Antara sadar dan tidak Ana masih bisa mendengar kalau beberapa langkah kaki mendekatinya, lalu sebuah teriakan menggema sepertinya suara bibi.
Rasa sakit yang dia rasakan sudah tak tertahan lagi tanpa sadar Ana mengerang kesakitan, dan Ana masih bisa mendengar suara bibi meminta seseorang memanggil Raffael di ruang kerjanya.“Tuan mbak Ana pendarahan.”Raffael yang sedang sibuk dengan pekerjaannya langsung bergegas berdiri, Ana tergetak di sana dengan darah yang merembes dari rok yang dia pakai.“Astaga apa yang sebenarnya terjadi, ceroboh sekali,” gumam Raffael.Laki-laki itu lalu melangkah menghampiri Ana. “Bawa ke rumah sakit, bibi ikut dengan Ana biar pak mamad yang menyetir,” kata Raffael langsung balik badan.“Tuan ini mbak Ana tidak bisa jalan sendiri, apa tidak sebaiknya tuan gendong saja,” kata bibi.Raffael menghela napas panjang dan berbalik untuk mengangkat tubuh Ana, ke dalam mobil yang telah disiapkaBerita tentang Raffael yang saat ini menemani Bella yang kakinya terkilir langsung menjadi trend, banyak komentar yang mengatakan kalau hal itu sama sekali tidak pantas, satu bulan yang lalu seorang artis dari manageman perusahaan Raffael juga mengalami kecelakaan dan kaki kanannya patah, tapi Raffael sama sekali tidak mengunjunginya, hanya meminta sekretarisnya yang datang. “Direkturnya ternyata pilih kasih.” “Apa mereka ada affair, mereka sering terlihat berdua tanpa Ana?” “Pasti jatuh dengan sengaja, sudah tahu jalannya licin kenapa pakai hak setinggi itu.” Tapi juga ada komentar yang membela mereka.“Mereka memang teman sejak kecil pantas saja dekat.” “Mereka pasangan yang serasi, sayang sekali Raffael sudah menikah.” Dan masih banyak lagi, Ana tahu komentar itu mungkin dari penggemar Bella, atau dari tim yang memang disiapkan Raffael untuk meredam gosip yang buruk tentang artisnya. Membaca itu semua
Berita Ana yang dirawat di rumah sakit sampai juga ke telinga Adam. Laki-laki itu langsung datang padahal dia saat itu sedang ada meeting dengan beberapa artisnya, yang terpaksa harus dia akhiri lebih awal. “Apa kamu sudah tidak menganggapku teman lagi, sampai kejadian seperti ini kamu sama sekali tidak memberitahuku,” sembur Adam saat dia masuk ke ruang rawat Ana. Matanya menatap Ana dengan cemas, tapi laki-laki itu menutupinya dengan memarahi Ana. “Mas Adam pasti sangat sibuk, aku sedang tidak ada kontrak kerja, jadi tidak mau merepotkan mas,” jawab Ana dengan manis. “Sejak kapan kamu berpikir begitu, kamu memang selalu merepotkan tapi aku sudah terbiasa dengan itu,” kata Adam dengan serius. “Uh mas Adam kalau bilang begitu makin manis, jadi tambah sayang,” kata Ana yang membuat Adam sedikit salah tingkah, tapi dia harus kecewa karena ternyata kata sayang yang diucapkan Ana hanya sebagai saudara, itu sangat terlihat jelas dari ca
Wajah dokter itu langsung memucat, dia memang bukan orang yang berkecinpung di dunia hiburan, tapi nama besar Robert Alexander dan juga sekaligus mertua dari Anastasya tentu dia tahu. Sang dokter tahu hal ini cepat atau lambat akan terjadi, karena itu dia menolak perminataan Ana, meski tidak langsung di hadapan wanita itu, karena sebagai dokter dia harus menjaga pasiennya agar baik-baik saja. “Saya tidak akan membuang-buang waktu dokter dengan perkenalan atau basa basi dari ekspresi dokter saya tahu anda sudah kenal saya.” Sang dokter hanya mengangguk, dia lalu membawa pasangan paruh baya itu ke ruangannya. “Apa yang ingin anda ketahui?” “Kondisi sebenarnya menantu saya?” Sang dokter menghela napas, dia menatap kedua orang ini dengan tajam. “Apa dia tidak mengatakan apa yang terjadi padanya pada anda berdua?” “Kami tidak perlu menjawab itu bukan,” kata Robert Alexander dengan tenang, tapi snag dokter tahu pasti
PLAKSuara tamparan itu menggema di koridor rumah sakit, untung saya ruang vvip itu tidak dilewati orang, sehingga peristiwa itu tidak ada saksi dari peristiwa itu. Jika tadi sang ayah yang menamparnya kini giliran sang ibu yang melakukannya, Raffael selalu merasa kedua orang tuanya terlalu membela Ana, sejak wanita itu masuk ke dalam kehidupan mereka.“Ibu, aku-“ “Ibu kecewa padamu, Raf, ibu pikir ibu sudah membesarkan anak yang baik dan bertanggung jawab, nyatanya dalam keadaan seperti ini juga kamu bertindak sangat tidak adil.” “Bu Bella juga sedang sakit, waktu itu sudah banyak orang yang membantu Ana, dia hanya pendarahan-“ Sang ibu menatap nanar putranya, hanya pendarahan, tahukan putranya apa arti kata itu. Dengan tubuh yang lamas sang ibu melangkah mundur dengan muka pias, dia lalu mendudukkan dirinya di kursi tunggu di depan ruang rawat Ana ini. “Hanya pendarahan, ya,” kata sang ibu yang seperti o
“Nyonya Anda tidak boleh bangun dari tempat tidur dulu, anda bisa pendarahan lagi,” cegah seorang suster saat Ana berkeras ingin tahu kondisi ibu mertuanya. Setelah Raffael memanggil dokter tadi, mereka memang memindahkan sang ibu ke ruangan yang lain untuk ditangani dan Ana tak mungkin bisa tenang tinggal di sini sendiri. Ana tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri yang telah membuat sang ibu seperti ini. “Tapi suster, saya juga tak bisa tenang saat mengetahui ibu mertua saya seperti itu,” kata Ana keras kepala. “Iya tapi kondisi anda dan janin dalam perut anda juga sedang tidak baik-baik saja,” diingatkan seperti itu Ana lalu terdiam, dia tentu saja tidak mau kehilangan bayinya. “Baiklah, suster, apa bisa saya minta tolong untuk melihat bagaimana kondisi ibu mertua saya sekarang, suami dan ayah mertua saya pasti sangat sibuk dan tak sempat kemari,” kata Ana akhirnya mengalah. Sang suster mengangguk menyanggupi perm
“Selamat sore Ana, wah wajahmu tampak mengerikan.” “Memang apa yang diharapkan dari wanita yang sedang sakit?” Laki-laki yang baru saja masuk ruang rawat Ana itu menatap Ana dengan senyum menggoda, tapi wanita itu bukannya tersenyum seperti biasa, dia malah terlihat sangat kesal. “Apa aku tadi menganggumu, kamu terlihat sangat kesal, aku mau menghibur juga rasanya akan hambar dan buang-buang energi saja, padahal aku tadi sudah susah payah mencarikan makanan yang kamu inginkan.” “Aku tidak kesal, memang penampakan wajahku seperti ini,” kata Ana kesal. “Astaga memangnya kamu itu hantu pake kata penampakan segala.” “Bukan, tapi aku bisa menjadi hantu kalau mas Adam terus menggodaku.” “Siapa juga yang menggoda istri orang, memang kamu kira aku laki-laki apaan.” Kini Ana yang tertawa karena berhasil membuat Adam kesal. “Mas Adam laki-laki terbaik yang pernah aku temui,” kata Ana. “Nah sekarang siapa yang menggoda.” “Astaga kenapa mas Adam
Ana menatap pintu ruang rawatnya dengan gelisah, semenjak tadi bibi belum juga kembali padahal wanita paruh baya itu berjanji akan kembali lagi ke sini setelah Raffael pergi, yah meski itu dikatakan dengan begitu lirih. “Anda terlihat gelisah, Bu,” kata perawat yang sore ini bertugas mengukur tensi dan suhu tubuhnya. “Saya hanya mengkhawatirkan bibi saya, apa dia tersesat, dari tadi belum kembali juga,” kata Ana. “Rumah sakit ini memang luas, tapi tetap saja banyak orang di sini yang bisa dia tanya.” Ana mengangguk dan membenarkan ucapan sang perawat, tapi tetap saja hatinya cemas, apalagi panggilannya juga tidak diangkat. “Apa perlu saya bantu dengan mengumumkannya?” tawar sang suster. Ana terdiam, usia bibi sudah sangat tua untuk tersesat dan tak bisa kembali, apalagi ruangan ini terlalu mencolok untuk tidak bisa ditemukan. “Tidak perlu, sus, mungkin suster benar saya terlalu khawatir.” Ana terus menco
“Aku lapar.” “Eh?” Raffael menatap Ana dengan pandangan tajam. Setelah pertengkaran dengan sang ibu tadi, Raffael terpaksa mengalah dan malam ini dia akan tidur di rumah ini, tepatnya di kamar dan ranjang yang sama dengan Ana di kamar masa bujangnya yang penuh dengan poster dan juga kaset CD berbagai film, tempat ini memang lebih menyerupai mini theater dari pada kamar tidur. “Sebenarnya aku tadi memanggil ayah juga untuk makan malam, chef di sini sudah membuat banyak masakan tadi,” kata Ana. “Biasanya di kulkas ibu banyak sekali bahan makaan,” kata Raffael. Ana menghela napas, bukankah itu artinya kode kalau laki-laki ini ingin makan masakan buatannya. “Apa tidak ingin melihat dulu masakan yang ada? tadi ada cumi goreng tepung, ayam saus inggris-“ “Apa gunanya kamu di sini kalau chef juga yang memasakkan aku makananan,” kata Raffael dengan datar. Ingin sekali Ana mencibir laki-laki di depannya ini, bilang saja kalau dia merindukan masakannya
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan