Samantha tidak mengerti mengapa Margareth Adams tiba-tiba memintanya ikut pergi bersamanya ke suatu tempat. Wanita paruh baya itu tidak mengatakan apa pun tentang tujuan mereka. Samantha hanya diminta untuk berpakaian dengan rapi lalu mengikutinya masuk ke dalam mobil.Samantha tidak berani bertanya meski sebenarnya ia ingin sekali tahu. Perasaan bingung serta rasa penasaran terus menghiasi kepalanya sedari tadi. Terlebih lagi saat melihat raut wajah Margareth yang tampak tegang seolah memikirkan sesuatu yang begitu serius, Samantha semakin dibuat bertanya-tanya.Samantha hendak membuka suara, tetapi Margareth lebih dulu berbicara. Wanita paruh baya itu memandangi Samantha dengan raut wajah serius.“Sebenarnya aku membawamu menghadap keluarga Johnson untuk membicarakan sesuatu. Dan aku ingin kamu diam saja ketika kita tiba di sana nanti.” Margareth mengumumkan.Samantha melebarkan mata, merasa terkejut dengan informasi yang Margareth berikan barusan. Untuk apa mereka ke kediaman kelua
Samantha menggelengkan kepala dengan cukup tegas. Menolak perintah Margareth untuk segera menandatangani surat perjanjian yang telah ia siapkan. Meski sejak awal Samantha sudah diperingatkan untuk tidak melakukan sesuatu yang akan membuat Margareth marah, tetapi gadis itu bertahan pada pendiriannya. Margareth menggertakkan gigi sementara kedua matanya membulat dengan sempurna. Tatapannya begitu tajam bak busur panah yang siap menghunus gadis cantik di sampingnya tersebut. “Tidakkah kamu mengerti dengan perkataanku sebelum kita masuk ke rumah ini, huh? Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang konyol dan bersikap tidak masuk akal? Cepat tandatangani surat itu sekarang juga!” bisik Margareth penuh penekanan. Samantha menatap ibu mertuanya itu dengan mata bergetar. Sekali pun Margareth ataupun semua orang di ruangan ini memaksanya untuk menandatangani, Samantha bersumpah tidak akan melakukannya! “Jangan memaksaku untuk bersikap kasar, Samantha! Cepat ambil pulpen itu dan tandatangani surat
Samantha turun dari mobil sambil sedikit meringis menahan sakit di kepalanya. Margareth Adams memang kejam dan tak berperasaan. Wanita paruh baya itu sungguh tidak melepaskan cengkeraman tangannya dari rambut Samantha hingga mereka tiba di kediaman keluarga Adams.Samantha merapikan rambutnya yang bergumpal dengan hati-hati. Padahal Samantha sudah berusaha untuk tegar. Namun air matanya berhasil lolos dan melalui pipinya yang kemerahan karena ditampar.Samantha tidak mengerti mengapa Margareth Adams begitu senang menyiksanya seperti ini. Apa salah Samantha sebenarnya? Apakah karena Samantha menikah dengan Dante, putra kebanggaannya itu?“Hey ….”Samantha hampir terlonjak dari tempatnya berdiri saat seseorang menyentuh bahunya.“Dante?” gumam Samantha terkejut setelah berbalik dan mendapati pria itu berdiri di depannya.Dante mengamati Samantha dengan tak kalah terkejut. “Apa yang terjadi padamu?”Samantha berdeham pelan sambil merapikan kembali rambutnya. “Uhm, tadi ada angin bertiup
Dante memikirkan dengan sedikit serius perkataan yang diucapkan oleh Samantha barusan. Mungkin peduli memang kata yang tepat. Hanya saja Dante masih belum bisa menyadari akan tindakan serta perasaannya terhadap gadis itu.Dante mengerjap beberapa kali sementara tangannya kembali bergerak menyelesaikan kegiatannya menyisir rambut Samantha. “Well, sekarang rambutmu sudah rapi,” ucapnya lalu meletakkan sisir ke atas meja.Samantha segera berbalik dan duduk menghadap ke arah Dante. Matanya yang indah menatap pria itu dalam kesenduan. Samantha tahu jika sekarang pria di depannya itu tengah menunggu sebuah jawaban yang mungkin tidak ingin dia dengar.Sambil memegangi ujung blus yang ia kenakan, Samantha mulai menceritakan beberapa hal yang terjadi hari ini. Samantha menyampaikan bahwa Margareth tiba-tiba membawanya bertemu dengan keluarga Johnson dan memaksanya untuk menandatangani surat perjanjian damai.Namun Samantha memilih untuk melewatkan bagian di mana Margareth menampar, menghina, s
Dante duduk termenung dengan pandangan yang sama sekali tak beralih dari wajah Samantha yang tertidur di pangkuannya. Sudah tiga puluh menit Dante memperhatikan gadis itu tertidur sementara pikirannya terpecah ke mana-mana.Dante bisa memberikan banyak hal pada gadis yang tertidur meringkuk di pangkuannya itu. Satu-satunya hal yang tidak bisa Dante berikan hanyalah kebebasan. Dante masih belum siap melepaskan Samantha dari hidupnya.Dante mendesah pelan. Tidak. Sebenarnya Dante bukannya belum siap, pria itu tak bisa melepaskan Samantha dan sebenarnya ia tidak mau.“Aku minta maaf,” gumam Dante pelan sambil membelai lembut pipi Samantha.Tidak ada yang lebih egois dari Dante karena pria itu hanya memikirkan diri sendiri. Dante mungkin bahagia Samantha berada di sisinya. Tapi pernahkah pria itu memikirkan bagaimana rasanya di posisi Samantha sekali saja?Sebuah kerutan halus tercetak di dahi Dante mengikuti Samantha yang lebih dulu melakukan hal serupa. Gadis itu tiba-tiba berkeringat d
Samantha terkekeh geli sesaat setelah mengetahui jika ‘bersenang-senang’ yang Dante maksud adalah minum sebotol anggur sambil menikmati udara malam.“Astaga, betapa konyolnya pikiranku sebelumnya," erangnya pelan.Samantha merasa jika dirinya sangat konyol karena berpikir begitu jauh sebelumnya. Bagaimana bisa ia berpikir bahwa Dante mungkin akan mengajaknya untuk berkeringat bersama di atas ranjang? Mengapa Samantha berpikir sejauh itu?“Memangnya kamu memikirkan apa sebelumnya?”Suara Dante menggema dari arah belakang dan sukses mengejutkan Samantha yang sempat teralihkan. Dengan cepat gadis itu berbalik untuk menatap Dante yang melangkah ke arahnya sambil membawa sebotol anggur di tangan.Samantha berusaha terlihat santai dan tidak gugup. Dante pasti akan menertawakan dirinya jika tahu apa yang telah ia pikirkan sebelumnya.“Uhm, bukan sesuatu yang serius,” sahut gadis itu lalu mengulurkan tangan menerima gelas anggur dari Dante.Dante memosisikan diri di samping Samantha, kemudian
Keesokan paginya ….Dante menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang dengan hati-hati setelah sebelumnya puas memandangi Samantha yang masih tertidur. Dante menjadi orang pertama yang terbangun dan suasana hatinya luar biasa bagus pagi ini.Dante tidak bisa berhenti tersenyum dan ingatan tentang bagaimana ia menghabiskan malam panas bersama Samantha terus terbayang di kepalanya. Ayolah. Ini bukan yang pertama kalinya bagi Dante, tetapi mengapa ia begitu senang karena hal tersebut?Setelah selesai membersihkan diri dan berpakaian, Dante keluar dari kamar menuju dapur. Saat kedua kakinya hampir berhasil memasuki area tersebut, Dante berpapasan dengan ibunya yang hendak keluar dari sana.“Pagi,” sapa Margareth sambil tersenyum ramah. Menyapa putranya yang tampak begitu tampan dengan rambut setengah basah.Dante memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Pagi, Mom,” sahutnya singkat.Margareth membalas senyuman putranya, kemudian hendak melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan.“Uhm, bisaka
Dua hari kemudian Samantha akhirnya kembali bekerja setelah beberapa lama mengambil libur. Samantha bersyukur rekan-rekannya tidak mengajukan pertanyaan yang akan membuatnya merasa tidak nyaman. Terutama Lionel, pria itu bersikap biasa dan tidak membahas kejadian yang menimpa Samantha terakhir kali. Samantha merasa seolah hidup kembali setelah sebelumnya merasa cukup tersiksa karena beberapa masalah yang menimpanya. Entah mengapa setelah insiden penculikan, Samantha merasa jika sikap Dante menjadi lebih protektif padanya. Bahkan pria itu hampir mempekerjakan beberapa pengawal untuk menjaga Samantha dan beruntungnya Samantha bisa meyakinkan Dante bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan. Samantha tidak bisa membayangkan beberapa pria akan mengikutinya ke mana-mana. Dan bagian tersulitnya adalah bagaimana Samantha harus menjelaskan pada rekan-rekannya jika mereka bertanya? Sampai detik ini tidak ada yang tahu jika Samantha adalah istri seorang pewaris dari keluarga Adams. “Hey, kakak
Malam harinya, Dante dan Samantha datang ke kediaman keluarga Adams untuk memenuhi undangan makan malam Margareth. Meski sebenarnya Dante merasa tidak berminat—Dante masih curiga pada sikap ibunya yang berubah secara mendadak. Namun pria itu tidak bisa menolak keinginan Samantha yang tampak antusias ingin datang. "Ayolah, Honey. Jangan pasang wajah seperti itu. Tersenyumlah.” Samantha merengek ketika melihat ekspresi Dante yang terlihat kaku. Dante menghela napas pelan, kemudian berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski jelas sekali Dante tampak terpaksa, tetapi Samantha tidak ingin berargumen. Setidaknya Dante masih bersedia datang dan saat ini pria itu sedang tersenyum. Orang pertama yang menyambut kedatangan mereka tentu saja Jennifer Adams. Wanita berambut pirang itu terlihat antusias dengan menghamburkan diri memeluk Samantha. “Rasanya sepi tidak ada kalian di rumah ini. Bagaimana kehidupan pernikahan di kediaman sendiri? Pasti sangat menyenangkan, bukan? Kal
Setelah sepakat untuk memulai kembali hubungan mereka, satu minggu kemudian Dante lantas mengajak Samantha untuk keluar dari kediaman keluarga Adams. Keduanya pindah ke griya tawang yang Dante beli beberapa bulan lalu. Tidak ada yang ingin Dante lakukan selain ingin terus bersama dan menghabiskan waktunya dengan istrinya yang cantik itu. Sebenarnya Dante ingin langsung mengajak Samantha pindah ke griya tawang setelah ia membelinya. Namun ada beberapa ketidakyakinan tersirat di dalam hatinya kala itu. Tetapi kali ini Dante sangat yakin untuk melakukannya dan ia bersumpah tidak akan melepaskan Samantha dari hidupnya. Saat ini Dante masih terlelap di atas tempat tidur mereka yang berukuran king size itu. Dan ketika sinar mentari yang memaksa masuk di celah jendela tak sengaja mengenai kelopak matanya, Dante menggeliat sebentar lalu membuka mata. Ditengoknya ke samping kiri dan ia tidak menemukan Samantha di sana. “Honey …,” seru Dante dengan suara parau. “Hey, di mana kamu?” Karena ti
Dante memutuskan untuk mengantar Samantha pulang ke kediamannya alih-alih mengajak gadis itu ke kediaman keluarga Adams. Satu alasan yang Dante pikirkan adalah karena ingin Samantha menenangkan diri dan beristirahat dengan nyaman tanpa ada yang menganggu. Hingga saat ini gadis itu masih tampak syok dan begitu sedih karena insiden penculikan yang didalangi oleh sahabatnya sendiri.Samantha tak banyak berbicara. Dante juga tak banyak melontarkan pertanyaan pada gadis itu. Sekarang keduanya sedang berpelukan di atas ranjang dengan berbalutkan keheningan.“Aku tidak mengerti mengapa Jere melakukan hal semacam itu. Untuk apa dia menculikku?” Samantha keheranan. Keheningan yang semula membalut ruangan tersebut langsung pecah ketika pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu.Dante meneguk saliva dengan sedikit payah. Sejujurnya Dante sudah mengetahui jika keluarga Sinclair telah jatuh bangkrut. Dan alasan Jeremiah menculik Samantha adalah karena pria itu memerlukan banyak uang.Dant
Dante tiba di Panti Asuhan Mida empat jam setelah menerima informasi lokasi dari Jeremiah. Seperti yang pria itu inginkan, Dante datang seorang diri dengan membawa dua buah tas berukuran besar. Dante berjalan sambil mengamati area sekitar, kewaspadaan memenuhi diri pria itu.“Cih! Dasar berengsek. Dia pasti memilih tempat ini setelah menyurvei berkali-kali,” geram Dante.Lokasi yang dipilih Jeremiah sangat jauh dari keramaian. Dante bahkan harus menyetir selama berjam-jam agar tiba di tempat ini. Panti asuhan ini seperti bangunan terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan, tidak akan ada yang datang menolong meski seseorang berteriak dengan lantang di tempat ini.Dante terus berjalan hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan tempat Samantha disandera. Dengan kemarahan yang berkobar di dalam dirinya, Dante menendang pintu di depannya itu dan bergegas masuk ke dalam.“Samantha!” teriak pria itu ketika melihat wanita pujaannya tepat di depan mata.Tepat di depannya, Samantha duduk
Keesokan malamnya, Dante kembali mampir ke area kediaman Samantha seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang aneh kali ini, kediaman gadis itu tampak gelap gulita. Dante sudah berada di sana selama sepuluh menit dan tak ada tanda-tanda keberadaan Samantha di sana. “Apa mungkin dia belum pulang?” gumam Dante curiga. Dante ingat Jennifer memberi tahunya bahwa hari ini Samantha pulang lebih awal. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, ke mana perginya gadis itu? Setelah bergulat dengan beberapa macam dugaan, Dante memutuskan untuk turun dari mobil dan memeriksa langsung gadis itu di kediamannya. Dante mengetuk pintu hingga beberapa kali sambil memanggil nama Samantha. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Dante semakin gelisah. Dengan cekatan salah satu tangannya meraih ponsel dan menghubungi seseorang dari daftar kontak. Tapi lagi-lagi Dante harus melontarkan sumpah serapah sebab panggilannya tidak berhasil tersambung. “Sial!” umpat Dante kesal. S
Masa kini …. Setelah semua kekacauan yang terjadi, Dante memutuskan untuk mengembalikan rumah yang sempat ia rampas dari Samantha dulu dan memberikan hak milik pada gadis itu. Setiap hari sebelum dan setelah pulang bekerja Dante selalu menyempatkan diri untuk mampir. Tentu saja ia hanya bisa berdiri dari kejauhan dan mengawasi gadis itu sambil berharap keajaiban. Samantha masih tidak bersedia—atau bahkan sudah tidak sudi—untuk bertemu dengannya. Dante sadar tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri sekarang. Ia jelas salah dan sekarang ia harus menerima hukumannya. Memikirkan perjanjian mereka akan berakhir dalam beberapa bulan jelas menambah ketakutan di hati Dante. Sebelumnya ia dengan percaya diri dapat mempertahankan Samantha di sisinya. Namun keadaan menjadi terbalik dalam sehari, sekarang Dante tidak yakin ia akan berhasil melakukannya. “Samantha, maafkan aku,” gumam Dante pelan. Tatapan matanya sama sekali tak lepas dari jendela kamar Samantha yang lampunya masih men
Beberapa hari setelah acara peragaan busana ....Dante membaca dengan serius laporan pemeriksaan latar belakang yang ia terima dari Jasper. Tidak ada satu baris kalimat pun yang lolos dari kedua mata Dante. Pria itu membaca semuanya tanpa terkecuali.“Jadi namanya Samantha Rayne,” ucap Dante seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya.“Nama yang indah. Tidak salah orang tuanya memberi nama Samantha, selaras dengan wajahnya yang juga indah.” Jasper menjawab dengan santai.Dante hanya tersenyum tipis saat mendengar jawaban Jasper. Kedua matanya masih sibuk memindai baris kata yang tertuang di dalam laporan hingga sebuah kalimat berhasil membuatnya tersenyum lega. Sebuah kalimat yang menyatakan jika Samantha Rayne adalah seorang gadis lajang.“Oke, kurasa mudah untukmu membuatnya terlibat denganku. Kamu bisa menjadikan adiknya sebagai umpan.” Dante menutup laporan latar belakang Samantha kemudian memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.“Aku sudah memikirkannya. Ini akan menjadi
Acara peragaan busana Jennifer Adams. Beberapa bulan yang lalu ….“Aku sudah menemukan calon pengantinku.” Kalimat itu meluncur dengan mudah dari mulut Dante.“Benarkah? Apa aku mengenalnya?” Jasper hampir tidak percaya saat mendengar kalimat itu dari Dante.“Tidak, kamu tidak mengenalnya. Bahkan aku pun tidak,” Dante menjawab tanpa menatap Jasper yang duduk menganga di sampingnya, “tapi kita akan segera mengenalnya,” lanjutnya kemudian menunjuk seorang gadis yang berdiri di depan mereka dengan dagunya.Jasper sontak mengarahkan matanya ke arah di mana dagu Dante menunjuk. Meski tidak terlalu yakin apakah gadis dengan balutan gaun pengantin itu adalah yang Dante maksud, Jasper hanya mengeluarkan satu kalimat. “Mengapa dia?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa dia akan mudah dihadapi.” Bahkan Dante sendiri tidak terlalu yakin mengapa ia memilih gadis itu sebagai calon pengantinnya. Hanya saja instingnya mengatakan jika semuanya akan berjalan dengan mudah jika memilih gadis itu.Dante
Dante tidak dapat mempertahankan Samantha meski ia telah memohon pada gadis itu berkali-kali. Sekarang Dante harus menerima kenyataan jika Samantha telah membencinya. Gadis itu tidak ingin melihatnya lagi.“Aku tahu ini adalah hukuman. Tapi rasanya sangat menyakitkan untuk menerima kenyataan bahwa Samantha telah membenciku. Dia tidak ingin melihatku lagi, Jasper.” Dante memijat pelipisnya kemudian mendesah kasar.Di seberangnya, Jasper yang sedari tadi hanya diam menyimak ikut mendesah. “Aku minta maaf karena situasinya menjadi kacau seperti ini, Dante,” kata pria itu terdengar menyesal. Seolah kekacauan ini terjadi karena ulahnya.Dante menggelengkan kepala. “Ini bukan salahmu. Jelas sekali bukan salahmu, kawan,” sahutnya dengan suara lemah.Tidak ada alasan bagi Dante untuk menyalahkan Jasper. Dante bukan seorang pemuda berusia enam belas tahun lagi. Usianya sebentar lagi akan menginjak angka tiga puluh tujuh, tentu saja Dante tidak akan bersikap kekanakan untuk menjadikan Jasper se