Happy reading."Tidak boleh!"Mendengar itu. Membuat Arron menarik pinggang ramping Damara dengan satu tangannya agar lebih dekat dekat dengannya."Jadi, aku boleh menciummu Damara?" tanya Arron dengan suara serak yang begitu menggoda. Membuat Damara hanya tersenyum menatap lekat-lekat Arron yang terus menatap ke arah bibirnya tanpa henti. "Jawablah."Tersenyum sinis. Dia bertanya balik. "Boleh kubalas tuan Arron?" Arron tersenyum sinis menatap dalam wanita jahatnya yang tidak pernah berhenti berulah. "Jawablah!" bisik Damara. Begitu menggoda."Tentu."Setelahnya. Keduanya saling berciuman dengan mesra, sampai-sampai Damara terdorong pada tembok belakang. Tapi Arron menahan kepala Damara agar tidak membentur tembok.Saling bermain, saling memanggil dan saling mengajari cara melakukannya dengan benar benar—itu membangkitkan hasrat Arron. Yang membuat ciuman itu beralih turun pada leher Damara, memberi tanda di sana. Sebelum jatuh semakin jauh ke dalam dada wanitanya."Hentikanlah! Apa
Happy Reading.Rapat selesai. Dan keputusan akhir sekali lagi diserahkan pada Arron, sebab Damara. Sama sekali tak membantu mereka.Setelahnya diadakan jamuan kecil-kecilan. Dan rupanya, wanita berkharisma nan seksi sedang melihat ke arah Damara. Lantas ia menghampiri."Nona Damara, bisa kita bicara?!"Saling adu tatapan sinis. Damara mengiyakan ajakannya.Balkon, dekat pesta. Mereka mulai berbicara dengan segelas Wine di tangan mereka—bedanya milik Damara terisi penuh, dan milik wanita itu hanya setengah."Anda, kuat juga ternyata." Berbicara dengan nada ejekan itu. Apakah pantas—untuk tarik keluar lidahnya, Damara berpikir jahat lagi."Ada apa?""Menyerahlah, keputusan akhir adalah milik Arron!""Lalu?"Wanita itu tersenyum sinis. "Lalu?" ulang wanita itu. "Anda tidak bisa menentangnya, bagaimanapun juga Arron harus punya wanita lain di sisinya.""Tuan Mycana hanya punya Chryseis. Dan dengan alasan apa Arron harus punya wanita lain?" kali ini. Tatapan dan cara bicara Damara, menunju
Happy Reading.Pranggg!Damara tak pernah merasa sejengkel ini pada Arron. "Apa yang kau pikirkan? Mempermainkanku?!" tanya Damara kesal.Tetapi Arron hanya menatap istrinya itu dingin, tak membalas. Membiarkan Damara melampiaskan amarahnya karena ia mengabaikan Damara selama Jamuan selama beberapa saat yang lalu.Sedang para pelayan terlihat biasa-biasa saja. Itu karena Damara meminta dan melatih mereka untuk menjadi orang-orang yang kuat, jika ingin melayaninya di kediaman ini.Tetapi tiba-tiba saja.Hosh! Hosh! Hosh!Seorang wanita memasuki kediaman Arron. Yang lainnya berpencar—mereka berantakan, penuh luka dan darah."Tu-tuan tolong saya!" Lycus menghampiri. "Biarkan mereka semua masuk!""ARRON!" Mata Damara membelalak, matanya memerah karena marah. Sebab suami bodohnya itu lebih memilih menyelamatkan mereka.Tak lama. Lycus kembali bersama Draxan! "Semua sudah masuk, kami juga sudah mengunci setiap tempat!"DEG! Kali ini lagi. Damara terlihat terkejut dengan apa yang baru saja
Happy Reading.Tap!Tap!Tap!"Kena kalian," tak melanjutkan kata-katanya. Damara malah terdiam dengan pikiran kusut saat melihat Arron tidur bersama dengan wanita-wanita yang bahkan rela melepas segalanya untuk mendapatkan kehidupan.Tak marah pada Arron, Damara malah merasa lemah sebagai seorang perempuan. Dengan tangan yang mengepal kuat pada gagang pedang, Damara mendekati mereka.Mengibaskan pedang berlumuran darahnya itu pada kedua wanita itu sembari berkata. "Jangan pernah meminta kehidupan pada pria yang bahkan tidak menghormati kalian!"SREKKK!DEG! Mata mereka membelalak. Tetapi kegelapan lebih dulu menyapa.Tes!Tes!Tes!Darah yang mengalir dengan sangat indahnya, tak membuat Arron dan Lycus bergeming. Tetapi mata Damara menatap Arron kesal. "Kau brengsek!" bukannya marah. Arron malah tersenyum sinis.Sedang Lycus. Tersenyum palsu, melambaikan tangannya pada Damara yang harus mengurusi satu wanita lagi.***Di atap. Wanita itu berbeda, bukannya bersembunyi. Ia terlihat sed
Happy Reading.Pagi menyapa, dengan ketegangan yang masih selimuti oleh darah dan kesedihan.Lisy tertunduk. Bersujud di depan Arron dan juga tuannya. "Maafkan saya. Sa-saya gagal mengendalikan diri saya!" Lisy mulai menangis."Tidak ada apa-apa Lisy. Ini hanyalah pengajaran!" kata teman-teman mereka.Tetapi ini bukan tentang pengajaran. Lisy mengerti beberapa hal yang tidak dimengerti oleh calon ksatria wanita lainnya. "ITU MASALAHNYA!" bentak Lisy pada teman-temannya.Menatap marah pada tuan Draxan. "Anda menggunakan orang lain sebagai pelajaran Tuan?""Em!"Tiba-tiba saja. Lisy mengangkat pedang yang tergeletak di lantai, hendak menyerang Draxan karena marah. "bagaimana bisa, kau mempermainkan perasaan orang lain!" Sesaat sebelum….KRAKKK!"Hadeh, leherku bermasalah!" Damara muncul dari balik pintu sembari. Meregangkan lehernya. "dadaku sakit, gila juga seranganmu?!" Berhenti saat melihat Lisy yang hampir menggorok leher Draxan."Oh maaf. Mengganggu silakan dilanjutkan!""Damara?!"
Happy Reading.Menjelang sore. Damara yang kelelahan setelah makan sampai kenyang, membersihkan diri dan langsung melompat ke atas tempat tidur yang nyaman bagi tubuh manusianya saat ini."Kau akan langsung tidur? Ini masih siang!" ingat Arron dengan wajah datar, duduk di samping ranjang Damara yang sedang tengkurap. Memeluk bantal. "Bukankah kau punya sesuatu yang harus ku lihat?!"Tajam. Damara membuka matanya, jengah menatap ke arah pria yang tak bisa membiarkannya beristirahat dengan tenang.Mengambil posisi duduk. Arron duduk lebih dekat dengan Damara. "Ku buka."Arron hanya ingin memastikan kalau luka Damara membaik, mengingat tikaman Lisy cukup dalam hampir mengenai titik Vital jantung Damara. "Mau ku sembuhkan?" tanya Arron pada Damara yang malah tersenyum sinis padanya sambil menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.Sebelum menarik pakaiannya, kembali berbaring seolah tak ada luka pada tubuhnya saat ini.DEG!Sampai. Ia merasakan sesuatu berjalan pada pahanya. "Arron aku terl
Happy Reading."Aku bisa melakukannya dengan baik!" ujar Arron tepat di telinga Damara, sebelum pria itu menggendong Damara ala bridal—Dia, Damara juga mengalungkan kedua tangannya pada leher Arron dengan manja lengkap dengan tatapan sinis.Membawa Damara menaiki tangga, mendorong pintu—menutupnya dengan kekuatannya kembali. Berjalan perlahan ke arah ranjang, membaringkan Damara perlahan-lahan."Bukankah suamimu ini terlihat seperti seorang penjahat?" tanya Arron sembari memandangi Damara dengan tatapan tajam dan dinginnya. Damara tersenyum sinis. Lantas meraih wajah Arron yang berada di atasnya saat ini, dengan tangannya yang berdarah karena luka itu belum sembuh. "sekarang baru terlihat seperti seorang penjahat!" ungkap Damara menatap dalam netra mata Arron.Detik berikutnya….Cup! Pria itu mencumbu Damara, menjilat, memagut mesra setelahnya. Tenggelam dalam kemesraan yang penuh dengan warna. "Ahhh!" Bahkan suara indah berhasil lolos dari bibir indah Damara ketika pria itu menyentu
Happy Reading.Penentangan Damara, membuat ia dikurung oleh Arron di kamarnya dengan kekuatan yang cukup untuk membuat wanita itu terluka parah jika mencoba untuk melewati pintu yang ia buat di sekitaran kamarnya."Sialan!" BRAK!Gedor! Gedor! Gedor!Damara tak bisa menahan amarahnya satu mereka mengambil keputusan sepihak yang tidak ada gunanya di akhir—dengan keringat dan amarah, Damara membuat pijakan yang cukup tinggi. Mencoba membuka akses agar ia bisa mengeluarkan dirinya dengan menggunakan para Faycon yang sedang mengamuk di luar sana. Hosh!Hosh!Hosh!Dengan sedikit menahan rasa sakit yang ada pada tangan kanannya yang seakan hancur lebur, terpotong seperti Lazer. Dia berkata, "aku disini!" ucapnya sebelum menarik dirinya kembali.Bukh!.Untung yang berada di bawahnya adalah kasur, jadi ia tak sampai membentur lantai marmer yang keras—akan tetapi, nafas Damara mulai habis. Darah yang keluar dari tangannya membuat gadis itu menangis. Mengikat kuat dengan pakaian di lemarinya
Happy Reading.Bahagia. Itu hanya sementara saja, karena setelahnya Damara mendapatkan kado yang begitu spesial. Sampai ia tak bisa berkata apa-apa lagi saat menyaksikan senyuman dan harapan semua orang, yang ingin melihat ia bahagia.***Beberapa hari setelah hari ulang tahun Eos, Damara terlihat bahagia menghabiskan waktunya untuk bercanda dengan orang-orang di sekitarnya.Tidak menghindar, atau menatapnya dengan tatapan rendah, apalagi bersembunyi di balik pintu karena takut padanya."Hei Eos, kau menyimpan hadiahku kan?""Ya." Damara tersenyum senang. "Aku menyimpannya pada ibuku."Damara terkejut. "Ibumu?" Eos menganggukan kepalanya sebagai jawaban, menolehkan kepalanya ke arah ibunya. Emerald. Damara menghembuskan nafasnya kasar. sebelum tersenyum menepuk puncak kepala Eos dengan sayang. "Bermainlah!""Em."Lalu Damara pergi begitu saja, mendekat ke arah Emerald. "Belum cukup kau membuat anak dengan pria lain, kau juga memberikan namaku pada anak itu. Setelahnya merebut hadiah
Happy Reading."Damara?""Damara." Hah. Panggilan itu langsung menyadarkan Damara dari lamunannya. "Ada apa? Hm?" tanya Arron, ia kini merangkul pinggang ramping Damara yang sedang berdiri menangkupkan satu tangannya pada wajahnya menyandar pada peyangga di lantai dua. Yang menghadap langsung ke lantai dansa, di lantai satu.Sedang ada pesta."Kau terlihat resah?"Damara tersenyum pada Arron. Karena meski ia berhasil mendapatkan kepercayaan semua orang dan menyingkirkan ketakutan akan Faycon yang membahayakan, tapi bukan berarti itu menyelesaikan masalahnya."Arron," Damara ragu untuk mengatakannya. "Ada apa?""Tidak apa-apa."Pria itu tak memaksa, karena ia tahu kalau sejak saat Damara pingsan kondisi tubuhnya memburuk dan darah selalu menghiasi tempat tidur Damara. "Haruskah aku datang ke kamarmu malam ini Damara?""Tidak usah, aku … baik-baik saja."Arron mendengus, sebelum memeluk erat Damara. "Sebagai gantinya, jangan tolak aku saat kita menikah nanti."Lalu Damara menarik dir
Happy Reading.Apakah akan baik-baik saja? Bagaimana jika semua yang dipikirkan diawal tidak terjadi, dia tidak diterima justru dimusuhi? Apakah semuanya akan berakhir seperti sebelumnya."Damara," Arron kini menggenggam tangan Damara, menatap wanita dengan tatapan penuh percaya diri. "Semua akan baik-baik saja?"Tapi tentu saja Damara semakin cemas. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan diriku. Meski punya kamu, bayangan akan masa selalu ada. Aku adalah Faycon bagaimanapun bentukku Arron, dan dendam akan selalu ada dalam benakku—""Kecemasanmu sangat tidak berarti sekarang." timpal Lycus. "Lihatlah kami akan selalu berada di depanmu untuk menghalangi semua niatmu!"Sontak mata Damara langsung tertuju pada mereka semua, entah mengerti pada takdir atau sengaja dibuat mengerti padahal tidak tahu apa-apa tentang waktu yang sedang berjalan sekarang."Haruskah aku menciummu agar kau tenang?" Goda Arron. Kini wajahnya dan Damara ada dalam jarak yang cukup dekat.Malu. Tentu saja
Happy Reading."Karena aku, butuh obatku!" jawab Arron. Kemudian tersenyum melihat wajah cantik Damara, yang masih sama seperti pertama kali mereka bertemu.***Lama mengobrol, akhirnya mereka sampai di sebuah hutan belantara dengan bendera yang sudah usang."Tempat apa ini?" tanya Damara. Alisnya terus saja menyatu saat pandangannya mencoba menganalis sekitarnya.Bekas kurumput yang injak, sayatan pedang di pohon dan aroma amis darah yang telah menghitam, mengering di beberapa tempat.Damara menetralkan aura Fayconnya setelah berhasil mendapatkan jawaban dari kebingungannya barusan."Jadi, ada area seperti ini di tempat ini?""Ya. Kami membangunnya agar para kesatria dan para pemuda kota ini terlatih untuk menghadapi masalah yang besar, jauh dari perkiraan mereka sebelumnya." jelas Arron.Damara mengangguk-anggukan kepalanya sebagai respon. Lalu kemudian ia tersenyum seperti smile yang lumayan mengerikan jika di lihat terlalu lama."Lalu, apa maksudmu membawaku ke tempat ini? Boleh a
Happy Reading.Dia—Damara, kini di terima sebagai bagian dari anggota prajurit pertahanan dan namanya mulai semakin besar di kalangan masyarakat.Namun ada juga yang menatap Damara dengan tatapan tak suka, sebab ia mewarisi kekuatan Faycon yang harusnya sudah musnah.Seorang pria berkumis mendekat. "Entah keberuntungan atau anugrah, kami akan selalu mengawasiku." Teguran yang cukup berarti. Tapi Damara tak peduli akan apa yang mereka bicarakan sekarang tentangnya, karena yang ia tahu bahwa yang membelanya jauh lebih banyak dari yang membencinya.Sebuah tangan menepuk pundaknya pelan. "Mikael?" Damara tersenyum pada pria yang sudah banyak berubah itu, dengan pakaian zirah dia tampak luar biasa sekarang."Haruskah ku potong lidahnya itu?"Deg! Damara membulatkan matanya singkat, sebelum memukul pelan Mikael. Tertawa singkat sebelum Damara menarik pedangnya. "Ide bagus." ucap Damara.Namun Lycus dan Draxan muncul disamping dua orang itu dan menghentikan mereka berdua. "Ekhem, jangan mac
Happy Reading."Kenapa?"Satu pertanyaan itu membuat Damara menarik tangannya dari tangan Arron, kini ia benar-benar malu. Karena arwahnya baru saja kembali ke dalam tubuhnya, yang otomatis sadar sepenuhnya."Kau?""Damara?"Kemudian menoleh ke arah sudut lainnya. "Kalian!" bingungnya saat melihat ruangan yang harusnya kosong, kini di penuhi oleh wajah-wajah yang begitu ia benci dan hindari selama beberapa saat yang lalu.Lalu pandangannya kini tertuju pada ornamen dinding dan papan tulis yang identik dengan karakter mereka masing-masing. "Ini … maaf masuk tanpa izin, saya permisi." Pamitnya.Namun sesaat sebelum ia melangkah pergi, Arrin tentu saja menghentikan Damara. Ia malah mengandeng tangan Damara dan membawanya ke kursi yang menghadap meja yang penuh dengan makanan juga es yang sudah mencair."Makan!" Titahnya. Sementara Damara hanya duduk memandang mereka dengan tatapan aneh.Hah. Lagi-lagi ditatap dengan tatapan yang sama. "Sampai kapan kalian akan menatapku dengan tatapan se
Happy Reading.Di ruangan Arron, Damara menatap tajam pria itu. "Kau pikir aku seekor anjing?" tanyanya marah pada Arron, sebab ia menarik tubuh Damara dengan kekuatan aura yang terlihat seperti sedang menjerat seseorang. "Hei, kenapa diam saja?""Damara, kau tidak mematuhiku." Damara mengerutkan keningnya. Lalu tersenyum sinis pada pria itu. "Mematuhi, sejak kapan perintahmu menjadi mutlak bagiku? Aku bukan wargamu, karena dari segi apapun aku berbeda. Tidaka kan pernah sama denganmu, jadi berhentilah mengekang seolah aku adalah milikmu.""Kau memang milikku sekarang."Deg! Damafa terpaku di tempatnya, pikiran dan perasaannya tiba-tiba saja menjadi aneh.Arron kini menatap Damara dalam-dalam. "Aku tidak suka kau bersama dengan orang lain selain aku?""Kau gila?""Ya.""Arron!" "Apa?" tanya Arron dengan suara lembut, tetapi mengapa tatapannya begitu tajam. Ia menatap Damara seperti melihat mangsa yang telah di lepaskan tapi malah mengigitnya diam-diam—perlahan Arron mendekati Damara
Happy Reading."Saat bersama dengan As, aku tidak menyaka kalau akan merasa berbeda. Seolah menjadi orang lain. Apa mungkin, hanya dia saja yang melihatku dengan tatapan penuh waspada dan menerima segala kekuranganku?" pikir Damara membatin.Jika kalian berkata kalau ini adalah cinta, maka jawabannya adalah tidak. Ini bukanlah cinta.***Dan itu adalah masalahnya. "Aku perhatikan, kau tidak betah di dalam istana? Ada apa?" tanya Arron, sibuk membalikan lembaran demi lembaran kertas di tangannya dengan teliti.Sementara Damara hanya menghembuskan nafasnya kasar. "Sejak kapan menjadi urusanmu?""Kau disini karena aku yang memintanya, jadi kau juga tanggung jawabku.""Aku tidak akan mati semudah itu!""Yang ku lihat tidak begitu."Damara tersenyum sinis. "Aha, apa sekarang Anda sangat cemas denganku? Mengingat aku hampir saja mati di tanganmu. Jangan pikir aku tidak mengingatnya, setiap mata yang menatapku seperti musuh. Naif sekali kalau kau sekarang mengkhawatirkanku!" terang Damara ta
Happy Reading.Melihat Arron dan kemungkinan Damara tidak bisa keluar dari tempat ini, Damara tersenyum sebelum menundukan kepalanya singkat pada Arron.Dan di setiap langkahnya, pegang muncul dari tangan Arron. Pedang yang membinasakan dengan aura, mungkin ini saatnya baginya untuk pergi ke neraka.Darah Mycana memang luar biasa ya. Namun di tengah ketegangan yang terjadi, seorang pria menerobos masuk ke dalam ruangan yang gelap penuh dengan sihir.Deg! Emerald membelalakan matanya saat melihat suaminya muncul di tempat ini, dan terlihat tergesa-gesa."Jangan bunuh, tuan saya mohon!"Dia mengeluarkan sesuatu dalam tasnya, obat yang taruh dalam botol kecil dalam jumlah yang cukup banyak. "Nona saya berhasil." ujarnya dengan senyuman penuh ketakutan.Yap. Damara sudah merencanakan saat ini, dan untungnya pria menyebalkan yang ingin sekali ia bunuh itu datang tepat pada waktunya."Saya juga membawa surat cerai, jadi saya mohon. Lepas segel sihirnya, ya."Lycus kembali sebotol, lalu ia