“Aku baru juga baru tahu ibu, tadi pak Mamad yang menghubungiku, kemarin memang ada nomer asing dan menelponku tapi sudah terlalu malam untuk menjawabnya.”
Sandra Alexander begitu geram dengan jawaban putranya, jika saja Raffael ada di depannya pasti sudah dia pukul anak itu., tapi dia ingin tahu apa tanggapan Raffael untuk hal ini, benarkah putra kebanggaannya itu begitu tega melakukan ini pada istrinya.“Lalu?”“Maaf Ibu, aku ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, lagi pula Ana di sana pasti baik-baik saja.”Sang ibu hanya diam dia begitu kecewa dengan apa yang dikatakan Raffael, dia tahu bagaimana usaha Ana untuk mendapatkan perhatian dari suaminya itu, tapi Raffael tetap saja dingin, bahkan dalam fase tersulit hidup Ana sekalipun Raffael sama sekali tak tersentuh.Sandra menatap sofa tempat Ana duduk seorang diri di sana, wanita itu begiu rapuh dan tak memiliki sandaran, tapi dia juga rasanya tak berdaya untuk terus memaksa anaAna baru pulang ke rumah Raffael satu minggu kemudian, selama itu juga tak sekalipun laki-laki itu berkunjung ke sana, jangankan berkunjung, menelpon atau mengirim pesan saja tidak dia lakukan. “Tuan menunggu anda di ruang kerjanya, Mbak,” kata bibi saat siang itu Ana baru saja turun dari mobil. Ana terdiam, dia tapi dia lalu mengangguk. “Iya, bi tolong bawakan barang-barangku di bagasi ke dalam.” Ana sudah akan mengetuk pintu ruang kerja Raffael tapi pintu itu sudah terbuka sebelum Ana melakukannya dan ternyata Raffael sendrii yang membukanya. Mereka bertatapan dalama kebisuan, Ana tak tahu apa yang ingin dibicarakan Raffael sehingga dia harus dipanggil kemari tanpa memberinya kesempatan untuk beristirahat sejenak. “Bolehkah aku duduk, kakiku pegal jika harus berdiri terus.” Raffael seolah tersadar kalau dia masih menutupi pintu ruang kerja ini dengan tubuh besarnya. “Maaf, kamu bisa mencari tempat duduk yang pa
Ini malam yang indah sebenarnya, bulan bersinar dengan penuh di langit, ditemani bintang-bintang disekelilingnya, hari memang sudah malam, dan Ana telah melewatkan jam makan malam, karena itu sekarang dia lebih memilih untuk menghabiskan makan malamnya di taman belakang rumah ini. Sendiri, hanya berteman cahaya bulan dan bintang. Dia bukan orang yang mudah patah, kalimat Raffael siang tadi seolah memberinya kekuatan untuk menentukan langkah, tidurnya menjadi lebih nyenyak setelah berhari-hari dia bahkan kesulitan untuk tidur. “Mbak Ana yakin mau makan di sini saja, nanti masuk angin,” kata bibi sambil meletakkan sepiring tumis cumi di hadapan Ana. “Di sini lebih tenang, bi,” kata Ana sambil tersenyum. “Apa bibi sudah makan?” “Sudah, Mbak, tadi bibi makan terlebih dahulu, sebenarnya tadi saya ingin membangunkan mbak Ana tapi kata Tuan jangan dulu.” Ana mengangguk, hatinya memang masih bergetar seperti biasa saat mendengar nama Raffael, tapi kini perasaan
“Seblak seperti apa yang kamu inginkan?” tanya Raffael. “Dengan banyak potongan cumi dan buah strawberry tentu saja,” kata Ana membuat Raffael menoleh dengan heran, dia pernah makan seblak tapi tidak pernah tahu kalau makanan itu juga dicampur dengan buah strawberry.Sedangkan Ana sendiri, langsung menelan ludahnya membayangkan gurih dan enaknya bumbu seblak dan juga kenyalnya potongan cumi di dalamnya dan nanti dia ingin memakan itu semua bersama buah strawberry yang segar, pasti sangat nikmat, membayangkannya saja membuat Ana tak sabar untuk menyantapnya. “Tak ada seblak dengan potongan buah, Ana, apa kamu yakin makanan yang kamu maksud itu seblak bukan salad?” tanya Raffael lagi karena istrinya itu malah bengong menatap ke depan. “Aku bisa membedakan salad dan seblak dengan baik,”kata Ana sedikit jengkel. “Tapi-“ “Kita bisa beli buah strawberry dulu dan nanti aku bisa makan berbarengan dengan seblaknya,” kata Ana. Raffael menggeleng tak percaya dengan makanan aneh yang diing
“Kenapa kamu merusak semuanya.” “Apa maksudmu?” Saat ini mereka hanya duduk berdua, akhirnya Ana hanya memesan semangkuk sup yang dari tadi hanya dia aduk-aduk saja karena sama sekali tak berselera memakannya. Raffael menatap Ana dengan tak suka. “Jangan pura-pura, kamu sengaja menyebutkan nama Rania supaya Bella tersingkir.” “Aku hanya mengatakan kebenaran, bukankah produser tadi bertanya siapa yang cocok sebagai pemeran utama menurutku.” “Tapi kenapa harus Rania,” kata Raffael keras kepala. “Ya karena Rania yang paling cocok menurutku untuk peran itu, aku tahu kamu mencintai Bella, tapi bukan berarti kamu harus buta dan mematikan karir artis lainnya, aku memang tidak mengerti dunia bisnis, tapi bukakah itu akan menghancurkan perusahaan.” “Kamu tidak mengerti apa-apa jangan sok tahu.” “Benar aku sudah bilang tadi, tapi apa salahnya aku memberi pendapat.” “Dengar An, aku juga melakukan semua ini untukmu,” kata Raffael yang membuat Ana memandangnya tak mengerti. “Apa maksudm
Ana menyesap teh lemon di tangannya dengan perlahan, tubuhnya dia sandarkan pada jendela kamarnya, matanya sibuk memperhatikan dua anak manusia yang sedang bercanda bersama, seolah dunia milik mereka berdua, tanpa tahu ada perasaan yang terluka.Ana tak pernah melihat laki-laki itu tertawa begitu lepas dan bahagia, matanya yang biasanya bersinar dingin sekarang secerah matahari pagi, tatapannya juga sangat memuja pada si wanita. Ah... apalagi yang dia harapkan dia memang sudah tak punya tempat, sampai saat ini dia hanya bergantung pada harapan setipis benang yang bisa kapan saja putus. Ana tahu di sini dialah yang memaksa masuk dan merusak kebahagiaan itu, dia memang memiliki beberapa alasan untuk membenarkan semua tindakannya, tapi tetap saja rasa bersalah ini selalu saja menghantuinya, semula dia hanya ingin dekat dengan orang yang dia cinta, tapi apa daya kalau dia sama sekali tak punya tempat di sini. Ana mengusap perutnya dengan sayang, anak ini tidak bersalah, dia mema
“Saat ini diam adalah pilihan yang terbaik,” kalimat itu terngiang selalu dalam benak Ana. Haruskah dia hanya berdiam diri saja dan merelakan semuanya.Ana kembali melangkah keluar, dia harus membantu bibi untuk menyiapkan makan malam, yah tentu saja bukan murni membantu bibi, tapi juga untuk menenangkan perasaannya sendiri agar tidak menjadi gila, memikirkan semua ini. “Mbak Ana baik-baik saja?” tanya bibi, Ana bisa melihat dengan jelas kekhawatiran di wajah yang mulai keriput itu. “Kenapa bibi selalu mengkhawatirkan aku, aku baik-baik saja, apa bibi tidak bisa melihat matahari di bola mataku,” kata Ana sambil tertawa. “Kayak lagu saja, Mbak,” jawab bibi sambil tertawa. Bicara dengan bibi terbukti mampu mengembalikan mood wanita itu, setidaknya berhasil mengalihkan pikirannya untuk sementara waktu. Di luar rumah Raffael dan Bella yang sedang menghabiskan waktu bersama, di sela kesibukan Bella yang sangat luar biasa padatnya. “Aku kadang kesa
Antara sadar dan tidak Ana masih bisa mendengar kalau beberapa langkah kaki mendekatinya, lalu sebuah teriakan menggema sepertinya suara bibi. Rasa sakit yang dia rasakan sudah tak tertahan lagi tanpa sadar Ana mengerang kesakitan, dan Ana masih bisa mendengar suara bibi meminta seseorang memanggil Raffael di ruang kerjanya. “Tuan mbak Ana pendarahan.” Raffael yang sedang sibuk dengan pekerjaannya langsung bergegas berdiri, Ana tergetak di sana dengan darah yang merembes dari rok yang dia pakai. “Astaga apa yang sebenarnya terjadi, ceroboh sekali,” gumam Raffael. Laki-laki itu lalu melangkah menghampiri Ana. “Bawa ke rumah sakit, bibi ikut dengan Ana biar pak mamad yang menyetir,” kata Raffael langsung balik badan. “Tuan ini mbak Ana tidak bisa jalan sendiri, apa tidak sebaiknya tuan gendong saja,” kata bibi. Raffael menghela napas panjang dan berbalik untuk mengangkat tubuh Ana, ke dalam mobil yang telah disiapka
Berita tentang Raffael yang saat ini menemani Bella yang kakinya terkilir langsung menjadi trend, banyak komentar yang mengatakan kalau hal itu sama sekali tidak pantas, satu bulan yang lalu seorang artis dari manageman perusahaan Raffael juga mengalami kecelakaan dan kaki kanannya patah, tapi Raffael sama sekali tidak mengunjunginya, hanya meminta sekretarisnya yang datang. “Direkturnya ternyata pilih kasih.” “Apa mereka ada affair, mereka sering terlihat berdua tanpa Ana?” “Pasti jatuh dengan sengaja, sudah tahu jalannya licin kenapa pakai hak setinggi itu.” Tapi juga ada komentar yang membela mereka.“Mereka memang teman sejak kecil pantas saja dekat.” “Mereka pasangan yang serasi, sayang sekali Raffael sudah menikah.” Dan masih banyak lagi, Ana tahu komentar itu mungkin dari penggemar Bella, atau dari tim yang memang disiapkan Raffael untuk meredam gosip yang buruk tentang artisnya. Membaca itu semua
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan