Bayangan gelap muncul di atas sofa, dan Eva berbalik kaget melihat Aiden menjulang tinggi di atasnya.Ya Tuhan, seperti hantu saja. Jantungku hampir saja berhenti, pikir Eva.Aiden terlihat sangat marah. Dia baru tahu tentang pil itu, dan sekarang dia masuk saat Eva mengirim pesan kepada seseorang. Aiden langsung curiga kalau orang yang dikirimi pesan oleh Eva itu adalah Sebastian.Apa Eva tahu kalau Sebastian membiusnya? Aiden bertanya-tanya.Dia merasakan amarahnya menumpuk di dada, dan dia membayangkan semua cara berbeda yang bisa dia lakukan untuk membunuh Sebastian."Aku mengajukan pertanyaan, Eva, siapa yang kau kirimi pesan?" Aiden mengulangi.Aiden merasa darahnya mendidih di luar kendali, dia membungkuk lalu mengambil ponsel Eva. Eva memucat lalu meraih ponsel itu."Tidak! Jangan lihat ponselku!" dia berteriak.Aiden mengabaikannya lalu mengangkat ponsel itu setinggi mata."Kau melanggar privasiku, Aiden. Kembalikan ponselku!" protesnya.Aiden melihat pesan terakhirnya."Apa k
Aiden berbaring di tempat tidur, dia mengerutkan dahi dengan tatapan membunuh. Aiden bisa mendengarnya setiap napas dan suara yang Eva buat saat dia bergerak atau berbalik. Aiden tahu Eva tidak tidur. Terlebih lagi, aroma tubuh dan rambut Eva mengganggu Aiden dan bahkan membuatnya tidak bisa tidur.Sebagian dari diri Aiden tidak menginginkan apa pun selain memeluk istrinya seperti yang biasa Aiden lakukan dalam beberapa malam terakhir. Tapi dia tidak bisa memaksakan diri untuk melakukannya.Apa yang sebenarnya membuatku marah? pikirnya, Apa karena Eva berselingkuh dengan Sebastian tepat di bawah hidungku? Apakah aku percaya itu? Apa karena Eva mati-matian melindungi Sebastian? Atau karena Eva tiba-tiba menjadi dingin padaku?Bagi Eva, menit berlarut-larut seperti berjam-jam. Akhirnya napas suaminya mulai datang dengan ritme yang berat dan lambat, Eva lega karena Aiden akhirnya tidur. Lagi pula, sepertinya Aiden cukup minum untuk pingsan. Eva tidak bisa menahannya dan bangkit, dia berg
Eva menyantap sarapannya di restoran kecil dekat salah satu pusat perbelanjaan mewah di kota. Eva tahu kalau itu akan menarik terlalu banyak perhatian jika dia menggunakan kartu baru dari Aiden untuk menarik uang tunai, jadi dia berencana menggunakan kartu itu untuk membeli beberapa barang yang nantinya bisa dia kembalikan dengan uang tunai.Eva tiba di toko perhiasan diapit oleh detasemen pengawal. Saat Eva berjalan, mereka mengelilinginya seolah-olah dia bangsawan, membuat orang-orang yang berbelanja berhenti dan menatap. Eva selalu menarik perhatian tanpa akhir seperti ini.Pegawai toko pandai mengenali crazy rich, jadi mereka berduyun-duyun membantunya. Eva tampaknya adalah pelanggan penting, membuat semua pegawai berfantasi tentang komisi besar yang akan mereka dapatkan."Apa yang bisa saya bantu, Nona?" tanya seorang pegawai."Perhiasan apa yang nona cari? Gelang, cincin, atau kalung?" tanya yang lain."Beberapa perhiasan desainer edisi terbatas baru saja tiba," kata pegawai lain
"Apa? Aku tidak akan mengambil barang buangan darinya," teriaknya, "Aku hanya ingin kau tahu kalau aku adalah pelanggan VIP dan aku juga membawa banyak teman-temanku ke sini. Bukannya menghormatiku, kau justru bergegas untuk menyenangkan wanita itu. Aku ingin kau tahu, kalau kau tidak akan memiliki klien seperti dia setiap hari. Toko ini bergantung pada pelanggan sepertiku dan teman-temanku tetapi setelah hari ini kami pasti tidak akan kembali ke toko ini lagi.""Nona, saya minta maaf, saya pikir ada kesalahpahaman di sini," kata petugas itu."Apa? Kesalahpahaman?" wanita itu berteriak, "Aku dan teman-temanku semuanya menyaksikan apa yang kau lakukan. Beraninya kau berpura-pura kalau ini semua adalah salah paham? Bawa manajermu ke sini. Aku ingin mengajukan keluhan terhadapmu."Eva terus membaca majalah itu, mengangkatnya untuk menutupi wajahnya dari pandangan. Dia tidak ingin berurusan dengan wanita yang marah. Namun, nada suara mereka telah menarik perhatian pelanggan lain dan semaki
"Di mana Nyonya Eva?" tanya suara Alfred."Nyonya Eva berada di kamarnya sepanjang sore," jawab pelayan itu.Eva mendengar langkah kaki memudar di lorong. Aiden tidak masuk ke kamar. Salah satu pelayan mengetuk pintunya saat makan malam untuk memintanya turun ke bawah untuk makan. Suara pelayan membangunkan Eva yang mulai tertidur setelah mulai menjelajah internet lagi. Dia memperhatikan kalau pintu ruang kerja Aiden masih tertutup saat dia lewat.Eva ingat kedinginan abnormal Aiden di kamarnya tadi malam dan ketidakpedulian suaminya yang kejam pagi ini ketika Eva meneleponnya dari toko perhiasan. Tentunya Aiden tahu seberapa dalam dia mempermalukan Eva.Eva mengambil garpu dari meja, dia membayangkan menusukkan garpu itu ke dada suaminya, tapi Eva sendirian di meja ruang makan yang panjang."Dimana Aiden?" Eva bertanya, melihat ke arah pintu.Meskipun Eva tahu Aiden ada di rumah, namun, tidak ada jejak Aiden di mana pun. Eva merasa itu sangat aneh."Tuan Aiden mengatakan kalau dia me
Alfred berdeham, "Nyonya Victoria telah kembali dan dia mencarimu, Nona Rebecca."Rebecca meletakkan pisau dan garpu dengan tergesa-gesa, "Sebaiknya aku pergi menemuinya."Aiden mengabaikan Rebecca sepenuhnya dan dia meninggalkan ruangan dengan perasaan frustrasi.Eva memasukkan potongan steak terakhir ke dalam mulutnya. Dia merasa tertindas oleh kesunyian mutlak di ruang makan, hal itu mengingatkannya pada dua tahun terakhir pernikahannya ketika Aiden mengabaikan Eva sepenuhnya.Apakah perjuanganku untuk bercerai berhasil? Eva bertanya-tanya dengan penuh harap, Apa Aiden akhirnya memutuskan untuk melepaskanku?Pikiran itu meninggalkannya begitu dia mengingat penghinaan yang ia rasakan di toko perhiasan. Eva bisa merasakan kemarahannya memuncak, tapi Eva tahu kalau dia tidak bisa menantang Aiden secara terang-terangan.Eva mengambil serbet, menyeka mulut lalu melempar serbet itu ke atas meja."Nikmati makan malammu," katanya dingin, menolak untuk memandangnya atau bahkan menyebut nama
"Hah?" Aiden bertanya, dia merasa bingung. Sebelum dia bisa memikirkan komentarnya lebih jauh, Aiden terganggu oleh tangan Eva yang berada di atas celananya. Eva menarik saku celananya hingga terbuka, lalu menyelipkan jarinya ke dalam sana dan menyelipkan kartu Aiden.Saat Eva menarik tangannya, jari-jarinya menyentuh paha Aiden. Aiden dengan cepat mengeluarkan kartu itu. Memegangnya di antara jari-jarinya, lalu menyapukannya ke wajah Eva."Aku akan memberitahumu PIN kartu ini asal kau berjanji untuk berhenti menggoda pria lain.""Apa kau sangat cemburu, Aiden," kata Eva menggoda, "Apa kau jatuh cinta padaku?"Sebuah suara di kepala Aiden berteriak YA. Dia menghabiskan sepanjang malam menyesap anggur dan bertanya pada dirinya sendiri pertanyaan itu, dan dia tidak bisa menyangkalnya lagi.Tapi Aiden tahu kalau wanita pintar seperti Eva akan menggunakan perasaan Aiden untuk keuntungannya. Orang pertama yang jatuh cinta kalah dalam permainan cinta, dan Aiden menolak untuk mengakui kalau d
Suara dingin Aiden terdengar di atas kebisingan dan kekacauan toko.Para pegawai terintimidasi oleh Aiden, pria itu memancarkan kekuatan dan ketidaksenangan. Setiap gerakannya menunjukkan kalau dia adalah pria yang tidak terbiasa ditolak. Mereka berdiri membeku, gugup dan merasa tidak yakin.Tiba-tiba salah satu dari mereka berbisik, "Orang itu adalah Aiden Malik."Seperti sulap, para pegawai beraksi cepat, membungkus dan mengantongi setiap perhiasan yang dipajang. Tim pegawai lain pergi ke belakang toko untuk mengambil perhiasan lain dari brankas toko. Mereka memanfaatkan waktu mereka di belakang untuk bergosip."Apa-apaan ini? Kupikir wanita itu bangkrut," bisik seorang pegawai, "Apakah pria itu benar-benar Aiden Malik yang legendaris?""Aku tidak tahu," kata yang kedua, "Tapi rumornya Aiden jatuh cinta dengan kekasih masa kecilnya. Mereka bilang dia memberi kekasih masa kecilnya itu cincin senilai dua ratus lima puluh juta dolar.""Kalau begitu, mungkin itu sebabnya dia melakukan in
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng