Tentu saja Erick mengulum senyum. Ternyata Kae benar membeli es krim untuk memperbaiki mood-nya setelah bertengkar dengannya. 'Kau ini, ternyata.' Pria itu kemudian ikut duduk di lantai. Ia mencoba es krim dari sendok plastik milik istrinya. "Mmh, enak sekali ternyata." Ia menyendok lagi es krim stroberi dari dalam wadah. Kae terlihat khawatir. "Bang, udah ....""Aku baru coba satu sendok, Kae. Satu lagi ya?"Wanita itu merengut membuat Erick tersenyum melihatnya. Pria itu menyendok es krim dan menyuapnya segera. Setelah itu, ia coba menyendok lagi, membuat Kae mulai merengek. "Abang ...."Erick tersenyum lebar. Padahal ia cuma menggodanya. "Ok, kiss dulu."Sang istri mengerucut bibirnya ke depan dan Erick mengecupnya. Sang pria kemudian melihat saja Kae mulai menyendok es krimnya kembali. Wanita itu terlihat senang makan es krim dan kemudian meneruskan pekerjaannya di ponsel. Setiap melihat benda pipih itu, wajahnya langsung serius. Dari jauh Bik Inah memerhatikan keduanya. Ia se
"Aku sedang berbicara dengan pembantu dan dia berlari ke arah pintu depan. Sepertinya sudah ada yang menunggunya di depan." Bik Inah tengah mengintip lewat jendela dan melihat sebuah motor dengan pengendara yang menggunakan jaket ojol tertentu. "Sepertinya Nyonya pesan ojol, Tuan."Erick menghela napas. "Baiklah. Aku akan lacak ponselnya." Ia menutup telepon. Pria jangkung itu membuka layar dan melihat pada sistem yang bisa melacak telepon istrinya. 'Dia bergerak ke mana?'Karena masih berjalan, Erick memutuskan untuk langsung mendatangi mobilnya. Di sanalah ia mulai mengecek lagi, di mana Kae berada. 'Ini 'kan ....' Pria itu mengerut kening. Kae sudah sampai di rumah sakit dan sedang duduk di depan sebuah poli menunggu namanya dipanggil. Ia kembali bersedih. Walau hari itu tak banyak pasien yang datang tapi melihat ibu-ibu yang bahagia datang bersama suaminya atau tengah hamil, pelan-pelan membuatnya merasa terkucilkan. Ia merasa hanya dirinyalah pasien gagal yang datang ke tempat i
"Ayahku pernah bilang padaku bahwa salah bila seorang wanita atau pria meninggalkan pasangan hanya karena tak punya keturunan karena sejatinya saat mereka tua nanti, pasangan merekalah yang diharapkan akan menemaninya sampai akhir hayat, bukan anak-anaknya. Anak-anak ketika dewasa mereka akan menikah dan walaupun mereka hidup bersama tetapi tetap saja ia akan merindukan pasangan mereka yang telah pergi lebih dulu. Aku bisa lihat bagaimana Ayah kesepian bila mengingat ibu.""Bang, Kae merasa Abang tak punya masa depan bila bersama Kae." Wanita itu tertunduk. "Justru aku yang ingin bertanya padamu. Masihkah kau mau menerima diriku yang telah merusak seluruh hidupmu? Yang telah membohongimu hingga akhirnya kau terpaksa menikahiku? Yang masa lalunya pernah tersesat dari jalan Tuhan? Tapi aku berjanji, cintaku ini tulus takkan tergoyahkan sampai matti.""Sampai jannah." Kae meralat. "Sampai jannah."Wanita itu terharu. Ia memeluk pinggang suaminya sambil bersandar pada dadda bidang pria
Kae menoleh pada Bik Inah, yang ternyata tahu akan hal ini. Ia pun tahu pacar suaminya yang terakhir karena pernah melihatnya di internet, tapi untuk apa ia ke sini, dan kenapa mengaku sebagai pacar suaminya? Apa mereka belum putus? Dadda Kae terasa panas. Tangannya mengepal geram. Kebohongan apa lagi yang berusaha suaminya tutupi hingga pacarnya datang ke rumah ini? "Bik Inah ...."Wanita paruh baya itu terlihat gugup. Ia mengangkat kedua tangannya. "Eh, Bibik tidak tahu soal ini, Nyonya," terangnya. "Sebaiknya Nyonya tanyakan langsung pada Tuan."Kae yang sedikit kecewa beralih pada penjaga itu. "Di mana dia?""Sudah di depan pintu, Nyonya." Penjaga itu memberi jalan ketika Nyonya Erick berjalan ke luar. Sebuah mobil mewah berwarna biru tua terparkir di depan rumah. Seorang wanita cantik berambut panjang terurai nampak keluar dari mobil membawa sesuatu. Ya, ia menggendong seorang bayi! Wanita itu bertubuh sedikit gemuk walaupun tinggi tegap. Ia menurunkan kacamata hitamnya sediki
Wanita itu pergi dengan gaya anggun dan menawan bak seorang model terkenal. Ia bahkan tak memedulikan Erick yang memanggil namanya. Pria itu terpaksa mendekati kereta bayi karena tak tega mendengar tangisan Lily. Ia menggendongnya tapi bayi itu terlihat seperti ketakutan melihat wajah Erick. Kembali bayi itu menangis keras. "Kae, tolong aku Kae." Saat menoleh, Kae malah kembali ke kamar dan membanting pintu. Tinggal Erick sendirian harus mengurus bayi itu. "Oh, Kae ... aku harus bagaimana ini?" Ia menatap bayi itu kebingungan. "Oh, Sayang, jangan menangis ya."Pria bule itu mencoba mendiamkan bayi itu dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya, tapi tangisnya tak kunjung berhenti. Erick semakin stres. Ia mencari mainan dari dalam kereta bayi tapi tak kunjung ditemukan. Tepat saat itu Bik Inah datang. Pembantu itu memang telah memperhatikan apa yang terjadi dari kejauhan. "Sini, Tuan, Saya coba gendong." Ia mencoba mendiamkan bayi itu tapi sia-sia. Sang bayi masih saja terus menangis. "Cob
"Memangnya kita tidak boleh melakukannya lagi? Lily 'kan tidur sama kita. Sudah beberapa hari aku tidak bisa tidur nyenyak tiap malam. Kenapa memangnya kalau dia tidak bisa tidur juga di siang hari?" Erick merengut kesal. "Memangnya kamu tega?" Kae memutar tubuhnya melirik sang suami di belakang sambil memegangi tangannya yang melingkar di pinggang rampingnya."Ya, enggak ... tapi kapan?" Pria itu menunduk. "Bagaimana kalau Abang buat kamar bayi? Mungkin Abang harus merelakan ruang kamar yang di sebelah untuk dipasang interkom.""Mmh, benar juga ya? Jadi kita bisa punya privasi lagi. Kamu juga butuh babysitter, Sayang. Aku gak mau kamu kecapean ngurusin Lily dan tetap bisa terus penulis."Kae mengangguk. Sang pria mengeratkan pelukan. "Kae, terima kasih. Kau mau mengurus Lily." Pria itu menempelkan wajahnya di samping wajah sang istri sambil memeluk bahunya mesra. Kae bersandar dengan nyaman di da da bidang sang suami. Begitu hangat. Ia kini tak mau terlalu meributkan bagaimana hid
Wanita itu belum juga bicara. Erick pun tak bisa berkonsentrasi karena Lily menarik-narik bajunya. "Aduh anak papa. Coba dengerin dulu, Mama mau bicara."Entah kenapa, bayi Lily berhenti menarik baju sang ayah. Ia kini menatap ke arah ibu angkatnya. Erick dibuat heran. "Tuh, lihat! Anakmu sedang mendengarkan.""Eh ...." Dari wajah sang istri, terlihat ia berat untuk menceritakan. "Katakan saja, Sayang. Kalau pun ini sulit, kita hadapi ini sama-sama."Kae akhirnya mulai bercerita. "Dua tahun lalu, seharusnya aku menikah. Ayah sudah menjodohkan aku dengan anak teman bisnisnya. Saat itu aku bilang aku ingin menikah dengan pilihanku, tapi waktu itu aku tidak punya calon sama sekali. Ayah meledek, kalau aku takkan sanggup mencari sendiri bahkan sampai dua tahun ke depan karena ia tahu, aku introvert. Aku sangat jarang ke luar rumah atau bahkan bergaul dengan teman-temanku. Bukan berarti aku tidak bisa bergaul tapi aku lebih nyaman di rumah. Mendengar tantangan itu, aku menyambutnya. Aku
"Amin."Sebentar kemudian mereka ramai melihat bayi Lily minum sussu botol. Erick pun juga mulai mengobrol dengan ayah tiri Kae. Mereka bahkan melanjutkannya hingga makan siang. "Kenapa ibu memanggil Kae 'Mila'? Kenapa Imam tidak?" tanya Erick pada istrinya. "Karena itu hanya panggilan dari orang tuaku saja." Terang Kae sambil mengunyah. "Oh, Imam tetangga kita di Lampung?" Ibu ikut bicara."Iya. Aku ketemu Imam di rumah sakit. Dia ikut dosennya dan ketemu Abang juga di sana.""Oh, dia belum lulus kuliah?""Belum, Bu. 'Kan ambil kedokteran.""Oh, begitu." Ibu melihat Kae lekat. "Kapan kamu akan bilang pada ayahmu?"Kae terlihat bingung. Ia memutar kepalanya menatap sang suami yang duduk di sampingnya. Ia tak bisa memutuskan. "Secepatnya," sahut Erick mantap. Setelah beberapa saat, Kae pamit. Ibu dan keluarga kecilnya mengantarkan tamunya keluar. Erick sempat bersalaman dengan Yudhi yang masih malu-malu padanya. Pria itu mengusap kepala adik istrinya itu dengan lembut. "Cepat besa
Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn
Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.
Beberapa saat kemudian, Kae dipindah ke ruang perawatan. Ia dipasang infus setelah siuman. Wajahnya terlihat pucat. "Mau dengar yang mana dulu? Berita baik atau buruk?" Erick terlihat bingung mendengar pertanyaan sang dokter. "Maksudnya apa, dok?""Ada satu masalah lagi yang menyebabkan kami sedikit lama memeriksanya.""Iya?" Namun ketika dokter itu masih terdiam dan memberi reaksi untuk memilih, pria bule itu terpaksa memilih. "Bagaimana kalau kabar buruknya dulu.""Istri Anda dalam kondisi lemah. Rahimnya tidak kuat. Hampir saja dia keguguran.""Apa?" Erick melebarkan kedua mata. "Ke ... guguran?" Ia melongo. "Iya, untung saja selamat. Jadi ....""Yang benar, dok?" Erick meraih bahu dokter pria itu dan mengguncang-guncangnya. Terukir senyum di bibir pria bule ini. "Istri Saya hamil ... istri Saya hamil?" "Iya, Pak. Iya. Tapi dia harus bed rest karena kondisi rahimnya yang lemah. Dia tak boleh turun dari tempat tidur untuk waktu yang lama.""Baik, dok, akan aku usahakan."Dokt
"Itu 'kan waktu pertama kali kita bertemu." Erick menggelengkan kepalanya. Rasanya sulit bicara dengan Tarra karena wanita itu bicara berdasarkan situasinya. "Apa menurutmu dia mau tinggal dengan orang asing?" "Aku 'kan ibunya." "Apa dia bicara denganmu semalam?" "Oh, belum saja." Pria bule itu mendengus mendengar jawaban-jawaban dari Tarra. "Begini." Erick mengangkat kedua tangan. "Apa kau pernah bertemu dengan buyutmu?" Wanita cantik itu mengerut kening. "Oh, mereka sudah tidak ada ketika aku lahir." "Kalau misalnya mereka masih hidup, Maukah kamu tinggal dengannya?" "Aku 'kan belum pernah bertemu?" Hidung wanita cantik itu berkerut. Begitulah bicara dengan wanita cantik ini. Butuh usaha keras karena Erick selalu kesulitan bicara, bahkan untuk hal yang mudah karena otaknya tak sampai. Sesuai dengan yang banyak dibicarakan orang, bahwa wanita cantik itu tidak pintar. "Seandainya. Seandainya nih ... kamu punya kesempatan bertemu dengan buyutmu. Maukah kau tinggal
Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja