Eva tiba-tiba teringat pria dari klub malam yang kakinya dikuliti oleh pengawal Aiden dan dia merasa mual. Eva meletakkan kepalanya ke bantal sofa lalu menutup mata.Melihat Eva sedang beristirahat dan Loki bersikap baik, Aiden lantas membisikkan sesuatu kepada salah satu pelayan lalu pergi bersama Alfred.Beberapa pengawal keluar dari pintu depan rumah sembari membawa dua koper besar. Mereka lalu membuang barang bawaan ke tanah. Rebecca mengikuti barang bawaannya sembari menangis dengan nada yang memilukan. Saat Rebecca melihat Aiden, dia berlutut di tanah di depan Aiden."Aiden, kenapa kau membuang koperku?" tanya Rebecca. Setelah Aiden mengusir Rebecca keluar dari mobil, gadis itu naik taksi lalu kembali ke mansion Malik.Rebecca segera pergi mencari Victoria untuk mendapatkan belas kasihannya tetapi Rebecca baru mengetahui kalau Victoria telah pergi keluar untuk bermain dengan teman-temannya. Rebecca merajuk di kamar tetapi diganggu oleh beberapa pengawal yang mulai mengemasi bara
"Nyonya Eva, tolong jangan banyak bergerak. Tuan Aiden akan menghukum kami dengan keras," pelayan itu memohon, "Selain itu, situasi ini sudah berakhir. Saya akan memberi tahu Nyonya apa yang terjadi. Tuan Aiden membuang barang bawaan Nona Rebecca keluar mansion, tapi kemudian, Nyonya Victoria tiba."Eva mengangkat alisnya. Tentu saja, Victoria Malik akan berada di sisi Rebecca."Jadi, dia melindungi Rebecca?" tanya Eva."Ya. Dia menutupi tubuh Nona Rebecca dengan tubuhnya sendiri dan bersikeras kalau Nona Rebecca tidak bersalah," pelayan itu menjelaskan, "Kemudian Alfred mengatakan kalau Nona Rebecca tidak melakukannya, sebaliknya, seseorang yang bekerja di hotel yang melakukan hal tersebut.""Nona Rebecca adalah orang yang baik. Tentu saja mudah baginya menemukan seseorang yang mau membelanya."Eva mendesah. Dia tahu kalau Aiden tidak akan melawan neneknya. Terlebih lagi, jika Victoria terus memperjuangkan Rebecca, segalanya mungkin menjadi lebih berbahaya bagi Eva. Eva tahu kalau se
Eva segera menghentikannya."Pinggangku mungkin sakit, tetapi tanganku baik-baik saja. Aku bisa melakukannya sendiri," katanya, "Kau harus berbalik dan memberiku privasi, Aiden.""Privasi?" Aiden bertanya, "Bagian mana dari tubuhmu yang belum pernah aku lihat, aku sentuh dan aku cium, Eva?"Referensi Aiden adalah saat mereka pertama kali bercinta dan hanya bercinta di malam itu saja membuat wajah Eva memerah. Eva tidak tahu apa dia memerah karena marah atau perasaan lain. Eva melihat ke arah Aiden, yang menjulang di atasnya dan dia mengakui Aiden terlihat kuat dan menarik.Aiden berdiri dekat dengannya, Eva bisa melihat tonjolan tumbuh di celana suaminya. Ini adalah pertama kalinya sejak pertama kali itu dia melihat 'senjatanya' begitu dekat. Sepertinya itu tegang ke arahnya. Eva menelan salivanya dengan gugup."Apa kau tipe orang yang suka mengekspos tubuh, Aiden?" tanya Eva."Begitukah menurutmu? Kurasa kau akan belajar untuk menyukainya, Eva," jawab Aiden.Eva memalingkan muka, diq
Eva melempar ponsel ke bangku dengan jubah mandi di atasnya, jadi ponsel itu tidak akan rusak karena benturan. Eva bingung kenapa Aiden tidak bersikeras untuk melihat foto itu, Eva tidak tahu kalau foto itu otomatis terkirim ke ponsel Aiden.Aiden melihat ke bawah tangannya dan menyadari kalau dia memegang bagian pinggang Eva yang terluka. Kurva pinggang Eva yang ramping sedikit bengkak dan terasa hangat di bawah telapak tangannya. Aiden bertanya-tanya apakah dia menyakiti istrinya dan dia mengagumi kekuatan dan keras kepala yang membuat istrinya tidak menangis atau bahkan tersentak.Tiba-tiba Aiden berdiri lalu menarik Eva bersamanya. Aiden mulai melepas pakaian Eva."Apa yang kau lakukan, Aiden?" tanya Eva.Aiden terus melepas pakaian Eva dalam diam. Kain basah menempel di tubuh Eva dan Aiden melepasnya sedikit demi sedikit."Pernahkah kau melihat orang mandi dengan pakaian lengkap melekat di tubuh, Eva?" Aiden bertanya dengan lembut. Kemudian Aiden menarik Eva ke bawah pancuran lal
Telepon di meja samping tempat tidur menyala dan mulai berdengung. Eva menjawabnya."Sebastian?""Eva, apakah kau sudah bangun?" tanya Sebastian."Ya," jawabnya, "Bagaimana tenggorokanmu?""Lebih baik setelah minum obat, terima kasih," kata Sebastian, "Ngomong-ngomong, aku punya kabar baik untukmu, Eva.""Katakan saja kabar baik apa itu, Sebastian," kata Eva.Eva dengan lesu menggerakkan jari-jarinya ke rambutnya, dan kemudian dengan hati-hati mengangkat tangannya ke atas kepalanya untuk meregangkan. Pinggangnya tidak sakit sebanyak hari sebelumnya. Dia mengangguk dengan puas."Kabar baiknya adalah aku telah menemukan rumah sakit untuk memindahkan pengasuhmu. Mereka telah sepakat kalau kami dapat memindahkannya ke sana dalam beberapa hari ke depan," kata Sebastian, "Berita lainnya adalah orang yang ingin membeli sahammu di Hotel Empire ingin bertemu denganmu hari ini untuk menandatangani kontrak.""Hari ini?" tanya Eva, prihatin."Dia sangat ingin menandatangani kontrak dan bersikeras
Di kantor Malik Group, Aiden bersandar di kursinya."Tuan Aiden, Nyonya Eva telah tiba di hotel," kata Alfred.Alfred berdiri di depan meja Aiden dan melihat kotak beludru merah muda di tangan Aiden."Hotel menkonfirmasi kalau mereka sedang mendekorasi ulang restoran dan berjanji untuk menyelesaikannya pada pukul 6 sore. Semua hidangan akan sesuai dengan preferensi Nyonya Eva juga."Aiden membuka kotak beludru dan merenungkan cincin berlian merah muda yang mempesona."Saya juga sudah memeriksa dengan asisten Nyonya Eva. Dia berkata kalau Nyonya Eva tidak punya jadwal apa pun hari ini."Aiden menggigit bibirnya dan membayangkan Eva mengenakan cincin yang baru dibelinya itu. Aiden nyaris tidak mendengar apa yang dikatakan Alfred."Lalu soal Dokter Sebastian Lewis, beliau akan melakukab operasi penting sepanjang hari. Jadi …"Aiden memelototi Alfred, merasa kalau asistennya itu merusak suasana hatinya yang sedang bahagia dengan menyebut nama Sebastian.Alfred menundukkan kepala. Sebenarn
"Rebecca?" Eva berseru.Rebecca berputar pelan dan dramatis seperti di film.Dia mengangkat alis, menyeringai dengan kepuasan diri, "Apa aku mengejutkanmu, Eva?""Kenapa kau bisa ada di sini, Rebecca?" tanya Eva.Eva tidak percaya dengan matanya. Apa Rebecca pembelinya? Dia sepenuhnya mempercayai Sebastian untuk menemukan pembeli, tetapi Eva menyadari kalau dia seharusnya mengajukan lebih banyak pertanyaan dan lebih terlibat."Aiden memberimu Hotel Empire sebagai hadiah, tapi coba lihat hal pertama yang kau lakukan adalah mencoba menjual hotel ini kepada penawar tertinggi," kata Rebecca dengan jijik.Saat Rebecca berbicara, dia berjalan perlahan menuju Eva, sepatunya menghancurkan bunga sakura yang jatuh dibawah kakinya."Aiden memberikan hotel ini kepadaku, soal bagaimana aku menanganinya itu adalah urusanku," kata Eva dengan tenang, "Maaf jika itu mengganggumu, Rebecca.""Tentu saja itu menggangguku," bentak Rebecca, "Aku sangat peduli dengan hotel ini. Hotel ini bisa dibilang mahar
"Dasar wanita bodoh! Apa kau tidak peduli jika aku sampai memberitahu Aiden?" Rebecca berteriak dan memaki."Tuan Aiden," kata seorang pelayan dari pintu.Rebecca segera menjatuhkan garpu di tangannya dan ekspresinya berubah. Senyum manis tersungging di wajahnya, dia lantas berbisik kepada Eva, "Aiden datang. Mati kau, Eva.""Oh tidak!" Eva berkata dengan pura-pura takut, "Aku takut sekali nih, Rebecca."Eva berbalik lalu melihat Aiden, mendekat. Saat pria itu berjalan, Aiden memancarkan kekuatan. Eva harus mengakui kalau sosoknya yang tinggi terlihat cukup tampan dalam balutan setelan gelap. Saat Aiden berjalan, pria itu menatap tajam ke arah Eva.Ketika Rebecca menyapa Aiden dengan suara ringan, Aiden menatapnya seolah baru menyadari Rebecca ada di sana. Aiden mengerutkan dahi dalam ketidaksenangan dan kebingungan.Memahami suasana hati Aiden, Rebecca mencoba menjelaskan kehadirannya, "Setelah tahu mengenai kecelakaan Eva kemarin, aku jadi khawatir, Aiden. Karena itu aku mengunjungi
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng