“Maaf itu salahku aku tadi tidak hati-hati dan menumpahkan saus di sana,” kata Ana.
Bella bisa sangat kejam jika dia mau tak peduli hanya kesalahan kecil yang diperbuat orang lain, Ana tidak ingin karena kesalahannya, asisten rumah tangga di sini yang akan jadi korban apalagi kalau mereka sampai dipecat gara-gara dirinya.“Kamu sengaja ya!”“Sengaja bagaimana, aku saja baru tahu kalau sausnya tumpah,” kata Ana tak terima.Para pekerja rumah ini langsung berkumpul begitu mendengar suara keras Bella, mereka hanya berdiri dalam diam tak bisa membantu apapun, di rumah ini memang Bella adalah nyonya rumah dan memberikan mereka gaji, apalagi mereka juga tahu kalau posisi Ana di sini adalah istri kedua yang hanya diharapkan melahirkan anak untuk tuan mereka saja.“Alasan kamu pasti sengaja melakukannya, dan membuatku buruk di mata orang lain, licik kamu Ana, kamu sudah merebut suamiku dan sekarang kamu bermaksud memfitnahku.”Ana tAna mengobrak abrik laci nakasnya, dia sangat yakin menyimpan naskah yang diberikan Adam di sana. “Kok nggak ada, apa mungkin aku bawa ke rumah nenek,” gumam Ana. Adam yang baru saja menghubunginya untuk menanyakan naskah yang dia berikan pada Ana, sebenarnya bisa saja Adam meminta naskah sekali lagi pada sutradara atau penulis naskahnya, tapi masalahnya adalah naskah milik Ana sudah dia coret-coret dengan beberapa catatan yang menurutnya bisa membantu untuk membuat drama ini lebih hidup. Ana tentu saja tidak bisa untuk tidak menghubungi Adam lagi seperti yang diminta Raffael, dia memang sangat mencintai Raffael dan ingin menjadi istri yang pantas untuk laki-laki itu, tapi tetap saja dia juga tidak bisa menjalankan perintah yang sama sekali tidak logis seperti itu. Meski Raffael tidak mau mengakuinya, Ana adalah istrinya, bukan pegawainya atau orang bayarannya yang akan menjalankan perintahnya tanpa ada pertanyaan. Baginya bicara den
Ana mengusap air matanya yang mengalir deras di pipinya, di sampingnya bibi juga memandangnya dengan tatapan yang sendu. Wanita tua itu juga akhirnya tak sanggup menahan air matanya, tapi sedapat mungkin dia mengalihkan rasa sedihnya, dia tidak boleh ikut menangis. “Mbak Ana baik-baik saja? atau mau saya ambilkan minuman atau makanan?” tanya bibi menawarkan bukan apa-apa dirinya juga sudah tak kuat melihat itu semua. Ana menatap bibi sejenak yang juga sudah berurai air mata di sampingnya, “Tidak perlu, Bi, saya baik-baik saja,” kata Ana pelan. Bibi menatap Ana sebentar lalu matanya kembali memandang ke depan, dan air matanya sudah tak bisa dibendung lagi, dia menangis terisak-isak, begitu juga dengan Ana yang ada di sampingnya. “Benar-benar menyedihkan ya, Bi, artis itu sukses memainkan perannya dengan baik,” kata Ana sambil menyeka air matanya. “Benar, Mbak, dia sudah ditinggalkan ibunya sejak kecil susah payah mencari keb
“Kamu sedang apa?” tanya Raffael yang melihat Ana sedang duduk di kursi taman belakang rumahnya, di pangkuan wanita itu ada sepiring buah-buahan yang telah di siram bumbu. Raffael tahu mungkin saja Ana tengah ngidam makanan itu, tapi haruskah malam hari begini. Ana hanya menatap Raffael sejenak dan menggeser duduknya, untuk memberi tempat pada sang suami, tapi laki-laki itu diam saja dia hanya berdiri mengamati Ana. “Ini namanya rujak, kamu mau/” tawar Ana, saat tatapan Raffael jatuh ke piringnya. “Aku tidak seudik itu, tentu saja aku tahu makanan apa itu.” Ana hanya mengangguk dan meneruskan makannya, tidak dipedulikannya lagi Raffael yang masih lekat menatapnya. “Naskah apa yang kamu bicarakan tadi?” tanya Raffael akhirnya. Ana memang tadi sempat menanyakan naskahnya yang hilang pada Bella, tapi diluar dugaan wanita itu malah marah kepadanya, dan jika wanita itu marah Raffael tentu saja akan marah juga kepadanya
“Tunggu, Mbak mau kemana, bapak sedang ada meeting dengan klien!” seru sekretaris Raffael yang tergopoh-gopoh menahan Bella. Tapi laki-laki itu kalah cepat dengan Bella yang langsung menerjang masuk ke ruang kerja Raffael. Tiga orang laki-kaki yang ada di sana sangat terkejut dengan kehadiaran sang bintang yang sudah berderai air mata, mereka memandang Raffael dengan penuh selidik, yang membuat laki-laki itu menghela napas gusar, baru kemarin istri dan orang tuanya mengumumkan kehamilan Ana dan sekarang Bella masuk dengan wajah yang berderai air mata, yang mereka pikirkan hanya satu ‘affair’ “Ehm mohon maaf sepertinya saya ada masalah yang mendesak,” kata Raffael pada dua orang tamunya, dia sungguh malu dengan tingkah laku Bella, tapi melihat sang istri juga berderai air mata, hatinya tidak tega juga, pasti ada hal yang sangat mendesak yang terjadi tidak biasanya Bella berbuat seperti ini. Dua tamu Raffael langsung beranjak berdiri, sedikit mereka melirik Bella saat melewati wanit
Ana kembali masuk ke dalam kamarnya dengan hati yang gamang, dia tak tahu sebenarnya di mana salahnya, dan kenapa dia yang harus mendapat hukuman. Searang Apa yang harus dia lakukan, Ana memang bukan orang yang merasa kalau ponsel adalah bagian hidupnya sehingga kemana-mana harus dia bawa serta, tapi tetap saja, dia butuh benda itu untuk menghubungi orang-orang terdekatnya. Ana segera bangkit berdiri begitu ingat kalau neneknya menghubungi tadi, tapi masalahnya dia sama sekali tak ingat nomer telepon neneknya. Bergegas Ana ke kamar Raffael dan mengetuk pintu kamar suaminya itu. “Raf... Raffael buka pintunya sebentar. Raf... tolonglah sebentar saja.” Ana terus mengetuk pintu itu bahkan air matany sudah mengalir, dari luar kamar ini dia bisa mendengar ponselnya berbunyi lagi, mungkinkah dari neneknya lagi? Apa terjadi sesuatu dengan neneknya? Tidak biasanya dia menelpon jam segini dan terus menerus. Tak sabar dengan Raffael yang tidak juga membuka pintu untuknya, Ana kembali meng
Bagi Ana nenek adalah segalanya, wanita yang dengan tulus menyayanginya dan selalu membelanya dulu, bahkan saat dia dikatakan adalah anak pembawa sial yang menyebabkan orang tuanya meninggal dalam waktu yang bersamaan, sehingga tidak ada seorang pun dari keluarga ayahnya yang mau mengasuhnya, padahal keluarga sang ayah tergolong orang yang mampu. Hanya nenek, ibu dari almarhum ibunya ini yang dengan tulus merawatnya, meski dalam keadaan serba kekurangan sekali pun. Dan sekarang mendapati sang nenek yang sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja membuatnya cemas luar biasa. Dalam perjalanan tadi dia sudah mencoba pura-pura untuk kuat karena tahu tidak ada seorang pun tempatnya untuk bersandar, tapi sekarang dengan adanya Adam yang sudah seperti kakaknya sendiri, membuat kondisinya yang rapuh itu hadir lagi, apalagi dengan kata-kata lembut menenangkan Adam. “Menangislah siapa tahu dengan menangis kamu bisa sedikit lega, nenekmu masih ditangani di dalam jadi masih ada waktu.” Ad
Villa mewah yang biasanya tampang sepi dan tenang itu, hari ini terlihat sangat ramai, berbagai kesibukan ada di sana, mulai dari pemasangan hiasan dinding, juga berbagai menu makanan yang disiapkan. Dari banyaknya makanan juga luasnya tempat pesta, tentu saja ini bukan pesta biasa, terlihat juga banyak laki-laki berbadan tegap yang berdiri berjajar di sepanjang pintu masuk tentu para tamu bukan dari kalangan biasa. “Luar biasa, pasti pestanya nanti lebih besar dari acara ulang tahun stasiun televisi, padahal ini hanya syukuran untuk drama terbaru saja, XAM memang luar biasa mendukung artis-artisnya,” kata salah seorang panitia yang menyiapkan acara ini. “Bukan artis-artisnya, tapi ini memang khusus ditujukan untuk Isabella.” “Isabella, artis pendatang baru yang kabarnya banyak menerima job akhir-akhir ini?” tanya yang lain. “Iya, wah beruntung sekali wanita itu bisa dekat dengan pewaris XAM, dengan modal wajahnya yang cantik dia bis
“Dia benar-benar tidak datang,” gumam Ana pada dirinya sendiri. Kini dia hanya duduk seorang diri memandangi kesibukan orang-orang di rumah neneknya ini, Adam juga sibuk mengurus semua prosesi pemakanan sang nenek sedangkan mbak Sri sibuk di dapur untuk membuat makanan untuk orang-orang yang nanti akan mendo’akan almarhumah, hanya Ana yang duduk seorang diri tanpa tahu harus melakukan apa. Tubuhnya seolah tak memiliki kekuatan Lagi, bahkan untuk berdiri dan membantu semuanya, bahkan otak pintarnya pun ikut hilang tertelan kesedihan yang mendalam. Tak ada sosok suami atau pun saudara yang menemaninya di sini untuk berbagi suka dan duka, di saat seperti ini Ana sadar kalau ternyata kehidupan gemerlap yang dia miliki selama ini hanya mimpi sana, dan tanpa sang nenek semuanya juga tak akan lagi sama. “Suaminya Ana kok belum kelihatan ya, tadi aku juga lihat mobil bagus ku kira itu suaminya ternyata hanya sopirnya.” “Iya padahal kemarin