Ana segera berlari masuk ke dalam rumah begitu di dengar suara tangis Romeo di dalam kamarnya, tidak biasanya anak itu menangis seperti itu, Romeo cenderung pendiam dan bersikap dewasa, kalau dia menangis pasti ada hal buruk yang terjadi.
Di dalam kamar Romeo, Ana melihat Sasi yang sedang membujuk anak itu, Ana langsung melangkah dan menggantikan Sasi.Dipeluknya Romeo dengan sayang, sebenarnya dia ingin menggendong anak itu seperti dulu saat masih kecil, tapi dia sadar kalau badan Romeo sudah sangat besar dan ada kemungkinan mereka bisa terjatuh bersama jika nekad menggendongnya.“Romeo ini mama, kamu kenapa?” tanya Ana dengan khawatir. “Kenapa bisa nangis, Sas?" Ana menoleh pada Sasi tapi wanita muda itu juga terlihat kebingungan.“Aku juga tidak tahu, Mbak tadi aku masak di dapur tiba-tiba saja Romeo sudah nangis, sudah aku bujuk-bujuk tetap saja nangis,” jawab Sasi yang juga sama bingungnya.“Stt... anak ganteng mama, kenapa nangAna pikir ucapan Raffael yang akan ‘pedekate’ pada Romeo adalah isapan jempol belaka, tapi ternyata laki-laki itu serius dengan ucapannya, sudah satu minggu ini laki-laki itu mengantar jemput Romeo baik itu ke lokasi syuting atau pun ke sekolahnya. Manager Romeo sampai berkomentar. “Kurasa sopir Romeo akan minta berhenti kalau setiap hari dia tidak ada kerjaan seperti ini.” Ana hanya berdecak saja waktu itu, dia tahu kalau sopir yang dikatakan untuk Romeo tidak hanya mengantar putranya itu saja, tapi kadang juga mengantarkannya yang memang sangat malas untuk membawa mobil.Tapi yang paling membuat Ana kesal adalah waktu kebersamaannya dengan Romeo yang berkurang, biasanya dia akan mengantarkan Romeo ke sekolahnya dan sekaligus berbincang dengan putranya itu, akan tetapi sejak Romeo memiliki sopir gratisan itu Ana tentu saja enggan untuk ikut mengantar ke sekolah, karena sudah bisa dipastikan setelah itu Raffael akan pergi ke kantor. Waktu bert
Butuh waktu satu jam bagi Romeo untuk bersiap-siap, bahkan dia lebih memilih untuk hanya memimun susunya saja dan tidak menyentuh sama sekali makanan yang dibuatkan oleh ibunya. Ana yang terlalu antusias untuk segera ‘pergi’ dari rumah ini memutuskan untuk saat ini tidak akan mempermasalahkan hal itu, dia langsung membawa makanan nasi goreng yang dia buat dalam wadah, mungkin di rumah Adam nanti dia bisa sekalian menyuapi putranya. Masa kecil yang jarang sekali bertemu makanan yang layak untuk di makan membuatnya tidak ingin membuang-buang makanan, hidupnya memang sudah lebih baik, dia mempunyai tabungan yang cukup banyak dari hasil kerja kerasnya selama ini ditambah lagi tanpa sepengetahuan Ana ternyata Raffael masih rutin mengirimkan uang dalam jumlah yang banyak ke dalam rekening pribadinya sebagai uang nafkah. Ana memang sudah menolaknya, tapi Raffael selalu berkata kalau itu adalah kewajibannya, meski Ana tak tahu apa tujuan laki-laki itu sebenarnya dengan melak
“Ada perlu apa kamu kemari?” tanya Adam yang kebetulan membuka pintu rumahnya untuk tamu yang datang. Raffael mengangkat alisnya, sedikit tersinggung dengan smbutan Adam, dia terbiasa dihormati kemanapun dia berada. “Ini rumahku dan kita tidak ada janji bertemu.” “Aku hanya ingin bertemu Ana dan Romeo.” “Kenapa kamu mencarinya di sini, bukankah seharusnya kamu yang palijng tahu.” Rasanya Raffael ingin sekali memukul laki-laki di depannya ini, kata-kata Adam seolah sindiran untuknya yang sama sekali tak mampu menjaga istri dan anaknya, sama seperti tujuh tahun yang lalu saat Ana menghilang. “Apa begini caramu memperlakukan tamu?” “Aku hanya meniru caramu dulu.” Raffel teringat kala tidak mengijinkan Adam masuk ke dalam rumahnya saat menjemput Ana, ternyata laki-laki ini masih dendam padanya. Akan tetapi tentu saja Raffael tidak akan menyerah dia sudah jauh-jauh datang ke mari.Tidak ter
Bagi Ana perjalanan yang dia lalui kali ini terasa sangat lama dan melelahkan, bagaimana tidak dia harus terjebak dalam kecanggungan bersama Raffael, setalah mobil melaju, laki-laki itu sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun padanya, pandangannya juga lurus menatap ke depan. Ana berkali-kali melirik Romeo dari kaca spion tengah, berharap anak laki-lakinya itu berbicara apa saja, supaya suasana kaku ini bisa mencair, tapi Romeo malah asyik dengan puzzle pemberian Raffael yang tadi dia bawa. Dia seperti terjebak dalam penjara dengan sipir ganteng tapi mennyeramkan seperti Raffael, belum lagi kemacetan yang membuat perjalanan mereka semakin terasa lamaaa.“Ana bangun kita sudah sampai.” Ana langsung mengerjapkan matanya saat merasakan pipinya di tepuk seseorang, ada sorot geli saat matanya bertemu pandang dengan mata Raffael, dia mengedarkan pandangannya dan baru menyadari mereka sudah sampai di depan rumah orang tua Raffael. “Ehm
Romeo menangis memeluk mamanya yang jatuh pingsan, dia begitu takut sang mama akan meninggalkannya, Raffael juga ikut panik dia segera menggendong tubuh Ana dan membawanya ke atas ranjangnya. Sang ibu langsung berusaha membantu dengan memberikan minyak kayu putih di depan hidungnya tapi tetap saja Ana tak mau bangun. “Mama...,” rengekan Romeo kembali terdengar dia bahkan memberontak dari gendongan kakeknya dan mengampiri mamanya yang masih tetap diam. “Tubuhnya dingin sekali apa dia sakt tadi, Raff?” tanya sang ibu. Raffael menggeleng karena di benar-benar tidak tahu. “Tadi dia masih baik-baik saj asaat aku jemput di rumah Adam.” “Bawa ke rumah sakit saja, dan hubungi Adam,” kata Robert dengan tegas. “Kenapa harus Adam, dia bukan dokter dan dia bukan siapa-siapa Ana.” “Dia managernya dan orang yang paling tahu riwayat kesehatan Ana, apa kamu mau membiarkan Ana minum obat yang tidak sesuai dengan sakitnya.” Kali ini Raffel tidak bisa membantah lagi, dia langsung mengeluarkan po
“Apa kamu takut bertemu denganku?” tanya Raffael dengan sedih. Sudah dua hari ini Ana di rawat di rumah sakit, hari pertama saat Ana belum sadarkan diri Raffaellah yang menungguinya meski Istri Adam menatapnya dengan wajah suram, tapi laki-laki itu tak peduli dia terus saja menggengam tangan Ana sampai Romeo berkata. “Kenapa Om Raffael menggenggam tangan mama?” yang dijawab sang kakek dengan karena tangan mamanya sakit dan perlu untuk dipegangi, meski bingung tapi Romeo diam saja kerena memang di tangan mamanya dipasang semacam selang. Sedangkan Raffael sendiri yang menjadi bahan pembicaraan kedua laki-laki beda generasi itu seakan tuli, dia masih saja sibuk memegang tangan Ana sambil termenung. Luka bekas pukulan Adam memang masih sakit meski sang ibu yang terkejut melihat wajahnya yang lebam dan bajunya yang kotor langsung menyeretnya ke IGD untuk mendapat penanganan, dia juga masih bisa mendengar saat dengan suara lirik istri Adam bertanya, “Kenapa pak Raffael bisa seperti mal
“Kamu yakin tidak mau menunggu kami saja?” tanya Adam saat menjenguk Ana. “Kalian belum tentu akan pulang cepat, lagi pula aku sudah baik-baik saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” “Kamu yakin akan baik-baik saja saat bertemu dengan ... Raffael?” tanya Adam menegaskan, kalau saja hari ini dia dan istrinya tidak ada pekerjaan penting tentu mereka akan dengan suka rela menjemput Ana.Kondisi Ana memang bisa dikatakan sudah baik-baik saja, wajahnya sudah memiliki rona lagi, tidak pucat seperti kemarin, tapi tentu saja itu masih membuat Adam khawatir, mana ada pasien yang baru saja keluar dari rumah sakit pulang sendiri, kalau pun ada, pasti hatinya sangat sedih karena merasa tak ada yang memperhatikannya di saat dia jatuh. “Aku... akan bertahan, kemarin dia mengunjungiku meski aku masih cemas, tapi seperti kata dokter aku harus bertekad melawan kenangan buruk itu, bagaimanapun Raffael adalah ayah Romeo aku tak mau putraku yang akan menjadi korban nantinya.” Adam sangat memahami
Ana tidak pernah suka berbohong ataupun dibohongi. Dulu orang tuanya menanamkan kebiasanan untuk tidak berbohong dengan begitu ketat, tapi saat beranjak dewasa, Ana tah saat-saat tertentu dia harus berbohong berbagai hal, diantaranya adalah pernikahannya yang tak seperti yang orang lihat. Dan sekarang dia harus berbohong pada anaknya untuk menutupi siapa ayah anak itu, Ana merasa belum siap mengatakan pada Romeo tentang semua ini. “Kita bicara nanti ya, Nak, bisik Ana lembut pada putranya yang memeluknya dengan erat. Ana memeluk erat putranya, dia juga bingung akan menjawab apa, Raffael memberi isyarat untuk diam saja tanpa menjawab sepatah kata pun. “Orangku sudah datang kita siap-siap pergi, ingat hanya senyum saja pada wartawan dan jangan menjawab apapun,” bisik Raffael pada Ana, dia langsung mengangkat tubuh Romeo kembali dalam gendongannya dan meminta Sasi untuk membawa barang bawan mereka, untunglah hanya sebuah tas jinjing saja.