Keduanya sama-sama terlelap dalam tidur.Bahkan Dinda sampai terkejut saat terbangun di pagi hari menyadari bahwa tidur di atas dada Dimas dengan begitu nyamannya.Membuatnya pun perlahan bangkit.Begitu juga dengan Dimas yang mulai terusik dengan pergerakan Dinda."Aku nggak bawa pakaian, aku pulang dulu, ya," kata Dinda."Pesan saja!" Dimas pun menarik Dinda agar kembali tidur di sampingnya.Dinda yang terkejut pun akhirnya kembali berbaring di samping Dimas."Aku harus bangun," kata Dinda lagi sambil berusaha untuk bangkit kembali."Nanti saja, temani aku tidur sebentar lagi saja," pinta Dimas.Dimas sedang malas untuk berangkat ke kantor berhadapan dengan banyaknya pekerjaan.Melelahkan sekali.Suara ponsel Dinda pun berdering membuatnya pun segera melepaskan diri dari pelukan Dimas."Kenapa kau lebih perduli pada ponsel mu?" tanya Dimas yang kesal pada Dinda."Apaan sih? Kamu makin hari makin nggak jelas!" gerutu Dinda dan segera meraih ponselnya yang tergeletak asal di sampingn
Dimas pun tidak bisa diam saja.Dia pun segera mencari keberadaan Dinda sendiri.Percuma mengandalkan Gilang yang menurutnya sangat tidak becus itu.Sampai satu jam berlalu Dimas terus mencari Dinda hingga ke rumah orang tuanya tapi tidak ada.Membuat Dimas semakin pusing dan tak bisa berpikir jernih.Sampai akhirnya dia melihat Dinda duduk di sisi jalanan menikmati es krim bersama dengan Kiara.Dimas pun menepikan mobilnya dan segera turun untuk menghampiri.Dinda yang tengah menikmati es krim di tangannya pun mulai melihat siapa yang berdiri di hadapannya.Huuuufff!Dinda pun menarik napas panjang kala melihat Dimas yang menghampirinya."Dinda, aku duluan," pamit Kiara."Kemana? Aku ikut!" kata Dinda dan ingin menyusul Kiara.Tetapi Dimas langsung memegang lengannya membuat langkah kaki Dinda pun harus terhenti."Mau kemana?" tanya Dimas."Mau jauh-jauh dari kamu, aku pusing setiap hari harus ribut sama kamu.Belum lagi sikap tempramental mu yang bikin aku muak!" jawab Dinda.Dinda
"Ish, ngapain sih ngeliatin aku begitu?" kesal Dinda merasa semakin tidak nyaman dengan tatapan mata Dimas.Sedangkan Dimas hanya diam saja sambil terus memperhatikan Dinda yang tengah fokus memasak.Akhirnya Dinda berhasil membuat beberapa masakan meskipun kesal karena Dimas terus saja memperhatikan dirinya.Hingga kini sudah tersaji di meja makan.Itupun Dimas masih saja mengikuti langkah kaki Dinda kemanapun Dinda berjalan.Entahlah.Menurut Dinda sepertinya Dimas butuh psikiater atau psikolog atau bahkan orang pintar agar membuat otaknya lebih baik.Dan Dinda pun langsung mengisi piring Dimas terlebih dahulu sebelum mengisi piringnya."Kenapa kamu pinter masak?" tanya Dimas sambil mulai mengunyah makanannya."Aku ini pembantu, sering juga ikut Ibu untuk masak di rumah keluarga Hermawan," jawab Dinda.Dimas pun mengangguk mengerti."Dulu juga aku sering masak kamu aja nggak tahu.Tahunya marah terus sama semua pembantu," omel Dinda.Mengingat Dimas yang hanya bisa marah-marah.Bahk
"Ngapain sih nempel mulu?! Memangnya kamu nggak kerja?" Dinda kesal sekali pada Dimas yang mendadak berusaha untuk mendekatinya.Bahkan saat mencuci piring saja harus sedekat ini.Bagaimana mungkin Dinda bisa segera menyelesaikan pekerjaan jika Dimas terus melingkarkan tangannya pada perut Dinda.Belum lagi napas hangat pria itu berhembus di tengkuk leher Dinda.Rasanya seperti ada yang membiusnya dan membuatnya menjadi tidak karuan saja."Sana jauh-jauh!" Dinda pun melepaskan diri sampai akhirnya ponsel Dimas berbunyi.Saat itu Dimas pun segera menjawabnya dan menjauh dari Dinda.Membuat Dinda merasa lega.Tapi Dinda melihat raut wajah Dimas begitu serius berbicara dengan seseorang di sana.Tetapi, Dinda tidak perduli sama sekali.Hingga Dimas pun kembali menghampirinya."Aku ke kantor sebentar, kamu di rumah saja," kata Dimas.Dinda pun mengangguk setuju rasanya bebas tanpa Dimas yang terus saja berusaha untuk dekat dengan dirinya.Namun, saat sebelum pergi Dimas kembali menghampir
Dinda yang berada di rumah pun akhirnya mendapatkan apa yang dia cari.Kotak obat.Bahkan sudah membalut tangannya dengan perban kecil.Tak lama berselang Dinda mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat padanya.Dia pun menebak jika itu adalah Dimas.Dinda memilih diam sambil duduk di sofa dengan televisi berukuran besar menyala di depannya."Kamu sedang apa?" tanya Dimas yang kini duduk di samping Dinda.Ah, tebakan Dinda benar sekali.Tapi belum sempat menjawab Dimas sudah melihat tangannya."Tangan kamu kenapa?" tanya Dimas lagi dengan tatapan mata yang tertuju pada perban di tangan Dinda.Sebelumnya tidak ada.Setelah itu Dimas ikut duduk di samping Dinda."Kamu nggak tahu ini apa? Ini perban!" jawab Dinda dengan malas.Tentunya malas karena secara tidak langsung Dimas yang menjadi penyebabnya."Maksudnya kenapa?" tanya Dimas lagi."Tadi ada sedikit kecelakaan kecil waktu cuci piring," jawab Dinda.Tentu saja karena terkejut dengan sikap Dimas yang begitu aneh.Tetapi, ti
"Sedikit-sedikit ketawa, nggak jelas banget!" gerutu Dinda.Dimas tidak perduli pada ucapan Dinda.Saat itu juga Dinda memilih untuk segera pergi menuju kamar.Tidak baik untuk kesehatan berlama-lama bersama Dimas.Selain karena dirinya yang selalu tegang, Dinda juga bisa mati berdiri karena jantungan akibat perlakuan Dimas yang aneh.Aneh menurut Dinda yang tidak terbiasa."Dinda, kamu mau ke mana?" tanya Dimas yang melihat Dinda pergi."Mau menyelesaikan tugas kampus!" jawab Dinda asal.Apapun alasannya ia harus menghindari dirinya dari Dimas.Benar saja Dimas tak lagi bertanya apa lagi mengganggu Dinda yang kini berada di dalam kamar.Dinda pun sibuk dengan ponsel barunya.Dengan terpaksa harus menerima ponsel dari Dimas karena kebutuhan.Sedangkan Dimas sibuk dengan laptopnya di ruang santai ditemani dengan secangkir kopi.Dua jam kemudian.Dimas melihat arah pintu kamar yang terbuka setengahnya.Perlahan Dimas pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar ternyata Dinda sed
"Kita belanja apa sekarang?" tanya Dimas.Sebab, sejak tadi Dinda hanya duduk diam di sampingnya.Pikiran Dinda masih saja melayang jauh karena perlakuan Dimas yang sangat berbanding terbalik dengan sebelumnya.Bahkan Dimas terkesan menghindari perdebatan padahal Dinda sadar yang sering kali memancing keributan."Keperluan dapur dulu," jawab Dinda.Dimas pun mengerti dan mencari tempat perbelanjaan terdekat.Apa lagi hari sudah gelap.Bahkan Dimas juga membuka pintu mobil untuk Dinda.Setelah sampai di sebuah pusat perbelanjaan.Dimas membantu mendorong troli belanja.Sedangkan Dinda sibuk memilih barang yang dia butuhkan.Dinda tidak pusing dalam kebingungan karena sudah terbiasa dengan urusan dapur.Bahkan Dinda sendiri sudah sering kali bersama dengan Kinara membantu berbelanja untuk keluarga Hermawan.Jadi Dinda benar-benar tahu barang-barang seperti apa yang harus dia beli.Bagus, berkualitas dan tidak perduli harga.Terkadang Dinda tidak mengerti mengapa orang kaya bisa membeli
Dinda tidak ingin merebut kebahagiaan Moza.Bagaimana pun Moza adalah anak Dimas sedangkan dia hanyalah orang baru.Dinda langsung bersembunyi saat melihat Moza berjalan ke arah Dimas.Menghindari perkelahian yang pastinya akan terjadi.Dinda tidak mau menjadi perusak hubungan antara ayah dan anak itu.Bahkan Dinda masih bisa mengingat dengan jelas seperti apa bahagianya Moza saat bersama dengan sang ayah.Berbeda jauh jika ada dirinya diantara mereka, hanya ada sebuah hinaan yang keluar dari mulut Moza.Dinda sadar hanya menjadi beban di dalam hidup sahabatnya Moza.Jika saja bisa Dinda juga sudah memilih untuk pergi.Sayangnya bukan pergi yang kini menjadi pilihannya.Malahan didesak untuk segera mengandung darah daging keluarga Hermawan.Ini semakin membingungkan saja.Ting!Ponsel Dinda pun berbunyi membuatnya tersadar dari pikirannya.Ternyata Dimas yang menghubungi dirinya."Halo," jawab Dinda sambil melihat sekitarnya.Dinda sedang menunggu angkutan umum untuk ditumpangi di sis
Kadang kala mendengar kebagian orang lain kita juga ingin merasakan seperti mereka. Namun, saat bahagia itu tiba tentu saja ada perjalanan yang penuh kerikil yang harus dilewati. Begitu pun juga dengan Dinda, awalnya dia juga menolak pernikahan paksa ini. Tapi takdir tetap saja membawanya untuk menjalaninya. Pernikahan yang tidak dia inginkan itu pula yang membawanya bertemu pada kedua orang tuanya. Hingga sadar bahwa dia tak lagi sendirian melewati semuanya. Belum lagi cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dimas begitu besar. Meskipun perbedaan usia yang terbilang cukup jauh tapi bukan menjadi masalah untuk hidup terus berdampingan. Hingga kini mereka memiliki anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Meskipun Dinda adalah ibu tiri untuk sahabatnya sendiri, tapi tidak membuat kedua merasa canggung. Moza yang awalnya menentang pernikahan ayahnya dan sahabatnya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Apa lagi kenyataan pahit yang harus dia terima, bukan anak kan
Tuuut!!! Terdengar suara kentut yang cukup keras dan berasal dari Dinda. Membuat baby twins D seketika terjaga dan menangis keras. Padahal sudah payah Dinda menidurkan kedua bayinya itu. Tapi karena perkara kentut yang tak bisa dikondisikan malah membuat kedua bayi itu terusik. "Sayang," Dimas yang telah menunggunya sejak tadi di kamar pun memilih untuk segera menyusul ke kamar anaknya. Ternyata kedua anaknya tengah menangis keras. "Ada apa? Apa anak-anak rewel?" tanya Dimas. "Ini gara-gara kentut, tadi mereka udah tidur. Tapi Dinda malah kentut, mana suaranya keras banget. Bikin anak-anak kebangun," kesal Dinda. "Ahahahhaha," Dinda pun tertawa lucu mendengar ucapan Dinda, "kamu ini ada-ada saja, ayo tidurkan anak-anak dengan cepat, apa iya kita kalah sama pengantin baru itu," ujar Dimas. "Pengantin anak itu?" Dinda sepertinya bingung dengan maksud Dimas. "Sahabat mu itu dan Chandra, itu saja tidak tau!" "O, kirain tadi siapa. Ya, biarin aja mereka kan udah lam
"Baiklah, kamu tidur duluan, Mas mandi dulu, gerah," kata Chandra. Kiara mendengar suara gemerincing air dari kamar mandi. Saat itu Kiara pun segera keluar dari kamar. Dia pun pergi ke kamar Ibunya yang bersebelahan dengan kamarnya. "Ada apa?" tanya Diana. Awalnya Diana mengira jika saja Kiara sudah tidur. Ataupun mungkin saja terjadi hubungan antara suami dan istri dan rasanya itu sangat wajar. "Apa Mikayla rewel, Bu?" tanya Kiara yang hanya ingin membuat sebuah pertanyaan asal. Padahal dia sudah melihat sendiri jika saat ini anaknya tengah begitu terlelap dalam tidur di atas ranjang dengan Farhan yang juga berbaring di sampingnya. "Cucu Ibu baik-baik saja, kamu mendingan balik ke kamar mu, biasanya juga cucu Ibu tidurnya sama, Ibu," ujarnya. Karena Mikayla tidak minum asi, sehingga tidak sulit jika pun terus bersama dengan dirinya. "Oh," Kiara bingung harus beralasan apa lagi agar tetap berada di sana. Tapi jika bisa dia ingin tidur di kamar ini saja bersama
Kiara pun kini sudah berada di dalam kamar setelah pesta selesai. Malam ini semua keluarga menginap di hotel milik keluarga Chandra. Dimana pesta pun dilangsungkan di hotel tersebut. Kiara tidak tau apa yang terjadi padanya hari ini akan membawa kebahagiaan atau tidak nantinya Dia hanya sedang berjuang untuk putrinya, untuk terus bersama. Kini dia sedang berada di dalam kamar mandi, setelah selesai segera keluar dengan memakai piyama dan handuk putih yang membalut rambutnya. Saat itu matanya pun tertuju pada sebuah kado milik Dinda yang ada di sudut kamar. Dia sudah penasaran sejak tadi, apa lagi kini hanya sendiri saja di kamar. Membuatnya pun segera mengambilnya dan membawanya ke atas ranjang agar dia bisa duduk dengan nyaman. Tangan Kiara tampak bergerak melepaskan pita kado, kemudian bergerak membuka kotaknya. Mata Kiara pun melebar sempurna setelah melihat apa yang ada di hadapannya. "Tisu ajaib?!" tanya Kiara yang bingung. Meskipun sebelumnya sudah pernah
"Kamu masih ragu?" "Aku nggak tau, soalnya kamu aneh." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi Mas boleh ngomong langsung ke Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, Kiara juga setuju." *** Seperti yang dikatakan oleh Kiara, Chandra pun langsung berbicara pada kedua orang tua Kiara mengenai keinginan untuk rujuk kembali dengan Kiara. Dengan cara baik-baik tanpa ada beban yang tersimpan. "Diana, Farhan, terlepas dari masa lalu kita. Kini Kiara adalah ibu dari anak ku. Aku ingin anak ku dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, memiliki orang tua yang lengkap." "Untuk itu aku mohon dengan sangat untuk mengijinkan aku dan Kiara menikah lagi, aku pun akan membahagiakannya," pinta Chandra. Farhan dan Diana pun tidak dapat lagi berkata-kata, sebab sudah menyaksikan sendiri seperti apa menderitanya Kiara selama beberapa bulan ini hamil tanpa suami. Mana mungkin dia kembali membiarkan putrinya kehilangan bayinya yang dibawa oleh Chandra. Sebab, kembali bersama adalah cara satu-satunya untuk men
"Boleh saya masuk?" tanya Chandra yang kini berdiri di depan pintu kamar. Kiara pun bingung harus menjawab apa. Iya atau tidak? Apa lagi kini keduanya hanya orang asing, bagaimana mungkin hanya berdua saja di dalam kamar tersebut. "Masuk saja," sahut Diana yang muncul dari arah belakang dan kini dia telah masuk terlebih dahulu dengan membawa makanan hangat untuk putrinya, Kiara. Sesaat kemudian Diana pun segera keluar dan kini Chandra pun mulai melangkah masuk. Kedua tangannya tampak memegang paper bag berisi perlengkapan bayi. Mulai dari susu, diapers, tisu, pakaian bayi dan lainnya. Kiara juga merasa tidak mampu untuk membeli susu formula dengan harga yang begitu mahal. Karena anaknya tidak tidak bisa minum susu formula sembarangan. Selain untuk perkembangan juga karena alergi. Kiara semakin stres memikirkan uang untuk bisa membeli susu formula untuk anaknya sendiri. "Boleh saya menggendongnya?" tanya Chandra lagi. Kiara pun perlahan memberikan pada Chandra
"Hay," Dinda dan Moza pun menjenguk Kiara dan bayinya yang sudah dibawa pulang ke rumah. Tentunya perasaan Kiara kini begitu bahagia melihat wajah bayi mungilnya yang sangat menggemaskan. "Kamu kapan hamilnya?" tanya Moza yang begitu penasaran. "Tau-tau udah lahiran aja," Dinda pun ikut menimpali. Kiara pun tersenyum mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Dia juga menyadarinya tapi selama hamil dia hanya di rumah saja menikmati kesendiriannya. Sedangkan dua sahabatnya juga sibuk dengan mengurus bayi mereka, bahkan sambil kuliah juga. Kegiatan yang begitu padat membuat mereka benar-benar hanya fokus pada kesibukan masing-masing. Berbeda dengan Kiara yang hanya di rumah saja hingga mereka tidak pernah bertemu. Apa lagi rumah mereka yang cukup berjauhan. "Pantesan waktu aku lahiran kamu gemukan, taunya isi," Moza pun mengingatkan kembali saat itu. Begitu juga dengan Dinda yang tidak lupa saat itu sempat berkomentar tentang penampilan Kiara dan bentuk tubuh yang berbed
Chandra tidak lagi peduli akan status perceraian mereka berdua. Kini dia harus melihat keadaan putrinya, menjaganya hingga nanti akhirnya dokter mengatakan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan Chandra pun tidak peduli pada Diana dan Farhan yang selama ini menentang hubungan antara dirinya dan juga Kiara. Sebab, Chandra sudah terlalu merasa bersalah pada bayinya. Bayi yang lucu itu dia beri nama Mikayla Chandra Winata. Bahkan Chandra tidak mempertanyakan sama sekali kebenaran tentang dirinya yang ayah kandung bayi itu atau bukan. Karena Chandra bisa melihat wajahnya dalam wajah bayi itu. Jika pun Kiara yang tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bayinya nanti, justru Chandra yang tidak percaya. "Kiara, biarkan bayi itu bersama ku saja, aku yang akan merawatnya, dan membesarkannya," pinta Chandra. Chandra akan melakukan segala cara untuk bisa menebus kesalahannya terhadap bayinya. Sebab, baru mengetahui saat bayi itu lahir. Bahkan setiap kali melihat bayi Mikayla seketik
Chandra tidak ingin banyak bertanya untuk apa uang yang diminta oleh Kiara. Bahkan dia juga cukup terkejut melihat nama Kiara yang muncul dilayar ponselnya. Awalnya Chandra tak percaya, tapi begitulah adanya. Bahkan saat sedang rapat pun dia tetap menerima panggilan telepon. Mungkin jika bukan Kiara yang menghubungi dia tak akan menjawab karena masih dalam rapat penting. Dan untuk mendengar suara Kiara saja rasanya sangat dirindukannya. Walaupun hanya sebentar saja mendengarnya. Bahkan dia langsung mengirimkan uang tanpa tau sebenarnya berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh Kiara. Apakah uang itu cukup atau tidak. Chandra tidak tau. Hingga akhirnya kini Chandra selesai rapat. Dia duduk di ruangannya dengan perasaan yang penuh tanya. Dia ingin menghubungi Kiara kembali, tetapi ragu. Akhirnya dia pun hanya diam sambil terus memikirkan tentang Kiara. Bahkan kini sudah malam tapi dia masih saja berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang tanpa sebab yang