ANDINI’S POVAyah Baskara masih terdiam memandangiku. Sesekali matanya tertuju pada anak lelakinya yang duduk di sebelahku. Tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya hingga sekarang.Aku menebak-nebak kira-kira apa yang akan dia ucapkan pada kami, terutama padaku. Aku belum pernah sama sekali berhadapan dengannya setelah kasus kontrak dulu.“Apa maumu?” Tanya Ayah Baskara ketika akhirnya dia mulai bicara.Aku mendongakkan kepala dan melihat ke tatapan matanya yang seolah telah siap menerkamku.“Katakanlah apa maumu sekarang?” Kalimat kedua terucap dengan nada bicara yang lebih tinggi dari sebelumnya.“Sa… saya…” Aku tak bisa berpikir untuk saat ini. Mau menjawab juga takut salah nantinya.“Andini mau tinggal di sini, Pa. Dia tidak bisa pisah dari anaknya.” Baskara tiba-tiba angkat suara dan menjawab pertanyaan ayahnya.Aku benar-benar terkejut. Itu memang hal yang kuinginkan, tapi… jika boleh memilih… aku ingin pergi dari sini bersama anakku.“Kamu diam dulu, aku tidak bertanya pada
BASKARA's POVDua jam sudah aku mendengarkan ceramah Papa. Ini adalah kali kedua aku mendapatkan omelan dan cacian yang melukai harga diriku sebagai lelaki.Papa bukan saja menyalahkan keputusanku menikahi Laura, tapi juga memojokkanku yang telah menghamili Andini. Hah, entah harus dengan cara apa lagi aku memperbaiki semuanya.Sementara ini aku tak menerima panggilan dari Laura. Tagihan kartu kredit sudah semakin melangit.Saat aku mencapai lorong lantai dua, kulihat Bagas dalam gendongan Andini. Dia terdengar rewel dan terus merengek. Mendengar langkah kakiku mendekat, bayi itu tiba-tiba terdiam dan mencari-cariku.Rasanya hanya Bagas di dunia ini yang mengerti apa yang bergemuruh di hatiku. Aku memintanya dari pelukan Andini untuk kugendong. Seketika Bagas mulai berkata-kata mengucapkan sesuatu. Kubawa dia ke kamarku hingga kami hanya berdua saja."Auuu...." Ucapnya sambil tertawa."Iya, Bagas. Kamu mau apa? Mau main sama Papa?" Kataku.Meski terdengar aku hanya seolah-olah bicara
BASKARA's POV "Apa benar hasilnya demikian?" Setelah hampir dua minggu menunggu hasil, aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang ada di tanganku sekarang. Aku bercerita pada Hans, satu-satunya orang yang masih bisa aku percaya sampai detik ini. Bagas bukan anakku. Yang benar saja ini... "Aku rasa bisa jadi itu human error, Bas. Coba kamu lakukan tes ulang." Hans memberikan komentar tanpa pikir panjang. Sementara diriku butuh waktu seharian untuk berpikir atas kevalidan hasilnya. "Kalau orang punya mata, pastinya tahu kalau Bagas itu fotokopian mininya kamu. Ya kan? Jadi secara logika seharusnya dia membawa gen-gen DNA kamu dalam tubuhnya." Celotehnya dengan santai. "Ah, kamu jangan gitu. Hasil ini keluar setelah test yang panjang. Pengambilan sampel jelas-jelas dilakukan bersamaan, Hans. Itu tidak hanya dilakukan oleh satu orang. Tapi dua orang dengan dokter yang ahli di bidangnya..." Paparku menjelaskan kronologisnya. "Bas, di dunia ini memang ada sesuatu yang pasti dan tid
ANDINI's POVAku tak menyangka bahwa yang berada di luar pintu tadi adalah Baskara. Tanpa aku sadari sekarang ini kami sudah berada di satu ranjang di kamar tidurku. Bagas sejak tadi dibawa oleh ayah Baskara dan aku sendirian di kamar.Tanpa melakukan perlawanan, karena tenagaku sudah habis seharian menjaga Bagas, Baskara dengan mudahnya membawaku di dekatnya. "Andini, kamu terlihat cantik..." Kalimat itu yang sempat aku dengar saat dia mendekapku. Seusai semua pakaian yang aku kenakan terbuka, aku barulah menyadari kalau kami begitu dekat. Aku memejamkan mata karena sudah tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini.Beruntung, ketika Baskara akan melakukan jurus yang biasanya dia lakukan, pintu kamar terbuka. Mak Ijah rupanya datang tepat waktu."Maaf, Tuan. Saya tidak tahu kalau Tuan Baskara di sini..."Bukan itu saja, di belakangnya ada ayah Baskara yang sedang menggendong Bagas. Tak tahu harus berlindung ke mana, aku mengambil selimut untuk menutup tubuh bagian atasku."Bas, kam
BASKARA’s POVBukan hal yang mengejutkan jika Mama akan pulang tiba-tiba di luar rencana. Berpuluh tahun menjadi anaknya, aku paham betul watak Nyonya besar satu ini.Tanpa memberi tahu siapapun, Mama pulang dari Eropa dengan seorang rekan kepercayaannya.“Kamu tahu, Mama sudah menunggu hampir tiga jam di sini setelah landing.” Komplainnya padaku sewaktu aku tiba.Tidak ada yang menyuruh pulang tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Sopir tak seorangpun bisa menjemput. Marah jelas bukan solusi kalau sudah begini.“Mama benar-benar merasa terbodohi oleh keluarga ular itu. Mama kaget, bener-bener kaget… Siapa yang sangka kalau Mamanya Laura itu ternyata hanya pekerja di restoran mewah di Perancis. Bukan pemilik dan bukan istri orang kaya di sana, Bas… Kamu tahu tidak?” Celotehnya.Aku harus siap dengan babak baru penghakimanku. Dulu yang disampaikan padaku hanya fakta-fakta sempalan. Dan kini Mama sudah mendapatkan bukti akurat langsung dari lapangan.“Mama datengi langsung restonya di Par
BASKARA's POVAndini dan Bagas sudah kusuruh untuk pindah ke belakang di lantai satu. Tempatnya kembali berkumpul dengan para asisten rumah ini. Sebenarnya aku tidak tega melakukannya terlebih Bagas masih bayi. Untuk sementara waktu, itu adalah hal yang solutif. Meski aku tidak tahu hal ini akan berlangsung sampai kapan.Mama masih terlalu fokus pada urusan Laura yang baginya harus segera diselesaikan. Mungkin saja Mama ingin menelannya hidup-hidup. Aku tidak bisa mencegahnya karena memang Mama merasa dikhianati setelah semua pengorbanan yang dilakukan oleh keluargaku pada Laura.Sekalipun demikian, aku masih merasa sulit untuk percaya pada apa yang sedang terjadi. Jika kita telah mencintai seseorang terlalu lama, mungkin tak mudah untuk membencinya meski hal yang menyakitkan terjadi."Bas, ini dia bukti-bukti yang Mama sudah kumpulkan. Coba kamu lihat sendiri."Mama menyodorkanku beberapa bukti foto-foto yang didapatakannya dari sejumlah tempat. Semuanya ada Mamanya Laura. "Ini yan
ANDINI's POV Bagas sejak pindah ke kamar belakang, dia jadi sering menangis tiba-tiba. Mungkin suasananya sangat berbeda dengan tempat yang pernah dia huni sebelumnya. Dulu, di villa...kami tinggal di kamar kecil namun sekelilingnya adalah penghijauan yang luas dan udara sejuk. Sementara ketika pindah pertama kali di rumah ini, kami tinggal di kamar tamu di atas. Memang tidak luas tapi kondisi ruangan ber-AC sehingga Bagas bisa tidur dengan mudah. Pun ketika dia sedang bersama dengan ayahnya. "Ayo, tidur Bagas... ini sudah malam..." Aku mengelus-elus perutnya yang mulai buncit lagi. Sejak tadi pagi dia belum buang air besar sama sekali. Sepertinya dia mulai tidak nyaman. "Kamu seharian tidak mau mamam selain ASI... gimana mau cepat besar?" Dia masih terjaga dan tidak mau menutup matanya sama sekali. Kedua mata bulat itu masih menatapku. "Apa kamu mau jalan-jalan ke taman belakang?" Mendengarku mengatakannya, kakinya bergerak-gerak dan dia mencoba untuk duduk. "Bagas? Kamu
ANDINI's POVSetelah mendengar apa yang dikatakan Mak Ijah, rasanya aku tak tahu lagi harus percaya pada siapa di rumah ini. Seseorang yang baik, penuh kasih dan sama sekali tak pernah berbuat jahat pada siapapun... nyatanya..."Mak. kenapa Mak Ijah mengundang wartawan itu?" Aku tak percaya melihat dengan mata kepalaku sendiri Mak Ijah berkomunikasi dan memberikan info tentang kejadian yang merupakan aib keluarga Baskara."Lah, Mbak Andini... ini ceritanya panjang. Sebaiknya kita sembunyi dulu di belakang. Biarkan wartawan itu yang bertindak..." Mak Ijah benar-benar mencengkram kedua tanganku dan mengajakku untuk kembali ke tempat pembantu. Di area belakang, suara yang tadinya bergemuruh seperti badai justru tak begitu terdengar lagi."Mak... Tapi anak saya..." Aku enggan untuk berdiam di dapur. Aku terus berpikir tentang bagaimana membawa Bagas agar tidak kenapa-kenapa di sana."Sebentar lagi Tuan Baskara akan ke sini, Mbak... tenang saja. Duduk dulu di sini." Mak Ijah nampak mengint
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan