Dante melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh beberapa anak buahnya. Sebuah ruangan yang begitu gelap dan tidak ada apa-apa di sana kecuali seorang pria yang diikat di sebuah kursi.Dante melangkah maju mendekati pria itu.“Siapa kau?” tanya pria tersebut saat menyadari seseorang datang mendekatinya. Ia tidak bisa melihat sebab matanya ditutup dengan sebuah kain berwarna hitam.Dante menarik sebuah kursi lalu meletakkannya tepat di depan pria itu. Detik berikutnya Dante mengulurkan lengannya untuk membuka penutup mata si pria.Dante tersenyum miring sementara pria di hadapannya langsung menggigil ketakutan.“Tuan Muda …,” kata si pria dengan suara bergetar.Dante menarik kerah kemejanya lalu melucuti dua kancing sekaligus. “Steven Roger,” geramnya dengan nada suara berat.Ya, pria yang sedang duduk ketakutan di hadapannya adalah Steven Roger, sekretaris Clara Johnson yang menjadi kaki tangan dalam penculikan Samantha beberapa waktu lalu.Dante sengaja mengurung
Saat ini Dante sedang berbincang serius dengan Jasper di ruangan kantornya. Keduanya tengah membahas strategi balas dendam untuk Clara Johnson. Semuanya dirancang dengan sangat matang dan Dante sudah tidak sabar untuk melancarkan aksinya. “Baiklah, aku ingin kamu meminta jurnalis itu merilis beritanya dua hari lagi. Pastikan untuk—” Ucapan Dante tertahan sebab seseorang tiba-tiba mendorong pintu ruangannya dengan kasar. “Mom?” Dante sedikit terkejut saat mendapati ibunya berdiri di balik pintu dengan mata setengah membulat. Margareth Adams melangkah dengan cepat. “Apa maksudmu, Dante? Ibu mendengar semua yang kalian bicarakan. Apa kamu berniat untuk menghancurkan reputasi Clara dan keluarganya, huh?” tanyanya dengan nada ketus. Dante menatap Jasper dan mengisyaratkan agar pria itu meninggalkan ruangan. Detik berikutnya, Dante kembali menatap ibunya yang berdiri di hadapannya dengan kedua tangan melipat di dada. “Apa yang membawamu datang ke mari, Bu?” tanya Dante dingin. Margaret
Samantha tidak mengerti mengapa Margareth Adams tiba-tiba memintanya ikut pergi bersamanya ke suatu tempat. Wanita paruh baya itu tidak mengatakan apa pun tentang tujuan mereka. Samantha hanya diminta untuk berpakaian dengan rapi lalu mengikutinya masuk ke dalam mobil.Samantha tidak berani bertanya meski sebenarnya ia ingin sekali tahu. Perasaan bingung serta rasa penasaran terus menghiasi kepalanya sedari tadi. Terlebih lagi saat melihat raut wajah Margareth yang tampak tegang seolah memikirkan sesuatu yang begitu serius, Samantha semakin dibuat bertanya-tanya.Samantha hendak membuka suara, tetapi Margareth lebih dulu berbicara. Wanita paruh baya itu memandangi Samantha dengan raut wajah serius.“Sebenarnya aku membawamu menghadap keluarga Johnson untuk membicarakan sesuatu. Dan aku ingin kamu diam saja ketika kita tiba di sana nanti.” Margareth mengumumkan.Samantha melebarkan mata, merasa terkejut dengan informasi yang Margareth berikan barusan. Untuk apa mereka ke kediaman kelua
Samantha menggelengkan kepala dengan cukup tegas. Menolak perintah Margareth untuk segera menandatangani surat perjanjian yang telah ia siapkan. Meski sejak awal Samantha sudah diperingatkan untuk tidak melakukan sesuatu yang akan membuat Margareth marah, tetapi gadis itu bertahan pada pendiriannya. Margareth menggertakkan gigi sementara kedua matanya membulat dengan sempurna. Tatapannya begitu tajam bak busur panah yang siap menghunus gadis cantik di sampingnya tersebut. “Tidakkah kamu mengerti dengan perkataanku sebelum kita masuk ke rumah ini, huh? Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang konyol dan bersikap tidak masuk akal? Cepat tandatangani surat itu sekarang juga!” bisik Margareth penuh penekanan. Samantha menatap ibu mertuanya itu dengan mata bergetar. Sekali pun Margareth ataupun semua orang di ruangan ini memaksanya untuk menandatangani, Samantha bersumpah tidak akan melakukannya! “Jangan memaksaku untuk bersikap kasar, Samantha! Cepat ambil pulpen itu dan tandatangani surat
Samantha turun dari mobil sambil sedikit meringis menahan sakit di kepalanya. Margareth Adams memang kejam dan tak berperasaan. Wanita paruh baya itu sungguh tidak melepaskan cengkeraman tangannya dari rambut Samantha hingga mereka tiba di kediaman keluarga Adams.Samantha merapikan rambutnya yang bergumpal dengan hati-hati. Padahal Samantha sudah berusaha untuk tegar. Namun air matanya berhasil lolos dan melalui pipinya yang kemerahan karena ditampar.Samantha tidak mengerti mengapa Margareth Adams begitu senang menyiksanya seperti ini. Apa salah Samantha sebenarnya? Apakah karena Samantha menikah dengan Dante, putra kebanggaannya itu?“Hey ….”Samantha hampir terlonjak dari tempatnya berdiri saat seseorang menyentuh bahunya.“Dante?” gumam Samantha terkejut setelah berbalik dan mendapati pria itu berdiri di depannya.Dante mengamati Samantha dengan tak kalah terkejut. “Apa yang terjadi padamu?”Samantha berdeham pelan sambil merapikan kembali rambutnya. “Uhm, tadi ada angin bertiup
Dante memikirkan dengan sedikit serius perkataan yang diucapkan oleh Samantha barusan. Mungkin peduli memang kata yang tepat. Hanya saja Dante masih belum bisa menyadari akan tindakan serta perasaannya terhadap gadis itu.Dante mengerjap beberapa kali sementara tangannya kembali bergerak menyelesaikan kegiatannya menyisir rambut Samantha. “Well, sekarang rambutmu sudah rapi,” ucapnya lalu meletakkan sisir ke atas meja.Samantha segera berbalik dan duduk menghadap ke arah Dante. Matanya yang indah menatap pria itu dalam kesenduan. Samantha tahu jika sekarang pria di depannya itu tengah menunggu sebuah jawaban yang mungkin tidak ingin dia dengar.Sambil memegangi ujung blus yang ia kenakan, Samantha mulai menceritakan beberapa hal yang terjadi hari ini. Samantha menyampaikan bahwa Margareth tiba-tiba membawanya bertemu dengan keluarga Johnson dan memaksanya untuk menandatangani surat perjanjian damai.Namun Samantha memilih untuk melewatkan bagian di mana Margareth menampar, menghina, s
Dante duduk termenung dengan pandangan yang sama sekali tak beralih dari wajah Samantha yang tertidur di pangkuannya. Sudah tiga puluh menit Dante memperhatikan gadis itu tertidur sementara pikirannya terpecah ke mana-mana.Dante bisa memberikan banyak hal pada gadis yang tertidur meringkuk di pangkuannya itu. Satu-satunya hal yang tidak bisa Dante berikan hanyalah kebebasan. Dante masih belum siap melepaskan Samantha dari hidupnya.Dante mendesah pelan. Tidak. Sebenarnya Dante bukannya belum siap, pria itu tak bisa melepaskan Samantha dan sebenarnya ia tidak mau.“Aku minta maaf,” gumam Dante pelan sambil membelai lembut pipi Samantha.Tidak ada yang lebih egois dari Dante karena pria itu hanya memikirkan diri sendiri. Dante mungkin bahagia Samantha berada di sisinya. Tapi pernahkah pria itu memikirkan bagaimana rasanya di posisi Samantha sekali saja?Sebuah kerutan halus tercetak di dahi Dante mengikuti Samantha yang lebih dulu melakukan hal serupa. Gadis itu tiba-tiba berkeringat d
Samantha terkekeh geli sesaat setelah mengetahui jika ‘bersenang-senang’ yang Dante maksud adalah minum sebotol anggur sambil menikmati udara malam.“Astaga, betapa konyolnya pikiranku sebelumnya," erangnya pelan.Samantha merasa jika dirinya sangat konyol karena berpikir begitu jauh sebelumnya. Bagaimana bisa ia berpikir bahwa Dante mungkin akan mengajaknya untuk berkeringat bersama di atas ranjang? Mengapa Samantha berpikir sejauh itu?“Memangnya kamu memikirkan apa sebelumnya?”Suara Dante menggema dari arah belakang dan sukses mengejutkan Samantha yang sempat teralihkan. Dengan cepat gadis itu berbalik untuk menatap Dante yang melangkah ke arahnya sambil membawa sebotol anggur di tangan.Samantha berusaha terlihat santai dan tidak gugup. Dante pasti akan menertawakan dirinya jika tahu apa yang telah ia pikirkan sebelumnya.“Uhm, bukan sesuatu yang serius,” sahut gadis itu lalu mengulurkan tangan menerima gelas anggur dari Dante.Dante memosisikan diri di samping Samantha, kemudian