Eva ingin menarik tangannya, tetapi Aiden memegang tangannya dengan kuat sehingga Eva hampir merasa memar."Aku pernah mendengar bahwa keluarga Lewis memiliki cincin bernama Cinta Dalam Hidupku," katanya dengan tenang, "Itu bertatahkan berlian seperti ini, dan cincin ini sangat mirip dengan yang ada di jarimu.""Lalu?" tanya Eva."Jika cincin ini adalah cincin milik keluarga Lewis pistol yang ditaruh di kepala Steven sebelumnya akan berpindah ke Sebastian dan dapat dipastikan lain kali akan ditembakkan," ancam Aiden.Ekspresinya yang sangat serius membuat Eva bergidik. Eva tahu Aiden tidak membuat ancaman kosong. Eva menarik tangannya menjauh dari Aiden."Cincin ini hanya mirip," ucap Eva, "Hanya sebuah kebetulan saja."Takut Aiden akan melihat kecemasan dan kepanikan di wajahnya, Eva memunggungi Aiden. Eva menolak cincin ini ketika Sebastian pertama kali menawarkannya padanya. Eva hanya menerima cincin itu karena Sebastian mengatakan kalau cincin itu bisa mendeteksi racun.Jika Aiden
"Tolong, Aiden," kata Rebecca dengan air mata berlinang, "Izinkan aku meminta maaf pada Eva. Tolong jangan menyuruhku pergi ke pemandian air panas di depan semua orang ini."Aiden menoleh ke Eva yang ada di belakangnya. Aiden terus melindungi tubuh Eva dengan tubuhnya seolah-olah Aiden melindunginya dari sesuatu yang berbahaya. Eva mengangkat kepala untuk melihat Aiden. Ekspresi wajah suaminya bertanya-tanya seperti sedang menunggu jawaban Eva.Apa Aiden benar-benar peduli dengan apa yang kupikirkan?"Nona Rebecca Jonas, kami membayarmu dengan bayaran yang sangat besar untuk tampil dalam pemotretan promosi hotel kami," kata Aiden, suaranya dingin dan tegas, "Adalah tanggung jawabmu untuk melindungi dan mempromosikan citra hotel Empire. Sekarang lakukan tugasmu, Nona Rebecca. Pulihkan nama baik hotel ini.""Tapi aku sudah menjelaskan situasinya kepada banyak reporter," Rebecca mengoceh, "Aku yakin mereka akan mempercayaiku dan memulihkan citra hotel ini.""Tindakan akan berbicara jauh
Rebecca merasa diremehkan. Meskipun Eva telah pergi, Rebecca menatap tajam isi loker Eva.Aiden mandi dengan cepat lalu berpakaian dan bersantai di sofa beludru di aula hotel. Bahkan dengan rambut basah, dia terlihat segar dan rapi serta memancarkan aura kekuatan dan kendali. Staf hotel mau tidak mau menatap Aiden saat mereka lewat."Tuan Aiden, ini semua informasi tentang karyawan Hotel Empire saat ini," kata Alfred sambil menyerahkan selembar kertas kepada Aiden."Hanya segini?" tanya Aiden tidak percaya."Ya, Tuan Aiden. Hotel sudah kekurangan staf, ditambah insiden mata air panas menyebabkan lebih banyak karyawan berhenti, Tuan Aiden," kata Alfred meminta maaf lalu pergi.Aiden melirik ke sekelilingnya dan menyadari kalau hotel itu sangat kosong. Bahkan meja resepsionis di lobi tidak memiliki staf.Aiden mengerutkan dahi dan berpikir.Hotel Empire akan segera berhutang banyak, tapi Eva tampaknya sama sekali tidak peduli. Mengapa dia begitu tenang tentang hal itu? Apa Eva sengaja m
Rebecca memeriksa labelnya. Tulisannya elegan namun maskulin, dan kata-kata yang tertulis di sana hampir membuat Rebecca terengah-engah.Jika kau jatuh cinta padaku, aku akan bersama denganmu selamanya.Jantung Rebecca berdebar kencang saat dia membuka kotak itu, dan hampir berhenti ketika dia melihat cincin berlian merah muda tersebut. Batu besar itu telah dipotong dan dipasang dengan sempurna, setiap sudutnya berkilau dan memantulkan cahaya merah jambu yang menyilaukan. Rebecca hanya bisa membayangkan berapa harga berlian besar dan langka seperti itu. Kecemburuan muncul di perutnya.Pikiran kalau Aiden ingin memberikan cincin yang begitu indah dan berharga kepada wanita lain membuatnya ingin berteriak kesal. Rebecca tidak tahan memikirkan cincin sempurna ini berada di jari wanita lain, bahkan jika wanita itu adalah saudara perempuannya sendiri. Yang pantas mengenakan cincin ini adalah dirinya, Rebecca Jonas dan bukan wanita lain.Sebelum Rebecca bisa menghentikan dirinya sendiri, di
Eva mengepalkan tinjunya lalu memukul pintu itu lagi dan lagi. Meski tangannya sakit dan tenggorokannya serak, tapi tidak ada seorangpun yang menjawab. Eva mengutuk fakta kalau hotel itu hampir kosong, ditinggalkan oleh para tamu dan staf. Mungkin perlu berjam-jam sebelum seseorang mendengarku, pikirnya muram. Eva mencoba menghibur dirinya sendiri dengan pemikiran kalau Aiden tahu di mana dirinya berada.Aiden bertingkah sangat cemburu akhir-akhir ini, pikir Eva, Aiden pasti akan segera datang mencariku.Air dingin dari alat penyiram api terus menghujaninya membuat Eva menggigil. Masih lemah karena demam, Eva tahu kalau air yang membekukan bisa berbahaya.Bertekad untuk menemukan tempat yang lebih kering, Eva mengulurkan tangan ke arah depan lalu dengan membabi buta berjalan melewati ruangan yang gelap.Eva menginjak sesuatu yang keras dan menyentakkan kakinya menjauh. Gerakan tiba-tiba menyebabkan dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke ubin yang licin. Eva mencoba mendorong dirinya
Aiden mencoba membuka pintu ruang ganti tetapi ternyata terkunci. Dia mengangkat kaki lalu menendang hingga pintu bergetar di kusennya. Aiden menendang lagi dan lagi hingga pintu itu pecah dan terbuka dengan benturan keras pada lantai.Alfred dan para pengawal yang baru tiba berlari ke pintu, hampir menabrak Aiden dengan tergesa-gesa. Untung mereka berhasil mengerem dengan cepat hingga tidak terjadi tabrakan beruntun. Aiden memasuki ruangan dan langsung merasakan air sedingin es menyembur kepalanya."Temukan katup darurat dan matikan," perintahnya."Cepat temukan!" Beo pengawal yang lain.Para pengawal bergegas pergi dan air berhenti mengalir dari langit-langit. Aiden melihat ke seberang ruangan, matanya berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. Aiden mendengar erangan lembut dan melihat Eva meringkuk dalam posisi janin di lantai.Istrinya benar-benar telanjang dengan tubuh setengah tenggelam dalam genangan air es. Aiden menyipitkan mata, dia melihat kalau air itu telah berca
"Pergi dan beli pakaian yang cocok untuk istriku," Aiden memerintahkan Alfred.Petugas apotek dan Alfred sama-sama bergegas keluar dari kamar, Aiden lantas menutup pintu. Mendengar pintu ditutup, Eva merasa tercekik. Dia tidak ingin sendirian dengan Aiden di kamar sekecil ini.Setelah mengetahui kalau Eva baik-baik saja, kekhawatiran Aiden berubah menjadi kemarahan yang membara."Kenapa kau mengirimiku pesan seperti itu, Eva? Katakan padaku!""Pesan apa? Kapan aku mengirimnya?" tanya Eva bingung."Jam tiga lebih empat puluh lima," kata Aiden lebih tenang. Dia menemukan kebingungan Eva yang anehnya meyakinkan di mata Aiden."Itu tidak benar. Aku tidak mengirimimu pesan," kata Eva, "Saat itu aku sedang mandi dan tidak membawa ponsel."Aiden mengeluarkan ponsel, membuka menu pesan, lalu menunjukkannya pada Eva."Tidak, aku tidak mengirim pesan itu, Aiden," kata Eva sembari menggelengkan kepala, "Aku meninggalkan ponselku di loker ruang ganti sebelum pergi ke kamar mandi. Aku bahkan belum
Eva bisa merasakan bagian tertentu dari tubuhnya menjadi bersemangat, Eva tahu kalau kebasahan itu bukan hanya karena menstruasi. Eva ingin menampar dirinya sendiri karena menanggapi sentuhannya tanpa malu-malu. Eva ingin berteriak pada Aiden untuk membuatnya berhenti mengobatinya, tetapi seseorang mengetuk pintu."Tuan Aiden, pakaiannya untuk Nyonya Eva sudah ada di sini," kata Alfred.Aiden mengambil pakaian itu lalu menyerahkannya pada Eva sebelum meninggalkannya sendirian di kamar itu. Setelah beberapa menit, petugas kembali membawa kantong kertas."Pacarmu mengatakan kalau kamu mungkin kesulitan berpakaian karena cedera. Jadi, dia memintaku untuk membantu berpakaian. Aku juga membawakan pembalut untuk menstruasi kamu."Eva mendesah."Aku bisa melihat kalau pacarmu itu peduli padamu," kata petugas itu."Benarkah?" Eva bertanya, dia terkejut."Ya. Pacarmu tampak sangat ketakutan ketika membawamu ke sini. Kami semua mengira kamu mengalami kecelakaan yang mengerikan melihat dari eksp
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng