Bella menghambur memeluk Raffael dengan tubuh gemetar. “Bella, apa yang terjadi? Kenapa bibi bisa terluka?”
Bella tak menjawab dia semakin terisak di dalam dekapan Raffael. “Kamu baik-baik saja kan, Sayang apa kamu terluka?”Raffael menghela napas panjang, Bella tak mau menjawab dia hanya memeluknya sambil menangis, tapi tubuhnya yang bergetar membuat Raffael tak sampai hati untuk menanyainya, Bella pasti sangat ketakutan.“Tenanglah, kita ke kamar saja, dan kalian tolong bereskan itu semua,” kata Raffael pada asisten rumah tangganya yang lain.Dengan masih berpelukan erat keduanya melangkah bersama ke kamar. Raffael menyodorkan segelas air putih yang memang selalu ada di kamar mereka pada Bella.“Minumlah biar kamu tenang,” katanya, dia lalu bergerak memriksa tubuh Bella apa ada yang terluka, dan baru menghembuskan napas lega saat tak didapati goresan sedikitpun.“Apa yang terjadi, katakanlah, kenapa pagi-pagi kamu ada diDua hari ini Ana harus bolak balik ke rumah sakit. Luka bakar tingkat dua yang di derita bibi, mengharuskannya di rawat di sana, memang para asisten rumah tangga di rumah itu juga bergantian berjaga dengannya, tapi tetap saja Ana tak bisa lepas tangan, sebagai istri Raffael -meski Raffael sendiri tak menganggapnya begitu- Ana tetap harus bertanggung jawab pada apa yang terjadi di rumah itu, lagi pula mana tega dia membiarkan bibi sendiri di sini. “Saya tidak apa-apa, Mbak, nanti juga sudah boleh pulang,” kata bibi saat Ana masih saja menungguinya siang ini, bukan bibi tak suka Ana ada di sini, tapi dia tak sampai hati melihat Ana yang kelelahan menjaganya. “Aku tidak maslah di sini, lagi pula di sini lebih enak dari pada di rumah tidak ada yang bisa aku lakukan.” “Maaf.” “Maaf kenapa?” tanya Ana tak mengerti. “Maaf karena bibi sakit mbak Ana yang harus mengerjakan semua pekerjaan bibi, ditambah lagi harus menjaga bibi di
Dini hari Raffael mengetuk kamar Ana, dan meminta dibuatkan makanan untuknya. “Aku kira kamu sudah makan?” “Memangnya aku harus makan apa, kamu tahu sendiri aku hanya membawa bubur untuk Bella.” Ana tak menjawab lagi, dia mengikuti langskah Raffael untuk ke dapur. “Apa kamu mau makan cumi asam manis tadi malam atau mau aku buatkan yang lain nasi goreng misalnya?” tawar Ana saat Raffael sudah duduk manis di meja makan, dan Ana sibuk melihat isi kulkas. “Aku ingin makan cumi asam manis yang tadi tapi makan nasi goreng di saat seperti ini pasti enak,” kata Raffael. Ana tersenyum, sejujurnya dia senang Raffael saat bersikap seperti ini, tidak lembut seperti saat bersikap pada Bella memang tapi setidaknya dia tidak memandang Ana dengan sinis, dan penuh penghinaan. Inilah Raffael yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu, lalki-laki yang sudah menyelamatkan kehormatannya dari laki-laki tak bermoral di pesat itu. “Nasi go
Dulu Ana sangat menyukai Raffael dan berharap selalu untuk bersama dengannya, malam-malam panjang selalu dia habiskan untuk berdoa dan berkhayal kalau suatu saat dia akan bisa menjadi pasangan resmi Raffael. Tuhan yang maha pemurah memang menjawab do’anya dia menjadi istri Raffael, meski dia tidak tahu menjadi istri Raffael tapi tidak diinginkan laki-laki itu membuatnya senelangsa ini. Tapi dia tak bisa kembali, dia punya nenek yang harus dia pikirkan keselamatannya, juga karir yang menjamin hidupnya tak akan sengsara, yang terpenting adalah rasa cinta yang tetap saja tak mau hilang sampai sekarang,Ana menoleh dan melihat asap yang memenuhi dapur yang baru saja dia tinggalkan, tanpa mempedulikan ponselnya yang masih tersambung dengan Adam, Ana meninggalkannya begitu saja dan berlari ke sana. “Astaga! Masakanku!” katanya terkejut dengan apa yang terjadi, bicara dengan Adam membuatnya lupa kalau sedang membuat bubur untuk Bella, dia hanya menggu
“Nyonya pergi bersama Tuan, dan mungkin saja akan lama, apa kamu tidak ingin mengadakan pesta?” tanya Bibi saat melihat Ana yang menatap suami dan maduanya dengan pandangan sendu. “Pesta?” “Iya, Pesta, saya ada di rumah dan meski tanganku masih diperban saya bisa memberi arahan pada para asisten rumah tangga untuk membantu.” Ana masih tak mengerti apa yang bibi bicarakan, dia sama sekali tak menyukai pesta dan berpesta di rumah Raffael setelah dia melakukan kesalahan dan tanpa ijin tentu akan mengundang bencana yang lain. “Bukan pesta meriah, hanya makan-makan saja dengan semua pekerja, sejak saya sakit mereka mengeluh hanya makan masakan mereka sendiri, karena tak ingin membuat mbak Ana makin repot dengan memasakkan mereka, jadi mereka akan senang kalau kita masak hari ini, eh tapi mbak Ana tidak capek bukan?” tanya Bibi yang baru sadar kalau Ana dari tadi mengerjakan pekerjaan rumah. Ana tersenyum lebar, dia memang sedikit lelah, tapi baya
Ternyata selain dijadikan pabrik anak dia juga dijadikan banserep, batin Ana begitu tahu alasan Raffael menghubunginya dan memintanya secepatnya kemari. Seharusnya dia tadi meneruskan makan siangnya di rumah dan mengabaikan panggilan itu, toh dia tak akan rugi, bukan dia yang namanya akan buruk. Bahkan masakan mewah yang dihidangkan di restoran ini terasa hambar di mulutnya. Jelas saja. Bagaimana dia tak merasa seperti makansandal, kalau harus melihat suaminya bermesraan dengan istrinya yang lain di depannya, tidakkah mereka memiliki sedikit saja empati untuknya, dai sengaja dipanggil ke sini dan bukan atas keinginannya sendiri. Tapi Ana bisa apa, dihadapan tuan Muda Raffael Alexander yang berkuasa dan istri tercintanya, tentu saja dia hanya butiran debu, masih mending mereka berbaik hati memesankannya makanan, meski makanan itu bahkan tak sesuai seleranya. “Kasihan sekali suamik
Adam merenung sendirian di meja kerjanya, kekhawatirannya pada Ana tak berkurang juga, sebelum dia bicara sendiri dengan wanita itu, tapi sampai sore hari tidak ada telepon yang masuk untuknya dari Ana.“Kamu sedang menunggu telepon dari pacarmu? Kenapa tidak di telepon terlebih dulu?” tanya salah seorang rekan kerjanya di agensi ini. “Bukan pacar?” “Ana?” tebak orang itu yang membuat Adam mengangguk samar, bukan rahasia lagi memang kalau Adam memberi perhatian lebih pada Ana, hanya orang buta yang tidak dapat melihatnya, meski Adam sering mengatakan pada Ana kalau dia hanya menganggapnya adik, tapi tidak demikian di mata rekan kerjanya. Tapi apa peduli Adam pada mereka yang penting Ana nyaman berada di dekatnya, dia juga tak ingin memaksa Ana untuk menerima cintanya. Adam meyakini bahwa cintanya pada Ana sangat tulus, jadi meliahat senyum wanita itu saja sudah membuatnya bahagia. “Astaga, Dam, kamu harus sesekali membuka ma
“Sialan wanita itu bisanya hanya menyusahkan saja, awas saja kalau sampai rumah aku akan menyiksanya,” kata wanita berambut blonde dengan kaca mata hitam itu. Suaranya yang keras dan penuh dengan amarah membuat sopir taksi menoleh menatapnya dengan pandangan heran.“Setir saja mobilnya dengan benar, jangan ikut campur urusanku,” katanya judes. Sopir taxi tidak mengatakan apapun, dia hanya menggelengkan kepalanya pelan dan berkonsentrasi menyetir lagi, dia sama sekali tak habis pikir dengan penumpangnya saat ini, setahunya dia artis yang terkenal baik dan lembut, tapi ternyata kenyataannya tidak seperti itu. Ini semua salah Ana yang membuatnya harus kerepotan seperti ini, padahal seharusnya dia bisa menikmati makan siang istimewa bersama Raffael, apa susahnya duduk diam menunggui dia dan Raffael makan siang, dia juga tidak pelit dan membebaskan Ana memesan makanan apapun yang dia suka, uangnya sangat banyak, jadi mentraktir Ana makan siang tak akan membuatnya jatuh miskin. Di Resto
Jadwal Ana hari ini sangat padat, pagi hari dia harus melakukan pemotretan untuk beberapa majalah yang susah payah telah Adam dapatkan untuknya, di tengah himpitan kekuasaan Raffael yang menghalangi jalannya. Bukan pemotretan yang penting memang, hanya sebuah butik yang baru saja buka, milik salah satu artis lawas yang banting setir menjadi desainer, tapi kata Adam, sekecil apapun peran yang akan dia dapatkan sangat berguna untuk membuatnya tetap eksis di dunia hiburan. Selama karirnya, Ana selalu yakin kalau managernya mempunyai insting yang sangat bagus, jadi Ana tidak punya alasan untuk menyanggahnya. Dan di siang hari nanti, Ana harus melakukan beberapa survey ke beberapa sanggar theater yang tersebar di kota ini, dulu dia memang pernah mengikuti kelas teater, tapi itu sudah lama, jadi banyak perkembangan yang tidak dia ketahui tentunya.“Theater ini akan di siarkan secara live di beberapa stasiun televisi nasional di lima negara asia, jika
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan