Pintu ruangan itu tertutup di belakang mereka.Aiden melangkah maju lalu meraih dagu Eva. Dia memegang kepala Eva agar tetap di tempatnya lalu menatap jauh ke dalam matanya.Ekspresinya penuh kelembutan, Eva balas menatapnya dengan intensitas yang sama.“Eva, aku menginginkanmu," Aiden berbisik di telinga Eva, "Izinkan aku untuk menyentuhmu."Eva merasakan dilema, di satu sisi dia menginginkan Aiden, tapi di sisi lain dia merasa ragu."Eva, jawab aku …" Bisikan Aiden membuat pikiran Eva kembali. Dia menatap wajah tampan yang ada di depannya, sebelum kemudian menggeleng.Bahu Aiden sedikit jatuh, dan dia melepaskan dagu Eva. Pria itu membuka mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu tapi segera menutupnya lagi. Tiba-tiba, dia terlihat sangat kecewa. Eva hampir merasa kasihan padanya, dia juga ikut merasa sedih."Aiden," panggil Eva perlahan yang membuat Aiden mengangkat pandangannya. Aiden melihat Eva dengan pandangan penuh tanya. Saat itulah Eva mengangguk sambil tersenyum."Boleh?" Tan
"Kau sudah bangun?" tanya Aiden.Eva berpura-pura masih tertidur. Aiden tersenyum, dia tahu kalau Eva hanya berpura-pura tertidur. Ia pun lantas menggerakkan jarinya yang ada di pinggang Eva untuk menggelitik. Eva memekik karena geli."Aiden, apa yang kau lakukan?" cetus Eva."Ah, ternyata istriku sudah bangun. Morning, Sunshine. Bagaimana tidurmu tadi malam?" sapa Aiden ringan.Eva tidak jadi marah, tapi, dia berpura-pura cemberut. "Tidak begitu buruk," sahutnya."Benarkah? Apa kita perlu mengulanginya lagi agar 'tidak begitu buruk' menjadi 'kau luar biasa'.""Aiden, kau benar-benar menganggap tinggi dirimu sendiri.""Siapa lagi yang akan melakukannya? Istriku tidak mau melakukannya, jadi, aku terpaksa melakukannya sendiri," jawab Aiden.Eva menggigit bibirnya, sebenarnya Aiden luar biasa sama seperti sebelumnya, tapi, Eva tidak mau mengakuinya dan membuat Aiden besar kepala.Eva sedikit bingung ketika Aiden mengambil ponsel lalu menelepon Alfred. Tak lama, Alfred masuk bersama beber
Eva baru saja kembali dari kamarnya ketika dilihatnya Aiden sedang diperiksa oleh Benjamin."Ada apa? Apa yang terjadi dengan Aiden?" tanya Eva pada Benjamin."Kau terlihat mengkhawatirkanku, Eva," Aiden yang menyahut.Benjamin mengukur suhu Aiden dan membuat ekspresi muram, "Aiden demam tinggi, aku akan memberinya beberapa tablet vitamin.""Kenapa kau tidak meresepkan obat, Benjamin? Kenapa hanya vitamin saja?" tanya Eva.Benjamin menatap Aiden dengan sedih sebelum kemudian beralih menghadap Eva, "Aiden alergi terhadap banyak obat.""Sejak kapan kau alergi obat, Aiden?" Eva bertanya kepada Aiden, "Bukankah kau hanya alergi mustard saja.""Ahh," kata Aiden, "kurasa kau tidak mengenalku sebaik yang kau pikirkan, Eva sayang."Eva tahu kalau dulu sewaktu masih gadis dia terpaksa mempelajari setiap fakta tentang Aiden sebelum menjalani pernikahan mereka. Sekarang ingatannya hilang, Eva bahkan tidak dapat mengingat informasi paling mendasar tentang hal yang disukai dan yang tidak disukai o
"Tuan Aiden, ini waktunya makan. Makan malam Tuan sudah siap," sela Alfred, "Haruskah saya meminta pelayan untuk membawakan makan malam untuk Tuan ke kamar?"Aiden mengangguk tetapi Eva menghentikannya, "Biar aku yang melakukannya.""Lagi?" Aiden memberinya tatapan bertanya."Apa? Kau yang memintaku untuk merawatmu sampai sembuh dan aku melakukannya. Jadi, kenapa kau mesti heran dengan hal itu, suamiku sayang," kata Eva kepada Aiden.Sebenarnya Eva merasa kewalahan dengan perasaannya yang terasa merah jambu di kamar bersama Aiden dan sangat ingin melarikan diri dan mencari udara segar. Aiden mengangguk sambil tersenyum lalu memberikan album itu kepada Alfred. Eva lantas melangkah keluar ruangan. Begitu dia memasuki aula, dia menarik napas dalam-dalam. Tanpa diminta, bayangan bayi muncul di benaknya. Sepertinya itu adalah gambaran foto bayi Aiden yang tadi dilihatnya, tapi ada mata Eva pada bayi itu. Tidak ... tidak. Itu adalah gambaran bayi mereka berdua. Bayi Eva dan Aiden. Eva tidak
Terdengar ketukan di pintu."Nyonya Eva, Dokter Benjamin berkata kalau Tuan Aiden membutuhkan seseorang untuk menurunkan panas," seorang pelayan berkata dari luar pintu kamar."Apa?" Eva membuka pintu, "Minta Alfred atau Benjamin untuk melakukannya. Aku sedang tidak mood." Pertengkarannya dengan Rebecca membuatnya dalam suasana hati yang buruk.Pelayan itu akan pergi, tetapi Eva memanggilnya kembali, "Tunggu! Aku berubah pikiran. Biar aku yang melakukannya."Saat Eva memasuki kamar tidur, Aiden sedang duduk di tempat tidur sembari melihat tablet di lututnya. Aiden mendongak ke arah suara pintu lalu menatap Eva dengan mata sedalam dan tak terbaca seperti lautan."Kau terlihat tidak sehat, Eva," katanya, "Apa kau sakit lagi, sayang?""Apa kau benar-benar mengkhawatirkanku atau hanya khawatir itu akan menghalangi kehamilanku?" cetus Eva. Nadanya terdengar lebih tajam daripada yang dia maksudkan. Tapi, Aiden sepertinya tidak mengambil hati hal tersebut."Bagaimana jika aku mengatakan kedua
Aiden bertanya, "Apa kau menyukai BDSM, Eva?""Kenapa? Apa kau tidak mau mencobanya, sayang?" balas Eva."Hm, kenapa tidak?" Aiden tersenyum dalam-dalam lalu dengan lesu bersandar di kepala tempat tidur. Eva meraih dasi Aiden yang ada di meja samping tempat tidur lalu mengikat pergelangan kaki suaminya."Be a good boy, Aiden. Jadilah anak yang baik untukku, maukah kau melakukannya, sayang?" Eva berkata saat dia menguji simpul di dasi, "Jangan pernah berpikir untuk mencoba melarikan diri, Aiden."Aiden harus mengakui pada dirinya sendiri kalau melarikan diri adalah hal terakhir yang ada di pikirannya saat ini. Oh ayolah, dia ingin tahu apa yang akan selanjutnya terjadi."Baiklah, beb," sahutnya kemudian, "Lakukan apa yang kau suka pada tubuhku, sayang. Aku bersedia menerimanya.""Oke, sayang," Eva tersenyum lalu menyipitkan mata seperti yang sering dilakukannya.Eva melesat ke kamar mandi, tak lama ia segera kembali dengan riasan di tangannya."Apa yang sedang kau lakukan, sayang?" tan
Pesan gagal terkirim. Eva mencoba mengirimnya lagi, tetapi sekali lagi dia mendapat laporan kalau pesan gagal terkirim. Eva tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan ponselnya, kenapa Eva bisa menerima pesan tanpa masalah, tapi untuk mengirim pesan sepertinya dia tidak bisa mengirimnya sama sekali.Eva mematikan ponsel lalu kemudian menyalakannya kembali tetapi pesannya masih saja gagal terkirim.Eva duduk di tepi tempat tidur lalu mencoba untuk menenangkan kecemasannya yang tiba-tiba saja meningkat. Tiba-tiba, Eva teringat kalau Aiden pernah memergokinya mengirim pesan ke Sebastian sebelumnya.Sepertinya itu juga bukan hanya kebetulan semata kalau ponselnya tiba-tiba saja tidak bisa mengirim pesan kepada Sebastian sama sekali.Pantas saja Aiden setuju untuk mengembalikan ponsel ini kepadaku, pikir Eva, Aku tidak boleh meremehkan suamiku itu yang merupakan seorang Aiden Malik.Eva melihat jam tangan di pergelangan tangannya lalu membuka jendela, dia memandang langit bersih di atas
Eva curiga ketika Aiden mengizinkan Eva untuk mengikatnya dan mencoret wajahnya, apalagi ketika dia setuju untuk mengembalikan ponsel Eva dengan begitu mudah.Sejak Aiden melihat kartu nama itu, Eva telah menyusun rencana pelarian cadangan. Eva tahu kartu nama itu terlalu unik, terlalu mudah bagi pria seperti Aiden untuk melacaknya.Menurut rencana awal, Eva seharusnya menunggu beberapa hari lagi sebelum pergi, tetapi setelah Rebecca mulai ikut campur di restoran hotel waktu itu, Eva menyadari kalau Eva tidak bisa menunggu lagi. Meskipun sulit untuk mengatur ulang semuanya dengan begitu cepat, Eva merasa lega karena akan lebih sulit bagi Aiden untuk melacaknya.Tapi, itu waktu itu, sebelum dia tidur dengan Aiden. Tak dapat Eva pungkiri kalau hatinya tersentuh dengan sikap Aiden di hari ulang tahunnya dan malam yang mereka habiskan bersama di tempat tidur setelah sekian lama mereka tidak melakukannya. Bahkan malam itu adalah kali keduanya tidur alias bercinta dengan Aiden.Eva menyadar
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng