Jadwal Ana hari ini sangat padat, pagi hari dia harus melakukan pemotretan untuk beberapa majalah yang susah payah telah Adam dapatkan untuknya, di tengah himpitan kekuasaan Raffael yang menghalangi jalannya.
Bukan pemotretan yang penting memang, hanya sebuah butik yang baru saja buka, milik salah satu artis lawas yang banting setir menjadi desainer, tapi kata Adam, sekecil apapun peran yang akan dia dapatkan sangat berguna untuk membuatnya tetap eksis di dunia hiburan.Selama karirnya, Ana selalu yakin kalau managernya mempunyai insting yang sangat bagus, jadi Ana tidak punya alasan untuk menyanggahnya.Dan di siang hari nanti, Ana harus melakukan beberapa survey ke beberapa sanggar theater yang tersebar di kota ini, dulu dia memang pernah mengikuti kelas teater, tapi itu sudah lama, jadi banyak perkembangan yang tidak dia ketahui tentunya.“Theater ini akan di siarkan secara live di beberapa stasiun televisi nasional di lima negara asia, jikaAna memang bisa mengatakan kalau dia enggan untuk semobil dengan Raffael dengan berbagai alasan yang menjadi pertimbangannya, tapi tetap saja berada di dekat Raffael seperti ini adalah impian yang bahkan tak berani dia harapkan untuk menjadi kenyataan. Jangan berharap sikap Raffael akan lembut dan manis padanya, laki-laki itu tidak menghina dan merendahkannya adalah sebuah prestasi yang sangat besar, dan dirinya patut bersyukur untuk itu, itulah setidaknya itu yang dipikirkan Ana saat ini. “Sebenarnya kita akan pergi ke mana?” tanya Raffael, karena sedari tadi Ana hanya diam saja, bahkan saat Raffael melajukan mobilnya ke kantornya. “Kamu bisa turunkan aku di lobi kantormu,” kata Ana berusaha tenang. “Aku tidak ingat perusahaanku melakukan kerja sama denganmu.”“Aku memang tidak ada kerja sama dengan kantormu.” “Lalu apa yang akan kamu lakukan di sana... jangan bilang kamu akan berperan seperti istri posesif yang mengikuti s
“Pa kenapa keluarga kita tidak pernah mengadakan gatering seperti keluarga Alexander?” tanya Bella kecil saat orang tuanya menghadiri acara family gathering keluarga alexander yang juga mengundang para kolega dan sahabatnya. Event yang menurut Bella sangat cool, karena di sana dia bisa berkenalan dengan banyak orang penting dan keluarganya. “Bukankah kita juga mengadakan family gathering saat hari raya,” jawab sang ayah. “Tapi kita tidak bisa bertemu para pengusaha, lihatlah, Pa di sana banyak produser dan sutradara terkenal yang hadir, jika papa mengadakan acara seperti ini, mereka pasti juga akan mengenalku.” “Kamu tahu caranya dan itu lebih mudah,” kata sang ayah lalu meninggalkan Bella sendiiri. Jujur saja saat itu Bella sama sekali tak tahu apa maksud ayahnya, keluarganya juga kaya raya, mereka berada dalam sirkul pergaulan yang sama, Impiannya menjadi artis terkenal membuat
Perasaan Ana sudah lebih baik setelah aksi kebut-kebutan yang membuat jantungnya hampir jatuh tadi, dia juga bisa bercakap-cakap normal dengan Adam, meski lebih banyak mereka memilih membicarakan hal-hal remeh dan menghindari membicarakan kejadian tadi. Adam juga sangat berbaik hati dengan menuruti keinginan Ana yang kadang sangat aneh itu, bagaimana tidak aneh, sekarang mereka naik mobil dalam kecepatan sangat rendah, bahkan Adam yakin kalau ada becak yang lewat akan sangat mudah menyalip mobilnya. “Kapan kita sampai kalau seperti ini,” gumam Adam. Tapi tentu saja telinga Ana yang masih sangat sensitif mendnegarnya. “Ini lebih baik dari pada kebut-kebutan tadi, setidaknya kalau ada orang yang berniat menguntit kita dengan mobil mereka akan putus asa duluan dan memutuskan menyalip saja,” Logika yang sangat aneh menurut Adam, tapi mengingat dia sudah sangat berdosa karena ngebut tadi, jadi dia hanya bisa diam dan menuruti kemauan Ana. Untung di
“Aku akan memberikan sopir pribadi untukmu.” Raffael langsung mengatakan hal itu tadi malam setelah Ana menyelesaikan makan malamnya. Ana menatap Raffael dengan pandangan tak mengerti, untuk apa dia melakukan semua ini, bukankah dia bisa berangkat ke lokasi syuting bersama Adam, ataukah ini cara Raffael untuk mengetahui semua hal yang dia lakukan. Astaga Mobil itu, apa benar Raffael yang meminta orang untuk mengikutinya dan karena tadi orang itu kehilangan jejak atau mungkin malah tidak sabar karena Adam mengendarai mobilnya sangat pelan, Raffael mengubah strateginya? “Sopir pribadi untuk apa? aku bisa-“ “Aku tidak suka kamu hanya pergi berdua dengan Adam,” kata Raffael dengan wajah yang menunjukkan ketidak sukaan yang tidak dia tutup-tutupi. Bolehkah Ana mengartikan ini sebagai rasa cemburu? “Mas Adam managerku, jadi apa salahnya dia menjemputku.”
“Ibu tidak pernah tahu rasanya menjadi aku yang diduakan oleh suaminya!” wanita itu menatap wanita paruh baya di depannya dengan pandangan membara.“Aku juga sama seperti wanita lainnya yang ingin suamiku hanya milikku saja!” “Bella sudahlah, ibu hanya bertanya,” kata Raffael menenangkan istrinya. Nyonya Sandra Alexander hanya bisa terperangah menatap menantunya yang baru saja membentaknya, dia memang sudah mendengar semuanya dari sang suami, tapi dia selalu percaya kalau Bella melakukan itu semua bukan atas kemauannya sendiri. Bella selalu bersikap lembut padanya, meski wanita itu kadang sombong dan suka semaunya, tapi bagi Sandra itu wajar saja karena dia hanya anak tunggal yang sangat dimanja orang tuanya. “Maksudku, bukan begitu, Nak, aku hanya ingin keluarga kalian akur, apa salahnya kalian berangkat bersama bukankah satu rumah juga,” kata Sandra. “Raffael memang anak ibu, tapi ibu tidak berhal ikut campur urusan rumah tangga kami,” kata Bella dengan keras, napasnya memburu
Judulnya memang makan malam keluarga, tapi kalau yang mengadakan keluarga kaya raya seperti mereka tentu akan sangat berbeda,Ana bisa melihat berbagai makanan lezat yang tersaji di atas meja, padahal mereka hanya lima oramg, tapi makanan yang disajikan sudah seprti untuk orang sekampung. “Ini makanan kesukaan ayah dan ibu juga Raffael dan Bella, tentu saja untukmu juga, tapi karena kamu pernah bilang tak ada menu khusus yang kamu suka, makanya ibu tidak buatkan, maaf ya, Nak,” kata sang ibu dengan tulus. “Kata siapa ibu tidak menyiapkan masakan kesukaan saya, semua makanan ini aku suka, jadi bisa dibilang aku yang paling istimewa,” kata Ana sambil tertawa kecil yang langsung menular pada sang ibu. “Syukurlah kalau begitu, ibu senang karena kamu selalu menanggapi segala sesuatu dengan positif.” Ana hanya trsenyum tak ingin mendebat ucapan itu. Bagi orang baru seperti dirinya, diam barang kali hal yang yang lebih baik, di sin
Hampir tengah malam ketika ponsel Bella bergetar di atas nakas, waniat itu menoleh sekilas pada sang suami yang tidur lelap di sebalahnya, cepat-cepat dia menyambar ponselnya, dan menuju kamar mandi. Kran air sengaja dinyalakan, kamar mandi ini memang tidak kedap suara tentu saja, jadi sedapat mungkin Bella harus berhati-hati, sekilas tadi dia membaca nomer yang tertera di layar ponselnya. Bukan nomer yang dia simpan memang, tapi Bella memiliki ingatan yang cukup baik untuk tahu nomer siapa yang menghubunginya saat ini. “Aku harap berita yang kamu bawa cukup penting, sampai membuatku bangun tengah malam seperti ini,” kata Belle ketus. Sesekali dia menoleh ke arah pintu kamar andi, takut tiba-tiba Raffael datang, “Anastasya akan menghadiri audisi Theater, dia akan melakukan audisi untuk pemeran utama.” Bella tersenyum sinis, wanita itu sudah benar-benar tak laku rupanya, tidak sia-sia usahanya untuk menjatuhkan Ana, meski d
“Apa tidak sebaiknya saya belikan saja Nyonya?” tanya wanita muda itu, dia memandang majikannya dengan kening berkerut. Tidak biasanya majikannya yang suka semena-mena ini berangkat mencari hadiah sendiri, biasanya dia akan menginstruksikan padanya untuk mencarikan hadiah untuk seseorang, terserah dia saja hadiah seperti apa yang akan dia beli. Bahkan wanita muda itu pernah berpikir kalau seandainya dia tak jujur bisa saja dia membungkus batu bata sebagai hadiah, toh majikannya tak akan tahu, paling-paling dia sendiri yang akan malu kalau orang yang dia beri hadiah bermulut lemes dan mengatakan pada yang lain. “Tidak perlu aku akan cari sendiri, kerjakan saja apa yang aku perintahkan tadi.” Wanita itu melenggang dengan santai ke arah mobil mewah yang menunggunya, bodynya yang sangat bagus terbungkus barang mahal dari ujung kaki sampai ujung kepala membuat banyak mata yang menoleh padanya, apalagi kecantikan wajahnya yang sudah tak diragukan la
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan