Narsih sudah menghabiskan sepiring nasi goreng dan juga tiga lembar roti tawar lapis selai. Secangkir teh manis hangat juga sudah tandas melewati tenggorokannya. Betapa leganya rasa, kini perutnya terasa begitu kenyang. Sambil mengusap sudut bibirnya yang terasa berminyak, Narsih memilih membuka jendela kecil di dalam gudang itu.
Pandangannya menyapu ke area pekarangan rumah Devano, ada kolam renang besar yang di pinggiran kolamnya ditanami oleh pohon palem. Ada pohon buah rambutan juga di sana, sedang berbuah merah. Sayang sekali, jendela kecil itu memakai teralis besi, jika tidak, tentu saat ini dengan berani ia akan melompat ke bawah.
Narsih bingung mau melakukan apa, ia memilih duduk kembali di atas kasur busanya, sambil melamun Narsih memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Ya Tuhan, benar-benar ujian yang tidak berkesudahan.
****
Devano tengah mengendarai mobilnya menuju kantor. Sang papa hari ini tidak berangkat karena ingin istirahat di rumah katanya. Jalanan Jakarta pukul sembilan pagi masih cukup padat, sehingga membutuhkan waktu satu setengah jam untuk Vano sampai di kantornya.Langkahnya mantap naik ke lantai dua belas, tempat ruangannya berada. Senyum yang biasanya tak ada, entah kenapa pagi ini ia berikan pada sekretarisnya, Dina.
"Pagi, Pak," sapa Dina.
"Pagi, Dina. Bawakan saya kopi!" pintanya pada sang sekretaris.
"Baik, Pak." Dina bergegas ke pantry membuatkan kopi untuk bosnya. Sebenarnya ada OB yang bisa disuruh membuat kopi, tetapi Dina memilih ia sendiri yang membuatkan kopi untuk Devano.
Ia mengeluarkan kantung kecil dari dalam sakunya, membuka plastik yang terikat rapat, lalu menaburkannya di atas kopi Devano. Ia aduk, lalu ia bawakan ke ruangan Devano yang kini tengah fokus pada laptopnya.
"Ada agenda apa saja kita hari ini?"
"Meeting di Shangrilla jam dua siang, Pak."
"Oke, kamu temani saya."
Dina mengulum senyum, lalu mengangguk. Langkahnya ringan kembali menuju meja kerja. Tak sabar menanti menemani Devano meeting dan juga efek dari obat yang ia berikan.
Sementara itu, di rumah Devano, Pak Broto sedang muntah-muntah di depan ruang TV, seperti lelaki tua itu benar-benar kurang sehat. Narsih terperanjat, saat mendengar suara laki-laki muntah dari kejauhan. Pelan ia berjalan mendekati pintu, kemudian membukanya pelan, berharap suami jadi-jadiannya lupa mengunci dari luar. Benar saja, pintu itu terbuka. Narsih berjalan untuk melihat siapa di bawah sana yang sedang muntah, ternyata orang tua dari Devano.
Dengan berlari, Narsih turun dari lantai dua menghampiri lelaki berusia senja itu.
"Maaf, Tuan. Biar saya bantu," ujar Narsih takut-takut. Dengan hati-hati Narsih memijat tengkuk Pak Broto, kemampuan memijatnya memang cukup baik, ia belajar memijat ibu asrama saat ia masih tinggal di panti asuhan.
"Di mana minyak kayu putihnya, Tuan?" tanya Narsih.
"Di sana," tunjuk Pak Broto ke arah dapur.
Narsih kembali berlari menuju dapur, mencari minyak kayu putih di dalam kotak obat. Rumah Devano yang lebih besar dari rumah Yasmin, membuat Narsih menggelengkan kepala. Tidak perlu lari pagi keluar komplek, cukup berlarian di dalam rumah besar ini, dijamin kalorinya terbakar habis tak bersisa.
Narsih mengoleskan minyak kayu putih di tengkuk, kemudian kepala dan tenggorokan Pak Broto. Lelaki tua itu pasrah saja, saat Narsih membantunya menghilangkan rasa mual dan muntah. Ia memilih memejamkan mata, saat Narsih membersihkan lantai rumah dengan muntahannya tanpa rasa jijik.
Narsih mengepel ruangan itu sampai bersih dan kinclong, ia juga mencuci tumpukan piring sisa sarapan di dapur. Setelah selesai mencuci piring, Narsih melihat tumpukan pakaian di mesin cuci. Ia memisahkan baju bewarna gelap dan terang, mencucinya dengan hati-hati berharap tidak melakukan kesalahan dalam mencuci pakaian Devano dan juga Pak Broto.
Setelah mencuci selesai, ia langsung menjemurnya. Pinggangnya terasa linu dan organ intimnya yang selalu bergesekan membuat rasa perih kembali melanda. Tanpa Narsih ketahui, ternyata Pak Broto mengirimkan foto dirinya sedang membereskan rumah Devano. Lelaki tua itu tersenyum simpul.
[Ini adalah salah satu manfaatnya punya mantu pembantu. Rumah bersih, rapi, kinclong, pakaian kotor dicuci. Mantap]
Begitulah isi pesan Pak Broto kepada anaknya. Lelaki itu benar-benar bisa bersantai di sofa ruang tengah, menikmati harum detergen lantai yang segar. Tidak perlu lagi memanggil jasa bersih-bersih rumah, cukup Narsih yang mengerjakan semuanya, pikir lelaki tua itu.
[Jangan sampai dia keluar rumah, Pa]
Itulah balasan pesan dari Devano pada papanya.
"Tuan, saya mau memasak boleh?"
"Oh, tentu saja boleh. Memangnya ada bahan masakan di kulkas?"
"Seadanya saja, Tuan."
"Terserah kamu saja. Oh ya, jangan terlalu berharap pada pernikahan ini ya."
"Tenang saja, Tuan. Saya tidak pernah berharap apapun pada pernikahan jadi-jadian ini," balas Narsih sambil berlalu meninggalkan Pak Broto di ruang televisi.
Narsih memasak menu seadanya, hanya ada telur, cabe, bawang merah, dan bawang putih. Ada juga sayuran pokcoy yang hampir saja layu, ia mengolah masakan seadanya dari bahan yang ada.
Peluhnya menetes, baju yang ia kenakan masih baju kausnya yang kemarin sudah basah oleh keringat saat ia baru saja selesai masak. Perutnya kembali berbunyi, menatap ricecooker yang sudah mengeluarkan aroma nasi yang baru saja matang.
"Tuan mau makan?" tanya Narsih pada mertuanya.
"Boleh," sahut Pak Broto, kini sudah berjalan ke arah meja makan. Sudah ada hidangan matang yang ditutup tudung saji di atas meja makan. Narsih mengambilkan nasi di dalam piring, lalu menyerahkan pada Pak Broto. Lelaki tua itu mengambil sayur dan juga telur dadar yang sudah ditumis dengan cabai dan juga bawang.
Narsih menatap cemas wajah mertuanya, saat lelaki tua itu mulai mengunyah masakannya. Bisa mati dia kalau rasanya tidak enak di lidah orang kaya seperti papa Devano ini.
"Enak, pintar masak kamu," puji Pak Broto sambil terus menikmati makan siangnya.
"Alhamdulillah, terimakasih Tuan. Saya permisi naik ke atas," pamit Narsih.
"Narsih, kamu bisa memakai baju yang ada di dalam kamar Devano, baju almarhum istri Devano. Kalau kamu masih berkeliaran di rumah ini tanpa mengganti baju kamu yang dekil itu, saya pastikan saya akan pingsan karena bau badan kamu."
"Emangnya boleh, Tuan?"
"Boleh, kamu pakai sekalian juga kamar mandinya, jangan lupa disikat ya. Gerak cepat, jangan sampai Devano tahu," ujar Pak Broto sambil menahan senyum.
"Alhamdulillah, ternyata Tuan tidak seangker kumis Tuan," ledek Narsih langsung berlari ke lantai atas.
Pak Broto tertawa sambil meraba kumisnya yang melebar. Ia akan membuat anaknya kesal, jika tahu Narsih memakai baju Sekar dan juga mandi di kamar mandi Devano.
Benar saja, Narsih mandi dengan senang di dalam kamar mandi Devano, ada sampo dan sabun wanita yang sangat harum. Ia pakai semua, sebelumnya ia sudah menyikat kamar mandi itu terlebih dahulu. Keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan kimono handuk bewarna merah muda yang sepertinya milik almarhum istri Devano.
Ranjang pangeran di sana tengah melambai-lambai padanya, Narsih menguap. Tanpa mengganti pakaian, Narsih rebahan di atas ranjang super besar milik Devano.
"Aduh, mimpi apa aku bisa rebahan di sini," gumam Narsih sambil meraba betapa halusnya seprei yang ia tiduri saat ini. Begitu menikmati suasana nyaman, Narsih lupa akan pesan dari mertuanya agar ia mandi dan berpakaian dengan cepat. Wanita itu malah terlelap sangat nyenyak di atas ranjang suami jadi-jadiannya.
Narsih merasa terganggu dari tidurnya, hawa panas dan harum yang kini mulai ia hapal, berhasil membuat matanya terbelalak kaget.
"Tuan," cicitnya dengan wajah pucat, saat Devano kini sudah memandangnya dengan horor.
Buugh!
Narsih tersungkur di lantai kamar Devano, lelaki itu menarik paksa Narsih dengan kasar, sehingga Narsih jatuh di bawah kaki suaminya, dengkulnya terasa linu. Hatinya pecah, air matanya sebentar lagi akan mengalir deras.
"Berani sekali sampah seperti kamu tidur di kamarku, hah? Cari mati kamu, Narsih?"
"Maaf, Tuan. Maaf," Narsih ketakuatan, kilat marah di kedua netra Devano membuat nyalinya ciut. Dengan susah payah ia mencoba berdiri dengan maksud segera pergi dari kamar suaminya.
"Karena kamu sudah di kamarku, mari kita ulangi seperti kemarin. Aku akan bikin kamu mati di ranjangku."
****
Narsih masih terlelap di atas peraduan Devano dengan sangat lelap. Begitu juga dengan Devano yang kini tengah memeluk pinggang Narsih. Tubuh keduanya berselimutkan kain tebal dan hangat, sehingga AC kamar yang dinyalakan cukup dingin, tidak menggangu kenyamanan tidur mereka. Tanpa sadar, Devano malah menarik tubuh Narsih agar semakin dekat padanya."Sekar," gumamnya dengan mata tertutup.Suara yang ternyata membuat Narsih membuka matanya pelan, wanita itu menepuk keningnya setelah ia sadar di mana ia saat ini dan sedang apa."Ih... berat!" keluh Narsih sambil melemparkan lengan Vano yang masih melingkar manis di pinggangnya. Devano tersentak kaget, lelaki itu langsung terduduk dengan tubuh atasnya yang polos. Dengan kuat, ia mengucek kedua matanya, memastikan keadaan apa yang baru saja terjadi."S-siapa kamu?" tanya Vano dengan mata menyipit melihat Narsih."Nenek Grandong," sahut Narsih sebal. Perlahan ia turun dari ranjang suami jadi-jadian
Narsih memilih keluar dari ruang makan, ia berjalan menuju taman belakang, untuk mengangkat jemuran yang kemarin ia jemur. Sesekali melirik ke dalam ruang makan, sambil tersenyum licik. "Makan tuh iler gue," ledeknya sambil menahan tawa. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya dengan menyetrika pakaian yang ada di dalam keranjang. Entah berapa abad sang suami laknat tidak menyetrika pakaiannya. Tumpukan pakaian begitu banyak di dalam empat bak besar bewarna hitam.Huk!Huk!Suara batuk-batuk wanita terdengar dari ruang makan. Narsih tersenyum sambil memainkan matanya, barisan gigi kuningnya ia perlihatkan pada tumpukan pakaian yang audah mengantre minta disetrika."Alhamdulillah," gumamnya, lalu melanjutkan aktifitas main mobil-mobilan.Huk!Huk!Kini suara batuk Devano yang terdengar nyaring, bahkan kini keduanya saling batuk bersahutan."Emang enak, kena corona, ha ha ha hi hi hi," Narsih tertawa geli menutup mulutnya."Giyem!
Memang dasar wanita, tubuh masih terasa panas, serta terus saja terbatuk-batuk, tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk berbelanja di mall. Apalagi sudah memegang kartu sakti unlimited, maka ia akan berbelanja sepuasnya dan penyakitpun hilang.Sambil mendorong troli belanja yang sudah penuh barang belanjaan, sesekali juga ia mengecek ponselnya, belum ada kabar dari Devano, padahal lelaki itu berjanji menjemputnya. Tidak mungkin ia membawa berkantong-kantong belanjaan barang dapur sambil membeli baju dan sepatu."Ck,mana sih?" matanya terus saja mencari keberadaan Devano yang tidak kunjung terlihat."Dasar Giyem aneh! Masa calon majikan disuruh beli udang, ikan, telur, gula, beras, dan masih banyak lagi. Hadeeeh," gerutu Jelita sambil menggelengkan kepala.Jelita memutuskan untuk masuk ke antrean kasir yang sudah kosong, dengan mahir sang kasir menghitung satu per satu barang belanjaan Jelita, lalu dimasukkan ke dalam goodie bag besar sebanyak tiga kanto
Narsih terbangun dari tidurnya, saat adzan shubuh berkumandang. Dengan malas ia menoleh pada lelaki yang menjadi suaminya kini, ada air liur yang menetes di sudut bibir lelaki itu karena tidur dengan mulut terbuka. Mati-matian Narsih menahan tawanya. Dasar aneh! Pikirnya. Dengan perlahan, Narsih masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan juga menyikat giginya dengan telunjuk. Karena sikat gigi pesanan Narsih tidak dibeli oleh Jelita. Setelahnya, ia kemudian berwudhu dan melaksanakan sholat shubuh seadanya karena tidak ada mukena di rumah keluarga Devano ini.Devano masih terlelap, sambil sesekali tersenyum dalam tidurnya. Narsih yang memperhatikan tingkah suaminya, tentu saja tersenyum kecil. Mulut saja yang pedas, wajah polosnya seperti anak PAUD lagi mimpi dibelikan es krim, gumam Narsih sebelum ia akhirnya keluar kamar. Narsih melewati kamar wanita calon istri kedua suaminya. Masih sepi tiada suara apapun di sana.Narsih melanjutkan aktifitasnya menyalakan me
Tuk!Tuk!Tuk!"Vano...Giyem! Buka pintunya!" teriak Jelita dari luar kamar Devano. Jelita menunggu dengan gelisah, sambil menggigit kukunya dengan kasar, ia kembali mengetuk pintu kamar Devano.Bugh!Bugh!Kali ini ia menggunakan kepalan tangannya untuk menggedor pintu kamar Devano dengan keras."Non, sini!" Pak Samsul menarik Jelita menjauh dari depan kamar majikannya."Lepas! Ngapain sih, pegang-pegang?" Jelita menghempaskan tangan Pak Samsul yang memegang lengannya."Ck, jangan ganggu Tuan dan Nyonya Devano," bisik Pak Samsul dengan ekor mata melirik kamar Devano."Maksud kamu apa? Siapa yang nyonya di sini?""Itu Narsih, istri Tuan Devano.""Siapa Narsih?""Narsih itu yang Non panggil Giyem. Dia istri sah Tuan Devano baru seminggu nikah.""Lha, bukannya Devano duda?""Siapa bilang? Tuan Devano sudah menikah kembali sepekan yang lalu dengan Aminarsih.""Tahu gak, kenapa Tuan
Plaak!Plaak!"Berani sekali kamu mau kabur, hah!" teriak Devano di depan wajah Narsih. Dua tamparan dari sang suami membuat kedua sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Narsih tak gentar, walau darah semakin banyak menetes mengotori lantai. Narsih dengan berani menatap wajah lelaki yang masih berstatuskan suaminya. Mencari sorot rasa kasihan di sana, namun sayang, Narsih tidak menemukannya. Lelaki itu benar-benar membenci dan hanya memanfaatkannya saja.Pak Broto yang memergoki Narsih saat hendak kabur, hanya memperhatikan perlakuan anaknya dari balik kaca mata, tanpa komentar. Ia membiarkan Devano melakukan apapun pada wanita yang berstatus istri siri dari anaknya itu."Berani kamu tatap saya!" bentaknya lagi, bahkan tangannya kini mencengkeram dagu Narsih dengan kuat."Saya sudah bilang, kenapa tidak kamu bunuh saja saya?" tantang Narsih berbicara dengan mulut yang sangat sakit."Oke, kalau itu mau kamu. Saya akan bunuh kamu, tapi perlaha
Rumah besar yang terlihat kokoh itu, kini rata dengan tanah. Semua barang hangus terbakar, tidak ada yang dapat diselamatkan termasuk berkas-berkas penting, dua mobil mewah Devano, satu motor Harley miliknya, serta satu mobil sport milik Pak Broto, semua hangus terbakar dilalap si Jago Merah. Bahkan memerlukan enam mobil pemadam kebakaran untuk mematikan api tersebut. Tetapi anehnya, begitu api sangat besar melahap rumah Devano beserta isinnya, namun tidak mengenai bangunan tetangga kanan dan kirinya, bahkan asapnya saja tidak tercium para tetangga."Kapan kebakarannya? Kok kita tidak tahu," celetuk seorang ibu dari depan rumahnya."Iya, Nya. Padahal lima belas menit lalu, saya buang sampah di depan, Nya, tetapi tidak ada api," sahut pembantu si ibu sambil bergidik ngeri."Seram ya, Ma. Ayo kita masuk!" sela seorang lelaki muda pada ibunya."Dibakar jin kali," celetuk tetangga yang lainnya.Semua tetangga satu per satu meninggalkan Devano yan
Narsih terbangun dari tidurnya, saat mendengar suara klakson mobil begitu nyaring. Sigap ia berdiri, untuk melihat siapa yang ada di luar sana. Jauh sekali, itu yang dilihat oleh Narsih saat ini. Sepertinya rumah tempat ia berada saat ini berada di atas gunung, sehingga pemandangan area sekitar terlihat berada di bawah.BughBugh"Tolong!" teriak Narsih."Tolong!" teriaknya lagi.Namun, bagaikan angin saja yang menangkap suaranya. Tidak ada siapa pun yang menyahut. Dari tempat Narsih berpijak saat ini, dapat dilihat dengan jelas, begitu banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Walaupun tidak seramai ibu kota, tetapi tetap saja keadaan ramai. Mobil, motor, orang bersepeda, bahkan para pejalan kaki tampak jelas di mata Narsih. Sungguh di sayangkan, mereka sangat jauh dari jangkauan. Hanya dengan TOA masjid mungkin, baru akan terdengar.Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Gumam Narsih kembali dengan air mata yang jatuh satu per s
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira