Dante memutuskan untuk turun dari mobil dan memeriksa langsung gadis itu di kediamannya. Dante mengetuk pintu hingga beberapa kali sambil memanggil nama Samantha. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Dante semakin gelisah. Dengan cekatan salah satu tangannya meraih ponsel dan menghubungi seseorang dari daftar kontak. Tapi lagi-lagi Dante harus melontarkan sumpah serapah sebab panggilannya tidak berhasil tersambung. “Sial!” umpat Dante kesal. S
Masa kini …. Setelah semua kekacauan yang terjadi, Dante memutuskan untuk mengembalikan rumah yang sempat ia rampas dari Samantha dulu dan memberikan hak milik pada gadis itu. Setiap hari sebelum dan setelah pulang bekerja Dante selalu menyempatkan diri untuk mampir. Tentu saja ia hanya bisa berdiri dari kejauhan dan mengawasi gadis itu sambil berharap keajaiban. Samantha masih tidak bersedia—atau bahkan sudah tidak sudi—untuk bertemu dengannya. Dante sadar tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri sekarang. Ia jelas salah dan sekarang ia harus menerima hukumannya. Memikirkan perjanjian mereka akan berakhir dalam beberapa bulan jelas menambah ketakutan di hati Dante. Sebelumnya ia dengan percaya diri dapat mempertahankan Samantha di sisinya. Namun keadaan menjadi terbalik dalam sehari, sekarang Dante tidak yakin ia akan berhasil melakukannya. “Samantha, maafkan aku,” gumam Dante pelan. Tatapan matanya sama sekali tak lepas dari jendela kamar Samantha yang lampunya masih men
Beberapa hari setelah acara peragaan busana ....Dante membaca dengan serius laporan pemeriksaan latar belakang yang ia terima dari Jasper. Tidak ada satu baris kalimat pun yang lolos dari kedua mata Dante. Pria itu membaca semuanya tanpa terkecuali.“Jadi namanya Samantha Rayne,” ucap Dante seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya.“Nama yang indah. Tidak salah orang tuanya memberi nama Samantha, selaras dengan wajahnya yang juga indah.” Jasper menjawab dengan santai.Dante hanya tersenyum tipis saat mendengar jawaban Jasper. Kedua matanya masih sibuk memindai baris kata yang tertuang di dalam laporan hingga sebuah kalimat berhasil membuatnya tersenyum lega. Sebuah kalimat yang menyatakan jika Samantha Rayne adalah seorang gadis lajang.“Oke, kurasa mudah untukmu membuatnya terlibat denganku. Kamu bisa menjadikan adiknya sebagai umpan.” Dante menutup laporan latar belakang Samantha kemudian memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.“Aku sudah memikirkannya. Ini akan menjadi
Acara peragaan busana Jennifer Adams. Beberapa bulan yang lalu ….“Aku sudah menemukan calon pengantinku.” Kalimat itu meluncur dengan mudah dari mulut Dante.“Benarkah? Apa aku mengenalnya?” Jasper hampir tidak percaya saat mendengar kalimat itu dari Dante.“Tidak, kamu tidak mengenalnya. Bahkan aku pun tidak,” Dante menjawab tanpa menatap Jasper yang duduk menganga di sampingnya, “tapi kita akan segera mengenalnya,” lanjutnya kemudian menunjuk seorang gadis yang berdiri di depan mereka dengan dagunya.Jasper sontak mengarahkan matanya ke arah di mana dagu Dante menunjuk. Meski tidak terlalu yakin apakah gadis dengan balutan gaun pengantin itu adalah yang Dante maksud, Jasper hanya mengeluarkan satu kalimat. “Mengapa dia?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa dia akan mudah dihadapi.” Bahkan Dante sendiri tidak terlalu yakin mengapa ia memilih gadis itu sebagai calon pengantinnya. Hanya saja instingnya mengatakan jika semuanya akan berjalan dengan mudah jika memilih gadis itu.Dante
Dante tidak dapat mempertahankan Samantha meski ia telah memohon pada gadis itu berkali-kali. Sekarang Dante harus menerima kenyataan jika Samantha telah membencinya. Gadis itu tidak ingin melihatnya lagi.“Aku tahu ini adalah hukuman. Tapi rasanya sangat menyakitkan untuk menerima kenyataan bahwa Samantha telah membenciku. Dia tidak ingin melihatku lagi, Jasper.” Dante memijat pelipisnya kemudian mendesah kasar.Di seberangnya, Jasper yang sedari tadi hanya diam menyimak ikut mendesah. “Aku minta maaf karena situasinya menjadi kacau seperti ini, Dante,” kata pria itu terdengar menyesal. Seolah kekacauan ini terjadi karena ulahnya.Dante menggelengkan kepala. “Ini bukan salahmu. Jelas sekali bukan salahmu, kawan,” sahutnya dengan suara lemah.Tidak ada alasan bagi Dante untuk menyalahkan Jasper. Dante bukan seorang pemuda berusia enam belas tahun lagi. Usianya sebentar lagi akan menginjak angka tiga puluh tujuh, tentu saja Dante tidak akan bersikap kekanakan untuk menjadikan Jasper se