Dini hari Raffael mengetuk kamar Ana, dan meminta dibuatkan makanan untuknya.
“Aku kira kamu sudah makan?”“Memangnya aku harus makan apa, kamu tahu sendiri aku hanya membawa bubur untuk Bella.”Ana tak menjawab lagi, dia mengikuti langskah Raffael untuk ke dapur. “Apa kamu mau makan cumi asam manis tadi malam atau mau aku buatkan yang lain nasi goreng misalnya?” tawar Ana saat Raffael sudah duduk manis di meja makan, dan Ana sibuk melihat isi kulkas.“Aku ingin makan cumi asam manis yang tadi tapi makan nasi goreng di saat seperti ini pasti enak,” kata Raffael.Ana tersenyum, sejujurnya dia senang Raffael saat bersikap seperti ini, tidak lembut seperti saat bersikap pada Bella memang tapi setidaknya dia tidak memandang Ana dengan sinis, dan penuh penghinaan.Inilah Raffael yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu, lalki-laki yang sudah menyelamatkan kehormatannya dari laki-laki tak bermoral di pesat itu.“Nasi goDulu Ana sangat menyukai Raffael dan berharap selalu untuk bersama dengannya, malam-malam panjang selalu dia habiskan untuk berdoa dan berkhayal kalau suatu saat dia akan bisa menjadi pasangan resmi Raffael. Tuhan yang maha pemurah memang menjawab do’anya dia menjadi istri Raffael, meski dia tidak tahu menjadi istri Raffael tapi tidak diinginkan laki-laki itu membuatnya senelangsa ini. Tapi dia tak bisa kembali, dia punya nenek yang harus dia pikirkan keselamatannya, juga karir yang menjamin hidupnya tak akan sengsara, yang terpenting adalah rasa cinta yang tetap saja tak mau hilang sampai sekarang,Ana menoleh dan melihat asap yang memenuhi dapur yang baru saja dia tinggalkan, tanpa mempedulikan ponselnya yang masih tersambung dengan Adam, Ana meninggalkannya begitu saja dan berlari ke sana. “Astaga! Masakanku!” katanya terkejut dengan apa yang terjadi, bicara dengan Adam membuatnya lupa kalau sedang membuat bubur untuk Bella, dia hanya menggu
“Nyonya pergi bersama Tuan, dan mungkin saja akan lama, apa kamu tidak ingin mengadakan pesta?” tanya Bibi saat melihat Ana yang menatap suami dan maduanya dengan pandangan sendu. “Pesta?” “Iya, Pesta, saya ada di rumah dan meski tanganku masih diperban saya bisa memberi arahan pada para asisten rumah tangga untuk membantu.” Ana masih tak mengerti apa yang bibi bicarakan, dia sama sekali tak menyukai pesta dan berpesta di rumah Raffael setelah dia melakukan kesalahan dan tanpa ijin tentu akan mengundang bencana yang lain. “Bukan pesta meriah, hanya makan-makan saja dengan semua pekerja, sejak saya sakit mereka mengeluh hanya makan masakan mereka sendiri, karena tak ingin membuat mbak Ana makin repot dengan memasakkan mereka, jadi mereka akan senang kalau kita masak hari ini, eh tapi mbak Ana tidak capek bukan?” tanya Bibi yang baru sadar kalau Ana dari tadi mengerjakan pekerjaan rumah. Ana tersenyum lebar, dia memang sedikit lelah, tapi baya
Ternyata selain dijadikan pabrik anak dia juga dijadikan banserep, batin Ana begitu tahu alasan Raffael menghubunginya dan memintanya secepatnya kemari. Seharusnya dia tadi meneruskan makan siangnya di rumah dan mengabaikan panggilan itu, toh dia tak akan rugi, bukan dia yang namanya akan buruk. Bahkan masakan mewah yang dihidangkan di restoran ini terasa hambar di mulutnya. Jelas saja. Bagaimana dia tak merasa seperti makansandal, kalau harus melihat suaminya bermesraan dengan istrinya yang lain di depannya, tidakkah mereka memiliki sedikit saja empati untuknya, dai sengaja dipanggil ke sini dan bukan atas keinginannya sendiri. Tapi Ana bisa apa, dihadapan tuan Muda Raffael Alexander yang berkuasa dan istri tercintanya, tentu saja dia hanya butiran debu, masih mending mereka berbaik hati memesankannya makanan, meski makanan itu bahkan tak sesuai seleranya. “Kasihan sekali suamik
Adam merenung sendirian di meja kerjanya, kekhawatirannya pada Ana tak berkurang juga, sebelum dia bicara sendiri dengan wanita itu, tapi sampai sore hari tidak ada telepon yang masuk untuknya dari Ana.“Kamu sedang menunggu telepon dari pacarmu? Kenapa tidak di telepon terlebih dulu?” tanya salah seorang rekan kerjanya di agensi ini. “Bukan pacar?” “Ana?” tebak orang itu yang membuat Adam mengangguk samar, bukan rahasia lagi memang kalau Adam memberi perhatian lebih pada Ana, hanya orang buta yang tidak dapat melihatnya, meski Adam sering mengatakan pada Ana kalau dia hanya menganggapnya adik, tapi tidak demikian di mata rekan kerjanya. Tapi apa peduli Adam pada mereka yang penting Ana nyaman berada di dekatnya, dia juga tak ingin memaksa Ana untuk menerima cintanya. Adam meyakini bahwa cintanya pada Ana sangat tulus, jadi meliahat senyum wanita itu saja sudah membuatnya bahagia. “Astaga, Dam, kamu harus sesekali membuka ma
“Sialan wanita itu bisanya hanya menyusahkan saja, awas saja kalau sampai rumah aku akan menyiksanya,” kata wanita berambut blonde dengan kaca mata hitam itu. Suaranya yang keras dan penuh dengan amarah membuat sopir taksi menoleh menatapnya dengan pandangan heran.“Setir saja mobilnya dengan benar, jangan ikut campur urusanku,” katanya judes. Sopir taxi tidak mengatakan apapun, dia hanya menggelengkan kepalanya pelan dan berkonsentrasi menyetir lagi, dia sama sekali tak habis pikir dengan penumpangnya saat ini, setahunya dia artis yang terkenal baik dan lembut, tapi ternyata kenyataannya tidak seperti itu. Ini semua salah Ana yang membuatnya harus kerepotan seperti ini, padahal seharusnya dia bisa menikmati makan siang istimewa bersama Raffael, apa susahnya duduk diam menunggui dia dan Raffael makan siang, dia juga tidak pelit dan membebaskan Ana memesan makanan apapun yang dia suka, uangnya sangat banyak, jadi mentraktir Ana makan siang tak akan membuatnya jatuh miskin. Di Resto
Jadwal Ana hari ini sangat padat, pagi hari dia harus melakukan pemotretan untuk beberapa majalah yang susah payah telah Adam dapatkan untuknya, di tengah himpitan kekuasaan Raffael yang menghalangi jalannya. Bukan pemotretan yang penting memang, hanya sebuah butik yang baru saja buka, milik salah satu artis lawas yang banting setir menjadi desainer, tapi kata Adam, sekecil apapun peran yang akan dia dapatkan sangat berguna untuk membuatnya tetap eksis di dunia hiburan. Selama karirnya, Ana selalu yakin kalau managernya mempunyai insting yang sangat bagus, jadi Ana tidak punya alasan untuk menyanggahnya. Dan di siang hari nanti, Ana harus melakukan beberapa survey ke beberapa sanggar theater yang tersebar di kota ini, dulu dia memang pernah mengikuti kelas teater, tapi itu sudah lama, jadi banyak perkembangan yang tidak dia ketahui tentunya.“Theater ini akan di siarkan secara live di beberapa stasiun televisi nasional di lima negara asia, jika
Ana memang bisa mengatakan kalau dia enggan untuk semobil dengan Raffael dengan berbagai alasan yang menjadi pertimbangannya, tapi tetap saja berada di dekat Raffael seperti ini adalah impian yang bahkan tak berani dia harapkan untuk menjadi kenyataan. Jangan berharap sikap Raffael akan lembut dan manis padanya, laki-laki itu tidak menghina dan merendahkannya adalah sebuah prestasi yang sangat besar, dan dirinya patut bersyukur untuk itu, itulah setidaknya itu yang dipikirkan Ana saat ini. “Sebenarnya kita akan pergi ke mana?” tanya Raffael, karena sedari tadi Ana hanya diam saja, bahkan saat Raffael melajukan mobilnya ke kantornya. “Kamu bisa turunkan aku di lobi kantormu,” kata Ana berusaha tenang. “Aku tidak ingat perusahaanku melakukan kerja sama denganmu.”“Aku memang tidak ada kerja sama dengan kantormu.” “Lalu apa yang akan kamu lakukan di sana... jangan bilang kamu akan berperan seperti istri posesif yang mengikuti s
“Pa kenapa keluarga kita tidak pernah mengadakan gatering seperti keluarga Alexander?” tanya Bella kecil saat orang tuanya menghadiri acara family gathering keluarga alexander yang juga mengundang para kolega dan sahabatnya. Event yang menurut Bella sangat cool, karena di sana dia bisa berkenalan dengan banyak orang penting dan keluarganya. “Bukankah kita juga mengadakan family gathering saat hari raya,” jawab sang ayah. “Tapi kita tidak bisa bertemu para pengusaha, lihatlah, Pa di sana banyak produser dan sutradara terkenal yang hadir, jika papa mengadakan acara seperti ini, mereka pasti juga akan mengenalku.” “Kamu tahu caranya dan itu lebih mudah,” kata sang ayah lalu meninggalkan Bella sendiiri. Jujur saja saat itu Bella sama sekali tak tahu apa maksud ayahnya, keluarganya juga kaya raya, mereka berada dalam sirkul pergaulan yang sama, Impiannya menjadi artis terkenal membuat