Happy Reading.Arron menyentuh pundak Damara pelan. "Damara!" Tersentak. Dia akhirnya sadar dari lamunannya—menatap ke arah Arron yang terlihat dapat melakukan apa saja untuk Damara tanpa perlu bersusah-susah memikirkan cara untuk menghancurkannya.Memikirkan itu, membuat Damara menolehkan wajahnya ke arah lain. Tak mau menatap mata Arron."Hei," Arron menarik dagu Damara dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Membuat wanitanya itu sontak mendongak ke arahnya. "Kau tidak membenci Hilike."DEG! Damara membulatkan matanya saat mendengar ucapan yang bahkan tidak ia mengerti. "Damara!"Saat Arron hendak mencium bibir wanita jahatnya itu, Damara menjauh. Karena ada racun pada bibirnya."Benar, mungkin aku. Tidak membenci kota ini, mungkin Damara tidak membenci kota ini." Tapi ZALTANA VON FAYCON pemimpin para Faycon mungkin membenci kota ini—Sambung Damara dalam hatinya.Wushhh!Angin berhembus menerpa mereka dari tempat tinggi. Mungkin dapat membuat kamu trauma, saat turun.Arron meme
Happy Reading.Meski membuat beberapa warga terkejut. Tapi kejadian itu langsung diabaikan, sebab mereka mengira kalau kejadian itu adalah percobaan pembunuhan pada Damara.***Di kediaman Arron, pesta masih berlangsung tapi Damara harus pulang karena Arron terluka."Kau kan bisa menyembuhkan dirimu sendiri, mengapa kau tidak lakukan itu sekarang?"Arron tersenyum. Menatap Damara tajam, sembari menepuk ranjang—meminta Damara untuk duduk disampingnya saat ini.Menggerutu. Tapi Damara tetap menuruti Arron, karena luka itu tercipta karenanya. "Apa?" tanya Damara."Obati lukaku. Damara!"Deg! Terkejut singkat. Damara tersenyum berdesis. "Kau lakukan sendiri…."Tetapi saat wanita jahatnya itu bangkit dari tempat duduknya, Arron menahan tangannya. "Obati!" Damara mengerutkan keningnya. "Ku bilang obati!""Aku tidak bisa mengobatimu. Apa yang kau pikirkan!""Obati!""ARRON!"Tetapi tatapan tajam pria itu membuat Dia menghembuskan nafasnya kasar. 'hah' duduk kembali di samping Arron menatap l
Happy Reading. Berkeringat. Damara mencoba mengabaikan Arron, saat melihat luka yang ada pada tubuh Arron sudah membaik. Rupanya, ia menyerah dengan Damara.Bersikap normal. Damara berjalan ke arah ranjang, menarik selimut. Mencoba untuk tidur saja, tapi mengapa "aku tidak bisa tidur?" ucap Damara. Tatapan wanita itu kosong, seolah terjebak dalam sesuatu yang tak bisa ia tahan lagi. Menoleh, Arron masih duduk sofa. Menatapnya dengan mata yang menyala dalam kegelapan. Tanpa ekspresi, tanpa sepatah kata apapun.Perlahan. Damara bangkit dari tempat tidurnya—ia menatap ke arah Arron yang saat ini sedang dalam diam, sebelum kaki jenjangnya melangkah mendekat ke arah suaminya itu.Duduk, di pangkuan Arron. Yang untungnya diterima oleh Arron, pria itu bahkan mengelus-elus puncak kepala Damara yang bersikap manja padanya—bukan, tapi membutuhkan sesuatu."Kau sengaja!" Tuduh Damara, yang membuat Arron tersenyum sinis. "Kau sudah gila!" ucap Damara lagi tanpa raut wajah apapun.Sedang Arron h
Happy reading.1 hari telah berlalu, tak terasa dua sejoli itu baru menyelesaikan permainan mereka. Sampai-sampai, membuat Lycus dan yang lainnya tidak menyala jika mereka dapat menghabiskan banyak waktu di dalam kamar.Arron sudah rapi. Dia bersiap untuk menyelesaikan setiap pekerjaannya yang sempat tertunda. Tetapi Damara—em, ia malah tak berniat untuk keluar dari tempat tidur.Ia lelah, ia mengantuk. Ia juga kesal, kenapa? Ya, karena Arron keterlaluan. Setelah mendapatkan apa yang pria itu inginkan. Arron malah menekan kekuatan Fayconnya lagi.Bugh! Bugh! Bugh!Bantal tak luput dari sasaran amukannya, bahkan Damara belum menggunakan pakaian apapun dan tetap berada di dalam selimut saking kesalnya. "GILA YA!" kesalnya."Aish! Bisa-bisanya dia melakukan ini padaku. Ahhhh Arron sialan!" kesalnya, sudah seperti orang tak waras di ranjang.Tok!Tok!Tok!"Nona!"Suara Lycus. Tetapi Damara terlalu lemah untuk sekedar membukakan pintu untuknya, ya iya lah. Berpakaian pun tak menjadi minat
Happy Reading.Gunung Delmare. Jam enam pagi. Keluarga Arron dan juga Damara terlihat sedang menghadiri makam nyonya Chryseis sebagai bentuk penghormatan dan penyesalan karena tak bisa melindungi istri dan ibu mereka dengan baik.Bukan Damara. Tapi merekalah masalah disini!"Semoga kau tenang di alam sana."Saat upacara selesai. Lycus menemui Damara untuk memberitahukan informasi yang penting secara diam-diam. Sedang Arron sibuk mengurus kenaikan namanya. Ayah Arron memutuskan untuk memberikan posisi pemimpin, saat tahu kalau Damara hamil—ya. Meski sebelumnya, Damara berbohong. Tapi, ayahnya memaklumi kebohongan penuh siasat buruk tersendiri itu.Di tepi jurang. "apa?" tanya Damara langsung pada intinya."Informasi yang kau minta.""Katakan!""Damara, tubuh wanita yang kau rasuki saat ini. Hanyalah gadis lemah, yang mencintai keluarganya. Tapi Faycon membuat luka di hatinya—dengan merenggut ayah dan ibu kandungnya."DEG! Terkejut kecil. Damara malah tersenyum sinis mendengarnya, meng
Happy Reading.PLAK!Mengusap pipinya. Damara berdecak, ia tersenyum sinis pada satu-satu orang yang berani menamparnya—siapa lagi kalau bukan Arron.Pria itu menarik lengan Damara sedikit kasar, mendekat padanya. Menatap lekat-lekat mata pria dengan alis yang saling bertautan tanda marah."Faycon tidak memperbaiki dan ku harap tetap begitu. Damara!"Melepas kasar. Damara mendorong Arron cukup kuat. "Brengsek!" Damara bahkan meludah di atas tanah. Sebelum menatap ke arah pria nenek tua itu lagi. "Aku bisa melakukannya!""DAMARA!"Tetapi Damara tak peduli. "Aku bisa membangkitkan kekasihmu, aku yang memimpin. Itu bukanlah hal yang sulit!""Tidak boleh!" terang Lycus. Ia tahu apa yang akan dilakukan oleh Damara, yang dianggapnya sebagai peluang untuk menang. Lycus selalu setuju, tetapi yang ini terlalu berisiko. "Nona, Anda tidak begini.""Kenapa, tidak boleh Lycus?"Kekuatan Faycon memang sudah ditekan oleh Arron, tetapi pemikiran seorang Faycon yang cenderung berbahaya tetap miliklah
Happy Reading."Aku bilang kamu harus bertanggung jawab, maka kamu harus bertanggung jawab menggantikannya."Damara terkejut. Ia terdiam dengan mata memerah menahan air mata saking kesalnya pada Arron.Menatap Damara tatapan membunuh. "Pikiranmu itu, aku ingin mengambilnya!""Jika besar nafsumu, maka ambillah pisau dan keluarkan semua pikiran jahat. Yang ada pada kepalaku!" sinis Damara menatap Arron tak kenal takut. "Memangnya siapa yang meminta aku…memiliki pikiran seperti itu? Memangnya siapa yang minta dilahirkan dengan kekuatan besar dengan musuh yang tak kalah besar."Arron terdiam. Lantas ia mendekati Damara untuk memeluk wanitanya itu, tetapi Damara berontak tak mau menerima pelukan Arron. Namun Arron memaksa.Damara mulai menangis. "Aku tidak punya keluarga, aku kehilangan para Faycon, tidak ada rumah yang pantas untukku!" Membalas pelukan Arron tak eratnya. "Aku hanya, tidak ingin membenci meski aku ingin, membunuhmu!"Di sisi lain. Lycus yang sedang berdiri, menyandarkan ba
Happy reading."Tidak boleh!"Mendengar itu. Membuat Arron menarik pinggang ramping Damara dengan satu tangannya agar lebih dekat dekat dengannya."Jadi, aku boleh menciummu Damara?" tanya Arron dengan suara serak yang begitu menggoda. Membuat Damara hanya tersenyum menatap lekat-lekat Arron yang terus menatap ke arah bibirnya tanpa henti. "Jawablah."Tersenyum sinis. Dia bertanya balik. "Boleh kubalas tuan Arron?" Arron tersenyum sinis menatap dalam wanita jahatnya yang tidak pernah berhenti berulah. "Jawablah!" bisik Damara. Begitu menggoda."Tentu."Setelahnya. Keduanya saling berciuman dengan mesra, sampai-sampai Damara terdorong pada tembok belakang. Tapi Arron menahan kepala Damara agar tidak membentur tembok.Saling bermain, saling memanggil dan saling mengajari cara melakukannya dengan benar benar—itu membangkitkan hasrat Arron. Yang membuat ciuman itu beralih turun pada leher Damara, memberi tanda di sana. Sebelum jatuh semakin jauh ke dalam dada wanitanya."Hentikanlah! Apa
Happy Reading.Bahagia. Itu hanya sementara saja, karena setelahnya Damara mendapatkan kado yang begitu spesial. Sampai ia tak bisa berkata apa-apa lagi saat menyaksikan senyuman dan harapan semua orang, yang ingin melihat ia bahagia.***Beberapa hari setelah hari ulang tahun Eos, Damara terlihat bahagia menghabiskan waktunya untuk bercanda dengan orang-orang di sekitarnya.Tidak menghindar, atau menatapnya dengan tatapan rendah, apalagi bersembunyi di balik pintu karena takut padanya."Hei Eos, kau menyimpan hadiahku kan?""Ya." Damara tersenyum senang. "Aku menyimpannya pada ibuku."Damara terkejut. "Ibumu?" Eos menganggukan kepalanya sebagai jawaban, menolehkan kepalanya ke arah ibunya. Emerald. Damara menghembuskan nafasnya kasar. sebelum tersenyum menepuk puncak kepala Eos dengan sayang. "Bermainlah!""Em."Lalu Damara pergi begitu saja, mendekat ke arah Emerald. "Belum cukup kau membuat anak dengan pria lain, kau juga memberikan namaku pada anak itu. Setelahnya merebut hadiah
Happy Reading."Damara?""Damara." Hah. Panggilan itu langsung menyadarkan Damara dari lamunannya. "Ada apa? Hm?" tanya Arron, ia kini merangkul pinggang ramping Damara yang sedang berdiri menangkupkan satu tangannya pada wajahnya menyandar pada peyangga di lantai dua. Yang menghadap langsung ke lantai dansa, di lantai satu.Sedang ada pesta."Kau terlihat resah?"Damara tersenyum pada Arron. Karena meski ia berhasil mendapatkan kepercayaan semua orang dan menyingkirkan ketakutan akan Faycon yang membahayakan, tapi bukan berarti itu menyelesaikan masalahnya."Arron," Damara ragu untuk mengatakannya. "Ada apa?""Tidak apa-apa."Pria itu tak memaksa, karena ia tahu kalau sejak saat Damara pingsan kondisi tubuhnya memburuk dan darah selalu menghiasi tempat tidur Damara. "Haruskah aku datang ke kamarmu malam ini Damara?""Tidak usah, aku … baik-baik saja."Arron mendengus, sebelum memeluk erat Damara. "Sebagai gantinya, jangan tolak aku saat kita menikah nanti."Lalu Damara menarik dir
Happy Reading.Apakah akan baik-baik saja? Bagaimana jika semua yang dipikirkan diawal tidak terjadi, dia tidak diterima justru dimusuhi? Apakah semuanya akan berakhir seperti sebelumnya."Damara," Arron kini menggenggam tangan Damara, menatap wanita dengan tatapan penuh percaya diri. "Semua akan baik-baik saja?"Tapi tentu saja Damara semakin cemas. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan diriku. Meski punya kamu, bayangan akan masa selalu ada. Aku adalah Faycon bagaimanapun bentukku Arron, dan dendam akan selalu ada dalam benakku—""Kecemasanmu sangat tidak berarti sekarang." timpal Lycus. "Lihatlah kami akan selalu berada di depanmu untuk menghalangi semua niatmu!"Sontak mata Damara langsung tertuju pada mereka semua, entah mengerti pada takdir atau sengaja dibuat mengerti padahal tidak tahu apa-apa tentang waktu yang sedang berjalan sekarang."Haruskah aku menciummu agar kau tenang?" Goda Arron. Kini wajahnya dan Damara ada dalam jarak yang cukup dekat.Malu. Tentu saja
Happy Reading."Karena aku, butuh obatku!" jawab Arron. Kemudian tersenyum melihat wajah cantik Damara, yang masih sama seperti pertama kali mereka bertemu.***Lama mengobrol, akhirnya mereka sampai di sebuah hutan belantara dengan bendera yang sudah usang."Tempat apa ini?" tanya Damara. Alisnya terus saja menyatu saat pandangannya mencoba menganalis sekitarnya.Bekas kurumput yang injak, sayatan pedang di pohon dan aroma amis darah yang telah menghitam, mengering di beberapa tempat.Damara menetralkan aura Fayconnya setelah berhasil mendapatkan jawaban dari kebingungannya barusan."Jadi, ada area seperti ini di tempat ini?""Ya. Kami membangunnya agar para kesatria dan para pemuda kota ini terlatih untuk menghadapi masalah yang besar, jauh dari perkiraan mereka sebelumnya." jelas Arron.Damara mengangguk-anggukan kepalanya sebagai respon. Lalu kemudian ia tersenyum seperti smile yang lumayan mengerikan jika di lihat terlalu lama."Lalu, apa maksudmu membawaku ke tempat ini? Boleh a
Happy Reading.Dia—Damara, kini di terima sebagai bagian dari anggota prajurit pertahanan dan namanya mulai semakin besar di kalangan masyarakat.Namun ada juga yang menatap Damara dengan tatapan tak suka, sebab ia mewarisi kekuatan Faycon yang harusnya sudah musnah.Seorang pria berkumis mendekat. "Entah keberuntungan atau anugrah, kami akan selalu mengawasiku." Teguran yang cukup berarti. Tapi Damara tak peduli akan apa yang mereka bicarakan sekarang tentangnya, karena yang ia tahu bahwa yang membelanya jauh lebih banyak dari yang membencinya.Sebuah tangan menepuk pundaknya pelan. "Mikael?" Damara tersenyum pada pria yang sudah banyak berubah itu, dengan pakaian zirah dia tampak luar biasa sekarang."Haruskah ku potong lidahnya itu?"Deg! Damara membulatkan matanya singkat, sebelum memukul pelan Mikael. Tertawa singkat sebelum Damara menarik pedangnya. "Ide bagus." ucap Damara.Namun Lycus dan Draxan muncul disamping dua orang itu dan menghentikan mereka berdua. "Ekhem, jangan mac
Happy Reading."Kenapa?"Satu pertanyaan itu membuat Damara menarik tangannya dari tangan Arron, kini ia benar-benar malu. Karena arwahnya baru saja kembali ke dalam tubuhnya, yang otomatis sadar sepenuhnya."Kau?""Damara?"Kemudian menoleh ke arah sudut lainnya. "Kalian!" bingungnya saat melihat ruangan yang harusnya kosong, kini di penuhi oleh wajah-wajah yang begitu ia benci dan hindari selama beberapa saat yang lalu.Lalu pandangannya kini tertuju pada ornamen dinding dan papan tulis yang identik dengan karakter mereka masing-masing. "Ini … maaf masuk tanpa izin, saya permisi." Pamitnya.Namun sesaat sebelum ia melangkah pergi, Arrin tentu saja menghentikan Damara. Ia malah mengandeng tangan Damara dan membawanya ke kursi yang menghadap meja yang penuh dengan makanan juga es yang sudah mencair."Makan!" Titahnya. Sementara Damara hanya duduk memandang mereka dengan tatapan aneh.Hah. Lagi-lagi ditatap dengan tatapan yang sama. "Sampai kapan kalian akan menatapku dengan tatapan se
Happy Reading.Di ruangan Arron, Damara menatap tajam pria itu. "Kau pikir aku seekor anjing?" tanyanya marah pada Arron, sebab ia menarik tubuh Damara dengan kekuatan aura yang terlihat seperti sedang menjerat seseorang. "Hei, kenapa diam saja?""Damara, kau tidak mematuhiku." Damara mengerutkan keningnya. Lalu tersenyum sinis pada pria itu. "Mematuhi, sejak kapan perintahmu menjadi mutlak bagiku? Aku bukan wargamu, karena dari segi apapun aku berbeda. Tidaka kan pernah sama denganmu, jadi berhentilah mengekang seolah aku adalah milikmu.""Kau memang milikku sekarang."Deg! Damafa terpaku di tempatnya, pikiran dan perasaannya tiba-tiba saja menjadi aneh.Arron kini menatap Damara dalam-dalam. "Aku tidak suka kau bersama dengan orang lain selain aku?""Kau gila?""Ya.""Arron!" "Apa?" tanya Arron dengan suara lembut, tetapi mengapa tatapannya begitu tajam. Ia menatap Damara seperti melihat mangsa yang telah di lepaskan tapi malah mengigitnya diam-diam—perlahan Arron mendekati Damara
Happy Reading."Saat bersama dengan As, aku tidak menyaka kalau akan merasa berbeda. Seolah menjadi orang lain. Apa mungkin, hanya dia saja yang melihatku dengan tatapan penuh waspada dan menerima segala kekuranganku?" pikir Damara membatin.Jika kalian berkata kalau ini adalah cinta, maka jawabannya adalah tidak. Ini bukanlah cinta.***Dan itu adalah masalahnya. "Aku perhatikan, kau tidak betah di dalam istana? Ada apa?" tanya Arron, sibuk membalikan lembaran demi lembaran kertas di tangannya dengan teliti.Sementara Damara hanya menghembuskan nafasnya kasar. "Sejak kapan menjadi urusanmu?""Kau disini karena aku yang memintanya, jadi kau juga tanggung jawabku.""Aku tidak akan mati semudah itu!""Yang ku lihat tidak begitu."Damara tersenyum sinis. "Aha, apa sekarang Anda sangat cemas denganku? Mengingat aku hampir saja mati di tanganmu. Jangan pikir aku tidak mengingatnya, setiap mata yang menatapku seperti musuh. Naif sekali kalau kau sekarang mengkhawatirkanku!" terang Damara ta
Happy Reading.Melihat Arron dan kemungkinan Damara tidak bisa keluar dari tempat ini, Damara tersenyum sebelum menundukan kepalanya singkat pada Arron.Dan di setiap langkahnya, pegang muncul dari tangan Arron. Pedang yang membinasakan dengan aura, mungkin ini saatnya baginya untuk pergi ke neraka.Darah Mycana memang luar biasa ya. Namun di tengah ketegangan yang terjadi, seorang pria menerobos masuk ke dalam ruangan yang gelap penuh dengan sihir.Deg! Emerald membelalakan matanya saat melihat suaminya muncul di tempat ini, dan terlihat tergesa-gesa."Jangan bunuh, tuan saya mohon!"Dia mengeluarkan sesuatu dalam tasnya, obat yang taruh dalam botol kecil dalam jumlah yang cukup banyak. "Nona saya berhasil." ujarnya dengan senyuman penuh ketakutan.Yap. Damara sudah merencanakan saat ini, dan untungnya pria menyebalkan yang ingin sekali ia bunuh itu datang tepat pada waktunya."Saya juga membawa surat cerai, jadi saya mohon. Lepas segel sihirnya, ya."Lycus kembali sebotol, lalu ia