Ana melirik dengan takut-takut pada Raffael saat Romeo memanggilnya mama, tubuh itu membeku dengan pandangan bergantian padanya dan Romeo yang memandangnya dengan tatapan cemas.
Apa semunya akan terbongkar secepat ini?Ana menoleh pada Adam bermaksud meminta pertolongan pada laki-laki itu.“Maafkan saya Pak Raffael, saya telah salah paham pada anda,” kata Adam mengulurkan tangannya pada Raffael.Raffael menatap terkejut pada Adam mengulurkan tangannya, tapi dia tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan maaf itu, bagaimanapun dia juga sangat membutuhkan bantuan Adam jika dia menginginkan Romeo menjadi salah satu artisnya, apalagi dia dengar kalau dia adalah paman dari Romeo sekaligus wali anak itu di sini, tapi....“Saya kira semuanya sudah jelas bagaimana kalau kita kembali saja ke pesta pasti banyak yang mencari anda saat ini, bagaimanapun anda adalah tuan rumah kali ini,” kata Adam lagi berusaha membujuk dengan halus saat mDalam pelariannya yang membuat Ana merasa bersalah adalah saat melihat wajah mungil putranya yang tak bisa merasakan hangatnya kasih sayang seorang ayah. Adam memang selalu ada di dekatnya, membantunya untuk setiap permasalahan yang dia hadapi, bahkan laki-laki itu juga bersedia untuk menjadi wali bagi Romeo saat diarinya masih ingin bersembunyi pada hingar bingar dunia. Ana terlalu pengecut, selama tujuh tahun ini dia hanya hidup sendiri, jauh dari keramaian dan orang-orang yang kemungkinan akan mengenalinya, dia sungguh takut akan kembali terluka. “Mbak Ana sudah pulang,” kata seorang gadis berusia awal dua puluhan yang menyambut Ana. “Iya, ada insiden kecil yang tak mengenakkan tadi jadi aku langsung pulang,” kata Ana sambil menghela napas dengan berat. “Ada apa, Mbak lalu di mana Romeo?” Ana memandang Sasi gadis yang tidak sengaja dia temukan,yah nasibnya kurang lebih sama dengan Dira, mereka hanya hidup sebatang kara
“Hal-“‘Bella... bella dia mencoba untuk bunuh diri kamu cepatlah kemari!” Raffael langsung mengernyitkan kening tak suka dengan nada arogan mama mertuanya begitu telepon diangkat. “Saya bukan dokter yang bisa mengobatinya, anda seharunya membawanya ke rumah sakit.” “Suami macam apa kamu membiarkan istrinya sakit sendiri, kalau sampai terjadi apa-apa pada Bella kamu akan menyesal.” Raffael berdecak kesal, dia sudah terbiasa dengan intimidasi macam ini dari keluarga Bella, dia masih menghormati Bella dengan tidak mentalak wanita itu tanpa persetujuannya, meski Raffael sudah ingin melakukannya sejak kejadian itu. “Saya malah menyesal sudah sangat mempercayai Bella.” Raffael sudah lelah dengan semua tuntutan Bella dan keluarganya, meski dalam hatinya Raffael masih sangat menyayangi wanita itu, tapi tindakannya yang diluar batas membuat Raffael muak.“Kamu tidak bisa seperti itu, Raf, seenaknya saja menyalahkan putri
Ana memejamkan matanya sejenak untuk mengusir rasa tak nyaman saat kakinya kembali melangkah ke kantor ini. Ana memandang megahnya kantor yang selalu sibuk ini, banyak sekali orang yang berlalu lalang, genggaman pada tangan mungil Romeo semakin dia eratkan, andai saja Romeo bukan anak kandung Raffael tentu dia tidak akan mengijinkan anaknya dekat dengan laki-laki itu. Ana sudha cukup belajar dari pengalamannya dulu, orang-orang kaya itu sangat manipulatif dan akan melakukan apa saja untuk mencapai keinginannya, tapi Romeo perlu mengenal sosok ayahnya, diakui atau tidak nantinya tetap saja anak ini adalah darah daging Raffael. Ini memang sedikit licik Ana akui itu, pada awalnya dia sempat menolak usulan Adam ini. “Aku akan menjadiakan Romeo artis dia sangat berbakat, kalau kamu belum siap memperlihatkan dirimu pada dunia kamu bisa tetap di sini, Romeo akan aku bawa.” Sebagai ibu tentu saja Ana sangat tidak ingin berpisah dengan anakn
Ana menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan di depan kaca. “Aku masih langsing seperti saat masih gadis dulu,” gumamnya mengagumi diri sendiri. Setelah melahirkan Romeo, tubuh Ana memang bisa kembali seperti semula, meski tanpa diet yang ketat seperti kebanyakan orang, mungkin karena pada dasarnya dia tidak punya bakat gemuk, atau mungkin karena hidupnya penuh dengan perjuangan selama ini. Akan tetapi Ana langsung tidak percaya diri saat membuka perutnya dan melihat sayatan di perutnya. Yah dulu memang saat melahirkan Romeo dokter harus membelah perutnya, yah satu-satunya pilihan yang harus dilakukan dokter kala itu karena kondisi Ana yang tidak bisa melahirkan secara normal dan Ana sangat tidak percaya diri dengan bekas sayatan yang masih belum hilang itu. Ana tidak sedang marah atau kecewa karena melahirkan Romeo merusak tubuh indahnya, sungguh.. dia hanya sedang tidak merasa percaya diri saja, bagi Ana, Romeo adalah anugerah te
Salah satu hal yang disukai Ana saat makan bersama Romeo adalah anak itu akan makan dengan lahap apapun masakan yang dia hidangkan. Kata Sasi bahkan orang yang sedang tidak doyan makan saja langsung lahap kalau sudah lihat Romeo makan. “Untung saja kamu suka olahraga jadi kamu tidak gendut,” kata Sasi melongo melihat Romeo yang sudah menghabiskan sepiring nasi. “Aku kayak mama, meski makan banyak badanku tidak gendut,” kata Romeo sambil nyengir. “Itu karena tulang belulang mamamu kecil.” Romeo cemberut, dia masih duduk di taman kanak-kanak, dan belum diajari tentang tulang belulang, jadi dia suka sebal kalau Mbak Sasi suka bicara yang kadang dia tidak mengerti. “Tulangku juga kecil,” kata Romeo ngeyel. “Mana ada, kamu itu turunan papamu yang tinggi besar, turunan bule.” Sasi langsung menutup mulutnya saat tahu dia salah bicara apalagi Ana sudah memandangnya dengan tajam. “Mbak Sasi kenal papak
Bagi Ana rasa rindu itu sangat mengerikan, dia menggodanya untuk tahu bagaimana kabar laki-laki yang dia rindukan itu, akan tetapi dia juga takut untuk bertemu dengannya, rasa takut yang membuatnya menjadi trauma. Andai bisa Ana ingin menghilangkan perasaan ini, perasaan yang tak seharusnya ada dan tumbuh dalam hatinya. Hampir satu tahun dia menjadi istri Raffael, semula dia menyangka semuanya akan baik-baik saja meski dia hanya istri kedua, meski rasa bersalah itu selalu menghantuinya, dia memang tak berharap mendapatkan perhatian lebih seperti Bella, tapi dia juga tidak menyangka kalau waktu satu tahun pernikahannya dia lalui seperti neraka, siksaan demi siksaan selalu dia terima, bukan hanya fisik tapi juga batinnya. Dan sekarang laki-laki yang membuatnya menahan rindu itu berdiri di depannya oh... tepatnya memaksa masuk ke dalam ruang pribadinya, membuatnya ketakutan setengah mati, bayang-bayang kelam pemaksaan yang dilakukan Raffael berputar di ke
“Ma...” Ana langsung menoleh saat mendengar suara itu. “Kenapa mama marah pada om Raffael?” tanya Romeo dengan polos, anak itu datang bersama sasi dengan membawa sebuah kantong berlogo minimarket di bawah gedung aparteman ini. Ana memandang putranya dengan gugup, dia selalu mengajari anaknya untuk berlaku sopan pada orang lain, tapi saat ini dia sedang memberi contoh yang sangat tidak pantas untuk putranya. “Romeo dari mana, Sayang?” tanya Ana mengalihkan perhatian anak itu.Romeo menatap mamanya sebentar lalu beralih ke kantong yang dia bawa. “Ini coklat dan puding, om Raffael tadi minta dibelikan makanan,” kata Romeo dengan senyum lebar. Ana mengangkat alisnya, sejak kapan Raffael suka dengan coklat? “Oh, kamu membantu om Raffael membeli ini?” tanya Ana memutuskan untuk mengikuti permainan ini. Romeo mengangguk dan mendekati Raffael yang tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, dalam hati dia berkata “ An
Ana mencengkeram troli yang sedang dipegangnya, wajahnya berusaha tersenyum meski hatinya berdebar hebat. Dari sekian banyak hari setelah dia kembali ke kota ini, kenapa Tuhan memilih sekarang dia bertemu dengan mantan ibu mertuanya, ah... mungkin masih menjadi mertuanya mengingat Raffael belum menceraikannya secara resmi. Wanita itu masih tetap sama, tersenyum ramah padanya, matanya memandang Ana dengan sorot mata yang memancarkan kerinduan. Dari semua keluarga Raffael, Ana paling merasa bersalah pada wanita ini, dia sudah sangat baik padanya , bahkan menganggapnya seperti anak sendiri, akan tetapi dengan gampangnya Ana bahkan mematahkan hatinya. Andai ibu mertuanya itu tahu kalau anak yang sekarang berdiri di sampingnya dengan pandangan bertanya adalah cucunya, akankah wanita itu mengambilnya? “Ibu,” sapa Ana lembut. Sandra Alexander hanya menatap Ana dengan terpaku, dia bahkan tak mampu untuk berkata apa-apa, bibirnya kelu, apalagi saat dia melihat seorang anak laki-laki yang