Narsih tidak punya pilihan lain, setelah Devano menampar dan mencekik lehernya hingga ia hampir mati tadi pagi di dalam gudang. Meskipun ia memelas memohon pengampunan, Devano tidak melepasnya. Lelaki itu tetap memaksa agar ia mau menikah lagi dengannya. Di sinilah ia sekarang, duduk di kursi pengantin yang sudah dihias alakadarnya, dinikahkan secara siri dengan Devano oleh seorang ustadz.
Ada beberapa keluarga Devano yang datang sore ini, memberikan selamat pada Narsih. Tentu saja dengan tatapan penuh remeh, pada tubuhnya yang kurus, kering, dan hitam ini. Tak ada ekspresi apapun yang keluar dari wajah Narsih, yang ada hanyalah penyesalan demi penyesalan. Andai saja empat tahun lalu, ia menolak menjadi pengganti Yasmin di pelaminan, tentulah saat ini hidupnya tenang menjadi asisten rumah tangga.
Nasi sudah jadi bubur, mempermainkan pernikahan yaitu janji suci yang diucapkan atas nama Tuhan, telah membuatnya tertimpa begitu banyak ujian hidup.
"Masuk sana!" Devano mendorong tubuh Narsih untuk berjalan cepat ke gudang. Acara pernikahan sudah selesai, dan kini Narsih dikembalikan ke tempat yang pantas untuknya.
"Kalau aku tidak mau?" tantang Narsih dengan kilatan netra berapi-api.
"Tidur di kandang Molly!" tunjuk Devano keluar, di mana Molly, seekor anjing Rottweiler miliknya berada.
"Ck, kalian semua yang ada di sini, manusia laknat!" Narsih pergi dari hadapan Vano, ia melangkah lebar masuk ke dalam gudang kembali. Belum makan dan belum minum apapun, lelaki itu begitu kejam memperlakukannya.
Narsih kembali meneteskan air mata, sambil memegang perutnya yang lapar. Matanya menatap saklar lampu yang tertempel di dinding.
Klik
Ia menyalakannya. Gudang yang sangat kotor dan berdebu. Ada banyak barang tidak terpakai teronggok tak beraturan di sana. Tunggu! Matanya menangkap sebuah pintu di dalam gudang, ia berjalan ke arahnya, lalu membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.
Kamar mandi? Narsih menghembuskan napas lega, ia mencoba menyalakan air, dan berhasil. Air itu mengalir cukup deras. Narsih membuka pakaian pengantin sederhananya, lalu menggantinya dengan pakaian yang ia pakai saat diculik.
Ia menyikat kamar mandi terlebih dahulu, untung saja ada cairan pembersih lantai yang hampir habis, tetapi masih bisa ia gunakan. Ada juga sabun batangan yang sudah mengecil dan kering, tampak ini dahulunya bukan gudang, melainkan sebuah kamar tidur.
Narsih melanjutkan membersihkan ruangan tempat ia tidur. Aneka koper, kardus-kardus besar, lemari yang sangat berdebu, ia bersihkan hingga tuntas. Ia susun rapi agar tidak terlalu berantakan, kasur busa yang teronggok di lantai, ia juga bersihkan.
Sayang sekali tidak ada kain pel, sehingga ia menggunakan pakaian pernikahan brukat putih sebagai kain untuk membersihkan ruangan itu. Begitu semangat Narsih mengerjakannya, hingga tidak terasa, sudah pukul delapan malam. Perutnya sudah sangat keroncongan dan juga haus.
Bug!
Bug!"Hei, buka! Aku lapar!"
Bug!
Bug!"Hei ... suami gila! Bukaaaa!"
Sudah setengah jam Narsih menggedor pintu kamarnya, tapi tidak juga ada yang membukakan. Perutnya sudah sangat lapar. Dengan payah, ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi yang sudah bersih kembali, menyalakan air dengan deras, ia membuka mulutnya lebar. Dengan linangan air mata, ia meminum air mentah dari kran air. Berharap lapar, dahaga, dan kepedihan hidupnya segera sirna.
Setelah dirasa perutnya cukup kenyang, bukan kenyang, tepatnya kembung air mentah. Ia pun kembali menggelar kasur busa di lantai yang sudah bersih, ia mencari-cari kain yang kiranya bersih, agar dapat ia gunakan sebagai alas tidurnya.
Satu per satu kasdus ia buka, berharap ada pakaian, atau kain di dalamnya. Benar saja, setelah membuka lima kardus, akhirnya ia menemukan selimut bulu tipis yang memudar warnanya. Ia ambil satu, lalu ia bentangkan di atas kasur busa yang akan ia pakai tidur malam ini.
Ia sudah berwudhu dan mau salat, tetapi tidak ada mukena, dalaman saja masih ia pakai, walaupun sudah tak nyaman. Akhirnya, Narsih memutuskan memakai selimut bulu tadi, untuk menutup seluruh tubuhnya, ia salat dalam keadaan seadanya, tentu dengan linangan air mata.
Kreek
Narsih menoleh saat pintu dibuka, matanya menatap nanar seorang Devano yang kini tengah sempoyongan memegang pintu kamar Narsih.
"Wow, sudah bersih,huh?"
"Tentu saja. Aku lupa aku menikahi siapa? Seorang pembantu dekil yang pasti bisa beres-beres rumah. Ha ha ha ha... dunia memang gila," oceh Vano tak jelas. Lelaki yang telah mabuk itu memutuskan untuk mendekat pada Narsih yang masih duduk di atas kasur busa.
Kilatan marah di netranya, tak gentar menatap sorot mata Vano yang kini merah menyeramkan.
"Mau apa kamu?"
"Keluar! Aku mau tidur!" usir Narsih pada lelaki yang menjadi suami jadi-jadiannya.
"Eh, eh, eh... sudah berani sekali kau Cacing Kremi!" umpat Vano kini berjalan sempoyongan ke arah Narsih yang terjebak di tembok kamar. Nafas Vano semakin dekat dengan indera penciumannya, mati-matian Narsih menahan mual saat bau alkohol itu begitu menyengat.
"Mau apa kau? Sampah!" hardik Narsih sambil mendorong tubuh Vano dengan sekuat tenaga. Apalah daya, bukannya menjauh, Devano malah semakin mendekat, tenaga Narsih bukanlah tandingannya, apalagi wanita itu masih kelelahan sehabis membereskan gudang dan kamar mandi. Ditambah rasa lapar yang kini kembali mendera, sungguh ia benar tidak bertenaga melawan Vano.
Dengan kasar, lelaki itu menganggkat tubuh Narsih, bagaikan karung beras.
"Hei! Maau apa kau?"
Buugh
Narsih dihempaskan di atas kasur busa, Devano sudah menindihnya.
"Jangan, Tuan. Saya mohon, jangan apa-apakan saya!" Narsih menggeleng keras, saat Devano sudah mencium curuk lehernya.
Ia tidak bisa melawan, tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini. Tenaganya sudah habis, benar-benar lemah, matanya mengerjap beberapa kali saat lelaki itu memasuki dengan kasar dan tanpa ampun. Jangan tanyakan sederas apa air matanya, tangisan itu tertahan, dadanya bagai tertusuk belati tajam tanpa ampun.
Ada sepasang mata mengintip Vano menggagahi istrinya secara kasar, mata itu menatap iba pada wanita yang kini juga melihat padanya, netra penuh air mata itu seakan meminta pertolongannya. Namun, ia bisa apa, ia hanya supir dari Devano. Lelaki paruh baya itu tak sanggup melihat lagi, ia memilih pergi, meninggalkan Devano dengan istrinya.
Narsih sudah tidak kuat untuk membuka mata. "Ya Allah, aku ikhlas jika Engkau mencabut nyawaku saat ini juga. Biarkan aku berkumpul dengan ibu, ayah, dan adikku," bisik Narsih dalam hati, hingga matanya tak lama tertutup rapat.
****
Narsih merasakan sakit di sekujur tubuhnya saat ia membuka mata. Adzan shubuh yang mengalun merdu membangunkan dirinya dari peraduan penuh luka dan nestapa. Betapa tidak, lelaki yang berstatus suaminya, kini telah berhasil merenggut keperawanannya dengan cara kejam. Bahkan untuk bernafas pun ia harus mengeluarkan air mata.Setelah pingsan, kemudian sadar, maka Devano kembali menggagahinya, hingga pingsan kembali, dan dengan santainya lelaki laknat ini, masih berada di alam mimpi sambil memeluk pinggangnnya.Puk!Narsih menghempaskan kasar tangan Devano, bukannya bangun, lelaki itu malah semakin erat memeluk Narsih, hingga wanita itu mencebik kasar, lalu menghempaskan lagi lengan kasar suaminya. Tertatih ia bangun dari peraduan, kedua kaki sebenarnya tak kuat melangkah, tetapi ia harus segera membersihkan seluruh tubuhnya dari bekas sentuhan menjijikan sang suami.Bagaikan robot, Narsih berjalan dengan merapatkan kedua pahanya, jika bergesek terlalu
Narsih sudah menghabiskan sepiring nasi goreng dan juga tiga lembar roti tawar lapis selai. Secangkir teh manis hangat juga sudah tandas melewati tenggorokannya. Betapa leganya rasa, kini perutnya terasa begitu kenyang. Sambil mengusap sudut bibirnya yang terasa berminyak, Narsih memilih membuka jendela kecil di dalam gudang itu.Pandangannya menyapu ke area pekarangan rumah Devano, ada kolam renang besar yang di pinggiran kolamnya ditanami oleh pohon palem. Ada pohon buah rambutan juga di sana, sedang berbuah merah. Sayang sekali, jendela kecil itu memakai teralis besi, jika tidak, tentu saat ini dengan berani ia akan melompat ke bawah.Narsih bingung mau melakukan apa, ia memilih duduk kembali di atas kasur busanya, sambil melamun Narsih memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Ya Tuhan, benar-benar ujian yang tidak berkesudahan.****Devano tengah mengendarai mobilnya menuju kantor. Sang papa hari ini tidak berangkat karena ingin istirahat di rumah katany
Narsih masih terlelap di atas peraduan Devano dengan sangat lelap. Begitu juga dengan Devano yang kini tengah memeluk pinggang Narsih. Tubuh keduanya berselimutkan kain tebal dan hangat, sehingga AC kamar yang dinyalakan cukup dingin, tidak menggangu kenyamanan tidur mereka. Tanpa sadar, Devano malah menarik tubuh Narsih agar semakin dekat padanya."Sekar," gumamnya dengan mata tertutup.Suara yang ternyata membuat Narsih membuka matanya pelan, wanita itu menepuk keningnya setelah ia sadar di mana ia saat ini dan sedang apa."Ih... berat!" keluh Narsih sambil melemparkan lengan Vano yang masih melingkar manis di pinggangnya. Devano tersentak kaget, lelaki itu langsung terduduk dengan tubuh atasnya yang polos. Dengan kuat, ia mengucek kedua matanya, memastikan keadaan apa yang baru saja terjadi."S-siapa kamu?" tanya Vano dengan mata menyipit melihat Narsih."Nenek Grandong," sahut Narsih sebal. Perlahan ia turun dari ranjang suami jadi-jadian
Narsih memilih keluar dari ruang makan, ia berjalan menuju taman belakang, untuk mengangkat jemuran yang kemarin ia jemur. Sesekali melirik ke dalam ruang makan, sambil tersenyum licik. "Makan tuh iler gue," ledeknya sambil menahan tawa. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya dengan menyetrika pakaian yang ada di dalam keranjang. Entah berapa abad sang suami laknat tidak menyetrika pakaiannya. Tumpukan pakaian begitu banyak di dalam empat bak besar bewarna hitam.Huk!Huk!Suara batuk-batuk wanita terdengar dari ruang makan. Narsih tersenyum sambil memainkan matanya, barisan gigi kuningnya ia perlihatkan pada tumpukan pakaian yang audah mengantre minta disetrika."Alhamdulillah," gumamnya, lalu melanjutkan aktifitas main mobil-mobilan.Huk!Huk!Kini suara batuk Devano yang terdengar nyaring, bahkan kini keduanya saling batuk bersahutan."Emang enak, kena corona, ha ha ha hi hi hi," Narsih tertawa geli menutup mulutnya."Giyem!
Memang dasar wanita, tubuh masih terasa panas, serta terus saja terbatuk-batuk, tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk berbelanja di mall. Apalagi sudah memegang kartu sakti unlimited, maka ia akan berbelanja sepuasnya dan penyakitpun hilang.Sambil mendorong troli belanja yang sudah penuh barang belanjaan, sesekali juga ia mengecek ponselnya, belum ada kabar dari Devano, padahal lelaki itu berjanji menjemputnya. Tidak mungkin ia membawa berkantong-kantong belanjaan barang dapur sambil membeli baju dan sepatu."Ck,mana sih?" matanya terus saja mencari keberadaan Devano yang tidak kunjung terlihat."Dasar Giyem aneh! Masa calon majikan disuruh beli udang, ikan, telur, gula, beras, dan masih banyak lagi. Hadeeeh," gerutu Jelita sambil menggelengkan kepala.Jelita memutuskan untuk masuk ke antrean kasir yang sudah kosong, dengan mahir sang kasir menghitung satu per satu barang belanjaan Jelita, lalu dimasukkan ke dalam goodie bag besar sebanyak tiga kanto
Narsih terbangun dari tidurnya, saat adzan shubuh berkumandang. Dengan malas ia menoleh pada lelaki yang menjadi suaminya kini, ada air liur yang menetes di sudut bibir lelaki itu karena tidur dengan mulut terbuka. Mati-matian Narsih menahan tawanya. Dasar aneh! Pikirnya. Dengan perlahan, Narsih masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan juga menyikat giginya dengan telunjuk. Karena sikat gigi pesanan Narsih tidak dibeli oleh Jelita. Setelahnya, ia kemudian berwudhu dan melaksanakan sholat shubuh seadanya karena tidak ada mukena di rumah keluarga Devano ini.Devano masih terlelap, sambil sesekali tersenyum dalam tidurnya. Narsih yang memperhatikan tingkah suaminya, tentu saja tersenyum kecil. Mulut saja yang pedas, wajah polosnya seperti anak PAUD lagi mimpi dibelikan es krim, gumam Narsih sebelum ia akhirnya keluar kamar. Narsih melewati kamar wanita calon istri kedua suaminya. Masih sepi tiada suara apapun di sana.Narsih melanjutkan aktifitasnya menyalakan me
Tuk!Tuk!Tuk!"Vano...Giyem! Buka pintunya!" teriak Jelita dari luar kamar Devano. Jelita menunggu dengan gelisah, sambil menggigit kukunya dengan kasar, ia kembali mengetuk pintu kamar Devano.Bugh!Bugh!Kali ini ia menggunakan kepalan tangannya untuk menggedor pintu kamar Devano dengan keras."Non, sini!" Pak Samsul menarik Jelita menjauh dari depan kamar majikannya."Lepas! Ngapain sih, pegang-pegang?" Jelita menghempaskan tangan Pak Samsul yang memegang lengannya."Ck, jangan ganggu Tuan dan Nyonya Devano," bisik Pak Samsul dengan ekor mata melirik kamar Devano."Maksud kamu apa? Siapa yang nyonya di sini?""Itu Narsih, istri Tuan Devano.""Siapa Narsih?""Narsih itu yang Non panggil Giyem. Dia istri sah Tuan Devano baru seminggu nikah.""Lha, bukannya Devano duda?""Siapa bilang? Tuan Devano sudah menikah kembali sepekan yang lalu dengan Aminarsih.""Tahu gak, kenapa Tuan
Plaak!Plaak!"Berani sekali kamu mau kabur, hah!" teriak Devano di depan wajah Narsih. Dua tamparan dari sang suami membuat kedua sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Narsih tak gentar, walau darah semakin banyak menetes mengotori lantai. Narsih dengan berani menatap wajah lelaki yang masih berstatuskan suaminya. Mencari sorot rasa kasihan di sana, namun sayang, Narsih tidak menemukannya. Lelaki itu benar-benar membenci dan hanya memanfaatkannya saja.Pak Broto yang memergoki Narsih saat hendak kabur, hanya memperhatikan perlakuan anaknya dari balik kaca mata, tanpa komentar. Ia membiarkan Devano melakukan apapun pada wanita yang berstatus istri siri dari anaknya itu."Berani kamu tatap saya!" bentaknya lagi, bahkan tangannya kini mencengkeram dagu Narsih dengan kuat."Saya sudah bilang, kenapa tidak kamu bunuh saja saya?" tantang Narsih berbicara dengan mulut yang sangat sakit."Oke, kalau itu mau kamu. Saya akan bunuh kamu, tapi perlaha
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira