Beberapa jam sebelumnya.
Laki-laki itu menutup pintu kamar dengan pelan, seolah khawatir kalau ada orang yang akan terganggu dengan suara pintu yang tertutup, meski nyatanya hanya dia sendiri yang selama tujuh tahun ini menempati kamar itu sendiri hanya untuk mengais maaf yang entah kapan bisa dia utarakan secara langsung.Perasaan sedih dan juga rasa bersalah selalu menghantuinya selama ini, hanya dengan berada di kamar ini dia bisa merasakan kehadiran wanita itu lagi, wanita yang telah dia hancurkan masa depannya dan telah dia patahkan sayapnya.“Tuan akan pergi?” tanya bibi yang malam itu melihat tuannya sudah rapi.“Iya, mungkin aku akan pulang malam, aku tidak akan makan di rumah.”Raffael mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh, dia sedikit terlambat memang, pesta itu dialah yang mengadakan setidaknya alasan karena salah satu drama yang dibintangi oleh artis-artisnya berhasil memenangkan penghargaan dan alasan untuk cukuAna melirik dengan takut-takut pada Raffael saat Romeo memanggilnya mama, tubuh itu membeku dengan pandangan bergantian padanya dan Romeo yang memandangnya dengan tatapan cemas. Apa semunya akan terbongkar secepat ini?Ana menoleh pada Adam bermaksud meminta pertolongan pada laki-laki itu. “Maafkan saya Pak Raffael, saya telah salah paham pada anda,” kata Adam mengulurkan tangannya pada Raffael. Raffael menatap terkejut pada Adam mengulurkan tangannya, tapi dia tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan maaf itu, bagaimanapun dia juga sangat membutuhkan bantuan Adam jika dia menginginkan Romeo menjadi salah satu artisnya, apalagi dia dengar kalau dia adalah paman dari Romeo sekaligus wali anak itu di sini, tapi....“Saya kira semuanya sudah jelas bagaimana kalau kita kembali saja ke pesta pasti banyak yang mencari anda saat ini, bagaimanapun anda adalah tuan rumah kali ini,” kata Adam lagi berusaha membujuk dengan halus saat m
Dalam pelariannya yang membuat Ana merasa bersalah adalah saat melihat wajah mungil putranya yang tak bisa merasakan hangatnya kasih sayang seorang ayah. Adam memang selalu ada di dekatnya, membantunya untuk setiap permasalahan yang dia hadapi, bahkan laki-laki itu juga bersedia untuk menjadi wali bagi Romeo saat diarinya masih ingin bersembunyi pada hingar bingar dunia. Ana terlalu pengecut, selama tujuh tahun ini dia hanya hidup sendiri, jauh dari keramaian dan orang-orang yang kemungkinan akan mengenalinya, dia sungguh takut akan kembali terluka. “Mbak Ana sudah pulang,” kata seorang gadis berusia awal dua puluhan yang menyambut Ana. “Iya, ada insiden kecil yang tak mengenakkan tadi jadi aku langsung pulang,” kata Ana sambil menghela napas dengan berat. “Ada apa, Mbak lalu di mana Romeo?” Ana memandang Sasi gadis yang tidak sengaja dia temukan,yah nasibnya kurang lebih sama dengan Dira, mereka hanya hidup sebatang kara
“Hal-“‘Bella... bella dia mencoba untuk bunuh diri kamu cepatlah kemari!” Raffael langsung mengernyitkan kening tak suka dengan nada arogan mama mertuanya begitu telepon diangkat. “Saya bukan dokter yang bisa mengobatinya, anda seharunya membawanya ke rumah sakit.” “Suami macam apa kamu membiarkan istrinya sakit sendiri, kalau sampai terjadi apa-apa pada Bella kamu akan menyesal.” Raffael berdecak kesal, dia sudah terbiasa dengan intimidasi macam ini dari keluarga Bella, dia masih menghormati Bella dengan tidak mentalak wanita itu tanpa persetujuannya, meski Raffael sudah ingin melakukannya sejak kejadian itu. “Saya malah menyesal sudah sangat mempercayai Bella.” Raffael sudah lelah dengan semua tuntutan Bella dan keluarganya, meski dalam hatinya Raffael masih sangat menyayangi wanita itu, tapi tindakannya yang diluar batas membuat Raffael muak.“Kamu tidak bisa seperti itu, Raf, seenaknya saja menyalahkan putri
Ana memejamkan matanya sejenak untuk mengusir rasa tak nyaman saat kakinya kembali melangkah ke kantor ini. Ana memandang megahnya kantor yang selalu sibuk ini, banyak sekali orang yang berlalu lalang, genggaman pada tangan mungil Romeo semakin dia eratkan, andai saja Romeo bukan anak kandung Raffael tentu dia tidak akan mengijinkan anaknya dekat dengan laki-laki itu. Ana sudha cukup belajar dari pengalamannya dulu, orang-orang kaya itu sangat manipulatif dan akan melakukan apa saja untuk mencapai keinginannya, tapi Romeo perlu mengenal sosok ayahnya, diakui atau tidak nantinya tetap saja anak ini adalah darah daging Raffael. Ini memang sedikit licik Ana akui itu, pada awalnya dia sempat menolak usulan Adam ini. “Aku akan menjadiakan Romeo artis dia sangat berbakat, kalau kamu belum siap memperlihatkan dirimu pada dunia kamu bisa tetap di sini, Romeo akan aku bawa.” Sebagai ibu tentu saja Ana sangat tidak ingin berpisah dengan anakn
Ana menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan di depan kaca. “Aku masih langsing seperti saat masih gadis dulu,” gumamnya mengagumi diri sendiri. Setelah melahirkan Romeo, tubuh Ana memang bisa kembali seperti semula, meski tanpa diet yang ketat seperti kebanyakan orang, mungkin karena pada dasarnya dia tidak punya bakat gemuk, atau mungkin karena hidupnya penuh dengan perjuangan selama ini. Akan tetapi Ana langsung tidak percaya diri saat membuka perutnya dan melihat sayatan di perutnya. Yah dulu memang saat melahirkan Romeo dokter harus membelah perutnya, yah satu-satunya pilihan yang harus dilakukan dokter kala itu karena kondisi Ana yang tidak bisa melahirkan secara normal dan Ana sangat tidak percaya diri dengan bekas sayatan yang masih belum hilang itu. Ana tidak sedang marah atau kecewa karena melahirkan Romeo merusak tubuh indahnya, sungguh.. dia hanya sedang tidak merasa percaya diri saja, bagi Ana, Romeo adalah anugerah te
Salah satu hal yang disukai Ana saat makan bersama Romeo adalah anak itu akan makan dengan lahap apapun masakan yang dia hidangkan. Kata Sasi bahkan orang yang sedang tidak doyan makan saja langsung lahap kalau sudah lihat Romeo makan. “Untung saja kamu suka olahraga jadi kamu tidak gendut,” kata Sasi melongo melihat Romeo yang sudah menghabiskan sepiring nasi. “Aku kayak mama, meski makan banyak badanku tidak gendut,” kata Romeo sambil nyengir. “Itu karena tulang belulang mamamu kecil.” Romeo cemberut, dia masih duduk di taman kanak-kanak, dan belum diajari tentang tulang belulang, jadi dia suka sebal kalau Mbak Sasi suka bicara yang kadang dia tidak mengerti. “Tulangku juga kecil,” kata Romeo ngeyel. “Mana ada, kamu itu turunan papamu yang tinggi besar, turunan bule.” Sasi langsung menutup mulutnya saat tahu dia salah bicara apalagi Ana sudah memandangnya dengan tajam. “Mbak Sasi kenal papak
Bagi Ana rasa rindu itu sangat mengerikan, dia menggodanya untuk tahu bagaimana kabar laki-laki yang dia rindukan itu, akan tetapi dia juga takut untuk bertemu dengannya, rasa takut yang membuatnya menjadi trauma. Andai bisa Ana ingin menghilangkan perasaan ini, perasaan yang tak seharusnya ada dan tumbuh dalam hatinya. Hampir satu tahun dia menjadi istri Raffael, semula dia menyangka semuanya akan baik-baik saja meski dia hanya istri kedua, meski rasa bersalah itu selalu menghantuinya, dia memang tak berharap mendapatkan perhatian lebih seperti Bella, tapi dia juga tidak menyangka kalau waktu satu tahun pernikahannya dia lalui seperti neraka, siksaan demi siksaan selalu dia terima, bukan hanya fisik tapi juga batinnya. Dan sekarang laki-laki yang membuatnya menahan rindu itu berdiri di depannya oh... tepatnya memaksa masuk ke dalam ruang pribadinya, membuatnya ketakutan setengah mati, bayang-bayang kelam pemaksaan yang dilakukan Raffael berputar di ke
“Ma...” Ana langsung menoleh saat mendengar suara itu. “Kenapa mama marah pada om Raffael?” tanya Romeo dengan polos, anak itu datang bersama sasi dengan membawa sebuah kantong berlogo minimarket di bawah gedung aparteman ini. Ana memandang putranya dengan gugup, dia selalu mengajari anaknya untuk berlaku sopan pada orang lain, tapi saat ini dia sedang memberi contoh yang sangat tidak pantas untuk putranya. “Romeo dari mana, Sayang?” tanya Ana mengalihkan perhatian anak itu.Romeo menatap mamanya sebentar lalu beralih ke kantong yang dia bawa. “Ini coklat dan puding, om Raffael tadi minta dibelikan makanan,” kata Romeo dengan senyum lebar. Ana mengangkat alisnya, sejak kapan Raffael suka dengan coklat? “Oh, kamu membantu om Raffael membeli ini?” tanya Ana memutuskan untuk mengikuti permainan ini. Romeo mengangguk dan mendekati Raffael yang tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, dalam hati dia berkata “ An
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan