Villa mewah yang biasanya tampang sepi dan tenang itu, hari ini terlihat sangat ramai, berbagai kesibukan ada di sana, mulai dari pemasangan hiasan dinding, juga berbagai menu makanan yang disiapkan.
Dari banyaknya makanan juga luasnya tempat pesta, tentu saja ini bukan pesta biasa, terlihat juga banyak laki-laki berbadan tegap yang berdiri berjajar di sepanjang pintu masuk tentu para tamu bukan dari kalangan biasa.“Luar biasa, pasti pestanya nanti lebih besar dari acara ulang tahun stasiun televisi, padahal ini hanya syukuran untuk drama terbaru saja, XAM memang luar biasa mendukung artis-artisnya,” kata salah seorang panitia yang menyiapkan acara ini.“Bukan artis-artisnya, tapi ini memang khusus ditujukan untuk Isabella.”“Isabella, artis pendatang baru yang kabarnya banyak menerima job akhir-akhir ini?” tanya yang lain.“Iya, wah beruntung sekali wanita itu bisa dekat dengan pewaris XAM, dengan modal wajahnya yang cantik dia bis“Dia benar-benar tidak datang,” gumam Ana pada dirinya sendiri. Kini dia hanya duduk seorang diri memandangi kesibukan orang-orang di rumah neneknya ini, Adam juga sibuk mengurus semua prosesi pemakanan sang nenek sedangkan mbak Sri sibuk di dapur untuk membuat makanan untuk orang-orang yang nanti akan mendo’akan almarhumah, hanya Ana yang duduk seorang diri tanpa tahu harus melakukan apa. Tubuhnya seolah tak memiliki kekuatan Lagi, bahkan untuk berdiri dan membantu semuanya, bahkan otak pintarnya pun ikut hilang tertelan kesedihan yang mendalam. Tak ada sosok suami atau pun saudara yang menemaninya di sini untuk berbagi suka dan duka, di saat seperti ini Ana sadar kalau ternyata kehidupan gemerlap yang dia miliki selama ini hanya mimpi sana, dan tanpa sang nenek semuanya juga tak akan lagi sama. “Suaminya Ana kok belum kelihatan ya, tadi aku juga lihat mobil bagus ku kira itu suaminya ternyata hanya sopirnya.” “Iya padahal kemarin
Pesta perayaan drama terbaru dengan Bella sebagai bintang utamanya berlangsung meriah, bahkan semua televisi, radio dan juga media online sibuk memberitakannya. Banyak dari mereka yang menanyakan keberadaan Ana, karena sepanjang acara Bela selalu menempel pada Raffael, tapi sepertinya kekuasaan Raffael lagi-lagi bekerja dengan rapi, dia berhasil menutupi status mereka yang sebenarnya. Adam tidak ingin Ana sampai tahu masalah ini, setidaknya untuk saat ini saat dia berada pada titik terendah dalam hidupnya. Sampai di rumah Adam segera mengajak mbak Sri untuk bicara. “Mbak sudah lihat berita di televisi?” tanya Adam lirih, khawatir tiba-tiba Ana muncul dan memergoki mereka berdua. Sikap mereka memang sangat mencurigakan seperti pasangan selingkuh yang bertemu di luar rumah secara diam-diam, tapi tentu saja Adam tidak punya cara lain, mau bicara di mana coba selain di rumah Ana. Mau bicara di cafe seperti biasanya juga jarak cafe dari
“Aku baru juga baru tahu ibu, tadi pak Mamad yang menghubungiku, kemarin memang ada nomer asing dan menelponku tapi sudah terlalu malam untuk menjawabnya.” Sandra Alexander begitu geram dengan jawaban putranya, jika saja Raffael ada di depannya pasti sudah dia pukul anak itu., tapi dia ingin tahu apa tanggapan Raffael untuk hal ini, benarkah putra kebanggaannya itu begitu tega melakukan ini pada istrinya. “Lalu?” “Maaf Ibu, aku ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, lagi pula Ana di sana pasti baik-baik saja.” Sang ibu hanya diam dia begitu kecewa dengan apa yang dikatakan Raffael, dia tahu bagaimana usaha Ana untuk mendapatkan perhatian dari suaminya itu, tapi Raffael tetap saja dingin, bahkan dalam fase tersulit hidup Ana sekalipun Raffael sama sekali tak tersentuh. Sandra menatap sofa tempat Ana duduk seorang diri di sana, wanita itu begiu rapuh dan tak memiliki sandaran, tapi dia juga rasanya tak berdaya untuk terus memaksa ana
Ana baru pulang ke rumah Raffael satu minggu kemudian, selama itu juga tak sekalipun laki-laki itu berkunjung ke sana, jangankan berkunjung, menelpon atau mengirim pesan saja tidak dia lakukan. “Tuan menunggu anda di ruang kerjanya, Mbak,” kata bibi saat siang itu Ana baru saja turun dari mobil. Ana terdiam, dia tapi dia lalu mengangguk. “Iya, bi tolong bawakan barang-barangku di bagasi ke dalam.” Ana sudah akan mengetuk pintu ruang kerja Raffael tapi pintu itu sudah terbuka sebelum Ana melakukannya dan ternyata Raffael sendrii yang membukanya. Mereka bertatapan dalama kebisuan, Ana tak tahu apa yang ingin dibicarakan Raffael sehingga dia harus dipanggil kemari tanpa memberinya kesempatan untuk beristirahat sejenak. “Bolehkah aku duduk, kakiku pegal jika harus berdiri terus.” Raffael seolah tersadar kalau dia masih menutupi pintu ruang kerja ini dengan tubuh besarnya. “Maaf, kamu bisa mencari tempat duduk yang pa
Ini malam yang indah sebenarnya, bulan bersinar dengan penuh di langit, ditemani bintang-bintang disekelilingnya, hari memang sudah malam, dan Ana telah melewatkan jam makan malam, karena itu sekarang dia lebih memilih untuk menghabiskan makan malamnya di taman belakang rumah ini. Sendiri, hanya berteman cahaya bulan dan bintang. Dia bukan orang yang mudah patah, kalimat Raffael siang tadi seolah memberinya kekuatan untuk menentukan langkah, tidurnya menjadi lebih nyenyak setelah berhari-hari dia bahkan kesulitan untuk tidur. “Mbak Ana yakin mau makan di sini saja, nanti masuk angin,” kata bibi sambil meletakkan sepiring tumis cumi di hadapan Ana. “Di sini lebih tenang, bi,” kata Ana sambil tersenyum. “Apa bibi sudah makan?” “Sudah, Mbak, tadi bibi makan terlebih dahulu, sebenarnya tadi saya ingin membangunkan mbak Ana tapi kata Tuan jangan dulu.” Ana mengangguk, hatinya memang masih bergetar seperti biasa saat mendengar nama Raffael, tapi kini perasaan
“Seblak seperti apa yang kamu inginkan?” tanya Raffael. “Dengan banyak potongan cumi dan buah strawberry tentu saja,” kata Ana membuat Raffael menoleh dengan heran, dia pernah makan seblak tapi tidak pernah tahu kalau makanan itu juga dicampur dengan buah strawberry.Sedangkan Ana sendiri, langsung menelan ludahnya membayangkan gurih dan enaknya bumbu seblak dan juga kenyalnya potongan cumi di dalamnya dan nanti dia ingin memakan itu semua bersama buah strawberry yang segar, pasti sangat nikmat, membayangkannya saja membuat Ana tak sabar untuk menyantapnya. “Tak ada seblak dengan potongan buah, Ana, apa kamu yakin makanan yang kamu maksud itu seblak bukan salad?” tanya Raffael lagi karena istrinya itu malah bengong menatap ke depan. “Aku bisa membedakan salad dan seblak dengan baik,”kata Ana sedikit jengkel. “Tapi-“ “Kita bisa beli buah strawberry dulu dan nanti aku bisa makan berbarengan dengan seblaknya,” kata Ana. Raffael menggeleng tak percaya dengan makanan aneh yang diing
“Kenapa kamu merusak semuanya.” “Apa maksudmu?” Saat ini mereka hanya duduk berdua, akhirnya Ana hanya memesan semangkuk sup yang dari tadi hanya dia aduk-aduk saja karena sama sekali tak berselera memakannya. Raffael menatap Ana dengan tak suka. “Jangan pura-pura, kamu sengaja menyebutkan nama Rania supaya Bella tersingkir.” “Aku hanya mengatakan kebenaran, bukankah produser tadi bertanya siapa yang cocok sebagai pemeran utama menurutku.” “Tapi kenapa harus Rania,” kata Raffael keras kepala. “Ya karena Rania yang paling cocok menurutku untuk peran itu, aku tahu kamu mencintai Bella, tapi bukan berarti kamu harus buta dan mematikan karir artis lainnya, aku memang tidak mengerti dunia bisnis, tapi bukakah itu akan menghancurkan perusahaan.” “Kamu tidak mengerti apa-apa jangan sok tahu.” “Benar aku sudah bilang tadi, tapi apa salahnya aku memberi pendapat.” “Dengar An, aku juga melakukan semua ini untukmu,” kata Raffael yang membuat Ana memandangnya tak mengerti. “Apa maksudm
Ana menyesap teh lemon di tangannya dengan perlahan, tubuhnya dia sandarkan pada jendela kamarnya, matanya sibuk memperhatikan dua anak manusia yang sedang bercanda bersama, seolah dunia milik mereka berdua, tanpa tahu ada perasaan yang terluka.Ana tak pernah melihat laki-laki itu tertawa begitu lepas dan bahagia, matanya yang biasanya bersinar dingin sekarang secerah matahari pagi, tatapannya juga sangat memuja pada si wanita. Ah... apalagi yang dia harapkan dia memang sudah tak punya tempat, sampai saat ini dia hanya bergantung pada harapan setipis benang yang bisa kapan saja putus. Ana tahu di sini dialah yang memaksa masuk dan merusak kebahagiaan itu, dia memang memiliki beberapa alasan untuk membenarkan semua tindakannya, tapi tetap saja rasa bersalah ini selalu saja menghantuinya, semula dia hanya ingin dekat dengan orang yang dia cinta, tapi apa daya kalau dia sama sekali tak punya tempat di sini. Ana mengusap perutnya dengan sayang, anak ini tidak bersalah, dia mema