ANDINI’s POVBaskara setelah beberapa hari di sini, akhirnya dia akan segera pergi juga. Sementara aku tak merasakan kenyamanan saat dia berada di sini. Gerak gerikku terasa terus diawasi dan setiap kali aku dekat dengan Bayu, matanya seolah adalah mata malaikat yang mencatat kejahatanku.Sesalah itukah aku di matanya?“Mau berangkat jam berapa Tuan nanti?” Telingaku mendengar jelas Mak Ijah menanyakannya pada Baskara.Dia tampak sibuk membaca-baca sesuatu dari laptopnya. Mungkin saja itu adalah urusan pekerjaan.Tak langsung menjawab, Baskara malah meminta Mak Ijah untuk membuatkannya kopi. Hari masih pagi.“Mak, bikinkan saya kopi lagi. Agak pahit saja.” Pintanya dan tak memberitahukan kapan dia akan pulang.Aku masih sibuk menggendong Bagas yang sejak semalam rewel karena aku tinggal tidur hanya dengan Mak Ijah.“Anaknya Mbak Andini rewel lagi ya?” Mak Ijah masih sempat menanyakannya padaku saat di dapur.“Iya, Mak. Semalam saya tinggal keluar. Jadinya pagi membalas padaku. Tidak m
Baskara’s POVPagi tadi Laura menelponku lagi. Menanyakan apakah aku akan benar-benar berangkat ke New York. Kupastikan aku akan berangkat besok setelah menunggu cuaca memungkinkan untuk melakukan penerbangan ke sana.“Baiklah, Sayang… aku sudah sangat merindukanmu…” Sama seperti hari-hari sebelumnya, itulah yang dia katakan kepadaku. Tanpa menanyakan kabar atau apa yang sedang aku alami.Aku baru sadar sekarang. Apa yang dikatakan oleh Mama sebagian ada benarnya juga. Apakah cintaku pada Laura sampai membuat aku buta?“Iya, miss you too…” ucapku.“Bye, Sayang….” Tangannya melambai mesra.Terlihat sepintas saat dia menutup video call-nya, seseorang yang keluar dari kamar mandi memakai handuk. Apakah itu tadi seorang laki-laki? Atau bisa jadi itu hanya khayalanku saja.Tak berselang lama, aku mendengar suara tangisan bayi. Astaga, anak itu pagi-pagi sudah menjerit sekuat-kuatnya.Aku sempat melihat Andini dan Mak Ijah membicarakan sesuatu. Ketika Andini menghilang, aku ambil dia dan ku
ANDINI’s POVKepalaku terasa berat dan pusing. Aku merasa bahwa sekarang udara sekelilingku terasa sangat dingin. Aku mendengar apa yang terjadi di sekelilingku namun mataku tak bisa terbuka sama sekali. Bahkan ketika aku berusaha untuk menggerakkan ujung jariku, semua terasa kaku.Aku ingin berteriak minta tolong untuk membawaku dan anakku pergi. Aku sudah tahu apa yang ada di benak Prasetia, lelaki yang kukira tulus mencintaiku. Dia memang cinta padaku tapi tidak pada anakku. Dia ingin memisahkan kami.Kurasakan tubuhku melayang dan berpindah. Ada sepasang tangan kokoh yang membawaku pergi menjauh dari kerumunan orang-orang. Jeritan tangis beberapa orang masih kudengar. Aku masuk ke sebuah tempat dan tubuhku terdampar di sebuah tempat.Di mana aku? Setelah aku merasakan gerakan, tak lagi aku bisa tahu apa yang terjadi berikutnya.Tak berapa lama berselang, aku terbangun lagi. Entah ini dalam mimpi atau kenyataan.Ada tusukan jarum di tanganku. Astaga, ini jarum infus.“Andini?” Apak
BASKARA’s POVAndini akhirnya mengakui sendiri dari mulutnya kalau Bagas adalah anakku. Meski dalam hati aku selalu berharap akan kelak memiliki anak seperti Bagas, saat aku tahu fakta itu dari Andini… aku merasa seperti menelan pil pahit.Aku tak berpikir panjang lagi untuk membawa mereka ke rumah. Bagas harus tinggal bersamaku. Apapun konsekuensinya. Apalagi saat mendengar kalau Prasetia berniat menitipkannya ke panti asuhan. Harga diriku seperti diinjak-injak. Aku adalah ayahnya yang seharusnya memberikannya perlindungan.“Kalian harus ikut semua denganku!” tegasku lagi pada Andini.Perempuan itu masih belum percaya dengan apa yang aku ucapkan.“Apa? Aku tidak bisa.” Tanpa memikirkannya, Andini langsung memberikan jawaban padaku.“Tak masalah buatku. Yang jelas aku mau Bagas tinggal bersamaku. Kau boleh melakukan apapun sesukamu!” keputusanku sudah final.“Apa?” Andini tak terima. “Aku yang hamil dan merawatnya sejak masih bayi beberapa hari sampai sekarang. Kenapa kamu langsung ja
ANDINI’s POV Kembali ke rumah besar ini, mengundang kembali memori yang pernah terjadi beberapa bulan lalu. Di setiap ujungnya tak kutemui kenangan yang manis satupun. Selain momen bersama Mak Ijah dan pembantu lain saat memasak. Itu saja hal yang membuatku bahagia saat di sini. Selebihnya, penghuni utamanya, sama sekali bukan orang-orang yang ingin aku temui. Perjalanan yang terasa melelahkan akhirnya membawaku kembali. “Tuan, apa Mbak Andini ditaruh di kamar yang dulu saja?” Tanya Mak Ijah. Dia tahu kalau aku kurang nyaman bila harus berdekatan dengan para pemilik rumah. Sementara aku tidak tahu harus berapa lama nantinya aku akan berada di sini. “Tempatkan mereka di kamar tamu atas. Agar mereka tak jauh-jauh dariku.” Jawab Baskara. Tangannya masih erat menggendong Bagas. Sejujurnya aku kurang suka ketika dia terlihat begitu posesif terhadapnya. Aku tak bisa menebak bagaimana reaksi keluarga Baskara nanti saat mereka tahu kalau anak itu adalah cucu mereka. Semoga saja benar
ANDINI’S POVAyah Baskara masih terdiam memandangiku. Sesekali matanya tertuju pada anak lelakinya yang duduk di sebelahku. Tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya hingga sekarang.Aku menebak-nebak kira-kira apa yang akan dia ucapkan pada kami, terutama padaku. Aku belum pernah sama sekali berhadapan dengannya setelah kasus kontrak dulu.“Apa maumu?” Tanya Ayah Baskara ketika akhirnya dia mulai bicara.Aku mendongakkan kepala dan melihat ke tatapan matanya yang seolah telah siap menerkamku.“Katakanlah apa maumu sekarang?” Kalimat kedua terucap dengan nada bicara yang lebih tinggi dari sebelumnya.“Sa… saya…” Aku tak bisa berpikir untuk saat ini. Mau menjawab juga takut salah nantinya.“Andini mau tinggal di sini, Pa. Dia tidak bisa pisah dari anaknya.” Baskara tiba-tiba angkat suara dan menjawab pertanyaan ayahnya.Aku benar-benar terkejut. Itu memang hal yang kuinginkan, tapi… jika boleh memilih… aku ingin pergi dari sini bersama anakku.“Kamu diam dulu, aku tidak bertanya pada
BASKARA's POVDua jam sudah aku mendengarkan ceramah Papa. Ini adalah kali kedua aku mendapatkan omelan dan cacian yang melukai harga diriku sebagai lelaki.Papa bukan saja menyalahkan keputusanku menikahi Laura, tapi juga memojokkanku yang telah menghamili Andini. Hah, entah harus dengan cara apa lagi aku memperbaiki semuanya.Sementara ini aku tak menerima panggilan dari Laura. Tagihan kartu kredit sudah semakin melangit.Saat aku mencapai lorong lantai dua, kulihat Bagas dalam gendongan Andini. Dia terdengar rewel dan terus merengek. Mendengar langkah kakiku mendekat, bayi itu tiba-tiba terdiam dan mencari-cariku.Rasanya hanya Bagas di dunia ini yang mengerti apa yang bergemuruh di hatiku. Aku memintanya dari pelukan Andini untuk kugendong. Seketika Bagas mulai berkata-kata mengucapkan sesuatu. Kubawa dia ke kamarku hingga kami hanya berdua saja."Auuu...." Ucapnya sambil tertawa."Iya, Bagas. Kamu mau apa? Mau main sama Papa?" Kataku.Meski terdengar aku hanya seolah-olah bicara
BASKARA's POV "Apa benar hasilnya demikian?" Setelah hampir dua minggu menunggu hasil, aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang ada di tanganku sekarang. Aku bercerita pada Hans, satu-satunya orang yang masih bisa aku percaya sampai detik ini. Bagas bukan anakku. Yang benar saja ini... "Aku rasa bisa jadi itu human error, Bas. Coba kamu lakukan tes ulang." Hans memberikan komentar tanpa pikir panjang. Sementara diriku butuh waktu seharian untuk berpikir atas kevalidan hasilnya. "Kalau orang punya mata, pastinya tahu kalau Bagas itu fotokopian mininya kamu. Ya kan? Jadi secara logika seharusnya dia membawa gen-gen DNA kamu dalam tubuhnya." Celotehnya dengan santai. "Ah, kamu jangan gitu. Hasil ini keluar setelah test yang panjang. Pengambilan sampel jelas-jelas dilakukan bersamaan, Hans. Itu tidak hanya dilakukan oleh satu orang. Tapi dua orang dengan dokter yang ahli di bidangnya..." Paparku menjelaskan kronologisnya. "Bas, di dunia ini memang ada sesuatu yang pasti dan tid
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan