j
ANDINI's POVSementara aku menidurkan Askara yang sudah berumur sebulan, Bagas sedari tadi tetap saja merengek memintaku untuk menyuapinya.Cukup sulit jika dua-duanya rewel. Meskipun dibantu oleh Santi dan Bibi Siti, di saat-saat tertentu mereka hanya mau denganku saja."Mama... cuap!" Usianya yang hampir dua tahun sudah mulai pandai memerintahku untuk melakukan apa yang dia senangi."Iya, iya... Mama suapin kamu, Bagas. Tapi janji ya makannya harus dihabiskan!" Sambil duduk di sofa tempatku menyusui Askara, tanganku menyuapkan sendok demi sendok ke mulut kecil Bagas.Sejak pagi Bagas rewel, Bibi Siti bilang...mungkin Bagas rindu denganku."Mama... mama..." Tangannya berusaha meraih adiknya yang sedang tidur di dalam tempat tidur bayi, tempat di mana Askara baru saja tertidur pulas."Bagas... jangan sentuh-sentuh adik ya... dia baru tidur. Kasihan, okay?" Sebisa mungkin aku menahan emosi agar tidak marah di hadapannya. Tanganku sudah tak kuat jika lama-lama begini, aku ingin segera m
BASKARA's POV"Apa kamu yakin?"Setiap ucapan Andini yang dikatakannya semalam membuatku bertanya pada hati kecilku. Adakah yang lebih bisa aku percaya selain hasil tes yang menunjukkan hitam di atas putih? Tentu tes DNA itu sudah valid dan tidak mungkin salah. "Aku sebenarnya tidak mau percaya tapi itulah kenyataannya, Andini. Hhhhhhh....." Hembusan nafas panjang ini kuharapkan bisa membuat hatiku lebih tenang. Jantungku berdetak tak karuan sejak tadi.Pertanyaan Andini justru mengulik keyakinanku sendiri. Papa adalah sosok yang sampai saat ini menjadi orang tua sempurna di mataku. Meskipun kesalahannya main perempuan tidak pernah bisa aku tolerir."Baskara... apa kamu tidak ingin tahu siapa ayahmu yang sebenarnya? Maaf jika aku salah dalam bertanya, maksudku... biasanya orang akan penasaran siapa ayah kandungnya ketika mengetahui bahwa orang tua yang selama ini merawatnya adalah orang tua angkat atau tiri..." Begitulah watak Andini, semakin dijawab pertanyaannya, dia tak akan pern
BASKARA's POV"Kalau itu maumu, aku tidak bisa mencegahmu." Papa menyetujui apa yang aku inginkan. "Tapi, kamu harus ingat, Om-mu itu orangnya sulit untuk digoyahkan. Sekali ingin A, dia akan pertahankan mati-matian A itu. Dia tidak peduli apa yang orang lain katakan atau inginkan." Wejangan Papa membuatku berpikir sejenak. Mengapa dua kakak beradik ini memiliki watak yang sangat bersebrangan? Papa, setauku adalah seorang yang mementingkan orang lain. Tak dipungkiri bagi Papa, nama baik adalah sesuatu yang harus dijaga dan diperjuangkan. Tapi... Om Hadi tidak demikian halnya."Pa..." Semenjak aku mengetahui fakta kalau Papa bukan ayah kandungku, aku menjadi sedikit kikuk setiap kali hendak bertanya sesuatu hal yang sensitif. Ada sedikit jarak yang tiba-tiba terjadi antara aku dan dia."Katakan saja, Baskara! Sejak kemarin aku perhatikan, kamu ada hal yang ingin kamu utarakan. Tapi selalu kamu tahan. Ayo, berterus teranglah, anakku..." Ucapan Papa dan rasa sayangnya tak pernah berkura
ANDINI's POV Melihat bayi mungil ini tertidur nyenyak di tempat tidurnya, aku tersenyum sendiri. Betapa damainya dunia seorang bayi yang masih bersih dari noda dan dosa. Ketenanganku menikmati pemandangan indah ini sirna seketika karena Baskara yang pulang dalam keadaan muram dan diam seribu kata. Dia hanya duduk termenung di sebelahku. Mengingat hubungan kami belum sepenuhnya pulih, aku membiarkannya terdiam dan lebih baik menunggunya untuk memulai bercerita. "Apa yang harus aku lakukan, Andini?" Dia membuka suara bahkan ketika aku belum memintanya. "Ada persoalan?" Akhir-akhir ini aku tidak berani banyak bicara. Takut salah dan menambah masalah. "Papa tadi terlihat sangat marah. Bahkan dia lebih marah daripada saat aku dulu mengaku telah menabrak ayahmu." Kalimat Baskara masih terdengar lirih. Aku menjaga diri agar tidak terbawa emosi. Setiap kali dia mengingatkan kejadian tentang ayahku, seketika ubun-ubunku terasa mendidih. "Lalu... apa yang akhirnya kamu lakukan untuk me
ANDINI's POVSetelah berdebat panjang dengan Santi, kuputuskan untuk mengikuti apa yang dia mau. "Temui Tuan Bayu dan Mak Ijah sebentar, Mbak..." Isaknya semakin terdengar jelas, "atau Mak Ijah nanti akan marah dan curiga padaku.""Kamu jangan cengeng. Aku sudah cukup lama menjadi orang yang tertindas dan dimanfaatkan oleh Mak Ijah." Kalimat itu kusampaikan untuk menguatkan Santi. Dia terlihat ketakutan setelah menyadari pada siapa sebenarnya dia berpihak."Mbak... aku takut. Aku..." Jelas Santi sekarang sudah menyadari kesalahan yang dia lakukan. "Aku selama ini mendekati Tuan Agus karena perintah Mak Ijah. Dia bilang kalau aku hamil, aku akan diberinya semua yang aku minta."Bukan salah Santi sepenuhnya memang. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Santi telah mengandung seorang janin yang jelas-jelas itu bukan anak Tuan Agus.Sampai sekarang dia belum mengakui anak siapa yang dikandungnya."Aku tahu Santi. Orang seperti kita ini mengharapkan hidup yang nyaman dan tidak perlu bekerja unt
BASKARA's POV"Sudah beberapa hari terakhir ini saya lihat secara langsung, Santi sering bertemu dengan Mak Ijah..." Pak Gun berucap.Hans hanya bisa menarik nafas panjang sejak tadi kami bertiga bertemu di kafenya. "Apa dugaan kita benar kalau dia hanyalah kaki tangan saja?""Saya kira Santi ini sama dengan Mbak Andini, Mas Hans. Dia hanya digunakan sebagai tameng untuk balas dendamnya." Pak Gun terlihat yakin dengan kalimatnya. Itu sudah dia gaungkan sejak pertama kali Hans mengusulkan untuk membentuk tim rahasia.Hans dan instink yang tak pernah salah, selalu berkata bahwa ada pengkhianat di dalam rumah. Entah itu salah satu anggota keluarga ataupun pembantu yang biasa berada di rumah. Mereka punya andil besar karena tahu menahu soal keluargaku."Semenjak Tuan Hadi mengakui Tuan Baskara jadi anaknya, Mak Ijah langsung membelok. Makanya saya kemarin ngeyel minta Tuan Baskara untuk uji coba. Mengetes kesetiaannya. Akhirnya terbukti, kalau dia lebih memilih untuk pergi daripada bertah
ANDINI's POVTidak tahu dari mana datangnya, Baskara mendadak mendatangiku dan membawaku ke hadapan orang-orang yang ada di pelataran samping rumah.Masih belum bisa berpikir apa yang sedang terjadi, dia sudah memberiku pilihan. Apakah aku akan memilihnya atau Bayu. Pertanyaan macam apa ini? Apa sampai sekarang dia masih meragukan aku?"Jawab sekarang, Andini!" Perintahnya. Tanpa banyak pertimbangan lagi, aku yang awalnya melepaskan genggaman tangannya... mencari tangan kekar itu.Baskara yang awalnya berapi-api seketika dingin dan tak menyemburkan suara kebencian. Matanya terkejut melihat tanganku memegang tangannya. Kali ini bukan atas paksaan siapapun."Andini?" Bisiknya masih tidak percaya."Aku memilihmu. Sejak pertama kalinya." Balasku. Bagaimana membuatnya percaya padaku? Rasanya mustahil untuk merubah keyakinan Baskara yang selalu teguh pada apa yang dia yakini."Berarti, selama ini... kamu tidak pernah mencintai Bayu?" Baskara masih belum bisa menutup mulutnya. Dia keheran
ANDINI's POV"Aku ingin kita pindah ke villa."Baskara yang masuk ke kamarku tiba-tiba mengutarakan rencananya. Tidak ada angin tidak ada hujan."Memangnya kenapa?" Tanyaku. Sebenarnya aku mulai kerasan untuk tinggal di sini. Terlebih lagi, di sini sudah tidak ada Mak Ijah lagi."Aku ingin anak-anak kita tumbuh dalam suasana tenang dan netral." Ucapnya kemudian duduk di sebelahku. Mata Baskara sedari tadi tidak bisa lepas dari menatap kakiku. Aku tahu itu.Sengaja aku duduk menyilangkan paha agar bajuku yang sangat minim tidak mengganggu konsentrasinya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya."Apa kamu tidak suka tinggal di sana? Atau kamu mau tetap tinggal di sini karena ada banyak pembantu yang membantumu setiap hari?" Desisnya terlihat tidak suka saat aku menanyakan alasannya pindah."Aku..." Tak bisa kuungkapkan apa yang sebenaranya aku rasakan. Toh, akhirnya tetap keinginan Baskara-lah yang akhirnya akan terjadi dan pasti dipilihnya."Baguslah... Aku sudah pack beberapa barangku. Se
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan