Telepon di meja samping tempat tidur menyala dan mulai berdengung. Eva menjawabnya."Sebastian?""Eva, apakah kau sudah bangun?" tanya Sebastian."Ya," jawabnya, "Bagaimana tenggorokanmu?""Lebih baik setelah minum obat, terima kasih," kata Sebastian, "Ngomong-ngomong, aku punya kabar baik untukmu, Eva.""Katakan saja kabar baik apa itu, Sebastian," kata Eva.Eva dengan lesu menggerakkan jari-jarinya ke rambutnya, dan kemudian dengan hati-hati mengangkat tangannya ke atas kepalanya untuk meregangkan. Pinggangnya tidak sakit sebanyak hari sebelumnya. Dia mengangguk dengan puas."Kabar baiknya adalah aku telah menemukan rumah sakit untuk memindahkan pengasuhmu. Mereka telah sepakat kalau kami dapat memindahkannya ke sana dalam beberapa hari ke depan," kata Sebastian, "Berita lainnya adalah orang yang ingin membeli sahammu di Hotel Empire ingin bertemu denganmu hari ini untuk menandatangani kontrak.""Hari ini?" tanya Eva, prihatin."Dia sangat ingin menandatangani kontrak dan bersikeras
Di kantor Malik Group, Aiden bersandar di kursinya."Tuan Aiden, Nyonya Eva telah tiba di hotel," kata Alfred.Alfred berdiri di depan meja Aiden dan melihat kotak beludru merah muda di tangan Aiden."Hotel menkonfirmasi kalau mereka sedang mendekorasi ulang restoran dan berjanji untuk menyelesaikannya pada pukul 6 sore. Semua hidangan akan sesuai dengan preferensi Nyonya Eva juga."Aiden membuka kotak beludru dan merenungkan cincin berlian merah muda yang mempesona."Saya juga sudah memeriksa dengan asisten Nyonya Eva. Dia berkata kalau Nyonya Eva tidak punya jadwal apa pun hari ini."Aiden menggigit bibirnya dan membayangkan Eva mengenakan cincin yang baru dibelinya itu. Aiden nyaris tidak mendengar apa yang dikatakan Alfred."Lalu soal Dokter Sebastian Lewis, beliau akan melakukab operasi penting sepanjang hari. Jadi …"Aiden memelototi Alfred, merasa kalau asistennya itu merusak suasana hatinya yang sedang bahagia dengan menyebut nama Sebastian.Alfred menundukkan kepala. Sebenarn
"Rebecca?" Eva berseru.Rebecca berputar pelan dan dramatis seperti di film.Dia mengangkat alis, menyeringai dengan kepuasan diri, "Apa aku mengejutkanmu, Eva?""Kenapa kau bisa ada di sini, Rebecca?" tanya Eva.Eva tidak percaya dengan matanya. Apa Rebecca pembelinya? Dia sepenuhnya mempercayai Sebastian untuk menemukan pembeli, tetapi Eva menyadari kalau dia seharusnya mengajukan lebih banyak pertanyaan dan lebih terlibat."Aiden memberimu Hotel Empire sebagai hadiah, tapi coba lihat hal pertama yang kau lakukan adalah mencoba menjual hotel ini kepada penawar tertinggi," kata Rebecca dengan jijik.Saat Rebecca berbicara, dia berjalan perlahan menuju Eva, sepatunya menghancurkan bunga sakura yang jatuh dibawah kakinya."Aiden memberikan hotel ini kepadaku, soal bagaimana aku menanganinya itu adalah urusanku," kata Eva dengan tenang, "Maaf jika itu mengganggumu, Rebecca.""Tentu saja itu menggangguku," bentak Rebecca, "Aku sangat peduli dengan hotel ini. Hotel ini bisa dibilang mahar
"Dasar wanita bodoh! Apa kau tidak peduli jika aku sampai memberitahu Aiden?" Rebecca berteriak dan memaki."Tuan Aiden," kata seorang pelayan dari pintu.Rebecca segera menjatuhkan garpu di tangannya dan ekspresinya berubah. Senyum manis tersungging di wajahnya, dia lantas berbisik kepada Eva, "Aiden datang. Mati kau, Eva.""Oh tidak!" Eva berkata dengan pura-pura takut, "Aku takut sekali nih, Rebecca."Eva berbalik lalu melihat Aiden, mendekat. Saat pria itu berjalan, Aiden memancarkan kekuatan. Eva harus mengakui kalau sosoknya yang tinggi terlihat cukup tampan dalam balutan setelan gelap. Saat Aiden berjalan, pria itu menatap tajam ke arah Eva.Ketika Rebecca menyapa Aiden dengan suara ringan, Aiden menatapnya seolah baru menyadari Rebecca ada di sana. Aiden mengerutkan dahi dalam ketidaksenangan dan kebingungan.Memahami suasana hati Aiden, Rebecca mencoba menjelaskan kehadirannya, "Setelah tahu mengenai kecelakaan Eva kemarin, aku jadi khawatir, Aiden. Karena itu aku mengunjungi
"Apa menurutmu aku begitu mudah tertipu?""Aiden," potong Rebecca."Diam!" bentak Aiden.Ekspresi Rebecca terluka dan sedih, Eva mencibir saingannya. Eva menegakkan punggungnya lalu menatap wajah Aiden tanpa rasa takut."Apa yang dikatakan Rebecca benar," katanya, "Tapi aku juga merencanakan masa depan.""Oh begitukah?" tanya Aiden."Hotel itu adalah hadiah darimu yang diberikan dengan murah hati, tetapi kita berdua tahu kalau aku tidak tahu cara mengelolanya," kata Eva, "Aku ingin hotel ini diberikan kepada seseorang yang lebih berpengalaman mengelolanya daripada aku, seseorang yang dapat menjadikan hotel ini jaya."Eva dengan terampil menyikat kelopak sakura dari bahu Aiden, dan membiarkan suaranya menjadi menggoda, "Selain itu, aku tidak akan punya waktu untuk mengelola hotel ketika diriku hamil."Aiden tampaknya mengabaikan rujukan Eva pada kehamilan, Aiden cemberut padanya. "Kenapa tidak?"Eva mengutuk secara mental."Ada alasan lain, Aiden," katanya dengan tatapan putus asa pada
"Melamarmu?" Aiden tanpa sadar menepuk saku dengan kotak beludru, "Sepertinya itu ide yang bagus."Ekspresi Eva menjadi sulit dibaca. Lelucon yang tidak lucu, pikirnya, Aiden tahu aku ingin bercerai.Seorang pelayan menyela pikirannya, menawarkan handuk hangat di atas nampan. Eva mengambil handuk, dengan perlahan menyeka tangannya saat Alfred muncul kembali di restoran. Alfred melirik Aiden dan Eva, dia ingin mengatakan sesuatu kepada Aiden tetapi Aiden tidak ingin mengganggu momen mereka dan membuat bosnya marah. Aiden meletakkan jarinya di atas meja dan berbicara kepada Alfred, "Mulai sekarang, aku ingin biaya pengobatan pengasuh Eva diambil langsung dari rekening keluarga."Eva tanpa sadar memetik bunga sakura dari taplak meja, tapi dia membeku saat mendengar instruksi Aiden. Ketika Maria jatuh dari jendela tahun lalu, keluarga Malik menolak menanggung biaya pengobatannya karena wanita itu seharusnya lebih berhati-hati. Eva tertarik. Bahkan sebelum Aiden membekukan akunnya, dia kesu
Eva mengabaikan Aiden lalu menyesap sup di atas meja untuk menghilangkan rasa pahitnya.Kemudian Eva menyeka mulutnya dengan serbet, memotong steak lalu menyuapkan potongan itu ke Aiden. Aiden memakannya tanpa ragu, dia merasa senang karena Eva menyuapinya lagi. Eva segera menjatuhkan garpunya, lalu mengangkat ponsel untuk mengambil foto Aiden.Aiden dengan cepat mencoba merebut ponsel itu, tetapi Eva dengan cepat berdiri lalu menyembunyikan ponsel itu di belakang punggungnya.Daging steak itu dibumbui dengan lada hitam dan Eva dengan sengaja menggosokkan potongan daging itu ke bibir Aiden saat dia menyuapinya. Sedikit lada menodai bibir Aiden yang berhasil diabadikan Eva dengan kamera ponsel. Eva berjanji akan mengambil 75 foto Aiden. Jadi Eva memutuskan akan membuat setiap foto Aiden yang ia jepret menjadi sangat memalukan.Eva tahu Aiden ingin foto-foto candid yang ia ambil diposting online, jadi Eva berharap foto-foto itu akan merusak reputasi Aiden yang tanpa cela. Paling tidak,
Bayangan gelap muncul di atas sofa, dan Eva berbalik kaget melihat Aiden menjulang tinggi di atasnya.Ya Tuhan, seperti hantu saja. Jantungku hampir saja berhenti, pikir Eva.Aiden terlihat sangat marah. Dia baru tahu tentang pil itu, dan sekarang dia masuk saat Eva mengirim pesan kepada seseorang. Aiden langsung curiga kalau orang yang dikirimi pesan oleh Eva itu adalah Sebastian.Apa Eva tahu kalau Sebastian membiusnya? Aiden bertanya-tanya.Dia merasakan amarahnya menumpuk di dada, dan dia membayangkan semua cara berbeda yang bisa dia lakukan untuk membunuh Sebastian."Aku mengajukan pertanyaan, Eva, siapa yang kau kirimi pesan?" Aiden mengulangi.Aiden merasa darahnya mendidih di luar kendali, dia membungkuk lalu mengambil ponsel Eva. Eva memucat lalu meraih ponsel itu."Tidak! Jangan lihat ponselku!" dia berteriak.Aiden mengabaikannya lalu mengangkat ponsel itu setinggi mata."Kau melanggar privasiku, Aiden. Kembalikan ponselku!" protesnya.Aiden melihat pesan terakhirnya."Apa k
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng