BASKARA's POV
"Mama?"
Apa aku tidak salah lihat? Mama sedang berbincang dengan seseorang di depan pintu gerbang. Perempuan dan laki-laki. Sepulang dari kantor, aku sempat membuka kaca mobil dan mengamati mereka.
"Oh, Baskara... Ya, cepatlah masuk ke dalam." Perintahnya.
Tak berselang lama kemudian, Mama masuk kembali ke dalam rumah. Penjaga depan menutup lagi gerbangnya.
"Ma, siapa mereka?" Tanyaku. Sengaja aku menunggunya di teras depan rumah.
"Mereka adalah orang kepercayaan Mama yang merawat kebun keluarga di villa. Sekarang, setelah semuanya berkembang pesat... mereka mau meminta hak mereka." Jawab Mama lalu memasuki rumah.
"Hak mereka?" Tanyaku.
"Iya. Aku sudah membereskannya." Jelas Mama dan melanjutkan langkahnya menuju ke area ruang makan di dekat ruang keluarga.
"Apa yang mereka minta?" Aku masih belum paham. Bukankah setiap bulannya setiap karyawan memperoleh gaji bula
ANDINI's POVPintu kamarku diketuk halus dari luar. Malam-malam begini? Kulirik jam dinding rupanya sekarang jam setengah dua pagi.Bagas tertidur lelap di sampingku dan aku bergerak sepelan mungkin agar tidak membuatnya terusik."Siapa?" Suaraku lirih menanyai siapa gerangan di balik pintu.Kubuka handle pintu secara hati-hati agar tak bersuara dan mengejutkan bayiku."Baskara?" Mataku masih lengket dan sulit untuk aku buka. Beberapa kali tanganku mengusap-usap kelopaknya agar terbangun. "Ada apa malam-malam begini?"Aku termenung sejenak dan mengingat-ingat sesuatu. Astaga, jangan-jangan dia mau minta jatah... Aku tidak yakin bisa mengabulkan permintaannya sekarang."Tolong, jangan sekarang ya?" Pintaku memelas. Suaraku juga serak dan agak parau."Andini, memangnya setiap kali aku mendatangimu itu tujuanku cuma untuk menidurimu?" Meski matanya juga terlihat mengantuk, selera humornya masih aktif sekarang."Masuklah. Bagas tidur di sini... jangan buat dia bangun." Pesanku agar dia ti
BASKARA's POV Andini membolak-balikkan badannya ke kiri dan ke kanan sejak tadi. Tidurnya tak bisa tenang dan nyenyak. Mungkin dia sedang banyak pikiran atau... entahlah, ada sesuatu yang sedang dipendamnya. "Kenapa tidak bangun?" Gumamku saat melihatnya masih meringkuk pulas di ranjangku. Tidak ada gerakan yang menandakan dia akan segera bangun dan kembali ke realita. "Haruskah aku bangun sekarang?" Tubuhnya terlihat semakin besar sekarang, terutama bagian perutnya yang semakin membuncit. "Jangan malas seperti kucing, Andini. Bangunlah. Ini sudah jam tujuh pagi dan kamu sejak tadi tidak bergerak sedikitpun..." Selimut yang dia pakai sengaja aku tarik dan lipat agar dia tak lagi merasa hangat. "Baskara, kamu jahat sekali. Aku mengandung anakmu, tapi kamu tidak membuat aku merasa nyaman di sini." Rengeknya seperti anak kecil. Kakinya bergerak-gerak untuk mencari perlindungan. Jendela kamar sudah aku buka sejak tadi. Angin dingin sudah berlarian ke luar dan masuk dengan sesukanya
ANDINI's POVHawa dingin itu menyelimuti sekitarku. Tidak ada lagi tanda-tanda matahari muncul. Tapi, bagaimana bisa tempat ini terasa terang dan bercahaya?Di mana aku?Seingatku tadi aku masih berada di klinik bersama Baskara."Mau ke mana, Mbak Andini?" Langkah kakiku terhenti seketika.Mak Ijah. Itu jelas suara Mak Ijah. Tapi di mana dia? Aku hanya mendengar suaranya saja."Mak Ijah?" Kupanggil di dekat asal suara itu."Mbak, bagaimana? Kita tidak bisa diam begini. Ini saat yang tepat untuk pergi. Mbak Andini harus bergegas pergi meninggalkan Tuan Baskara. Tuan Bayu sudah siap menantimu." Suara itu semakin jelas. "Maka, setelah ini, segeralah pergi dari rumah. Tuan Bayu akan dengan senang hati menampungmu... Dia mencintaimu setulus hatinya. Tidak seperti Tuan Baskara. Dia hanya menjadikanmu sebagai alat untuk memproduksi keturunan.""Mak, aku tidak tahu harus bagaimana. Bagas membutuhkan ayah juga." Bisikku."Tuan Baskara bisa menjadi ayahnya Bagas. Sementara Tuan Bayu bisa menjad
BASKARA's POVTangannya sejak tadi menggenggam erat satu sama lain. Sesekali dia memanggil-manggil ayahnya yang telah tiada. Lalu berpindah posisi tidur dari miring ke kiri, ke kanan, dan kembali ke kiri. Begitu seterusnya.Kupikir ini waktunya aku meninggalkannya sendiri untuk tidur.Setelah memastikan dia tidak mengalami keluhan apapun, aku akhirnya berangkat untuk ke kantor siang ini. Seharian aku tidak bisa tenang saat di kantor. Apa yang sebenarnya dia rasakan di dalam lubuk hatinya yang paling dalam.Setelah selesai meeting, aku segera bergegas untuk pulang lagi dan melihat bagaimana kondisi Andini."Apa maksud Mak Ijah?" Itu jelas suara Andini."Ya sebaiknya segera saja tinggalkan rumah ini, Mbak." Tutur seseorang yang sedang bicara dengannya. Aku yakin itu adalah suara Mak Ijah."Tapi, saya sudah sepakat dengan Baskara... kalaupun saya nanti bercerai dan meninggalkan rumah ini, akan saya lakukan setelah saya melahirkan." Andini menjawab dan aku yakin dia sedang kebingungan men
ANDINI's POVSeharian kemarin Baskara tidak menemuiku. Tumben. Saat malam menjelang, kulihat jendela kamarnya masih tidak ada lampu yang menyala dari dalam ruangnya. Ke mana perginya?Tak ada pesan titipan pada Bibi Siti ataupun Mak Ijah. Saat bertemu Pak Gun di luar, dia juga hanya bilang Baskara tidak ke luar kota. Dia bekerja seperti biasa.Pagi ini kuusahakan untuk bertemu, siapa tahu dia belum berangkat."Kamu sudah mau ke kantor?" Tanyaku.Kami berpapasan di tangga. Aku masih berjalan beberapa langkah untuk naik. Baskara nampak tergesa-gesa untuk pergi. Aroma parfumnya sudah membuat hidungku terbangun sepagi ini."Iya." Jawabannya singkat. Dia tak menyapa atau mengecek anak yang sedang di kandunganku seperti biasa. Aku menyusulnya ke depan. "Apa kamu mau ke luar kota?"Siapa tahu aku diajak. Biasanya Baskara akan menawariku untuk menemaninya. Sekarang Bagas sudah tidak mau berdekatan denganku lagi karena perutku semakin membuncit. "Tidak." Baskara membuka pintu mobil dan duduk
ANDINI's POVHari yang aku nantikan akhirnya telah datang di depan mata. Saat ini aku sudah memasuki ruang untuk bersalin. Sejak semalam aku sudah mengalami kontraksi yang semakin dekat jaraknya.Baskara memang mengantarkanku juga, tapi tak ada kalimat apapun yang keluar dari mulutnya."Mbak Andini, semangat ya..." Santi menyemangatiku.Akhir-akhir ini setelah Mak Ijah pergi, kami memang semakin dekat dan akrab. Diam-diam Santi banyak membantuku dalam menuju masa transisiku ini. Karena dia juga seorang janda, sebuah status yang sebentar lagi akan aku sandang juga.Pihak rumah sakit hanya mengijinkan satu orang saja yang menemaniku di ruang bersalin. Meski aku tak menunjuk atau meminta, Baskara akhirnya menemaniku meski masih dalam keadaan membisu."Tuan, nanti tolong istrinya disemangati. Saya harap nanti jangan terkejut atau ikut gugup. Tetap tenang dan beri dukungan pada calon ibu yaa..." Salah satu tenaga medis yang kuyakini adalah bidan, memberikan wejangan yang sebagian aku ikut
BASKARA's POV Semenjak pulang dari rumah sakit, Andini tak begitu banyak bicara. Dia sering terlihat murung dan hanya sesekali berbicara dengan Askara atau Bagas. Keputusanku untuk memecat Mak Ijah tanpa sepengetahuan Papa ataupun Mama kala itu, semoga saja menjadi keputusan yang betul. Aku baru menyadari bahwa terlepas dari pernikahan kontrak yang dulu pernah aku jalani dengan Andini, ada sosok yang memanfaatkan keadaan dan berupaya mengendalikan semuanya sesuai apa yang dia mau. "Andini. makanlah dulu." Aku menyuapinya sesendok bubur ayam. Tapi mulutnya belum juga mau terbuka. "Keburu dingin." Kudekatkan sendok itu ke mulutnya, berharap agar dia mau membuka mulut dan makan sedikit demi sedikit. "Baskara... apa sebaiknya kita cerai sekarang saja?" Pertanyaan itu dia lontarkan kepadaku. Nyaris aku menjatuhkan sendok makan ke lantai saat mendengar kalimat itu keluar begitu saja dari Andini. Apa dia sudah merasa yakin dengan keputusannya? "Tunggulah anakmu besar. Apa kamu yakin de
ANDINI's POVSementara aku menidurkan Askara yang sudah berumur sebulan, Bagas sedari tadi tetap saja merengek memintaku untuk menyuapinya.Cukup sulit jika dua-duanya rewel. Meskipun dibantu oleh Santi dan Bibi Siti, di saat-saat tertentu mereka hanya mau denganku saja."Mama... cuap!" Usianya yang hampir dua tahun sudah mulai pandai memerintahku untuk melakukan apa yang dia senangi."Iya, iya... Mama suapin kamu, Bagas. Tapi janji ya makannya harus dihabiskan!" Sambil duduk di sofa tempatku menyusui Askara, tanganku menyuapkan sendok demi sendok ke mulut kecil Bagas.Sejak pagi Bagas rewel, Bibi Siti bilang...mungkin Bagas rindu denganku."Mama... mama..." Tangannya berusaha meraih adiknya yang sedang tidur di dalam tempat tidur bayi, tempat di mana Askara baru saja tertidur pulas."Bagas... jangan sentuh-sentuh adik ya... dia baru tidur. Kasihan, okay?" Sebisa mungkin aku menahan emosi agar tidak marah di hadapannya. Tanganku sudah tak kuat jika lama-lama begini, aku ingin segera m
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan