Narsih masih terlelap di atas peraduan Devano dengan sangat lelap. Begitu juga dengan Devano yang kini tengah memeluk pinggang Narsih. Tubuh keduanya berselimutkan kain tebal dan hangat, sehingga AC kamar yang dinyalakan cukup dingin, tidak menggangu kenyamanan tidur mereka. Tanpa sadar, Devano malah menarik tubuh Narsih agar semakin dekat padanya.
"Sekar," gumamnya dengan mata tertutup.
Suara yang ternyata membuat Narsih membuka matanya pelan, wanita itu menepuk keningnya setelah ia sadar di mana ia saat ini dan sedang apa.
"Ih... berat!" keluh Narsih sambil melemparkan lengan Vano yang masih melingkar manis di pinggangnya. Devano tersentak kaget, lelaki itu langsung terduduk dengan tubuh atasnya yang polos. Dengan kuat, ia mengucek kedua matanya, memastikan keadaan apa yang baru saja terjadi.
"S-siapa kamu?" tanya Vano dengan mata menyipit melihat Narsih.
"Nenek Grandong," sahut Narsih sebal. Perlahan ia turun dari ranjang suami jadi-jadiannya.
"Kamu Narjikan?"
"Saya Wendy." Narsih benar-benar sebal dengan setiap kalimat yang keluar dari mulut Devano, benar-benar sakti.
"Eh, kamu Narsih ya? Sana cepat keluar!" Devano baru saja sadar, tangannya terangkat mengusir Narsih untuk segera keluar dari kamarnya.
"Iya, sebentar! Ini lagi pake baju dulu,"sahut Narsih ketus.
"Ayo cepat!" Devano semakin tak sabar. Jangan sampai ia menerkam istri dekilnya iji lagi, jika wanita di depannya ini terlalu lama drama memakai baju.
"Tadi saja, aduh enak, aduh enak, lagi-lagi," cemooh Narsih dengan wajah sebal melihat Devano. Lelaki itu tak bisa menyahut lagi, ia hanya membuang pandangannya dari Narsih.
"Cepat!" teriaknya lagi.
"Iya, ini juga cepat! Siapa suruh nelanjangin saya?" ketus Narsih sesaat setelah memakai pakaian lengkapnya.
Susah payah ia berjalan ke arah pintu kamar Devano. Organ intimnya sakit dan terasa bengkak. Namun, dari pada dia harus mendesah lagi, lebih baik ia keluar dari kamar Devano. Sebelum membuka pintu, kepalanya menoleh, pada tumpukan baju almarhumah istri Devano yang bernama Sekar. Sebelum mandi tadi, Narsih sempat memilih beberapa baju Sekar yang ada di lemari. Menaruhnya di atas meja kecil yang ada di dalam kamar suaminya.
Tanpa permisi, Narsih membawa tumpukan baju Sekar keluar dari kamar Devano.
"Hei, kenapa kamu bawa baju istri saya? Kembalikan ke tempatnya!" teriak Vano dengan mata berkilat merah. Langkah Narsih terhenti. Ia berbalik badan, memandang Devano dengan tatapan tak kalah garang.
"Aku ga punya baju, kalau baju ini aku pakai setiap hari tanpa dicuci, aku yakin papa kamu di bawah sana bisa mati kebauan!" ketus Narsih sambil menunjuk kaus yang ia pakai.
"Tidak bisa! Kembalikan pakaian istriku?!" titiah Vano pada Narsih.
"Terus, aku ini apa?!" tantang Narsih sambil tajam mata Devano.
"Ha ha ha Kamu itu pelacur dekil, bau lagi," tawa Devano menggema di dalam kamarnya.
Narsih menahan air matanya agar tidak tumpah, ia tidak tahu harus bagaimana dengan lelaki yang bernama Devano ini. Mencoba perlahan mengatur nafasnya yang memburu karena sakit hati dengan ucapan lelaki yang di mata agama, sah sebagai suaminya.
"Nih! Ambillah!" Narsih melemparkan tumpukan pakaian yang sudah ia pegang ke wajah Devano, hingga membuat lelaki itu berjengkit kaget.
"Narsih! Berani sekali kamu!" bentak Devano dengan amarah memuncak. Namun, wanita yang ia panggil, kini suda tidak ada di hadapannya.
Narsih berjalan cepat masuk ke dalam gudang kembali, dengan air mata yang berlinang. Ia membanting pintu, lalu mengunci kamar itu dari dalam. Tubuhnya meluruh di lantai, kedua kakinya gemetar menahan sakit di dadanya yang bagai tertusuk belati.
"Pelacur dekil katanya," gumam Narsih pilu.
"Gue dekil dan bau gini masih lu genjot aja. Sial!" ocehnya lagi.
"Dasar gila!" umpat Narsih kesal, dengan susah payah ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi, membuka pakaiannya dengan kasar, lalu mengguyur seluruh tubuhnya, berharap bekas usapan sang suami laknat ikut hanyut bersama busa sabun.
Narsih memilih mencuci pakaiannya dengan sabun mandi, begitu juga dengan pakaian dalamnya. Ia berpikir, biarlah untuk sementara, ia tidak memakai baju. Tubuhnya akan ia tutupi selimut saja, berharap besok baju yang ia cuci akan kering. Ia menjemur pakaiannya di teralis jendela.
Malam pun menjelang, perut Narsih kembali keroncongan. Maklum saja, sehabis digagahi oleh Devano, ia tentu kehabisan tenaga. Diliriknya piring makan yang masih tersisa mie goreng tadi pagi yang belum sempat ia habiskan semuanya. Narsih memilih menghabiskan mie goreng dinging yang mengeras untuk mengisi perut laparnya. Bahkan ia menjilati piring itu mie goreng sampai licin dan bersih. Setelahnya, Narsih kembali masuk ke dalam kamar mandi sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Rasa dahaga yang sangat menyiksa membuat Narsih nekat kembali minum air mentah di kamar mandi.
Sementara itu, Devano kini tengah duduk di teras rumahnya bersama dengan Jelita, seorang wanita yang dahulu pernah menjadi teman kencannya selama dua bulan, saat ia betugas di Malang. Jelita adalah wanita malam yang sangat cantik dan memesona. Dua hari lalu, tanpa sengaja keduanya bertemu di sebuah pom bensin. Dari situlah mereka kembali bertukar nomor ponsel dan saling berbalas pesan.
"Rumah kamu besar sekali, kamu tinggal sendirian di sini?" tanya Jelita.
"Iya. Terkadang ada papa yang menginap di sini," jawab Vano.
"Kamu tidak punya pembantu?"
"Ada, lagi di kamar atas. Cape aku habis suruh bersih-bersih," jawab Vano sambil melirik sekilas ke dalam rumah, tepatnya ke lantai dua.
"Aku turut berduka cita ya atas kematian istri kamu, Sekar."
"Iya, terimakasih. Tetapi hidup harus terus berjalan, Ta. Jadi aku sekarang fokus untuk mencari pendamping lagi. Sayang sekali, jika rumah besar seperti ini tidak mempunyai ratu, apalagi rajanya setampan aku," ujar Vano sambil tersenyum dan menatap sendu wajah Jelita yang kini bersemu merah.
"Ya, cari atuh."
"Ini, wanitanya sedang ada di hadapanku," goda Devano yang kini sudah menarik jemari Jelita, lalu menciumnya dengan lembut. Entah siapa yang memulai, keduanya tengah beradu bibir di teras rumah.
"Kamu maukan menjadi istriku?" tanya Devano saat baru saja melepas pagutan bibirnya, pada Jelita.
Wanita itu mengangguk malu-malu. Kini, Devano sudah menggendong Jelita masuk ke dalam rumah, membawa wanita itu ke kamar tamu. Jika wanita dan pria berada di dalam kamar bersama, tanpa ikatan pernikahan, tahukan apa yang terjadi selanjutnya?
****
Sayup-sayup, suara adzan shubuh berkumandang. Narsih membuka matanya perlahan dengan tubuh masih ditutupi selimut. Dengan tertatih ia bangun, lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Menenggak air mentah itu kembali, hingga menyegarkan ternggorokannya yang terasa begitu kering. Setelah kenyang, ia pun mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat shubuh semampunya dalam keadaan darurat.
Tuk!
Tuk!
"Buka, Narsih!" suara seseorang dari balik pintunya. Narsih memutar bola mata malasnya, dengan enggan dia berjalan membukakan pintu.
"Ada apa?" tanyanya langsung.
Devano menarik lengan Narsih masuk, lalu menutup pintu kamar. Di tangannya ada sepotong pakaian. "Pakaiklah! Buatkan sarapan untukku dan calon istriku!" titah Devano sambil melemparkan kasar pakaian itu ke depan wajah Narsih.
"Maksudnya?"
"Aku akan menikahi Jelita, wanita itu ada di dalam kamar tamu. Jangan sampai dia tahu, kamu adalah istriku. Ingat, kamu itu pembantuku," ujar Vano setengah berbisik.
"Oke."
Narsih dengan kasar mendorong tubuh Devano keluar dari kamarnya, entah tenaga dari mana, sehingga ia mampu dengan kuat mendorong Devano hingga hampir terhempas di lantai.
"Kurang ajar kamu!" pekik Devano sambil melotot tajam. Namun, sayang sekali, Narsih sudah menutup pintu kamarnya, lalu kembali menguncinya. Wanita itu mencoba mengatur nafasnya, memikirkan baik-baik ucapan Vano barusan. Ingat, dia hanya pembantu, bukan istri! Narsih mengusap air mata yang kini turun membasahi pipinya.
Ia harus kuat, lelaki itu memang di mata agama adalah suaminya, tetapi di dalam kepalanya, lelaki itu adalah manusia sampah.
Narsih memakai pakaian yang diberikan Devano. Baju model terusan sampai betis, berbahan katun. Ada juga dalaman lengkap dengan branya. Setelah ia rapi berpakaian, Narsih langsung saja turun menuju dapur. Ia mengecek isi kulkas, masih ada dua butir telur. Dengan cepat ia menggoreng telur sambil memasak nasi. Dengan cekatan, ia juga membuatkan teh untuk Devano dan juga wanita yang katanya akan menjadi istri sah Devano.
"Cuih." Narsih meludahi teh hangat di dalam teko, lalu mengaduknya dengan cepat, sambil sesekali melirik ke atas. Jangan sampai Devano tahu apa yang baru saja ia lakukan. Narsih juga meletakkan piring nasi hangat dengan telur goreng di bawah roknya. Entah apa maksud dirinya melakukan hal ini, bisik hatinya yang terlanjur sakit membuat ia nekat melakukan hal yang tidak baik.
"Semoga, kedua orang yang minum air teh ini dan makan nasi ini, ketiban sial sepanjang hari," rapal Narsih sangat pelan.
Untung saja, ia sempat membuat mie rebus tadi. Juga membuat teh manis untuk dirinya. Sehingga rasa lapar di perutnya dapat mereda, saat ia menghabiskan sarapannya dengan cepat. Bahkan ia memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam celananya, buat stok nanti siang, jika ia tidak diberi makan lagi.
Devano turun dari lantai dua sambil menggandeng mesra wanita cantik. Apa Narsih cemburu? tidak! Malah ia sangat mengasihani wanita yang mungkin tidak akan berumur lama setelah pernikahannya dengan Devano.
"Makanannya sudah siap, Giyem?" tanya Devano pada Narsih yang telah mengganti nama Aminarsih menjadi Giyem. Narsih tersenyum miris sambil menahan kesal.
****
Narsih memilih keluar dari ruang makan, ia berjalan menuju taman belakang, untuk mengangkat jemuran yang kemarin ia jemur. Sesekali melirik ke dalam ruang makan, sambil tersenyum licik. "Makan tuh iler gue," ledeknya sambil menahan tawa. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya dengan menyetrika pakaian yang ada di dalam keranjang. Entah berapa abad sang suami laknat tidak menyetrika pakaiannya. Tumpukan pakaian begitu banyak di dalam empat bak besar bewarna hitam.Huk!Huk!Suara batuk-batuk wanita terdengar dari ruang makan. Narsih tersenyum sambil memainkan matanya, barisan gigi kuningnya ia perlihatkan pada tumpukan pakaian yang audah mengantre minta disetrika."Alhamdulillah," gumamnya, lalu melanjutkan aktifitas main mobil-mobilan.Huk!Huk!Kini suara batuk Devano yang terdengar nyaring, bahkan kini keduanya saling batuk bersahutan."Emang enak, kena corona, ha ha ha hi hi hi," Narsih tertawa geli menutup mulutnya."Giyem!
Memang dasar wanita, tubuh masih terasa panas, serta terus saja terbatuk-batuk, tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk berbelanja di mall. Apalagi sudah memegang kartu sakti unlimited, maka ia akan berbelanja sepuasnya dan penyakitpun hilang.Sambil mendorong troli belanja yang sudah penuh barang belanjaan, sesekali juga ia mengecek ponselnya, belum ada kabar dari Devano, padahal lelaki itu berjanji menjemputnya. Tidak mungkin ia membawa berkantong-kantong belanjaan barang dapur sambil membeli baju dan sepatu."Ck,mana sih?" matanya terus saja mencari keberadaan Devano yang tidak kunjung terlihat."Dasar Giyem aneh! Masa calon majikan disuruh beli udang, ikan, telur, gula, beras, dan masih banyak lagi. Hadeeeh," gerutu Jelita sambil menggelengkan kepala.Jelita memutuskan untuk masuk ke antrean kasir yang sudah kosong, dengan mahir sang kasir menghitung satu per satu barang belanjaan Jelita, lalu dimasukkan ke dalam goodie bag besar sebanyak tiga kanto
Narsih terbangun dari tidurnya, saat adzan shubuh berkumandang. Dengan malas ia menoleh pada lelaki yang menjadi suaminya kini, ada air liur yang menetes di sudut bibir lelaki itu karena tidur dengan mulut terbuka. Mati-matian Narsih menahan tawanya. Dasar aneh! Pikirnya. Dengan perlahan, Narsih masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan juga menyikat giginya dengan telunjuk. Karena sikat gigi pesanan Narsih tidak dibeli oleh Jelita. Setelahnya, ia kemudian berwudhu dan melaksanakan sholat shubuh seadanya karena tidak ada mukena di rumah keluarga Devano ini.Devano masih terlelap, sambil sesekali tersenyum dalam tidurnya. Narsih yang memperhatikan tingkah suaminya, tentu saja tersenyum kecil. Mulut saja yang pedas, wajah polosnya seperti anak PAUD lagi mimpi dibelikan es krim, gumam Narsih sebelum ia akhirnya keluar kamar. Narsih melewati kamar wanita calon istri kedua suaminya. Masih sepi tiada suara apapun di sana.Narsih melanjutkan aktifitasnya menyalakan me
Tuk!Tuk!Tuk!"Vano...Giyem! Buka pintunya!" teriak Jelita dari luar kamar Devano. Jelita menunggu dengan gelisah, sambil menggigit kukunya dengan kasar, ia kembali mengetuk pintu kamar Devano.Bugh!Bugh!Kali ini ia menggunakan kepalan tangannya untuk menggedor pintu kamar Devano dengan keras."Non, sini!" Pak Samsul menarik Jelita menjauh dari depan kamar majikannya."Lepas! Ngapain sih, pegang-pegang?" Jelita menghempaskan tangan Pak Samsul yang memegang lengannya."Ck, jangan ganggu Tuan dan Nyonya Devano," bisik Pak Samsul dengan ekor mata melirik kamar Devano."Maksud kamu apa? Siapa yang nyonya di sini?""Itu Narsih, istri Tuan Devano.""Siapa Narsih?""Narsih itu yang Non panggil Giyem. Dia istri sah Tuan Devano baru seminggu nikah.""Lha, bukannya Devano duda?""Siapa bilang? Tuan Devano sudah menikah kembali sepekan yang lalu dengan Aminarsih.""Tahu gak, kenapa Tuan
Plaak!Plaak!"Berani sekali kamu mau kabur, hah!" teriak Devano di depan wajah Narsih. Dua tamparan dari sang suami membuat kedua sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Narsih tak gentar, walau darah semakin banyak menetes mengotori lantai. Narsih dengan berani menatap wajah lelaki yang masih berstatuskan suaminya. Mencari sorot rasa kasihan di sana, namun sayang, Narsih tidak menemukannya. Lelaki itu benar-benar membenci dan hanya memanfaatkannya saja.Pak Broto yang memergoki Narsih saat hendak kabur, hanya memperhatikan perlakuan anaknya dari balik kaca mata, tanpa komentar. Ia membiarkan Devano melakukan apapun pada wanita yang berstatus istri siri dari anaknya itu."Berani kamu tatap saya!" bentaknya lagi, bahkan tangannya kini mencengkeram dagu Narsih dengan kuat."Saya sudah bilang, kenapa tidak kamu bunuh saja saya?" tantang Narsih berbicara dengan mulut yang sangat sakit."Oke, kalau itu mau kamu. Saya akan bunuh kamu, tapi perlaha
Rumah besar yang terlihat kokoh itu, kini rata dengan tanah. Semua barang hangus terbakar, tidak ada yang dapat diselamatkan termasuk berkas-berkas penting, dua mobil mewah Devano, satu motor Harley miliknya, serta satu mobil sport milik Pak Broto, semua hangus terbakar dilalap si Jago Merah. Bahkan memerlukan enam mobil pemadam kebakaran untuk mematikan api tersebut. Tetapi anehnya, begitu api sangat besar melahap rumah Devano beserta isinnya, namun tidak mengenai bangunan tetangga kanan dan kirinya, bahkan asapnya saja tidak tercium para tetangga."Kapan kebakarannya? Kok kita tidak tahu," celetuk seorang ibu dari depan rumahnya."Iya, Nya. Padahal lima belas menit lalu, saya buang sampah di depan, Nya, tetapi tidak ada api," sahut pembantu si ibu sambil bergidik ngeri."Seram ya, Ma. Ayo kita masuk!" sela seorang lelaki muda pada ibunya."Dibakar jin kali," celetuk tetangga yang lainnya.Semua tetangga satu per satu meninggalkan Devano yan
Narsih terbangun dari tidurnya, saat mendengar suara klakson mobil begitu nyaring. Sigap ia berdiri, untuk melihat siapa yang ada di luar sana. Jauh sekali, itu yang dilihat oleh Narsih saat ini. Sepertinya rumah tempat ia berada saat ini berada di atas gunung, sehingga pemandangan area sekitar terlihat berada di bawah.BughBugh"Tolong!" teriak Narsih."Tolong!" teriaknya lagi.Namun, bagaikan angin saja yang menangkap suaranya. Tidak ada siapa pun yang menyahut. Dari tempat Narsih berpijak saat ini, dapat dilihat dengan jelas, begitu banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Walaupun tidak seramai ibu kota, tetapi tetap saja keadaan ramai. Mobil, motor, orang bersepeda, bahkan para pejalan kaki tampak jelas di mata Narsih. Sungguh di sayangkan, mereka sangat jauh dari jangkauan. Hanya dengan TOA masjid mungkin, baru akan terdengar.Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Gumam Narsih kembali dengan air mata yang jatuh satu per s
"Cih, dasar belagu! Dasar kamunya aja yang ga bisa membuat senjataku naik," umpat Devano setelah wanita penghibur itu keluar dari kamar yang disewa Devano.Cepat lelaki itu mengambil ponselnya, lalu memencet nomor Mami yang biasa ia gunakan sebagai perantara untuk mendapatkan kepuasan ranjang.[Hallo, Mi. Kirim lo***e yang benar dong. Masa amatiran yang dikirim ke saya. Mami kan dah saya bagi panjer dua juta.][Lho, dia bintangnya di rumah Mami lho, masa gak bisa bikin kamu puas?][Iya, senjataku tidak mau bangun lagi][Ada yang sumpahin kali. Ha ha ha ha... bercanda Vano. Tunggu sebentar ya. Lima belas menit lagi Mami kirim yang paling bagus]Vano melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Ia memilih memejamkan mata sesaat, sebelum bertempur dengan wanita penghibur. Baru mulai terlelap, suara bel kamarnya berbunyi. Masih tanpa busana, Devano berjalan ke arah pintu, lalu membukanya lebar."Masuk!" titahnya pada wanita cantik nan seksi yan
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira