“Tapi, semua itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang terjadi kepada kita sekarang ini, kak!” ucap Alenta frustasi.
“Ada!” Bentak Edward.Tatapan mata Edward yang begitu tegas, dia jelas ingin membuat Alenta tersadar dan berhenti menolak untuk mempercayainya.“Itu adalah alasan aku menikahi kakakmu, alasan aku membiarkan orang lain menyalahpahami segalanya! Aku melakukan kesalahan itu, dan aku tidak menyadarinya lebih awal,” ungkapnya jujur.Alenta masih tidak memahaminya. Dia ingat kalau dia memang pernah menyelamatkan seseorang beberapa tahun yang lalu, tapi dia tidak menyadari jika orang itu ternyata adalah Edward.“Aku selalu memberikan uang kepada kakakmu untuk biaya kehidupanmu, aku juga yang sudah membayar biaya sekolahmu sampai kau lulus kuliah. Aku memiliki niatan awal untuk menikahi mu, tapi kau masih terlalu muda. Aku bingung, lalu kakakmu memberikan saran untuk menjadi Kakak iparmu saja, menjadi suaminya kaka“Tidak apa-apa, Kak. Pulang saja dulu, Elea pasti akan berhenti menangis kalau Kak Edward pulang,” pinta Alenta. Mendengar cerita dari Edward tentang Elea, dia merasa tidak tega. Rasanya, dia benar-benar ingin cepat berlari untuk mendapatkan Elea. Tapi, sadar tak bisa melakukan semua itu dan hanya bisa mengandalkan Edward sekarang. Edward menghela nafas, tentu dia sadar dia tidak memiliki pilihan lain. Meski berat harus meninggalkan Alenta di sana, nyatanya dia juga tidak bisa mengabaikan Elea. “Baiklah. Kau perbanyak istirahat, jika membutuhkan apapun kau tinggal panggil pelayan rumah. Ingat, jangan coba kabur karena itu akan percuma saja!” Peringat Edward. “Ngomong-ngomong, kita ada di rumah siapa?” tanya Alenta. Edward tersenyum. “Rumah kita!” jawabnya. Mendengar jawaban Edward, Alenta benar-benar hanya bisa bengong sendiri. “Aku pergi dulu ya, Sayang...” ucap Edward seraya bangkit dari duduknya. Meni
“Istrimu adalah aku, Edward! Aku yang berhak untuk cincin itu, kenapa aku harus membiarkan wanita lain menggunakannya?” tanya Julia menunjukkan benar kekecewaan yang dia rasakan. Edward menarik lengannya, itu sungguh membuatnya tidak nyaman. Mendengar apa yang diucapkan oleh Julia, sebenarnya hal itu memang benar dan wajar. Akan tetapi, mengingat kembali bagaimana pernikahan mereka bisa terjadi serta perlakuan Julia kepada Alenta, rasanya dia lelah untuk memaklumi.“Tetapi, kenyataan bahwa Alenta juga adalah istriku tidak bisa dielak. Kau benar-benar terlalu kejam karena menyalahkan Alenta sepenuhnya, Padahal semua ini terjadi juga karena ibumu sendiri,” ungkap Edward.Dia berharap, Julia berhenti menyalahkan Alenta dan tersadar benar bahwa semua ini terjadi bukan karena keinginan Alenta sendiri. Lemas rasanya mendengar ucapan Edward, hubungan Edward dan Alenta sepertinya lebih dalam dibandingkan yang dia pikirkan. Kedua bola
Julia bangun dari tidurnya, tak mendapati orang lain di kamarnya. Seperti yang diucapkan oleh Edward semalam, dia benar-benar tidak datang ke kamar setelah pembicaraan di antara dia dan juga Julia. Begitu bangkit dari tempat tidurnya, Julia bergegas menuju ke kamar mandi. Setelah selesai membersihkan diri, bergegas Julia mengenakan pakaian rumahan. Meski hanya dress biasa namun selera Julia yang terbuka dan seksi tak menghilang. Dia keluar dari kamarnya, masih tak mendapati siapapun. Suara Elea juga tidak ada, mungkin dia lelah menangis kemarin. Tadinya Julia ingin pergi ke bawah untuk sarapan, tapi tiba-tiba saja dia teringat dengan Edward saat tak sengaja melihat ruang kerja. “Sayang?” panggil Julia seraya membuka pintu ruangan. Tidak ada siapapun, mungkin Edward ada di bawah atau mungkin sudah pergi bekerja. Julia terdiam mematung di ambang pintu, sebentar dia berpikir, rasanya dia ingin berada di ruang kerja E
“Kenapa Ibu melakukannya?” tanya Julia, tatapannya yang menuntut itu membuat Herin merasa sangat tertekan. “Kenapa Ibu diam saja? Katakan, Kenapa Ibu meminta Edward untuk menikahi Alenta?!” tanya lagi Julia saat melihat ibunya justru terdiam. Herin mencengkram kain baju yang ia gunakan, tak berani menatap kedua bola mata Julia yang menatapnya dengan tatapan nanar. Saat itu, Herin benar-benar sedang sangat berpikir keras. Apakah Jika dia menjelaskan kepada putrinya yang saat ini sedang dalam keadaan emosi dapat tersampaikan dengan makna yang sama seperti yang dia maksudkan?“Apa Ibu berpikir, jika Aku mati setidaknya Ibu bisa membuat Edward tetap menjadi menantu ibu dengan menjadikan Edward suaminya Alenta?” Julia semakin meluaskan dugaannya. Tak ingin putrinya terus salah paham, Herin mencoba untuk menjelaskan sedetail mungkin. “Ibu pernah melihat Edward bersama dengan wanita lain, Wanita itu sangat cantik. Semua itu terjadi
Karina datang ke rumah Edward, bertepatan dengan Edward yang membawa Elea kembali ke rumah saat menjelang malam. Kedatangan Edward disambut oleh banyak orang, mereka sudah tidak sabar ingin mengajaknya bicara. Untungnya, Elea sudah tidur saat dalam perjalanan pulang. Jadi, Edward bisa langsung membawa Elea untuk masuk ke dalam kamarnya, dan membiarkan dia tidur dengan nyaman. “Kita harus bicara, Edward.”Edward terdiam sebentar, melihat Ibunya yang sampai menunggu di depan pintu kamar Elea, sepertinya ada hal serius yang ingin dibicarakan. Hanya menganggukkan saja kepalanya, Edward tidak ingin banyak bicara. Saat tiba di rumah, dan mendapati orang tua Julia, serta kedua orang tuanya berkumpul di rumah, sepertinya sudah cukup menjelaskan adanya sesuatu yang tidak biasa terjadi. Edward mengikuti saja langkah kaki ibunya, pada akhirnya mereka berada di ruang tengah. “Dimana Alenta sekarang?” tanya Karina.
Edward mengabaikan Julia yang terus menangis, memintanya untuk tidak lagi datang pada Julia. Tahu, tidak seharusnya dia begitu tega terhadap Julia. Namun, Edward melakukan itu karena dia ingin Julia mulai belajar untuk memahami dan belajar menghargai Alenta. Tidak semua yang diinginkan Julia harus dia dapatkan, lagi pula Edward juga tidak begitu memilki keinginan untuk bertahan. “Julia, nanti biarkan Ibu yang bicara dengan Alenta, ya?” Bujuk Herin yang merasa begitu tidak tega melihat putrinya menangis histeris. Julia menggelengkan kepalanya. “Kemana Ibu akan mencari Alenta? Edward pasti tidak akan pernah membiarkan ibu menemui Alenta!”Herin terdiam sebentar, dia tengah berpikir. “Pasti ada jalan, kau sabarlah sebentar, oke?”Julia menepis tangan Ibunya yang bergerak ingin menyentuh wajahnya, dia terlalu kesal hingga tidak bisa menerima perlakuan apapun. “Tidak akan ada yang bisa menyingkirkan Alenta, tidak akan ad
“Baiklah, karena hasil uji kehamilan juga menyatakan kehamilan, besok pagi kita pergi ke rumah sakit untuk memeriksa,” ucap Edward begitu mengetahui kebenaran tentang kehamilan Alenta. Alenta tak bereaksi, entah mengapa dia merasa takut. Edward benar tak menunjukkan ekspresi yang jelas. Meski tidak menolak, tapi Edward juga terlihat tidak bahagia. “Kau sudah makan malam?” tanya Edward. Alenta menganggukkan kepalanya, dia masih merasa malas untuk mengeluarkan suara. Melihat ekspresi Alenta yang terlihat aneh, Edward menjadi bingung sendiri. Dia menyentuh dagu Alenta, membuat tatapan mereka bertemu agar dia bisa menyelam dalam tatapan Alenta dan mencari tahu apa yang sebenarnya sedang di pikirkan oleh Alenta. “Setelah mengatakan tentang kehamilanmu padaku, kenapa kau jadi terlihat tidak bersemangat?” tanyanya. Tidak tahu harus mengatakan apa, bahkan setelah mendengar pertanyaan dari Edward barusan dia serasa ingin m
Melihat sekujur tubuhnya begitu banyak bekas merah yang ditinggalkan Edward semalam, Alenta benar-benar keheranan sampai tidak tahu harus berkata apa. Seperti orang yang tidak merasa bersalah sama sekali, Edward terus saja tersayang saat tatapan mata mereka bertemu. “Aku sudah menghubungi pihak rumah sakit, kita tidak perlu mengantri jadi santailah saja,” ujar Edward. Setelah selesai berpakaian, Alenta bergegas untuk keluar dari kamar bersamaan dengan Edward. Suara ponsel Edward terdengar, segera Edward mengeluarkan ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya. Menghela nafasnya, itulah yang dilakukan Edward begitu melihat orang yang menghubunginya. “Siapa?” tanya Alenta penasaran. “Julia,” jawab Edward. Alenta terdiam sejenak. “Angkat saja dulu, siapa tahu ada yang penting,” ujar Alenta. Mendengarkan apa yang diucapkan oleh Alenta, pada akhirnya Edward menerima panggilan telepon dari Juli
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y