"Hah?" Aiden bertanya, dia merasa bingung. Sebelum dia bisa memikirkan komentarnya lebih jauh, Aiden terganggu oleh tangan Eva yang berada di atas celananya. Eva menarik saku celananya hingga terbuka, lalu menyelipkan jarinya ke dalam sana dan menyelipkan kartu Aiden.Saat Eva menarik tangannya, jari-jarinya menyentuh paha Aiden. Aiden dengan cepat mengeluarkan kartu itu. Memegangnya di antara jari-jarinya, lalu menyapukannya ke wajah Eva."Aku akan memberitahumu PIN kartu ini asal kau berjanji untuk berhenti menggoda pria lain.""Apa kau sangat cemburu, Aiden," kata Eva menggoda, "Apa kau jatuh cinta padaku?"Sebuah suara di kepala Aiden berteriak YA. Dia menghabiskan sepanjang malam menyesap anggur dan bertanya pada dirinya sendiri pertanyaan itu, dan dia tidak bisa menyangkalnya lagi.Tapi Aiden tahu kalau wanita pintar seperti Eva akan menggunakan perasaan Aiden untuk keuntungannya. Orang pertama yang jatuh cinta kalah dalam permainan cinta, dan Aiden menolak untuk mengakui kalau d
Suara dingin Aiden terdengar di atas kebisingan dan kekacauan toko.Para pegawai terintimidasi oleh Aiden, pria itu memancarkan kekuatan dan ketidaksenangan. Setiap gerakannya menunjukkan kalau dia adalah pria yang tidak terbiasa ditolak. Mereka berdiri membeku, gugup dan merasa tidak yakin.Tiba-tiba salah satu dari mereka berbisik, "Orang itu adalah Aiden Malik."Seperti sulap, para pegawai beraksi cepat, membungkus dan mengantongi setiap perhiasan yang dipajang. Tim pegawai lain pergi ke belakang toko untuk mengambil perhiasan lain dari brankas toko. Mereka memanfaatkan waktu mereka di belakang untuk bergosip."Apa-apaan ini? Kupikir wanita itu bangkrut," bisik seorang pegawai, "Apakah pria itu benar-benar Aiden Malik yang legendaris?""Aku tidak tahu," kata yang kedua, "Tapi rumornya Aiden jatuh cinta dengan kekasih masa kecilnya. Mereka bilang dia memberi kekasih masa kecilnya itu cincin senilai dua ratus lima puluh juta dolar.""Kalau begitu, mungkin itu sebabnya dia melakukan in
Aiden menarik dagu Eva ke atas, "Apa kau dengar itu, Eva?"Seharusnya aku tahu kalau Aiden tidak akan memudahkanku untuk mendapatkan ponselku kembali, pikir Eva."Apa masalahnya? Apa kau tiba-tiba malu, sayang?" Aiden bertanya pada istrinya, sebelum kemudian dia melanjutkan berkata, "Kalian semua, berbaliklah."Alfred, pengawal, dan pegawai toko segera pergi. Aiden menatap ke wajah Eva. Eva menggigit bibirnya, dia bertanya-tanya apakah dia harus pergi atau tetap duduk di sini dan membiarkan Aiden membeli kasih sayangnya."Apakah begitu sulit memperlakukanku sebagai suamimu?" Aiden berbisik di telinganya.Memang, pikir Eva, Dua tahun lalu, akan sangat menyenangkan bagiku jika Aiden memintaku untuk menciumnya, tapi, nyatanya selama dua tahun sebelumnya dia tidak pernah melakukannya. Lalu, sekarang dia minta aku menciumnya. Aku telah berubah, Aiden. Aku bukan lagi Eva yang dulu. Bukan lagi Eva yang tergila-gila padamu. Betapapun tergodanya aku untuk menyerah, aku tidak bisa jatuh untukmu
Pintu ruangan itu tertutup di belakang mereka.Aiden melangkah maju lalu meraih dagu Eva. Dia memegang kepala Eva agar tetap di tempatnya lalu menatap jauh ke dalam matanya.Ekspresinya penuh kelembutan, Eva balas menatapnya dengan intensitas yang sama.“Eva, aku menginginkanmu," Aiden berbisik di telinga Eva, "Izinkan aku untuk menyentuhmu."Eva merasakan dilema, di satu sisi dia menginginkan Aiden, tapi di sisi lain dia merasa ragu."Eva, jawab aku …" Bisikan Aiden membuat pikiran Eva kembali. Dia menatap wajah tampan yang ada di depannya, sebelum kemudian menggeleng.Bahu Aiden sedikit jatuh, dan dia melepaskan dagu Eva. Pria itu membuka mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu tapi segera menutupnya lagi. Tiba-tiba, dia terlihat sangat kecewa. Eva hampir merasa kasihan padanya, dia juga ikut merasa sedih."Aiden," panggil Eva perlahan yang membuat Aiden mengangkat pandangannya. Aiden melihat Eva dengan pandangan penuh tanya. Saat itulah Eva mengangguk sambil tersenyum."Boleh?" Tan
"Kau sudah bangun?" tanya Aiden.Eva berpura-pura masih tertidur. Aiden tersenyum, dia tahu kalau Eva hanya berpura-pura tertidur. Ia pun lantas menggerakkan jarinya yang ada di pinggang Eva untuk menggelitik. Eva memekik karena geli."Aiden, apa yang kau lakukan?" cetus Eva."Ah, ternyata istriku sudah bangun. Morning, Sunshine. Bagaimana tidurmu tadi malam?" sapa Aiden ringan.Eva tidak jadi marah, tapi, dia berpura-pura cemberut. "Tidak begitu buruk," sahutnya."Benarkah? Apa kita perlu mengulanginya lagi agar 'tidak begitu buruk' menjadi 'kau luar biasa'.""Aiden, kau benar-benar menganggap tinggi dirimu sendiri.""Siapa lagi yang akan melakukannya? Istriku tidak mau melakukannya, jadi, aku terpaksa melakukannya sendiri," jawab Aiden.Eva menggigit bibirnya, sebenarnya Aiden luar biasa sama seperti sebelumnya, tapi, Eva tidak mau mengakuinya dan membuat Aiden besar kepala.Eva sedikit bingung ketika Aiden mengambil ponsel lalu menelepon Alfred. Tak lama, Alfred masuk bersama beber
Eva baru saja kembali dari kamarnya ketika dilihatnya Aiden sedang diperiksa oleh Benjamin."Ada apa? Apa yang terjadi dengan Aiden?" tanya Eva pada Benjamin."Kau terlihat mengkhawatirkanku, Eva," Aiden yang menyahut.Benjamin mengukur suhu Aiden dan membuat ekspresi muram, "Aiden demam tinggi, aku akan memberinya beberapa tablet vitamin.""Kenapa kau tidak meresepkan obat, Benjamin? Kenapa hanya vitamin saja?" tanya Eva.Benjamin menatap Aiden dengan sedih sebelum kemudian beralih menghadap Eva, "Aiden alergi terhadap banyak obat.""Sejak kapan kau alergi obat, Aiden?" Eva bertanya kepada Aiden, "Bukankah kau hanya alergi mustard saja.""Ahh," kata Aiden, "kurasa kau tidak mengenalku sebaik yang kau pikirkan, Eva sayang."Eva tahu kalau dulu sewaktu masih gadis dia terpaksa mempelajari setiap fakta tentang Aiden sebelum menjalani pernikahan mereka. Sekarang ingatannya hilang, Eva bahkan tidak dapat mengingat informasi paling mendasar tentang hal yang disukai dan yang tidak disukai o
"Tuan Aiden, ini waktunya makan. Makan malam Tuan sudah siap," sela Alfred, "Haruskah saya meminta pelayan untuk membawakan makan malam untuk Tuan ke kamar?"Aiden mengangguk tetapi Eva menghentikannya, "Biar aku yang melakukannya.""Lagi?" Aiden memberinya tatapan bertanya."Apa? Kau yang memintaku untuk merawatmu sampai sembuh dan aku melakukannya. Jadi, kenapa kau mesti heran dengan hal itu, suamiku sayang," kata Eva kepada Aiden.Sebenarnya Eva merasa kewalahan dengan perasaannya yang terasa merah jambu di kamar bersama Aiden dan sangat ingin melarikan diri dan mencari udara segar. Aiden mengangguk sambil tersenyum lalu memberikan album itu kepada Alfred. Eva lantas melangkah keluar ruangan. Begitu dia memasuki aula, dia menarik napas dalam-dalam. Tanpa diminta, bayangan bayi muncul di benaknya. Sepertinya itu adalah gambaran foto bayi Aiden yang tadi dilihatnya, tapi ada mata Eva pada bayi itu. Tidak ... tidak. Itu adalah gambaran bayi mereka berdua. Bayi Eva dan Aiden. Eva tidak
Terdengar ketukan di pintu."Nyonya Eva, Dokter Benjamin berkata kalau Tuan Aiden membutuhkan seseorang untuk menurunkan panas," seorang pelayan berkata dari luar pintu kamar."Apa?" Eva membuka pintu, "Minta Alfred atau Benjamin untuk melakukannya. Aku sedang tidak mood." Pertengkarannya dengan Rebecca membuatnya dalam suasana hati yang buruk.Pelayan itu akan pergi, tetapi Eva memanggilnya kembali, "Tunggu! Aku berubah pikiran. Biar aku yang melakukannya."Saat Eva memasuki kamar tidur, Aiden sedang duduk di tempat tidur sembari melihat tablet di lututnya. Aiden mendongak ke arah suara pintu lalu menatap Eva dengan mata sedalam dan tak terbaca seperti lautan."Kau terlihat tidak sehat, Eva," katanya, "Apa kau sakit lagi, sayang?""Apa kau benar-benar mengkhawatirkanku atau hanya khawatir itu akan menghalangi kehamilanku?" cetus Eva. Nadanya terdengar lebih tajam daripada yang dia maksudkan. Tapi, Aiden sepertinya tidak mengambil hati hal tersebut."Bagaimana jika aku mengatakan kedua